"Gimana keadaan Mama, Pa?"Ayah Nindy yang sejak tadi duduk di sofa ruangan istrinya menoleh pada putrinya yang baru saja datang. Selain Ayahnya, ada adik Nindy juga di sana."Mama lagi tidur," jawab Ayah Nindy. "Kita bicara sebentar di luar." Sebelum keluar dari sana, Ayah Nindy meminta putri bungsunya untuk menjaga sementara istrinya."Pa, ada apa sebenarnya? Kenapa Mama tiba-tiba masuk rumah sakit?" tanya Nindy dengan heran setelah berada di luar ruangan ibunya.Bagaimana tidak heran, pagi tadi saat dia akan berpamitan berangkat kerja, ibunya tampak sehat-sehat saja. Dia bahkan mengingatkan dirinya untuk segera pulang setelah selesai bekerja agar mereka bisa berbicara."Papa juga nggak tau. Papa belum sempat tanya sama Mama. Tadi papa cuma dihubungi pihak rumah sakit dan diminta untuk segera datang ke sini," jawab Ayah Nindy setelah menghela napas. "Kalau bisa, kamu jangan singgung dulu soal Billy dan perjodohan itu," nasehat Ayah Nindy. "Kamu tahu sendiri, jantung Mama kamu lema
"Baik, Dok. Terima kasih."Setelah dokter itu keluar dari ruangan, Nindy beralih pada ibunya yang sedang berbaring di ranjang pasien. Baru saja dokter melakukan kunjungan dan pemeriksaan pada ibunya."Ma, dengar kata dokter, Mama nggak boleh banyak pikiran, makannya harus dijaga, dan nggak boleh kecapean. Harus banyak istirahat."Bukannya menanggapi ucapan putrinya, Gauri justru membahas hal lain. "Kamu udah mikirkan permintaan mama yang semalam? Kamu setuju menikah sama Denis, kan?"Rasanya, Nindy ingin sekali menolak dengan tegas permintaan ibunya itu, tapi dia takut mengganggu kesehatan ibunya. "Ma, kasih aku waktu untuk berpikir. Aku—""Apa sebegitu berat kami mengabulkan permintaan mama?" potong Gauri dengan suara lemah. Ada pancaran kekecewaan yang sempat Nindy tangkap dari sorot mata ibunya ketika keduanya beradu pandang."Ma, kita bahas itu nanti setelah kondisi mama membaik. Kata Dokter mama nggak boleh stres dan banyak pikiran.""Kalau kamu tetap menjalin hubungan sama Billy
Nindy berusaha untuk menahan air mata yang kembali mendesak keluar setelah dirinya menatap wajah Billy. "Aku minta maaf karena nggak bisa lanjutin hubungan kita lagi. Aku mau kita putus."Tubuh Billy menjadi kaku selama beberapa detik sebelum akhirnya dia tersadar kembali dan menatap Nindy dengan senyuman dipaksakan. "Jangan bercanda, Sayang. Aku nggak suka dengan candaanmu itu.""Aku serius, Bill. Aku ingin mengakhiri hubungan kita."Rasa kecewa dan marah seketika berkumpul di dalam dada Billy. "Kenapa?" tanyanya dengan suara yang terdengar pelan. Namun, seperti ditekan, seolah-olah saat ini Billy sedang menahan sesuatu dalam dirinya. "Kenapa kamu tiba-tiba minta putus?"Air mata Nindy kembali merembes di pipinya melihat Billy tampak kecewa dengan keputusannya. "Orang tuaku nggak setuju dengan hubungan kita. Mereka sudah menjodohkan aku dengan laki-laki lain. Mereka mau aku mau menikah sama laki-laki itu.""Jadi, kamu setuju menikah sama laki-laki itu?" Suara Billy terdengar bergetar
"Hei, ada apa dengan tanganmu?" Angga menoleh pada Billy yang sedang mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara. Jemari telunjuk dan tengahnya tampak mengapit sebatang rokok, ada luka robek di telapak bawahnya serta punggung tangannya, meninggalkan jejak darah yang sudah mulai mengering di sana. "Apa kau habis berlatih tinju dan menjadikan tembok sebagai sasarannya?" Saat ini, keduanya sedang berada di lounge bar hotel berbintang yang terkenal di Jakarta Selatan. Billy tiba-tiba saja menghubunginya dan meminta untuk menemaninya minum ketika dia baru saja tiba di apartemen. "Aku butuh bantuanmu." "Apa?" "Bantu aku cara informasi seseorang," jawab Billy setelah mengepulkan asap kembali ke udara. "Namanya, akan kukirimkan lewat pesan." "Beritahu aku dulu, ada apa denganmu?" Sejak Billy datangan, raut wajahnya tampak begitu muram, dia pun datang dalam keadaan berantakan. Dua kancing kemeja teratasnya sudah terbuka dan lengan kemejanya digulung asal sampai batas siku. "Nindy mem
"Sayang, ayo, makan. Ini udah jam 3 sore. Kamu belum makan dari pagi "Gauri mencoba membujuk putrinya setelah duduk di tepi ranjang. Nindy akhirnya mau membuka kamar setelah dia mengetuk selama kurang lebih 5 menit."Nindy belum laper, Ma."Gauri terdiam selama beberapa detik setelah menghela napas. Dia menatap putrinya yang sedang berbaring dengan memunggunginya dengan perasaan iba dan bersalah. Meskipun Nindy berusaha menyembunyikan wajahnya ketika membuka pintu, tapi dia bisa melihat jejak air mata dan wajah sembabnya sekilas."Kamu mogok makan karena marah sama mama?" Gauri kembali angkat bicara setelah sebelumnya sempat terdiam."Nggak, Ma. Nindy cuma memang lagi males makan."Padahal, memang itulah penyebab dia tidak bernapsu makan."Nin, mama lakuin ini karena mama sayang sama kamu. Mama nggak mau kamu disakitin lagi sama Billy. Dia itu—"Tiba-tiba saja Nindy berbalik. "Ma, tolong jangan ungkit masalah Billy lagi. Apalagi sampai menjelekkannya. Aku udah setuju untuk menerima p
“Bik, Mama sama Papa di mana?”Nindy akhirnya keluar dari kamar setelah jam menunjukkan pukul 8 malam. “Ada di ruangan tamu, Non.”“Tamunya belum pulang dari tadi?”“Tamunya malah baru dateng, Non.”Nindy mengernyitBaru datang? Seingatnya, Denis sudah datang sejak tadi.Kerutannya di dahinya perlahan menghilang.Mungkin itu orang tuanya yang baru datang. “Ya, udah. Tolong makanan yang di kamar dibawa keluar ya, Bik?” ujarnya dengan suara lemah.Sampai saat ini, Nindy belum juga mengisi perutnya. Bukannya sengaja untuk tidak makan, tapi dia memang merasa tidak napsu makan. Melihat makanan sama sekali tidak menggugah seleranya. Padahal, dia sudah merasakan perih menjalar sampai ke bagian dadanya.“Mau Bibik bawakan makan yang baru, Non?” tawar Bik Sri. "Muka Non, pucet banget, pasti karena belum makan dari kemarin malam."Padahal, itu makanan baru saja dia antar pukul 7 malam tadi atas perintah dari Ibu Nindy karena putrinya itu tidak kunjung turun untuk makan malam. Dia sudah mencoba
Merasa yang dilihatnya tidak nyata, Nindy kembali memejamkan matanya. Ketika merasakan sentuhan lembut di pipinya, tanpa sadar dia meraih tangan itu tanpa membuka mata, kemudian mendekapnya. “Walaupun ini cuma mimpi, tapi aku mau mimpi ini nggak cepat berakhir.” Kembali dia berguman dalam hati dengan mata terpejam. “Sayang, bangun dulu. Kamu harus makan dulu." Saat mendengar suara itu menggema di telinganya, Nindy mengerutkan kening. Namun, matanya masih tertutup. “Kalau kamu nggak buka mata, aku lebih baik pulang.” Seketika itu juga Nindy membuka mata. “Kenapa kelihatan nyata banget,” monolog Nindy seraya bangun dari tidurnya. “Kayak bukan mimpi, dia mirip banget sama Billy yang asli,” lanjutnya dengan tatapan bingung. “Ini memang aku, Sayang.” Begitu mendengar itu, Nindy mengerjap beberapa kali. Dia terlihat linglung sesaat, sebelum akhirnya mengangkat tangan dan perlahan menyentuh wajah pria itu. ”Kamu masih nggak percaya kalau ini aku?” ujar pria itu setelah tersenyum manis
“Aku udah selesai makan.” Nindy meletakkan piring di atas nakas, kemudian menatap Billy dengan serius. “Sekarang kasih tahu aku semuanya, ceritain dari awal.” Billy terdiam sebentar, kemudian berkata, “Minum obat kamu dulu.” Nindy memutar tubuhnya ke kiri, meraih obat yang ada di atas nakas, kemudian meminumnya dengan cepat. “Udah.” “Kemarin aku pergi ke kantor papa kamu setelah minta Angga untuk mencari di mana keberadaan kantor papamu. Di sana aku ...” Di sana, Billy langsung mengutarakan maksud kedatangannya setelah dipersilahkan duduk oleh Ayah Nindy. Billy mengatakan kalau dirinya ingin mengetahui apa alasan orang tua Nindy tidak merestui hubungannya dengan Nindy dan justru menjodohkan Nindy dengan orang lain. Ayah Nindy pun memberitahu kalau sebelum istrinya masuk rumah sakit, ada seseorang yang menghubunginya dan mengajaknya bertemu. Awalnya, Ibu Nindy tidak ingin meladeninya karena dia tidak mengenal orang yang mengirimkan pesan. Namun, setelah Shela memperkenalkan diri s