Lima belas menit sebelum pukul empat sore, Nibras sudah tiba di Delifore Cafe, tempat yang baru ia sadari menyimpan banyak kenangan dirinya bersama Agnia. Pria itu memilih duduk di sudut yang tidak banyak orang berlalu lalang hingga ia dapat bebas bercakap cakap nanti.
Setelah memesankan dirinya segelas Iced Americano, Nibras membiarkan dirinya tenggelam begitu saja pada kepingan kenangan bersama Agnia yang masih tersimpan rapi dalam memori yang ingin ia kubur dalam-dalam. Pikirannya tiba-tiba kembali pada masa dimana dirinya bertemu dengan Agnia pertama kali. Di tempat ini. Ayahnya - Hakeem, menyuruhnya untuk segera menikah dan itu adalah syarat utama dan mutlak agar dirinya tetap dapat mempertahankan posisinya di bisnis keluarga. Merasa berhutang banyak dengan keluarga ayahnya dalam membesarkan dirinya, Nibras menyetujui tanpa banyak protes. Ditambah kenyataan bahwa ibunya meninggal saat melahirkan dirinya membuat pria itu semakin merasa bersalah pada sang ayah dan bertanggung jawab atasnya. Begitu banyak profil perempuan yang diajukan padanya. Sementara baginya kala itu, semua tampak sama hingga nyaris terlihat seperti copy paste. Kecuali satu, Agnia Bakhtiar. Mata sendu yang terbingkai di dalam wajah cantiknya yang datar, seakan memikul banyak kesedihan membuat Nibras memutuskan untuk bertemu dengannya. Lucunya, pria itu semakin tertarik ketika bertatap muka secara langsung. Agnia benar-benar datar sama seperti dirinya. Mengingat pernikahan yang akan Nibras jalani adalah murni hanya karena bisnis, ia pun seperti menemukan kecocokan dengan Agnia. Dalam pikirannya, jika mereka menikah maka masalah bisnis keluarga terpecahkan dan setelahnya mereka dapat berjalan dengan urusan masing-masing tanpa harus saling mencampuri. Sayangnya, selama dua tahun pernikahan tidak semudah yang ia pikirkan… “Maaf, saya terlambat.” Suara pelan itu menyadarkan Nibras dari lamunan. Di depannya telah berdiri Agnia yang sedikit terengah. Mungkin ia berjalan sedikit terburu untuk mengejar waktu. Dandanan wanita ini tak berubah. Selalu sederhana tanpa sentuhan make up yang berlebihan dan hanya dengan seperti itu kedua manik Nibras sudah termanjakan. Namun, kali ini Nibras merasa Agnia tampak lebih memukau dari sebelumnya. Suara deritan pelan tanda kursi ditarik lagi-lagi menyadarkan Nibras yang kembali melamun. Pria itu segera memaki dirinya dalam hati. “Kau mau pesan apa?” tanya Nibras saat Agnia sudah duduk, hendak mengangkat tangan untuk memanggil pramusaji. “Tidak usah,” sahut Agnia cepat membuat pria itu urung mengangkat tangannya. Dahinya segera berkerut. “Kenapa?” “Saya … tidak sedang ingin saja. Lagipula, setelah ini saya juga ada janji lain untuk makan.” Nibras semakin mengernyit. Pantas saja Agnia tak melepas outer panjangnya bahkan tali tas slempangnya saja masih tersampir di bahu kecilnya. “Untung saya urung memesan minuman untukmu. Padahal tadi saya sempat kepikiran untuk memesankan orange juice tanpa gula. Kau masih suka itu, ‘kan?” Nibras berusaha terdengar santai sembari menyandarkan punggung ke kursi meski pada kenyataannya ia sangat terganggu dengan informasi yang baru saja ia dengar. "Tidak.” Jawaban singkat Agnia sungguh mengejutkan Nibras diiringi senyumnya seketika meluruh dari wajahnya. “Kenapa? Saya pikir itu minuman kesukaanmu.” Kali ini emosi Nibras mulai sedikit terlibat. “Tidak lagi.” “Sejak kapan?” “Sejak kita bercerai.” Mendengar jawaban itu membuat pria itu tak dapat menahan diri untuk tidak mengulas senyum miringnya. “Karena jika kau melihat minuman itu selalu mengingatkannya pada saya, ‘kan?” sindirnya penuh percaya diri dan tanpa sadar dadanya bahkan sedikit membusung. “Ya, itu benar. Karena saya ingin melupakan Anda jadi saya memutuskan untuk tidak suka lagi dengan minuman itu dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Anda.” Lagi-lagi senyum culas Nibras menguap begitu saja karena jawaban istrinya yang ia rasa begitu menusuk tetapi penuh dengan kejujuran. Rahangnya sekilas mengetat diikuti tatapannya yang menajam. Kali ini, Agnia tak lagi terlihat takut-takut meski percikan itu terkadang tampak. Perempuan itu bahkan terlihat lebih siap menghadapinya. Wajahnya lebih datar dari pertama kali mereka bertemu. Kekehan masam yang tiba-tiba terdengar dari Nibras seketika meningkatkan kewaspadaan Agnia. Dulu Nibras cukup datar, serius, dan kaku jika berhadapan dengannya. Namun, sekarang sikap pria ini berubah menjadi lebih frontal bahkan tidak repot-repot menutupi emosinya meski dalam bentuk yang tidak baik. Hal yang tak pernah ditunjukkan olehnya selama dua tahun pernikahan mereka. “Jadi kau benar-benar ingin melupakan saya, Nona Agnia?” Tersenyum sinis, Nibras memajukan tubuh dan menopang dengan kedua siku di atas meja. “Kau yakin dengan keputusanmu itu?” Agnia tahu Nibras sedang berusaha untuk mengintimidasi dirinya entah untuk tujuan apa, tetapi sebelum berada di tempat ini perempuan itu telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa apapun yang akan pria itu lakukan terhadapnya, ia tidak akan menggubrisnya. “Kenapa saya harus tidak yakin? Tidak ada yang perlu saya ingat-ingat lagi tentang pernikahan itu.” Agnia mengatakan yang sesungguhnya. Hampir sebagian besar yang ia alami meninggalkan sakit hati dan kejadian yang tidak begitu indah untuk dikenang kembali. Rahang Nibras kembali mengetat sekilas. Wajahnya menggelap diikuti gemuruh melingkupi dadanya serta harga dirinya yang semakin terusik. Jujur, pemandangan yang disuguhkan oleh pria itu mulai terlihat menakutkan bagi Agnia. Hening yang mencekam bergelayut di antara mereka cukup lama hingga perlahan Nibras berangsur terlihat kembali seperti biasa, dan itu melegakan Agnia. “Kau sudah menerima email dari perusahaanku?” tanya pria itu sudah dengan nada bicaranya yang tenang. Ia bahkan mengulas senyum seperti tiada kejadian barusan yang terjadi. “Ya. Sudah,” jawab Agnia masih menatap ke mantan suaminya, mengamati gerak geraknya untuk berjaga-jaga karena Nibras yang sekarang, cukup berbeda dengan Nibras yang ia tahu. “Sudah kau baca benar-benar? Semua poin-poin, term and condition, dan klausul yang ada di sana?” “Sudah. Saya juga sudah mendiskusikannya dengan Mr. Brogan begitu menerima email dari Anda. Dan beliau setuju.” Nibras mengangguk sekilas mendengar jawaban tanpa ragu dari Agnia. “Baik. Saya akan menghubungi tim marketing dan mempersiapkan pertemuan berikutnya untuk penandatanganan kontrak-” Dahi Agnia berkerut. “Saya pikir kita akan melakukan itu sekarang.” “Hari ini saya hanya ingin memastikan jawaban dari perusahaan Anda. Kalian bisa saja berubah pikiran setelah membaca email yang dikirimkan.” “Tapi Anda ‘kan bisa membicarakan hal tersebut melalui pesan chat atau telpon-” “Sepertinya Anda terlalu meremehkan perusahaan kami ya, Nona Agnia.” Nibras kembali menatap tajam perempuan di depannya yang seketika mengatupkan bibir. Terlihat sekali kekesalan di kedua manik bulatnya itu dan berusaha untuk ia tahan. “Kau beruntung proyek ini akan ditangani langsung oleh saya-” “Apa?” Wajah cantik Agnia berubah sedikit pasih. “Dan itu sangatlah jarang terjadi untuk perusahaan yang memiliki level seperti FutureIt. Biasanya saya menyerahkannya pada tim marketing atau Gunawan,” lanjut Nibras pongah, tidak mengindahkan reaksi yang mantan istrinya berikan yaitu semakin terlihat kesal. Ia tahu, Agnia tidak akan pernah setuju untuk selalu bertemu dengannya selama enam bulan ke depan sesuai yang ditulis dalam email. Keputusan itu baru saja ia buat melihat sikap mantannya yang sepertinya benar-benar ingin mendepak dirinya dari kehidupan bahkan ingatan. Dan tentu saja Nibras tak akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Tidak, setelah apa yang wanita ini lakukan padanya! "Jadi kau sudah siap untuk bekerja sama dengan mantan suami ini?" Kedua lengan Nibras menyilang di depan dada seiring senyum culasnya kembali hadir. Pertanyaan itu mengusik Agnia hingga perempuan itu menghunjamkan tatapan cukup kesal pada Nibras. "Saya melakukannya bukan karena Anda. Tetapi perusahaan membutuhkan-" "Kau bisa mengusulkan perusahaan lain kalau kau mau, 'kan? Kenapa? Apa karena saya mantan suamimu jadi kau yakin saya akan menyetujui proposal yang kalian ajukan?" Astaga! Agnia ingin sekali menyumpal mulut Nibras yang tak ia sangka semakin pedas saja setelah sekian lama tak bertemu. “Tapi sebelum proses penandatangan kontrak dilakukan, ada sesuatu yang harus kau lakukan terlebih dahulu,” ucap Nibras tiba-tiba. Agnia tidak segera memberi reaksi kecuali dahinya yang sedikit berkerut membuat Nibras kembali melanjutkan. “Saya akan menandatangani kontrak tersebut jika kau setuju untuk menikah kembali denganku.” Seketika jantung Agnia terasa berhenti untuk beberapa detik. “APA?!” ***“Are you out of your mind?!” Itulah reaksi pertama dari Agnia, yang seketika meluruhkan senyum di wajah Nibras. Agnia pun tersadar jika perkataannya terlalu kasar lalu segera mengucapkan maaf. “Apa maksudmu berkata seperti itu?” tanya Agnia setelah jeda beberapa saat. “Mungkin perlu saya ulangi-” Kalimat Nibras terhenti saat melihat Agnia mengangkat tangannya. Tatapan wanita itu tak dapat ia tangkap maksudnya. Namun, yang pasti Agnia tampak sangat kesal bukan main. “Kamu… kamu tidak serius, ‘kan?” Sekali lagi wanita itu bertanya, berharap mantan suaminya ini hanya bergurau. “Apa saya mengatakannya dengan nada bercanda, Nona Agnia?” Berusaha tampak tenang, Nibras meraih gelas kopi dari atas meja dan menyesapnya. Agnia menipiskan bibirnya. Seharusnya ia ambil saja gelas itu lebih dulu dan menyiramkan isinya ke wajah pria yang tampak menyebalkan ini. Nibras merasa seperti tengah berada di atas awan melihat reaksi yang diberikan oleh Agnia. Bagaikan baru mendapatkan angin segar seba
Suara deringan ponsel tak henti terdengar, menyeruak masuk ke indera pendengaran Nibras. Mau tak mau pria itu perlahan tersadar. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat.Suasana kamar yang gelap menyapa pengelihatannya meski masih separuh. Saat Nibras hendak menegakkan tubuh, pening segera menyerang kepalanya hingga ia cukup kesulitan untuk mendudukkan diri di pinggiran tempat tidur super luasnya itu.Dering ponselnya terhenti membuat Nibras bernapas lega tetapi tak sampai sedetik benda pipih itu kembali berbunyi. Menggeram kesal, ia bergerak meraihnya yang tergeletak di atas nakas."Halo," sapaya dengan suara khas bangun tidur tanpa melihat siapa nama pemanggil di layar."Anda baru bangun, Pak?" Begitu mendengar suara dari seberang, Nibras berdecak kesal. "Ada apa?" tanyanya ketus sembari memijit tengkuknya, berharap pusingnya berkurang."Bapak ingat ada janji untuk berbica
"Dia ... apa Anda menargetkan sesuatu padanya soal kerjasama ini?" tanya Nibras berusaha untuk berhati-hati agar tidak terlihat terlalu ingin tahu ataupun mencampuri urusan internal. "Agnia? Seingat saya tidak. Mengapa Anda bertanya?" "Anda tetap dengan rencana awal, bukan? Menempatkannya sebagai penanggung jawab pembangunan kantor cabang di sini," Nibras memastikan karena ia cukup kepikiran dengan kalimat yang Agnia katakan kemarin. "Tentu saja. Agnia merupakan kandidat terbaik yang kami miliki karena saya pikir ia akan mudah beradaptasi dengan kultur Indonesia secara ia memang berasal dari sana apalagi masalah komunikasi." Nibras mengangguk-angguk mendengar alasan yang Stuart berikan. “Anda tidak mengatakan sesuatu padanya tentang penanggung jawab pengganti atau semacamnya?” Pertanyaan Nibras yang di luar dugaan cukup menggelitik Stuart. "Sebenarnya, Agnia sempat meminta untuk mengirimkan pengganti dirinya.” Akhirnya pria paruh baya itu tak dapat menahan dirinya. “Well, saya mem
Entah berapa lama Agnia hanya memandangi lembaran kontrak yang ada di atas meja. Musik lembut yang menemani para pengunjung cafe di sore hari, tak mampu menenangkan hati wanita itu. Semakin waktu berjalan, debaran dalam dirinya malah semakin meningkat. “Nona.” Panggilan Gunawan mengejutkan Agnia hingga nyaris terlonjak di kursi. Ia segera mengangkat wajahnya, mendapati asisten mantan suaminya itu menatapnya sedikit khawatir. “Apa ada poin-poin yang ingin Nona ubah atau dihilangkan dari kontrak ini?” lanjut Gunawan dengan nada hati-hati. “Ah, tidak, tidak. Maafkan saya.” Bergegas Agnia meraih bolpoin yang ada di sebelah kontrak tersebut. “Di mana saya harus menandatanganinya?” “Nona sudah yakin dengan semua isinya?” Sang asisten bertanya lagi, kali ini diikuti maniknya yang menatap Agnia lekat. Meski tidak berkata apapun, ia merasa Gunawan menyuruhnya untuk berhati-hati. Mereka bertukar pandang dalam diam sampai akhirnya Agnia mengulas senyum tipisnya. “Saya sudah membahasnya
"Selamat pagi, Pak. Sudah siap untuk bekerja hari ini?" sapa Gunawan ramah saat Nibras masuk dan duduk di kursi penumpang belakang, sementara dirinya di belakang kemudi.Yang ditanya hanya berdeham pelan."Mau ke kantor dulu atau langsung ke FutureIt?" tanya sang asisten sembari melajukan mobil meninggalkan apartemen Nibras.Nibras pun berdecak, menatap sedikit kesal Gunawan melalui kaca spion tengah. "Kalau aku ke kantor untuk apa aku menyuruhmu menjemputku ke sini?"Gunawan hanya memamerkan cengiran tak berdosanya.Selama perjalanan, Nibras lebih banyak diam, tampak sibuk dengan tablet yang ada di tangannya meski Gunawan tahu, atasannya sedang tenggelam dengan pikirannya sendiri. Ia pun tak ingin menggangu dan membiarkan Nibras.Perjalan tak memakan waktu lama, hanya sekitar lima belas menit dari apartemen Nibras. Setelah memarkirkan kendaraan di depan lobi, keduanya pun segera masuk ke dalam gedung yang tak seberapa besar
Seketika Nibras menegang. Khawatir tak dapat lagi ia tahan hingga begitu tampak di wajahnya. Pria itu bahkan telah berdiri dari duduknya. “Di mana dia dirawat?”Bernard menatap ke arah Nibras, bertanya-tanya atas reaksi yang sedikit berlebihan dari Nibras secara pria ini tidak mengenal Agnia. Ia melihat sekilas ke arah Gunawan yang sudah tersenyum kikuk."Ehm." Bernard berdeham sebentar, berusaha tidak menampakkan keheranannya. "Agnia sedang istirahat di rumah saja. Kemarin menurut staf, ia jatuh pingsan dan dibawa ke IGD-""IGD?" Wajah Nibras semakin pasih. Ia nyaris balik badan dan pergi dari sana untuk mencari Agnia jika Gunawan tak menahannya. Bernard semakin kebingungan."Pak..." Sang asisten berbisik, menyentuh lengannya untuk menyuruhnya duduk kembali"But she's-""Pak!" Kali ini Gunawan berkata dengan tegas, tatapannya lekatnya sedikit mengingatkan.Nibras pun seketika tersadar akan sikapnya yang spontan dan tidak
Agnia meremas jemarinya hingga kukunya memutih. Tatapan Nibras begitu tajam terhunjam hingga membuatnya nyaris tak dapat bernapas dengan benar. Belum lagi sang mantan suami berdiri menjulang di sisi tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, begitu dekat dengannya membuat atmosfir di kamar itu semakin menyesakkan. Ia menyesal tidak mencegah Gunawan yang tadi pamit keluar hingga harus merasa begitu kikuk dan serba salah. “Duduklah,” pinta Agnia lirih, mengacu pada kursi yang ada di dekat Nibras. “Kenapa kau bisa sakit?” tanya Nibras, mengacuhkan permintaan Agnia. Tak lepas ia menatap lekat wanita itu. “Ya, bisa saja kalau sudah waktunya sakit!” sahut Agnia sembari menatap mantan suaminya sedikit kesal. Meski sedikit pasih, raut wajah Agnia yang merajuk itu tampak menggemaskan, nyaris membuat tawa Nibras terlepas. Beruntung ia cukup sigap untuk tetap bersikap datar. Ia mendekatkan diri ke ranjang hingga Agnia spontan memundurkan tubuhnya ke sisi lain kasur
Nibras melonggarkan dasinya sesaat ia duduk di belakang kemudi Audi A5-nya. Pria itu menyandarkan kepala ke kursi seiring dengan kedua kelopak matanya tertutup.Tiga hari ia menyibukkan diri dengan segala meeting yang sengaja ia lalukan di luar kantor agar pikirannya terdistraksi tetapi tetap saja selalu kembali pada Agnia."Ah, sial." Nibras bergumam lirih sembari melepaskan kacamata lalu meletakkannya di kotak penyimpanan dekat persneling.Wajah pusat pasi mantan istrinya itu terus-terusan hadir seakan melekat begitu kuat. Tak tahan lagi, ia menekan-nekan dashboard untuk mencari nomor asistennya lalu melakukan panggilan."Ya, Pak?" sapa Gunawan setelah tersambung."How's everything?" tanya Nibras dengan suara lirih."Are you OK, Sir?" Ganti Gunawan bertanya sedikit khawatir."Agnia sudah masuk ke kantor?" Nibras tak memedulikan asistennya."Ya, sejak dua hari yang lalu.""Bagaimana dia?""Masih lengkap. Dua tang