Kedua manik Nibras terbuka lebar seiring dengan napasnya yang sedikit tersengal. Pria itu menegakkan diri sembari berusaha menenangkan gemuruh yang sedang berkecamuk dalam dada.
Masih teringat jelas dalam benaknya mimpi yang baru saja terjadi. Dirinya sedang bercinta bersama Agnia dengan begitu panas dan intim, tampak saling mencintai. Setidaknya dirinyalah yang merasa seperti itu di dalam mimpi tersebut.
Saat Nibras merasa hendak mencapai puncak kenikmatan, ia dapat mendengar bibir Agnia yang tadinya menyebut namanya dengan penuh desahan berubah mengucapkan kata yang seketika menyadarkan dirinya. "Ayo, cerai."
"Sialan!" Nibras mendesis kesal lalu turun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi sembari melirik jam di atas meja kerja yang ada di dekat pintu penghubung ke balkon. Masih pukul tiga pagi.
Pria itu tak berhenti mendumel sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi. Dilepaskannya pakaian lalu berdiri di bawah pancuran dan menyiram tubuhnya dengan air hangat, berusaha mencari kenyamanan dan ketenangan melalui aliran air yang membasahi.
Sejak bercerai, Nibras tidak pernah dapat tidur dengan tenang. Ia sering terbangun karena mimpi yang ia anggap sangat buruk karena mampu menghadirkan kecemasan yang berlebihan. Ia bahkan harus berurusan dengan seorang psikiater untuk menangani gangguan tersebut.
Di bawah kucuran air, Nibras tertawa masam tanpa suara. Kedua tangannya mengepal cukup kuat. Ia bersumpah ia tidak akan kalah dan terpuruk lagi menghadapi mantan istrinya!
***
Nibras telah berdiri di sebuah unit apartemen yang tentu saja lebih sederhana dibanding miliknya. Meski pria itu telah mandi, tetapi wajahnya masih saja terlihat kusut.
Pria itu menekan bel tanpa henti, tak peduli jika penghuni yang ada di dalam terganggu. Dirinya hanya ingin segera masuk dan beristirahat di dalam sana. Setelah cukup lama, pintu abu-abu di hadapan Nibras akhirnya terbuka dan memunculkan sesosok pria dengan wajah yang sangat tidak ramah.
“Nibras, brengsek! Demi Tuhan, ini masih jam setengah enam pagi!” Pria itu nyaris menjerit dengan rambutnya yang sedikit berantakan menandakan jika dirinya baru saja bangun dari tidur.
Mendapati omelan seperti itu, Nibras tak peduli. Ia merangsek masuk tanpa permisi, melangkahkan kaki panjangnya menuju sofa putih yang berada di ruang tamu apartemen tersebut.
Dengan segera ia mendaratkan bokongnya di sana lalu meletakkan kepala pada sandaran sofa. Helaan napas yang berat dan panjang terlolos begitu saja membuat pria penghuni apartemen itu mengurungkan niatnya untuk mengomeli Nibras, sahabat sekaligus sepupunya.
Dalam diam, pria tersebut berjalan menuju dapur lalu kembali pada Nibras dengan sebotol air dingin yang kemudian ia letakkan di hadapan sepupunya.
“Kau tak apa? Kau tampak kacau sekali,” tukas pria itu sembari duduk di sofa lain, berseberangan.
Pertanyaan itu dibiarkan tak terjawab oleh Nibras membuat pria tersebut mulai khawatir. “Apa terjadi sesuatu-”
“Dia kembali,” potong Nibras membuat dahi sepupunya mengernyit.
“Apa?”
Seketika Nibras menegakkan punggungnya, menatap ke arah sepupunya tajam dan juga penuh kecemasan. “Agnia. Dia kembali, Gary,” ucapnya lirih seiring tangannya menyugar rambutnya kasar.
Mendengar nama itu, seketika menghilangkan rasa kesal dan kantuk dari pria yang dipanggil Gary. Wajahnya bahkan tampak turut terkejut. “Kapan-”
“Sialan!” Nibras seketika berdiri dari kursi, bergerak cukup panik menuju jendela lebar yang ada di ruangan itu. Sedikit kencang tangannya yang mengepal memukul dinding.
Gary menatap punggung lebar Nibras yang tampak sedang berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Ia pun bangkit dari sofa, berjalan mendekati Nibras.
"Kau ... bertemu dengannya?" tanya Gary hati-hati, tak ingin mengulur sudut kelam yang masih sepupunya berusaha atasi.
Gary pikir Nibras sudah mulai baik-baik saja mengingat dosis obat tidur yang harus pria itu konsumsi semakin jarang. Bahkan sesekali tak pernah.
Anggukan lemah, Gary dapatkan dari Nibras seiring pria itu membalikkan tubuhnya. Tatapannya yang tidak biasa kembali mengkhawatirkan.
"Duduklah," pinta Gary lembut. "Aku akan mandi dulu. Setelah itu kita bicara."
Perlahan, Nibras menuruti apa yang diperintahkan. Ia kembali duduk di sofa kali ini merebahkan tubuhnya lalu memejamkan mata. Melihat hal tersebut, Gary segera masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri.
Tak lama, pria itu kembali dengan penampilan yang lebih rapi. Segera ia menghampiri Nibras yang ternyata sudah terlelap dan tampak cukup tenang. Ia pun membiarkan sepupunya untuk beristirahat sembari membuatkan sesuatu untuk mereka makan sebagai sarapan.
***
Seharian Nibras menghabiskan waktu di apartemen Gary tanpa melakukan apapun selain tidur, makan lalu tidur lagi. Gary juga tidak berniat untuk mempertanyakan lebih lanjut tingkah Nibras meskipun hal itu sedikit mengusiknya. Hingga akhirnya ia melihat Nibras menerima sebuah panggilan yang ia dengar sekilas dari asistennya, Gunawan.
“Ada apa?” tanya Gary saat melihat Nibras hanya memandangi ponsel miliknya setelah selesai berbicara di ponsel.
“Aku ada janji dengan Agnia jam empat,” ucap Nibras pelan, melihat ke arah sepupunya.
Dahi Gary sempat berkerut sekilas. “Kau akan bertemu dengannya lagi? Untuk apa? Mengurus harta gono gini yang masih tidak jelas itu?”
Nibras mencebik, teringatkan jika urusan itu belum final karena pihak Agnia yang menolaknya. “Perusahaannya mengajukan proposal permohonan pendanaan pada perusahaanku.”
Gary kali ini tak dapat menekan rasa penasarannya. Ia perlahan duduk di sofa yang ada di dekatnya. “Dia tak tahu jika kau bekerja di sana?”
Nibras menggeleng perlahan.
“Kau sudah menyetujuinya?” tanya Gary lagi dan melihat sepupunya itu diam saja, ia sudah dapat menduga apa jawabannya seiring embusan napas kasar terlepas begitu saja.
“Apa kau yakin kau mampu bekerja sama dengannya? Keadaanmu itu tidak dapat dibilang normal, Bras.” Ucapan Gary yang terdengar sedikit kesal itu tak langsung dijawab oleh Nibras karena ia sendiri tak yakin akan keputusannya kemarin.
“Lalu, seberapa jauh perusahaanmu akan terlibat?” cecar Gary.
“Kau sudah paham bagaimana perusahaanku bekerja ‘kan,” gerutu Nibras menatap sepupunya jengkel.
“Kalau kau sudah tahu itu, kenapa kau menyetujuinya? Itu artinya kau akan terus bertemu dengannya selama minimal enam bulan secara intens untuk membersamai perusahaannya. Begitu ‘kan cara kerja kalian?”
Nibras berdecak kesal. Bukan karena ia tersudutkan, tetapi karena dirinya memutuskan tanpa berpikir panjang hingga tak ingat cara kerjanya sendiri.
“Jadi aku harus membatalkannya?” tanya Nibras sambil menatap Gary seakan membutuhkan bantuan untuk memutuskan.
"Kenapa bertanya padaku? Kau CEO nya!" Gary ingin sekali menggeplak kapala sepupunya yang terkadang berubah bodoh karena Agnia.
"Lagipula atas dasar apa kau menolak untuk membantu perusahaan itu? Karena dia mantan istrimu?” lanjut Gary karena Nibras masih saja terdiam.
“Ya… iya!” Alasan yang sepupunya berikan membuat Gary memutar kedua maniknya malas.
“Lalu kenapa kau menerimanya? Karena alasan yang sama?” tanya Gary yang kali ini sungguh penasaran dengan alasan yang akan diberikan.
Nibras hanya diam. Rasanya memang seperti itulah ia berpikir kemarin. Tiada alasan lain. Hanya ingin membuat Agnia berada di dekatnya sehingga ia dapat melakukan sesuatu agar mantan istrinya itu turut merasakan ketidaknyaman yang ia alami setelah perceraian itu.
“Kupikir kau adalah pria paling rasional yang pernah aku temui. Ternyata kau tetaplah tolol-”
“Jangan berlagak seperti itu! Aku betul-betul butuh masukan darimu!” seru Nibras memotong kalimat sepupunya yang sedang terkekeh.
“Kalau aku melarangmu untuk pergi apa kau akan menurutinya?” tanya Gary memecah kesunyian yang sempat terbentang, memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
Nibras kembali menatap ke arah sepupunya dan mereka saling bertukar tatapan cukup lama. “Kau melarangku sebagai apa? Psikiaterku? Atau sepupuku?”
Gary mengedikkan bahunya pelan. “Aku hanya mengkhawatirkanmu. Itu saja. Egomu itu tingginya mengalahkan Mount Everest tapi mentalmu terhadap Agnia tidak ada seciul pun dari ujung kuku-”
“Hey! Mana ada psikiater bicara seperti itu!” dengkus Nibras.
“Kalau begitu kali ini aku bicara sebagai sepupumu,” sahut Gary acuh.
“Dasar sepupu brengsek!” Umpatan Nibras membuat Gary kembali terkekeh.
Sebenarnya Gary ingin sekali menyuruh sepupunya untuk tetap tinggal, tetapi menurutnya Nibras memang sudah saatnya menghadapi Agnia secara langsung sebagai bentuk lain dari terapi kesembuhannya.
Pun menurut pengamatan Gary, Nibras masih dalam kondisi mampu untuk menguasai diri dengan baik meski bentuk pemberontakan dari dalam diri sepupunya adalah bersikap sangat jahat terhadap Agnia.
Karena penderitaan Agnia adalah kepuasan Nibras.
Gary berharap sisi tersebut tidak muncul selama mereka berinteraksi meski ia meragukannya karena melihat di awal saja Nibras sudah cukup terusik dengan kehadiran Agnia.
“Kau pergi?” tanya Gary memastikan saat melihat sepupunya itu berdiri. Anggukan kecil diberikan oleh Nibras.
“Bisa aku meminjam pakaianmu?” ucap Nibras yang hendak melangkah tetapi berhenti lagi dan tampak berpikir. “Ah, aku lupa. ‘Kau ‘kan tak punya pakaian yang pantas-”
“Sialan! Kau pikir aku semiskin itu!” sungut Gary sembari melempar Nibras dengan bantal sofa di dekatnya. “Apartemenmu saja yang bagus tetapi tetap saja kau datang ke sini untuk mencari ketenangan dan menyelesaikan masalahmu!”
Nibras terkekeh tanpa suara. Ia pun melangkahkan kaki menuju kamar sepupunya untuk membersihkan diri, bersiap menemui kliennya yaitu mantan istrinya sendiri.***
Lima belas menit sebelum pukul empat sore, Nibras sudah tiba di Delifore Cafe, tempat yang baru ia sadari menyimpan banyak kenangan dirinya bersama Agnia. Pria itu memilih duduk di sudut yang tidak banyak orang berlalu lalang hingga ia dapat bebas bercakap cakap nanti.Setelah memesankan dirinya segelas Iced Americano, Nibras membiarkan dirinya tenggelam begitu saja pada kepingan kenangan bersama Agnia yang masih tersimpan rapi dalam memori yang ingin ia kubur dalam-dalam.Pikirannya tiba-tiba kembali pada masa dimana dirinya bertemu dengan Agnia pertama kali. Di tempat ini.Ayahnya - Hakeem, menyuruhnya untuk segera menikah dan itu adalah syarat utama dan mutlak agar dirinya tetap dapat mempertahankan posisinya di bisnis keluarga.Merasa berhutang banyak dengan keluarga ayahnya dalam membesarkan dirinya, Nibras menyetujui tanpa banyak protes. Ditambah kenyataan bahwa ibunya meninggal saat melahirkan dirinya membuat pria itu semakin merasa bersalah pada sang ayah dan bertanggung jawab
“Are you out of your mind?!” Itulah reaksi pertama dari Agnia, yang seketika meluruhkan senyum di wajah Nibras. Agnia pun tersadar jika perkataannya terlalu kasar lalu segera mengucapkan maaf. “Apa maksudmu berkata seperti itu?” tanya Agnia setelah jeda beberapa saat. “Mungkin perlu saya ulangi-” Kalimat Nibras terhenti saat melihat Agnia mengangkat tangannya. Tatapan wanita itu tak dapat ia tangkap maksudnya. Namun, yang pasti Agnia tampak sangat kesal bukan main. “Kamu… kamu tidak serius, ‘kan?” Sekali lagi wanita itu bertanya, berharap mantan suaminya ini hanya bergurau. “Apa saya mengatakannya dengan nada bercanda, Nona Agnia?” Berusaha tampak tenang, Nibras meraih gelas kopi dari atas meja dan menyesapnya. Agnia menipiskan bibirnya. Seharusnya ia ambil saja gelas itu lebih dulu dan menyiramkan isinya ke wajah pria yang tampak menyebalkan ini. Nibras merasa seperti tengah berada di atas awan melihat reaksi yang diberikan oleh Agnia. Bagaikan baru mendapatkan angin segar seba
Suara deringan ponsel tak henti terdengar, menyeruak masuk ke indera pendengaran Nibras. Mau tak mau pria itu perlahan tersadar. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat.Suasana kamar yang gelap menyapa pengelihatannya meski masih separuh. Saat Nibras hendak menegakkan tubuh, pening segera menyerang kepalanya hingga ia cukup kesulitan untuk mendudukkan diri di pinggiran tempat tidur super luasnya itu.Dering ponselnya terhenti membuat Nibras bernapas lega tetapi tak sampai sedetik benda pipih itu kembali berbunyi. Menggeram kesal, ia bergerak meraihnya yang tergeletak di atas nakas."Halo," sapaya dengan suara khas bangun tidur tanpa melihat siapa nama pemanggil di layar."Anda baru bangun, Pak?" Begitu mendengar suara dari seberang, Nibras berdecak kesal. "Ada apa?" tanyanya ketus sembari memijit tengkuknya, berharap pusingnya berkurang."Bapak ingat ada janji untuk berbica
"Dia ... apa Anda menargetkan sesuatu padanya soal kerjasama ini?" tanya Nibras berusaha untuk berhati-hati agar tidak terlihat terlalu ingin tahu ataupun mencampuri urusan internal. "Agnia? Seingat saya tidak. Mengapa Anda bertanya?" "Anda tetap dengan rencana awal, bukan? Menempatkannya sebagai penanggung jawab pembangunan kantor cabang di sini," Nibras memastikan karena ia cukup kepikiran dengan kalimat yang Agnia katakan kemarin. "Tentu saja. Agnia merupakan kandidat terbaik yang kami miliki karena saya pikir ia akan mudah beradaptasi dengan kultur Indonesia secara ia memang berasal dari sana apalagi masalah komunikasi." Nibras mengangguk-angguk mendengar alasan yang Stuart berikan. “Anda tidak mengatakan sesuatu padanya tentang penanggung jawab pengganti atau semacamnya?” Pertanyaan Nibras yang di luar dugaan cukup menggelitik Stuart. "Sebenarnya, Agnia sempat meminta untuk mengirimkan pengganti dirinya.” Akhirnya pria paruh baya itu tak dapat menahan dirinya. “Well, saya mem
Entah berapa lama Agnia hanya memandangi lembaran kontrak yang ada di atas meja. Musik lembut yang menemani para pengunjung cafe di sore hari, tak mampu menenangkan hati wanita itu. Semakin waktu berjalan, debaran dalam dirinya malah semakin meningkat. “Nona.” Panggilan Gunawan mengejutkan Agnia hingga nyaris terlonjak di kursi. Ia segera mengangkat wajahnya, mendapati asisten mantan suaminya itu menatapnya sedikit khawatir. “Apa ada poin-poin yang ingin Nona ubah atau dihilangkan dari kontrak ini?” lanjut Gunawan dengan nada hati-hati. “Ah, tidak, tidak. Maafkan saya.” Bergegas Agnia meraih bolpoin yang ada di sebelah kontrak tersebut. “Di mana saya harus menandatanganinya?” “Nona sudah yakin dengan semua isinya?” Sang asisten bertanya lagi, kali ini diikuti maniknya yang menatap Agnia lekat. Meski tidak berkata apapun, ia merasa Gunawan menyuruhnya untuk berhati-hati. Mereka bertukar pandang dalam diam sampai akhirnya Agnia mengulas senyum tipisnya. “Saya sudah membahasnya
"Selamat pagi, Pak. Sudah siap untuk bekerja hari ini?" sapa Gunawan ramah saat Nibras masuk dan duduk di kursi penumpang belakang, sementara dirinya di belakang kemudi.Yang ditanya hanya berdeham pelan."Mau ke kantor dulu atau langsung ke FutureIt?" tanya sang asisten sembari melajukan mobil meninggalkan apartemen Nibras.Nibras pun berdecak, menatap sedikit kesal Gunawan melalui kaca spion tengah. "Kalau aku ke kantor untuk apa aku menyuruhmu menjemputku ke sini?"Gunawan hanya memamerkan cengiran tak berdosanya.Selama perjalanan, Nibras lebih banyak diam, tampak sibuk dengan tablet yang ada di tangannya meski Gunawan tahu, atasannya sedang tenggelam dengan pikirannya sendiri. Ia pun tak ingin menggangu dan membiarkan Nibras.Perjalan tak memakan waktu lama, hanya sekitar lima belas menit dari apartemen Nibras. Setelah memarkirkan kendaraan di depan lobi, keduanya pun segera masuk ke dalam gedung yang tak seberapa besar
Seketika Nibras menegang. Khawatir tak dapat lagi ia tahan hingga begitu tampak di wajahnya. Pria itu bahkan telah berdiri dari duduknya. “Di mana dia dirawat?”Bernard menatap ke arah Nibras, bertanya-tanya atas reaksi yang sedikit berlebihan dari Nibras secara pria ini tidak mengenal Agnia. Ia melihat sekilas ke arah Gunawan yang sudah tersenyum kikuk."Ehm." Bernard berdeham sebentar, berusaha tidak menampakkan keheranannya. "Agnia sedang istirahat di rumah saja. Kemarin menurut staf, ia jatuh pingsan dan dibawa ke IGD-""IGD?" Wajah Nibras semakin pasih. Ia nyaris balik badan dan pergi dari sana untuk mencari Agnia jika Gunawan tak menahannya. Bernard semakin kebingungan."Pak..." Sang asisten berbisik, menyentuh lengannya untuk menyuruhnya duduk kembali"But she's-""Pak!" Kali ini Gunawan berkata dengan tegas, tatapannya lekatnya sedikit mengingatkan.Nibras pun seketika tersadar akan sikapnya yang spontan dan tidak
Agnia meremas jemarinya hingga kukunya memutih. Tatapan Nibras begitu tajam terhunjam hingga membuatnya nyaris tak dapat bernapas dengan benar. Belum lagi sang mantan suami berdiri menjulang di sisi tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, begitu dekat dengannya membuat atmosfir di kamar itu semakin menyesakkan. Ia menyesal tidak mencegah Gunawan yang tadi pamit keluar hingga harus merasa begitu kikuk dan serba salah. “Duduklah,” pinta Agnia lirih, mengacu pada kursi yang ada di dekat Nibras. “Kenapa kau bisa sakit?” tanya Nibras, mengacuhkan permintaan Agnia. Tak lepas ia menatap lekat wanita itu. “Ya, bisa saja kalau sudah waktunya sakit!” sahut Agnia sembari menatap mantan suaminya sedikit kesal. Meski sedikit pasih, raut wajah Agnia yang merajuk itu tampak menggemaskan, nyaris membuat tawa Nibras terlepas. Beruntung ia cukup sigap untuk tetap bersikap datar. Ia mendekatkan diri ke ranjang hingga Agnia spontan memundurkan tubuhnya ke sisi lain kasur