Februari 2020 - 11:12 WIB di Pengadilan Agama
"Dengan ini, Mahkamah memutuskan bahwa perkawinan antara penggugat, Agnia Bakhtiar dan tergugat, Nibras Zubair Shadeeq telah putus karena perceraian. Kedua belah pihak diharapkan untuk mematuhi putusan ini dan bekerja sama demi kepentingan bersama."
Ketua hakim yang duduk di singgasananya itu mengayunkan palu, menandakan putusan yang baru saja diucapkannya menjadi sah menurut hukum yang berlaku.
"Untuk jadwal ikrar talak akan diputuskan selanjutnya dan diinformasikan pada pihak tergugat dan penggugat melalui kuasa hukum masing-masing. Dengan ini saya nyatakan sidang perceraian ini selesai."
Hakim yang bertugas beserta para pendampingnya pun segera berdiri lalu berjalan beriringan keluar ruangan diikuti dengan berdirinya para hadirin yang ada.
Sepeninggalan mereka, Nibras memutar tubuhnya ke arah Agnia. Wanita itu sedang berbincang dengan kuasa hukumnya terlihat hendak beranjak keluar.
"Kau pergi begitu saja?" tukas Nibras cepat-cepat, berharap dapat menahan Agnia barang sebentar. Entah mengapa ia tak ingin wanita itu berlalu begitu saja meski sidang telah selesai. Agnia memang menghentikan langkahnya.
Meski wanita itu membelakanginya, Nibras dapat melihat ia mengambil napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan, melalui pergerakkan bahunya yang kecil. Bahu yang sering ia rengkuh saat mereka tidur di setiap malam ...
Sialan!
Nibras mendengkus kasar tanpa sepengetahuan siapapun di ruangan itu.Perlahan, Agnia berbalik menghadap Nibras yang sedang berdiri menjulang dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana.
Pria itu menatap ke arah Agnia dengan tatapan yang ia sendiri tak dapat mengartikannya. Jujur selama dua tahun pernikahan, baru kali ini Nibras memandang dirinya dengan cara seperti itu.
"Ada apa?" tanya Agnia lalu memberi isyarat pada kuasa hukumnya agar keluar terlebih dahulu dari ruangan dan pria itu pun pamit.
"Waktuku tak banyak," lanjut wanita itu sembari melipat kedua lengannya ke dada.
Ya, waktu Agnia memang tidak banyak. Pukul tujuh malam nanti adalah jadwal penerbangannya ke Australia dan sekarang sudah tengah hari, ia belum selesai bersiap-siap.
Setelah Agnia menyatakan pada keluarganya bahwa ia ingin bercerai dari Nibras, Hadi Bakhtiar - ayahnya, segera memutuskan untuk mengirimnya ke Australia. Ia menduga tujuan ayahnya melakukan hal ini karena tidak ingin mendapat malu saat berita perceraiaan mereka tersebar.
Apapun alasannya, Agnia sudah tidak peduli lagi. Toh, selama 22 tahun ia hidup, ayahnya selalu saja begitu … membuangnya.
Nibras adalah salah satu pria tersohor di tanah air meski dirinya bukan selebriti. Siapa yang tidak kenal dengan keluarga Shadeeq yang sudah memiliki nama sebagai pengusaha sukses dan besar di tanah air?
Dengan fisik dan wajah rupawan yang dimiliki Nibras, pria itu semakin melejit ditambah dengan sederet pencapaian yang pria itu tunjukkan. Terutama saat menggaet perusahaan ayah Agnia yang terselematkan dari kebangkrutan.
"Kau mau kemana?" tanya Nibras masih saja dengan wajahnya yang datar, membuat Agnia perlahan menghela napas panjang diam-diam.
Kau ...
Senyum masam samar terulas begitu saja di bibir Agnia. Itu adalah kata yang akan Nibras tujukan padanya jika pria itu sedang menjaga jarak dan marah. Kata-kata itu telah Agnia dengar sejak ia menyodorkan surat cerai pada pria itu.
"Kita sudah bercerai. Buat apa kamu mau tahu? Dan apa pedulimu?" sahut Agnia tak kalah datar. Ia benci jika ternyata dirinya masih tersulut karena sikap Nibras yang seperti itu.
Nibras hanya diam. Masih menatapnya dengan pandangan yang semakin mengusik Agnia hingga perempuan itu memilih untuk melihat ke arah sepatu flatnya yang baru ia sadari itu adalah sepatu pemberian Nibras saat ia berulang tahun.
Sial, semoga saja pria itu tak menyadari kebodohan yang ia lakukan lalu salah menangkap maksudnya.
"Baiklah." Nibras tak ingin lagi menahan Agnia. "Perihal kompensasi akan dibahas lebih lanjut oleh kuasa hukum. Semoga harimu menyenangkan."
Lalu, Nibras meninggalkan Agnia begitu saja membuat kedua manik perempuan itu membulat.
Ditatapnya punggung lebar Nibras yang menjauh, dengan sungguh gemas hingga spontan menghentakkan kakinya.
"Dasar Nibras sialan! Semoga kita tidak akan pernah bertemu lagi!" rutuk perempuan itu sungguh-sungguh sembari mencebik.
***
2024
15:45 WIB - HS Funding & Investment Office. Ruang kerja CEO lantai 3Ketukan pelan di pintu tak membuat perhatian Nibras beralih dari proposal yang harus segera ia selesaikan untuk diajukan pada calon investor yang akan menanamkan sebagian harta mereka pada perusahaannya.
Pria itu tersadar jika belum memberi respon apapun saat ketukan kembali terdengar.
"Masuk," jawab Nibras singkat.
"Sore, Pak." Tak repot melihat ke tamu yang datang, Nibras tahu jika itu adalah suara dari asistennya, Gunawan.
CEO muda itu hanya berdeham pelan, kali ini menopang dagunya dengan dahi sedikit berkerut.
"Bapak tidak lupa jadwal meeting dengan perusahaan start up nanti jam empat, ‘kan?" tanya Gunawan sembari menyodorkan beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh atasannya.
Kerutan di dahi Nibras semakin dalam sambil menatap asistennya. "Meeting?"
Ganti Gunawan yang mengernyit lalu menghela napas panjang sangat pelan agar tak terlihat oleh mata awas Nibras. Padahal ini sudah ketiga kali ia mengingatkan tetapi sepertinya atasannya tetap saja lupa. Atau menganggap tak penting?
"Ya. Perusahaan startup application developer yang direkomendasikan tim research-"
"Ah! Itu!" Nibras seketika teringatkan diikuti napas lega Gunawan. Namun, kelegaan sang asisten hanya sebentar karena perkataan yang terlontar begitu enteng dari mulut atasannya.
"Kau saja yang menemuinya." Nibras sudah kembali berkutat dengan kertas-kertas yang ada di tangannya.
Gunawan pun tergugu. "Apa?"
Dengkusan sedikit kasar terlolos dari bibir Nibras seiring pria itu melepaskan kacamatanya lalu memijit pucuk hidungnya sebentar sebelum kembali menatap asistennya yang terlihat kebingungan sekaligus takut-takut.
"Kenapa? Ini bukan pertama kalinya kau melakukan sesuatu seperti ini untuk menggantikanku, ‘kan?" tanya Nibras menautkan jemarinya, tak lepas memandang Gunawan.
Pria lebih muda itu terlihat berpikir sebentar."I-iya sih, Pak…"
"Lalu ada masalah apa sehingga kau kelihatan terkejut saat aku menyuruhmu untuk menggantikanku ada pertemuan nanti?" potong Nibras dengan satu alis tebalnya terangkat.
Gunawan menenggak ludahnya perlahan. "Saya sih tak masalah. Hanya saja ... pihak mereka sudah menerima informasi jika Anda sendiri yang menemui perwakilan dari perusahaan mereka."
"Apa?" Nibras sedikit terkesiap karena tak pernah menerima pemberitahuan semacam itu.
"Sejak kapan kalian menjual namaku untuk hal-hal semacam itu?" Suara Nibras yang berat dan rendah, terdengar lagi membuat Gunawan sedikit ciut.
“Sebenarnya, ini … ini adalah kesalahan awal komunikasi dari tim kita dengan perusahaan tersebut, Pak. Saya juga baru saja mengetahuinya. Jadi-”
Nibras mendengkus sedikit kasar, menghentikan Gunawan berbicara. Pria itu meraih kacamata dan memakainya kembali. Ia melihat sekilas waktu yang ditunjukkan oleh jam tangannya. Hanya kurang dari sepuluh menit rapat itu akan dimulai.
Ditatapnya sang asisten sedikit tajam bercampur kesal. "Baik. Aku akan menemuinya tapi kau hutang makan malam yang sangat mahal padaku!"
Gunawan tak menyahut, hanya memamerkan sederetan giginya yang rapi dan putih melalui senyum lebar di wajah.
***
Nyaris mendekati waktu pertemuan, Nibras segera berpindah menuju ruang rapat. Saat duduk, ia meraih proposal perusahaan terkait yang sudah disiapkan oleh timnya di meja lalu membaca secara cepat.
Saat sampai di bagian profil, sekilas Nibras sempat membaca sebuah nama yang sepertinya familiar hingga membuat dahinya berkerut. Ia hendak mencari tahu lebih lanjut, tetapi sebuah ketukan dengan pintu terbuka membuat niatnya terhenti.
"Bapak, tamu Anda sudah datang." Suara Gunawan terdengar membuat Nibras meletakkan kembali proposal tersebut ke atas meja.
Pria itu bersiap untuk menyambut tamu tersebut seiring dirinya bangkit dari kursi. Ia pun menegakkan tubuhnya yang tegap serta mengulas senyum paling ramah yang ia miliki di wajah tampannya. Namun, dalam hitungan detik senyum itu meluruh ketika ia melihat orang yang sangat amat ia kenal berdiri di samping Gunawan.
"Ini Agnia Bakhtiar, Manajer Operasional dari FutureIt yang akan membahas kerjasama dengan Bapak."
Mantan istrinya. Seketika tubuh Nibras menegang.
***
Suasana hening dan canggung begitu terasa di ruang rapat itu. Agnia tak tahu harus berkata apa selain berusaha meredam rasa terkejutnya atas apa yang sedang terjadi.Di sisi lain, Nibras menatap tajam ke arah istrinya … ah, tidak - mantan istrinya, dengan dahi yang berkerut. Kedua lengannya yang cukup kekar terlipat ke dada sementara kaki panjangnya menyilang dengan pose yang seakan ingin menunjukkan jika dialah yang mengendalikan semua yang ada di tempat ini.Seketika perhatiannya tertuju pada jemari Agnia yang sedang saling meremas di atas pangkuan hingga kuku-kukunya memutih. Satu alis pria itu sedikit terangkat, karena masih mendapati kebiasaan istrinya .. ah, bukan - mantan istrinya masih sama. Meremas jemarinya sendiri di kala gugup.Dalam hati, Nibras merutuki dirinya karena harus berusaha lebih keras untuk membiasakan diri jika wanita di depannya ini sudah menjadi mantan. Ingat itu, MANTAN!Dari balik kacamatanya, manik Nibras sekarang naik pada paras wanita di depannya yang t
“Kemarin gak semangat, sekarang minta ketemu lagi,” cetus Gunawan yang sebenarnya ditujukan pada dirinya sendiri tetapi masih tertangkap jelas oleh Nibras yang sedang duduk di meja kerjanya, tidak jauh dari Gunawan.CEO muda itu menatap punggung sang asisten dari balik kacamata. Gunawan yang duduk di sofa ruang tamu ruangan itu tampak sibuk dengan ponselnya lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga.“Halo. Selamat pagi, Nona Agnia.” Sapaan dan senyum ramah sang asisten yang terdengar kemudian membuat Nibras semakin memicingkan kedua matanya dan menajamkan indera pendengaran. “Ah, ya. Maaf, soal kemarin. Sepertinya ada kesalahpahaman,” tukas Gunawan dengan nada menyesal.Nibras tak lagi fokus pada pekerjaan. Ia benar-benar memperhatikan asistennya secara penuh. Jika Gunawan dapat langsung menghubungi Agnia maka pria itu memiliki nomor mantan istrinya. Nibras mendengkus kasar dengan rahangnya yang sekilas mengetat saat menyadari hal tersebut.Detik berikutnya, Gunawan terpantau terta
Kedua manik Nibras terbuka lebar seiring dengan napasnya yang sedikit tersengal. Pria itu menegakkan diri sembari berusaha menenangkan gemuruh yang sedang berkecamuk dalam dada.Masih teringat jelas dalam benaknya mimpi yang baru saja terjadi. Dirinya sedang bercinta bersama Agnia dengan begitu panas dan intim, tampak saling mencintai. Setidaknya dirinyalah yang merasa seperti itu di dalam mimpi tersebut.Saat Nibras merasa hendak mencapai puncak kenikmatan, ia dapat mendengar bibir Agnia yang tadinya menyebut namanya dengan penuh desahan berubah mengucapkan kata yang seketika menyadarkan dirinya. "Ayo, cerai.""Sialan!" Nibras mendesis kesal lalu turun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi sembari melirik jam di atas meja kerja yang ada di dekat pintu penghubung ke balkon. Masih pukul tiga pagi. Pria itu tak berhenti mendumel sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi. Dilepaskannya pakaian lalu berdiri di bawah pancuran dan menyiram tubuhnya dengan air hangat, berusaha
Lima belas menit sebelum pukul empat sore, Nibras sudah tiba di Delifore Cafe, tempat yang baru ia sadari menyimpan banyak kenangan dirinya bersama Agnia. Pria itu memilih duduk di sudut yang tidak banyak orang berlalu lalang hingga ia dapat bebas bercakap cakap nanti.Setelah memesankan dirinya segelas Iced Americano, Nibras membiarkan dirinya tenggelam begitu saja pada kepingan kenangan bersama Agnia yang masih tersimpan rapi dalam memori yang ingin ia kubur dalam-dalam.Pikirannya tiba-tiba kembali pada masa dimana dirinya bertemu dengan Agnia pertama kali. Di tempat ini.Ayahnya - Hakeem, menyuruhnya untuk segera menikah dan itu adalah syarat utama dan mutlak agar dirinya tetap dapat mempertahankan posisinya di bisnis keluarga.Merasa berhutang banyak dengan keluarga ayahnya dalam membesarkan dirinya, Nibras menyetujui tanpa banyak protes. Ditambah kenyataan bahwa ibunya meninggal saat melahirkan dirinya membuat pria itu semakin merasa bersalah pada sang ayah dan bertanggung jawab
“Are you out of your mind?!” Itulah reaksi pertama dari Agnia, yang seketika meluruhkan senyum di wajah Nibras. Agnia pun tersadar jika perkataannya terlalu kasar lalu segera mengucapkan maaf. “Apa maksudmu berkata seperti itu?” tanya Agnia setelah jeda beberapa saat. “Mungkin perlu saya ulangi-” Kalimat Nibras terhenti saat melihat Agnia mengangkat tangannya. Tatapan wanita itu tak dapat ia tangkap maksudnya. Namun, yang pasti Agnia tampak sangat kesal bukan main. “Kamu… kamu tidak serius, ‘kan?” Sekali lagi wanita itu bertanya, berharap mantan suaminya ini hanya bergurau. “Apa saya mengatakannya dengan nada bercanda, Nona Agnia?” Berusaha tampak tenang, Nibras meraih gelas kopi dari atas meja dan menyesapnya. Agnia menipiskan bibirnya. Seharusnya ia ambil saja gelas itu lebih dulu dan menyiramkan isinya ke wajah pria yang tampak menyebalkan ini. Nibras merasa seperti tengah berada di atas awan melihat reaksi yang diberikan oleh Agnia. Bagaikan baru mendapatkan angin segar seba
Suara deringan ponsel tak henti terdengar, menyeruak masuk ke indera pendengaran Nibras. Mau tak mau pria itu perlahan tersadar. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat.Suasana kamar yang gelap menyapa pengelihatannya meski masih separuh. Saat Nibras hendak menegakkan tubuh, pening segera menyerang kepalanya hingga ia cukup kesulitan untuk mendudukkan diri di pinggiran tempat tidur super luasnya itu.Dering ponselnya terhenti membuat Nibras bernapas lega tetapi tak sampai sedetik benda pipih itu kembali berbunyi. Menggeram kesal, ia bergerak meraihnya yang tergeletak di atas nakas."Halo," sapaya dengan suara khas bangun tidur tanpa melihat siapa nama pemanggil di layar."Anda baru bangun, Pak?" Begitu mendengar suara dari seberang, Nibras berdecak kesal. "Ada apa?" tanyanya ketus sembari memijit tengkuknya, berharap pusingnya berkurang."Bapak ingat ada janji untuk berbica
"Dia ... apa Anda menargetkan sesuatu padanya soal kerjasama ini?" tanya Nibras berusaha untuk berhati-hati agar tidak terlihat terlalu ingin tahu ataupun mencampuri urusan internal. "Agnia? Seingat saya tidak. Mengapa Anda bertanya?" "Anda tetap dengan rencana awal, bukan? Menempatkannya sebagai penanggung jawab pembangunan kantor cabang di sini," Nibras memastikan karena ia cukup kepikiran dengan kalimat yang Agnia katakan kemarin. "Tentu saja. Agnia merupakan kandidat terbaik yang kami miliki karena saya pikir ia akan mudah beradaptasi dengan kultur Indonesia secara ia memang berasal dari sana apalagi masalah komunikasi." Nibras mengangguk-angguk mendengar alasan yang Stuart berikan. “Anda tidak mengatakan sesuatu padanya tentang penanggung jawab pengganti atau semacamnya?” Pertanyaan Nibras yang di luar dugaan cukup menggelitik Stuart. "Sebenarnya, Agnia sempat meminta untuk mengirimkan pengganti dirinya.” Akhirnya pria paruh baya itu tak dapat menahan dirinya. “Well, saya mem
Entah berapa lama Agnia hanya memandangi lembaran kontrak yang ada di atas meja. Musik lembut yang menemani para pengunjung cafe di sore hari, tak mampu menenangkan hati wanita itu. Semakin waktu berjalan, debaran dalam dirinya malah semakin meningkat. “Nona.” Panggilan Gunawan mengejutkan Agnia hingga nyaris terlonjak di kursi. Ia segera mengangkat wajahnya, mendapati asisten mantan suaminya itu menatapnya sedikit khawatir. “Apa ada poin-poin yang ingin Nona ubah atau dihilangkan dari kontrak ini?” lanjut Gunawan dengan nada hati-hati. “Ah, tidak, tidak. Maafkan saya.” Bergegas Agnia meraih bolpoin yang ada di sebelah kontrak tersebut. “Di mana saya harus menandatanganinya?” “Nona sudah yakin dengan semua isinya?” Sang asisten bertanya lagi, kali ini diikuti maniknya yang menatap Agnia lekat. Meski tidak berkata apapun, ia merasa Gunawan menyuruhnya untuk berhati-hati. Mereka bertukar pandang dalam diam sampai akhirnya Agnia mengulas senyum tipisnya. “Saya sudah membahasnya
Nibras menarik napas panjang, menekan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan senyum tipis namun penuh kendali, ia menoleh ke arah Agnia. "Agnia, mari ke meja VVIP. Ada beberapa tamu penting yang ingin kuperkenalkan padamu."Agnia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Bernard yang masih berdiri di sampingnya. Bernard, yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu-ragu."Aku... sebaiknya?" gumam Bernard pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri apakah ia harus ikut.“Tidak perlu, Bernard. Aku rasa kau akan lebih nyaman menikmati suasana di sini. Ada banyak hidangan dan minuman yang bisa kau nikmati,” ujar Nibras cepat, menatap Bernard dengan senyum formal yang tajam seperti pisau.Tanpa menunggu jawaban, Nibras menyentuh punggung Agnia ringan, mengarahkannya untuk berjalan bersamanya. Bernard mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada sedikit keraguan di matanya. Ia mundur selangkah, menyembunyikan rasa kikuknya di balik senyuman. "Baiklah, Pak Nibras. Selamat menikmati
Agnia melangkah memasuki ballroom yang megah dengan tatapan terpana. Gedung ini bukan sembarang tempat. Hanya kalangan atas yang bisa menyewa gedung sebesar ini, dan tentu saja, HS Group adalah salah satunya.Segala sesuatunya terlihat luar biasa. Lampu kristal yang menggantung tinggi, langit-langit yang dipenuhi ornamen indah, serta orang-orang yang mengenakan pakaian mewah, semuanya seakan mengundang rasa takjub.Agnia memandang sekelilingnya dengan mata terbuka lebar. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit cemas menyusup di hati.Agnia tahu betul, acara seperti ini dihadiri oleh orang-orang berpengaruh. Masing-masing tamu berlomba untuk menarik perhatian dan memperkenalkan diri. Mereka mengenakan pakaian yang mencolok, dengan aksesori mewah dan tatapan tajam, seakan-akan ingin menunjukkan siapa diri mereka.Tapi, Agnia berbeda. Dia memilih untuk tampil dengan sederhana. Dengan gaun satin champagne yang elegan, dipadukan dengan perhiasan minimalis yang hanya
Agnia menggigit bibirnya, merasa sedikit kikuk sekaligus tertarik. “Aku... tidak ingin merepotkanmu,” katanya pelan, lalu menambahkan, “Aku pikir kau tak tertarik untuk datang.” Bernard terkekeh pelan, masih bersandar di pintu. “Sepertinya kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk memutuskan sendiri,” katanya, nadanya setengah bercanda namun ada kejujuran yang jelas. “Jadi, bagaimana? Boleh aku menemanimu malam ini?” Agnia merasa pipinya sedikit memerah, tapi ia mengangguk perlahan, merasakan kehangatan di balik sorot mata Bernard yang tampak lebih lembut dari biasanya. “Tentu… kalau kau benar-benar mau ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil, dan tiba-tiba saja malam yang ia pikir akan terasa biasa-biasa saja berubah menjadi lebih spesial. Bernard tersenyum, menatap Agnia sejenak sebelum berkata, “Baiklah, Agnia. Kalau begitu, mari kita pergi.” *** Selama perjalanan menuju gedung pencakar langit tempat acara tersebut diadakan, Agnia semakin merasa cemas. Tubuhnya te
Agnia tiba di rumah tanpa hambatan di jalan. Begitu masuk, ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan teliti.Matanya melirik ke cermin, sedikit terkejut saat menyadari betapa detilnya ia merapikan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya tak boleh sedikit pun kurang sempurna. Selesai mandi, ia memakaikan tubuhnya dengan jubah mandi, lalu mulai membongkar lemarinya.Di sana, Agnia mencari-cari gaun yang cocok untuk pesta perusahaan Nibras malam ini—acara mewah yang jelas akan dipenuhi oleh para petinggi bisnis. Ia tahu ini kesempatan penting, bukan hanya untuk tampil, tapi untuk memperluas koneksi. Nyaris setengah jam berlalu, kamar yang awalnya rapi kini penuh dengan tumpukan gaun yang ia coba dan singkirkan satu per satu. Gaun-gaun warna-warni tergeletak di mana-mana, sementara Agnia berdiri di depan cermin dengan wajah bingung, menghela napas berat.“Astaga, kenapa rasanya tidak ada yang cocok?” gumamny
Rapat mingguan baru saja selesai, dan Agnia melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Langkah kakinya terdengar tegas. Suara sepatu yang bersinggungan dengan lantai kantornya nyaris berdebum, seakan waktu tak memberinya kesempatan untuk sekadar menoleh.Bernard, yang duduk di kursi tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda dari Agnia hari ini—langkahnya tergesa-gesa, wajahnya sedikit tegang, dan jemarinya bahkan tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tali tas yang tersampir di bahunya.Tak biasanya Agnia bersikap demikian.Bernard, yang merasa terpanggil oleh rasa ingin tahu, berdiri dan melangkah cepat, mensejajarkan langkahnya dengan Agnia yang seakan tak melihat kehadirannya di samping.“Kau tergesa-gesa sekali, Agnia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba melumerkan suasana. “Apa ada masalah yang sedang terjadi?”Agnia hanya menghela napas, mengangkat bahunya tanpa menatap Bernard. Tangannya y
“Ada beberapa perkembangan terbaru yang ingin aku laporkan mengenai perusahaan konstruksi kita.” Lyman membuka pembicaraan, suaranya tenang penuh keyakinan. “Setelah mengalami kemacetan finansial beberapa waktu lalu, perusahaan kita mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Aku telah melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan HB Construction kembali ke jalur yang benar.”Anderson mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Lyman. Tiara, di sisi lain, tampak lebih khawatir, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik wajahnya yang tenang. Mereka berdua tahu betapa pentingnya stabilitas finansial bagi perusahaan tersebut, dan kabar tentang perkembangan perusahaan itu tentu menjadi hal yang penting.“Aku juga sudah mendapatkan sumber dana tambahan yang akan sangat membantu kita ke depan,” lanjut Lyman, nada suaranya penuh percaya diri. “Nibras, mantan suami Agnia, telah setuju untuk mendanai perusahaan kita. Dengan begitu, uang yang masuk dari dia akan menjadi keuntungan
Gunawan terpana sejenak, bingung dengan perubahan mendadak ini. "Tapi, Pak, acara sebesar itu memerlukan persiapan yang cukup panjang. Kita perlu waktu lebih dari seminggu untuk mengatur semuanya."Nibras berdiri dari kursinya, menghampiri Gunawan dengan sorot mata yang tajam. "Kita tidak punya waktu untuk itu. Aku ingin acara ini terjadi minggu depan, apapun caranya. Jika perlu, libatkan semua staf dan sumber daya yang kita miliki. Ini bukan tentang ulang tahun perusahaan, Gunawan. Ini lebih dari itu."Gunawan hanya bisa mengangguk, meskipun masih diliputi oleh rasa tak percaya dan dongkol tentu saja. Ia tak percaya atasannya akan memutuskan sesuatu yang cukup besar hanya karena mengedepankan ego semata.Setelah Gunawan pergi untuk memulai persiapan, Nibras duduk kembali di kursinya, membiarkan pikiran-pikiran liar berputar di kepalanya.Pria itu tahu bahwa keputusannya ini berisiko, namun dia juga sadar bahwa kesempatan untuk mendekatkan dirinya kembali pada Agnia mungkin tidak akan
Ucapan Agnia terasa dingin, menegaskan batasan yang jelas antara mereka. Nibras tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sikap Agnia yang tegas dan penuh percaya diri.Pria itu ingat betul, inilah salah satu alasan mengapa ia semakin tertarik pada wanita ini. Agnia berubah menjadi wanita yang kuat, dan kekuatan itulah yang selalu membuat Nibras tertantang.Namun, di balik kekagumannya, Nibras tidak bisa menahan diri untuk tidak merencanakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan bisnis.Dia ingin melihat apakah dia masih memiliki kekuasaan atas Agnia, atau setidaknya, apakah dia masih bisa mempengaruhinya seperti dulu.“Baiklah,” Nibras menjawab, meski di dalam hatinya dia tidak berniat untuk sepenuhnya mematuhi permintaan Agnia. “Mari kita mulai.”***Pertemuan antara HS Funding & Investment dengan FutureIt berjalan tanpa hambatan. Nibras memimpin rapat dengan ketenangan yang nyaris tak tertandingi, menyingkirkan semua potensi gangguan pribadi.Pikirannya yang biasanya dipenuhi
Mendengar itu, Agnia tersentak, matanya melebar. Ia menatap Bernard dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sejenak, ruangan itu terasa semakin sunyi.Waktu seakan berhenti, dan hanya ada mereka berdua di sana, terjebak dalam percakapan yang tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar diskusi pekerjaan.Bernard tahu, dengan mengucapkan kalimat itu, ia baru saja melangkah ke wilayah yang belum pernah ia sentuh sebelumnya.Namun, entah mengapa, ia merasa lega. Mungkin karena akhirnya ia berani mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam.Agnia, masih terdiam, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kalimat Bernard bukan hanya sebuah pengakuan, tetapi juga sebuah tantangan yang membuatnya berpikir lebih dalam.Ia tahu, perasaannya terhadap Bernard adalah campuran antara kekaguman dan rasa hormat, tetapi apakah itu cukup untuk menjadi sesuatu yang lebih?“Bernard, aku…” Agnia terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. “Kau tahu, aku tidak pernah mudah