Share

BAB 5

Lima belas menit sebelum pukul empat sore, Nibras sudah tiba di Delifore Cafe, tempat yang baru ia sadari menyimpan banyak kenangan dirinya bersama Agnia. Pria itu memilih duduk di sudut yang tidak banyak orang berlalu lalang hingga ia dapat bebas bercakap cakap nanti.

Setelah memesankan dirinya segelas Iced Americano, Nibras membiarkan dirinya tenggelam begitu saja pada kepingan kenangan bersama Agnia yang masih tersimpan rapi dalam memori yang ingin ia kubur dalam-dalam.

Pikirannya tiba-tiba kembali pada masa dimana dirinya bertemu dengan Agnia pertama kali. Di tempat ini.

Ayahnya - Hakeem, menyuruhnya untuk segera menikah dan itu adalah syarat utama dan mutlak agar dirinya tetap dapat mempertahankan posisinya di bisnis keluarga.

Merasa berhutang banyak dengan keluarga ayahnya dalam membesarkan dirinya, Nibras menyetujui tanpa banyak protes. Ditambah kenyataan bahwa ibunya meninggal saat melahirkan dirinya membuat pria itu semakin merasa bersalah pada sang ayah dan bertanggung jawab atasnya.

Begitu banyak profil perempuan yang diajukan padanya. Sementara baginya kala itu, semua tampak sama hingga nyaris terlihat seperti copy paste. Kecuali satu, Agnia Bakhtiar.

Mata sendu yang terbingkai di dalam wajah cantiknya yang datar, seakan memikul banyak kesedihan membuat Nibras memutuskan untuk bertemu dengannya. Lucunya, pria itu semakin tertarik ketika bertatap muka secara langsung. Agnia benar-benar datar sama seperti dirinya.

Mengingat pernikahan yang akan Nibras jalani adalah murni hanya karena bisnis, ia pun seperti menemukan kecocokan dengan Agnia. Dalam pikirannya, jika mereka menikah maka masalah bisnis keluarga terpecahkan dan setelahnya mereka dapat berjalan dengan urusan masing-masing tanpa harus saling mencampuri.

Sayangnya, selama dua tahun pernikahan tidak semudah yang ia pikirkan…

“Maaf, saya terlambat.” Suara pelan itu menyadarkan Nibras dari lamunan.

Di depannya telah berdiri Agnia yang sedikit terengah. Mungkin ia berjalan sedikit terburu untuk mengejar waktu.

Dandanan wanita ini tak berubah. Selalu sederhana tanpa sentuhan make up yang berlebihan dan hanya dengan seperti itu kedua manik Nibras sudah termanjakan. Namun, kali ini Nibras merasa Agnia tampak lebih memukau dari sebelumnya.

Suara deritan pelan tanda kursi ditarik lagi-lagi menyadarkan Nibras yang kembali melamun. Pria itu segera memaki dirinya dalam hati.

“Kau mau pesan apa?” tanya Nibras saat Agnia sudah duduk, hendak mengangkat tangan untuk memanggil pramusaji.

“Tidak usah,” sahut Agnia cepat membuat pria itu urung mengangkat tangannya. Dahinya segera berkerut.

“Kenapa?”

“Saya … tidak sedang ingin saja. Lagipula, setelah ini saya juga ada janji lain untuk makan.”

Nibras semakin mengernyit. Pantas saja Agnia tak melepas outer panjangnya bahkan tali tas slempangnya saja masih tersampir di bahu kecilnya.

“Untung saya urung memesan minuman untukmu. Padahal tadi saya sempat kepikiran untuk memesankan orange juice tanpa gula. Kau masih suka itu, ‘kan?” Nibras berusaha terdengar santai sembari menyandarkan punggung ke kursi meski pada kenyataannya ia sangat terganggu dengan informasi yang baru saja ia dengar.

"Tidak.” Jawaban singkat Agnia sungguh mengejutkan Nibras diiringi senyumnya seketika meluruh dari wajahnya.

“Kenapa? Saya pikir itu minuman kesukaanmu.” Kali ini emosi Nibras mulai sedikit terlibat.

“Tidak lagi.”

“Sejak kapan?”

“Sejak kita bercerai.” Mendengar jawaban itu membuat pria itu tak dapat menahan diri untuk tidak mengulas senyum miringnya.

“Karena jika kau melihat minuman itu selalu mengingatkannya pada saya, ‘kan?” sindirnya penuh percaya diri dan tanpa sadar dadanya bahkan sedikit membusung.

“Ya, itu benar. Karena saya ingin melupakan Anda jadi saya memutuskan untuk tidak suka lagi dengan minuman itu dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Anda.”

Lagi-lagi senyum culas Nibras menguap begitu saja karena jawaban istrinya yang ia rasa begitu menusuk tetapi penuh dengan kejujuran. Rahangnya sekilas mengetat diikuti tatapannya yang menajam.

Kali ini, Agnia tak lagi terlihat takut-takut meski percikan itu terkadang tampak. Perempuan itu bahkan terlihat lebih siap menghadapinya. Wajahnya lebih datar dari pertama kali mereka bertemu.

Kekehan masam yang tiba-tiba terdengar dari Nibras seketika meningkatkan kewaspadaan Agnia. Dulu Nibras cukup datar, serius, dan kaku jika berhadapan dengannya.

Namun, sekarang sikap pria ini berubah menjadi lebih frontal bahkan tidak repot-repot menutupi emosinya meski dalam bentuk yang tidak baik. Hal yang tak pernah ditunjukkan olehnya selama dua tahun pernikahan mereka.

“Jadi kau benar-benar ingin melupakan saya, Nona Agnia?” Tersenyum sinis, Nibras memajukan tubuh dan menopang dengan kedua siku di atas meja. “Kau yakin dengan keputusanmu itu?”

Agnia tahu Nibras sedang berusaha untuk mengintimidasi dirinya entah untuk tujuan apa, tetapi sebelum berada di tempat ini perempuan itu telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa apapun yang akan pria itu lakukan terhadapnya, ia tidak akan menggubrisnya.

“Kenapa saya harus tidak yakin? Tidak ada yang perlu saya ingat-ingat lagi tentang pernikahan itu.”

Agnia mengatakan yang sesungguhnya. Hampir sebagian besar yang ia alami meninggalkan sakit hati dan kejadian yang tidak begitu indah untuk dikenang kembali.

Rahang Nibras kembali mengetat sekilas. Wajahnya menggelap diikuti gemuruh melingkupi dadanya serta harga dirinya yang semakin terusik. Jujur, pemandangan yang disuguhkan oleh pria itu mulai terlihat menakutkan bagi Agnia.

Hening yang mencekam bergelayut di antara mereka cukup lama hingga perlahan Nibras berangsur terlihat kembali seperti biasa, dan itu melegakan Agnia.

“Kau sudah menerima email dari perusahaanku?” tanya pria itu sudah dengan nada bicaranya yang tenang. Ia bahkan mengulas senyum seperti tiada kejadian barusan yang terjadi.

“Ya. Sudah,” jawab Agnia masih menatap ke mantan suaminya, mengamati gerak geraknya untuk berjaga-jaga karena Nibras yang sekarang, cukup berbeda dengan Nibras yang ia tahu.

“Sudah kau baca benar-benar? Semua poin-poin, term and condition, dan klausul yang ada di sana?”

“Sudah. Saya juga sudah mendiskusikannya dengan Mr. Brogan begitu menerima email dari Anda. Dan beliau setuju.”

Nibras mengangguk sekilas mendengar jawaban tanpa ragu dari Agnia. “Baik. Saya akan menghubungi tim marketing dan mempersiapkan pertemuan berikutnya untuk penandatanganan kontrak-”

Dahi Agnia berkerut. “Saya pikir kita akan melakukan itu sekarang.”

“Hari ini saya hanya ingin memastikan jawaban dari perusahaan Anda. Kalian bisa saja berubah pikiran setelah membaca email yang dikirimkan.”

“Tapi Anda ‘kan bisa membicarakan hal tersebut melalui pesan chat atau telpon-”

“Sepertinya Anda terlalu meremehkan perusahaan kami ya, Nona Agnia.” Nibras kembali menatap tajam perempuan di depannya yang seketika mengatupkan bibir. Terlihat sekali kekesalan di kedua manik bulatnya itu dan berusaha untuk ia tahan. “Kau beruntung proyek ini akan ditangani langsung oleh saya-”

“Apa?” Wajah cantik Agnia berubah sedikit pasih.

“Dan itu sangatlah jarang terjadi untuk perusahaan yang memiliki level seperti FutureIt. Biasanya saya menyerahkannya pada tim marketing atau Gunawan,” lanjut Nibras pongah, tidak mengindahkan reaksi yang mantan istrinya berikan yaitu semakin terlihat kesal.

Ia tahu, Agnia tidak akan pernah setuju untuk selalu bertemu dengannya selama enam bulan ke depan sesuai yang ditulis dalam email. Keputusan itu baru saja ia buat melihat sikap mantannya yang sepertinya benar-benar ingin mendepak dirinya dari kehidupan bahkan ingatan.

Dan tentu saja Nibras tak akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Tidak, setelah apa yang wanita ini lakukan padanya!

"Jadi kau sudah siap untuk bekerja sama dengan mantan suami ini?" Kedua lengan Nibras menyilang di depan dada seiring senyum culasnya kembali hadir.

Pertanyaan itu mengusik Agnia hingga perempuan itu menghunjamkan tatapan cukup kesal pada Nibras. "Saya melakukannya bukan karena Anda. Tetapi perusahaan membutuhkan-"

"Kau bisa mengusulkan perusahaan lain kalau kau mau, 'kan? Kenapa? Apa karena saya mantan suamimu jadi kau yakin saya akan menyetujui proposal yang kalian ajukan?"

Astaga! Agnia ingin sekali menyumpal mulut Nibras yang tak ia sangka semakin pedas saja setelah sekian lama tak bertemu.

“Tapi sebelum proses penandatangan kontrak dilakukan, ada sesuatu yang harus kau lakukan terlebih dahulu,” ucap Nibras tiba-tiba.

Agnia tidak segera memberi reaksi kecuali dahinya yang sedikit berkerut membuat Nibras kembali melanjutkan. “Saya akan menandatangani kontrak tersebut jika kau setuju untuk menikah kembali denganku.”

Seketika jantung Agnia terasa berhenti untuk beberapa detik.

“APA?!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status