Halo. Anyyeong. Salam kenal aku DSL. Terima kasih yang sudah membaca sampai bab ini. Semoga ceritaku bisa membersamai hari hari kalian dan semakin berwarna ya hehehe. Boleh ya tinggalin tanda cinta untuk Nibras dan Agnia bisa berupa hati, komen atau mungkin yang lainnya ekekek. Saranghae Fillah!
Suara deringan ponsel tak henti terdengar, menyeruak masuk ke indera pendengaran Nibras. Mau tak mau pria itu perlahan tersadar. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat.Suasana kamar yang gelap menyapa pengelihatannya meski masih separuh. Saat Nibras hendak menegakkan tubuh, pening segera menyerang kepalanya hingga ia cukup kesulitan untuk mendudukkan diri di pinggiran tempat tidur super luasnya itu.Dering ponselnya terhenti membuat Nibras bernapas lega tetapi tak sampai sedetik benda pipih itu kembali berbunyi. Menggeram kesal, ia bergerak meraihnya yang tergeletak di atas nakas."Halo," sapaya dengan suara khas bangun tidur tanpa melihat siapa nama pemanggil di layar."Anda baru bangun, Pak?" Begitu mendengar suara dari seberang, Nibras berdecak kesal. "Ada apa?" tanyanya ketus sembari memijit tengkuknya, berharap pusingnya berkurang."Bapak ingat ada janji untuk berbica
"Dia ... apa Anda menargetkan sesuatu padanya soal kerjasama ini?" tanya Nibras berusaha untuk berhati-hati agar tidak terlihat terlalu ingin tahu ataupun mencampuri urusan internal. "Agnia? Seingat saya tidak. Mengapa Anda bertanya?" "Anda tetap dengan rencana awal, bukan? Menempatkannya sebagai penanggung jawab pembangunan kantor cabang di sini," Nibras memastikan karena ia cukup kepikiran dengan kalimat yang Agnia katakan kemarin. "Tentu saja. Agnia merupakan kandidat terbaik yang kami miliki karena saya pikir ia akan mudah beradaptasi dengan kultur Indonesia secara ia memang berasal dari sana apalagi masalah komunikasi." Nibras mengangguk-angguk mendengar alasan yang Stuart berikan. “Anda tidak mengatakan sesuatu padanya tentang penanggung jawab pengganti atau semacamnya?” Pertanyaan Nibras yang di luar dugaan cukup menggelitik Stuart. "Sebenarnya, Agnia sempat meminta untuk mengirimkan pengganti dirinya.” Akhirnya pria paruh baya itu tak dapat menahan dirinya. “Well, saya mem
Entah berapa lama Agnia hanya memandangi lembaran kontrak yang ada di atas meja. Musik lembut yang menemani para pengunjung cafe di sore hari, tak mampu menenangkan hati wanita itu. Semakin waktu berjalan, debaran dalam dirinya malah semakin meningkat. “Nona.” Panggilan Gunawan mengejutkan Agnia hingga nyaris terlonjak di kursi. Ia segera mengangkat wajahnya, mendapati asisten mantan suaminya itu menatapnya sedikit khawatir. “Apa ada poin-poin yang ingin Nona ubah atau dihilangkan dari kontrak ini?” lanjut Gunawan dengan nada hati-hati. “Ah, tidak, tidak. Maafkan saya.” Bergegas Agnia meraih bolpoin yang ada di sebelah kontrak tersebut. “Di mana saya harus menandatanganinya?” “Nona sudah yakin dengan semua isinya?” Sang asisten bertanya lagi, kali ini diikuti maniknya yang menatap Agnia lekat. Meski tidak berkata apapun, ia merasa Gunawan menyuruhnya untuk berhati-hati. Mereka bertukar pandang dalam diam sampai akhirnya Agnia mengulas senyum tipisnya. “Saya sudah membahasnya
"Selamat pagi, Pak. Sudah siap untuk bekerja hari ini?" sapa Gunawan ramah saat Nibras masuk dan duduk di kursi penumpang belakang, sementara dirinya di belakang kemudi.Yang ditanya hanya berdeham pelan."Mau ke kantor dulu atau langsung ke FutureIt?" tanya sang asisten sembari melajukan mobil meninggalkan apartemen Nibras.Nibras pun berdecak, menatap sedikit kesal Gunawan melalui kaca spion tengah. "Kalau aku ke kantor untuk apa aku menyuruhmu menjemputku ke sini?"Gunawan hanya memamerkan cengiran tak berdosanya.Selama perjalanan, Nibras lebih banyak diam, tampak sibuk dengan tablet yang ada di tangannya meski Gunawan tahu, atasannya sedang tenggelam dengan pikirannya sendiri. Ia pun tak ingin menggangu dan membiarkan Nibras.Perjalan tak memakan waktu lama, hanya sekitar lima belas menit dari apartemen Nibras. Setelah memarkirkan kendaraan di depan lobi, keduanya pun segera masuk ke dalam gedung yang tak seberapa besar
Seketika Nibras menegang. Khawatir tak dapat lagi ia tahan hingga begitu tampak di wajahnya. Pria itu bahkan telah berdiri dari duduknya. “Di mana dia dirawat?”Bernard menatap ke arah Nibras, bertanya-tanya atas reaksi yang sedikit berlebihan dari Nibras secara pria ini tidak mengenal Agnia. Ia melihat sekilas ke arah Gunawan yang sudah tersenyum kikuk."Ehm." Bernard berdeham sebentar, berusaha tidak menampakkan keheranannya. "Agnia sedang istirahat di rumah saja. Kemarin menurut staf, ia jatuh pingsan dan dibawa ke IGD-""IGD?" Wajah Nibras semakin pasih. Ia nyaris balik badan dan pergi dari sana untuk mencari Agnia jika Gunawan tak menahannya. Bernard semakin kebingungan."Pak..." Sang asisten berbisik, menyentuh lengannya untuk menyuruhnya duduk kembali"But she's-""Pak!" Kali ini Gunawan berkata dengan tegas, tatapannya lekatnya sedikit mengingatkan.Nibras pun seketika tersadar akan sikapnya yang spontan dan tidak
Agnia meremas jemarinya hingga kukunya memutih. Tatapan Nibras begitu tajam terhunjam hingga membuatnya nyaris tak dapat bernapas dengan benar. Belum lagi sang mantan suami berdiri menjulang di sisi tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, begitu dekat dengannya membuat atmosfir di kamar itu semakin menyesakkan. Ia menyesal tidak mencegah Gunawan yang tadi pamit keluar hingga harus merasa begitu kikuk dan serba salah. “Duduklah,” pinta Agnia lirih, mengacu pada kursi yang ada di dekat Nibras. “Kenapa kau bisa sakit?” tanya Nibras, mengacuhkan permintaan Agnia. Tak lepas ia menatap lekat wanita itu. “Ya, bisa saja kalau sudah waktunya sakit!” sahut Agnia sembari menatap mantan suaminya sedikit kesal. Meski sedikit pasih, raut wajah Agnia yang merajuk itu tampak menggemaskan, nyaris membuat tawa Nibras terlepas. Beruntung ia cukup sigap untuk tetap bersikap datar. Ia mendekatkan diri ke ranjang hingga Agnia spontan memundurkan tubuhnya ke sisi lain kasur
Nibras melonggarkan dasinya sesaat ia duduk di belakang kemudi Audi A5-nya. Pria itu menyandarkan kepala ke kursi seiring dengan kedua kelopak matanya tertutup.Tiga hari ia menyibukkan diri dengan segala meeting yang sengaja ia lalukan di luar kantor agar pikirannya terdistraksi tetapi tetap saja selalu kembali pada Agnia."Ah, sial." Nibras bergumam lirih sembari melepaskan kacamata lalu meletakkannya di kotak penyimpanan dekat persneling.Wajah pusat pasi mantan istrinya itu terus-terusan hadir seakan melekat begitu kuat. Tak tahan lagi, ia menekan-nekan dashboard untuk mencari nomor asistennya lalu melakukan panggilan."Ya, Pak?" sapa Gunawan setelah tersambung."How's everything?" tanya Nibras dengan suara lirih."Are you OK, Sir?" Ganti Gunawan bertanya sedikit khawatir."Agnia sudah masuk ke kantor?" Nibras tak memedulikan asistennya."Ya, sejak dua hari yang lalu.""Bagaimana dia?""Masih lengkap. Dua tang
Saat jarinya nyaris menyentuh layar, sebuah panggilan masuk atas nama Hakeem Shadeeq, sang ayah, tampak menggantikan nama Agnia.Pria itu terdiam sebentar, memikirkan alasan apa yang mendorong ayahnya menghubunginya sebelum ia menerima panggilan tersebut. "Ya, Ayah.""Kau kenal dengan Shania?" Tanpa basa basi pria baya di seberang sana langsung bertanya.Dahi Nibras mengernyit. "Shania? Maksud Ayah, Shania Tasrif?""Ya. Putri dari Budi Tasrif, menteri ESDM sekaligus penguasa tambang nikel di Kalimantan itu. Masih ingat?"Menebak-nebak kemana arah pembicaraan ini, Nibras menjawab 'ingat' dengan singkat."Nanti akan ada makan malam bersama dengan keluarga mereka. Bersiap dan datanglah ke Citilites, jam tujuh malam."Baru hendak membuka mulut untuk menjawab, panggilan itu diputus begitu saja. Helaan napas spontan terlolos dari bibir Nibras seiring ia menyandarkan siku ke jendela, lalu memijit pelipisnya.Meski pria itu tahu hubungannya dengan sang ayah memang tidak dekat, tetap saja mela