Nindy berusaha untuk menahan air mata yang kembali mendesak keluar setelah dirinya menatap wajah Billy. "Aku minta maaf karena nggak bisa lanjutin hubungan kita lagi. Aku mau kita putus."Tubuh Billy menjadi kaku selama beberapa detik sebelum akhirnya dia tersadar kembali dan menatap Nindy dengan senyuman dipaksakan. "Jangan bercanda, Sayang. Aku nggak suka dengan candaanmu itu.""Aku serius, Bill. Aku ingin mengakhiri hubungan kita."Rasa kecewa dan marah seketika berkumpul di dalam dada Billy. "Kenapa?" tanyanya dengan suara yang terdengar pelan. Namun, seperti ditekan, seolah-olah saat ini Billy sedang menahan sesuatu dalam dirinya. "Kenapa kamu tiba-tiba minta putus?"Air mata Nindy kembali merembes di pipinya melihat Billy tampak kecewa dengan keputusannya. "Orang tuaku nggak setuju dengan hubungan kita. Mereka sudah menjodohkan aku dengan laki-laki lain. Mereka mau aku mau menikah sama laki-laki itu.""Jadi, kamu setuju menikah sama laki-laki itu?" Suara Billy terdengar bergetar
"Hei, ada apa dengan tanganmu?"Angga menoleh pada Billy yang sedang mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara. Jemari telunjuk dan tengahnya tampak mengapit sebatang rokok, ada luka robek di telapak bawahnya serta punggung tangannya, meninggalkan jejak darah yang sudah mulai mengering di sana."Apa kamu habis berlatih tinju dan menjadikan tembok sebagai sasarannya?"Saat ini, keduanya sedang berada di lounge bar hotel berbintang yang terkenal di Jakarta Selatan. Billy tiba-tiba saja menghubunginya dan meminta untuk menemaninya minum ketika dia baru saja tiba di apartemen."Aku butuh bantuanmu.""Apa?""Bantu aku cara informasi seseorang," jawab Billy setelah mengepulkan asap kembali ke udara. "Namanya, akan kukirimkan lewat pesan.""Beritahu aku dulu, ada apa denganmu?"Sejak Billy datangan, raut wajahnya tampak begitu muram, dia pun datang dalam keadaan berantakan. Dua kancing kemeja teratasnya sudah terbuka dan lengan kemejanya digulung asal sampai batas siku."Nindy memutuskan
"Sayang, ayo, makan. Ini udah jam 3 sore. Kamu belum makan dari pagi "Gauri mencoba membujuk putrinya setelah duduk di tepi ranjang. Nindy akhirnya mau membuka kamar setelah dia mengetuk selama kurang lebih 5 menit."Nindy belum laper, Ma."Gauri terdiam selama beberapa detik setelah menghela napas. Dia menatap putrinya yang sedang berbaring dengan memunggunginya dengan perasaan iba dan bersalah. Meskipun Nindy berusaha menyembunyikan wajahnya ketika membuka pintu, tapi dia bisa melihat jejak air mata dan wajah sembabnya sekilas."Kamu mogok makan karena marah sama mama?" Gauri kembali angkat bicara setelah sebelumnya sempat terdiam."Nggak, Ma. Nindy cuma memang lagi males makan."Padahal, memang itulah penyebab dia tidak bernapsu makan."Nin, mama lakuin ini karena mama sayang sama kamu. Mama nggak mau kamu disakitin lagi sama Billy. Dia itu—"Tiba-tiba saja Nindy berbalik. "Ma, tolong jangan ungkit masalah Billy lagi. Apalagi sampai menjelekkannya. Aku udah setuju untuk menerima p
“Bik, Mama sama Papa di mana?”Nindy akhirnya keluar dari kamar setelah jam menunjukkan pukul 8 malam. “Ada di ruangan tamu, Non.”“Tamunya belum pulang dari tadi?”“Tamunya malah baru dateng, Non.”Nindy mengernyitBaru datang? Seingatnya, Denis sudah datang sejak tadi.Kerutannya di dahinya perlahan menghilang.Mungkin itu orang tuanya yang baru datang. “Ya, udah. Tolong makanan yang di kamar dibawa keluar ya, Bik?” ujarnya dengan suara lemah.Sampai saat ini, Nindy belum juga mengisi perutnya. Bukannya sengaja untuk tidak makan, tapi dia memang merasa tidak napsu makan. Melihat makanan sama sekali tidak menggugah seleranya. Padahal, dia sudah merasakan perih menjalar sampai ke bagian dadanya.“Mau Bibik bawakan makan yang baru, Non?” tawar Bik Sri. "Muka Non, pucet banget, pasti karena belum makan dari kemarin malam."Padahal, itu makanan baru saja dia antar pukul 7 malam tadi atas perintah dari Ibu Nindy karena putrinya itu tidak kunjung turun untuk makan malam. Dia sudah mencoba
"Nin, tunggu!"Billy mencengkram tangan Nindy ketika kekasihnya itu terus berjalan tanpa memperdulikan panggilan darinya."Lepas!" Nindy menghempaskan tangan Billy dengan kuat dengan mata yang menyala.Billy nampak terkejut melihat reaksi berlebih yang ditunjukkan oleh Nindy, terlebih saat melihat raut wajah dingin kekasihnya. Dia sempat tertegun, sebelum akhirnya menunduk dan menatap dengan heran ke arah gadis yang berstatus sebagai kekasihnya itu."Kenapa beberapa hari ini kamu menghindar dan nggak pernah merespon pesan atau panggilan dari aku?"Nindy yang sejak tadi memalingkan wajahnya ke samping, akhirnya beralih menatap Billy dengan sorot mata dinginnya. "Bukannya kamu duluan yang menghindari aku sebelumnya?"Kamu?Billy mengerutkan keningnya.Nindy tidak pernah sekali pun memanggilnya dengan kata itu. Biasanya, dia akan memanggilnya dengan sebutan "Kakak" atau "Kak" padanya."Aku nggak bermaksud menghindari kamu. Aku cuma lagi ada masalah aja waktu itu," terang Billy lembut. "Ak
"Gimana kalau aku nggak mau putus sama kamu?" Tatapan keduanya saling bertabrakan selama beberapa detik, sebelum akhirnya Nindy memalingkan wajahnya ke arah lain."Aku nggak butuh persetujuan kamu. Setuju atau nggak, aku sama sekali nggak peduli."Seketika itu juga, api kemarahan berkobar di iris coklat Billy. Dia menggertakkan giginya, lalu berkata dengan sorot mata menyala, "Nindy, kamu pikir kamu siapa? Apa kamu kira bisa mainin aku sesuka hati kamu?" Nada bicaranya terdengar sangat dingin, bahkan tubuh Nindy langsung gemetar setelah mendengar ucapan Billy.Dia memang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Billy. Billy memiliki latar belakang keluarga yang hebat dan bukan berasal dari keluarga biasa, Nindy pun tahu itu, tapi dia tidak bisa diam saja dan membiarkan harga dirinya diinjak-injak oleh pria itu."Tentu aja aku bisa," jawab Nindy dengan arogan. "Dengarin aku baik-baik, Bill. Aku yang mencampakkan kamu, bukan kamu yang mencampakkan aku. Jadi, mulai sekarang jangan pern
"Kenapa berhenti?" tanya Dewi dengan heran sambil menoleh pada Nindy yang nampak mematung di tempat.Nindy tidak menjawab, tatapannya terus tertuju pada pria tinggi itu, tapi sayangnya pria itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil terus berjalan melewatinya.Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada sedikit pun senyuman di bibirnya ketika mereka bertemu pandang tadi. Bahkan, pria itu terkesan tidak peduli dan acuh tak acuh ketika melewatinya, seolah mereka berdua tidak mengenal satu sama lain. Pria itu adalah Billy Sanjaya, mantan kekasih yang dia putuskan 6 tahun lalu."Nin." Dewi menyentuh tangan Nindy saat melihatnya diam saja. Melihat Nindy masih mematung, akhirnya Dewi mengikuti arah pandangan Nindy, baru saat itu dia mengerti apa yang membuat teman kerjanya itu terdiam."Gimana? Pak Billy ganteng, kan?" tanya Dewi dengan senyuman genitnya. "Aku, kan, udah aku bilang kalau yang ini beda. Ini beneran ganteng banget."Nindy buru-buru berjalan ke toilet tanpa menjawa
“Nona Nindy, sebelum kita membicarakan masalah pekerjaan, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terlebih dahulu.” Ucapan Billy akhirnya memecah keheningan yang sempat melanda keduanya setelah kepergian Pak Edwin.“Baik, Pak,” ujar Nindy dengan tegas. Sebisa mungkin dia bersikap tenang, meskipun itu sangat sulit baginya, karena ingatan di masa lalu kembali bermunculan saat berada di dekat pria itu.“Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?” Saat Billy melontarkan pertanyaan itu, dia tidak menatap Nindy, melainkan meraih kertas map yang ada di hadapannya. Map itu berisi data diri Nindy.“Sudah 8 bulan, Pak.”Sebelumnya, Nindy lama bekerja di Bandung. Sengaja dia memilih bekerja di Surabaya karena ingin semakin menjauh dari tanah kelahirannya.“Jadi, kamu belum lama bekerja di sini?” Pandangan Billy tertuju pada kertas yang sedang ada di tangannya ketika dia bertanya.“Iya, Pak.”"Sebelumnya, kamu bekerja di mana?""Di Perusahaan Hakana, Pak."Pandangan Billy masih fokus pada kertas ya