Baskoro membaca semua artikel yang memuat tentang keluarga Abraham Wijaya. Menelusuri barangkali ada jejak pemberitaan yang menjelaskan dimana Intan selama ini. Baskoro mendapatkan bahwa selama ini Intan pindah sekolah di salah satu universitas Australia. Tidak disebutkan masalah pribadinya kecuali Intan pernah dikabarkan menikah dengan seorang pria anonim dan menjadi janda tanpa anak. Semua berita berkutat tentang itu itu saja.
Baskoro belum merasa puas dengan hasil penggalian informasi itu. Lalu dia menelfon Zaki yang kebetulan salah satu staff di gedung Intan bekerja, dia adalah salah seorang teman yang kebetulan sering bertemu di rumah kontrakan di Jakarta dan ternyata mereka bertetangga.
"Tumben menelfon?" heran karena tiba-tiba Baskoro menghubungi di tempat kerja.
"Iya, bisakah kita ketemuan waktu makan siang?"
"Tentu saja bisa, ada apa sebenarnya?"
"Hmmm, saya butuh sedikit informasi,"
Zaki menyanggupi mereka bertemu disebuah kantin disekitar tempat kerjanya.
"Ada apa sebenarnya, sepertinya masalah penting?" Zaki melihat wajah Baskoro yang tampak antusias.
"Informasi ini sebenarnya sangat pribadi!"
"Tentang siapa?"
"Tentang Intan Wijaya,"
"Ooh bos baru kami? Ada apa? Kamu menyukainya?"
" Siapa mantan suaminya?"
"Apa ? Mantan suaminya?" Zaki menggaruk kepalanya. "Iya ya... kalau yang aku dengar mantan suami itu cuma berita yang dibuat-buat oleh wartawan. Tapi kebenarannya aku gak tahu pasti,"
"Tapi kemarin aku melihat foto bos bersama dengan seorang anak kecil. Apakah itu anaknya?" Baskoro memasang umpan.
Zaki mengingat-ingat semua yang ada diruangan Intan, bahkan kemarin siang Zaki ada disana. Tapi tak melihat apapun. Zaki yakin tak melihat foto apapun disana. Yang ada hanya lukisan-lukisan bertema konstruksi. Zaki menggeleng.
"Suami saja tidak punya, apalagi anak? Gila kali ya?!"
Baskoro jelas melihat foto itu. Mungkinkah Zaki tidak mengingatnya. Baskoro semakin penasaran.
###
Intan berjalan menuju tempat parkir perusahaan. Dia meminta Mila sekertarisnya menemaninya ke sebuah pertemuan di Swalayan Wijaya.
Seperti biasa Pak Joko membukakan pintu mobilnya untuk mereka dan mengantar ke kantor Swalayan Wijaya.
Sengaja Intan mengambil waktu di sore hari agar tidak bertabrakan dengan jadwalnya diperusahaan. Mereka akan membahas tatanan ulang departemen store dan renovasi gedung.
Derap langkah sepatu heels menyusuri lantai marmer kedalam swalayan itu. Pengunjung cukup ramai sore ini, menunjukkan Swalayan Wijaya cukup punya banyak pelanggan. Intan mengedarkan pandangannya ke sudut-sudut ruangan. Memikirkan perombakan apa yang diperlukan. Hingga matanya tertuju pada satu titik.
"Dia ?" gumamnya. Mila mencari sudut pandangan Intan. Lengkung senyum terukir di bibir atasannya itu.
"Siapa Bu?" Mila memberanikan diri untuk bertanya.
"Ah tidak! Oh ya, tolong bawa dulu berkas ini ke atas. Saya akan ke toilet dulu!"
"Tapi Bu..."
"Ya?" Mata Intan mencari kemana perginya sosok tadi, dia menghilang.
"Rapat akan dimulai lima menit lagi..."
"Mila... saya ke toilet, haruskah saya tahan?"
"Ma- maaf Bu... baiklah." Mila bergegas menuju lantai tiga. Mila tak lagi berani berkata-kata.
Intan menyusuri tempat dimana dia melihat Baskoro. Melangkah diantara para pengunjung dan mencari kemana perginya pria itu.
"Anda mencari saya Nona Wijaya?" Suara berat itu mengejutkan Intan. "Anda mencari saya bukan?" Baskoro menatap Intan.
"Aap apa maksudmu? Saya hanya sedang melihat-lihat saja!" Intan gelagapan karena tertangkap basah.
Baskoro tersenyum kecut.
"Tapi Nona Wijaya, anda tadi seperti pencuri." Baskoro mendekatkan bibirnya tepat ditelinga Intan. Intan bergidik dengan nafas Baskoro yang terhembus ditelinganya, belum lagi brewok lebatnya itu sempat menyerempet pipinya.
Intan mundur selangkah hingga terhimpit dengan pakaian-pakaian yang tergantung disitu. Syukurlah tempat itu tersembunyi sehingga tak seorangpun melihatnya.
Baskoro makin menghimpit Intan.
"Hentikan !" Intan mendorong dada bidang Baskoro. "Banyak kamera pengawas disini. Hentikan Baskoro!" Tapi tak berhasil.
"Kenapa? Saya sedang berusaha mengingat Anda bahwa wanita kaya raya ini pernah jadi istriku ." Baskoro berbisik dengan nada yang sangat seksi "Saya bahkan hampir saja melupakannya." Jantung intan serasa melompat keluar karena debaran hebat di dadanya. Merasakan ruang yang terkungkung oleh tubuh kekar itu setelah sekian lama.
"Hentikan!" Intan mendorong sekuat tenaga. Intimidasi Baskoro benar-benar membuatnya kepanasan. Senyum Baskoro seperti mengejek Intan. Intan hanya menatapnya dan tak bisa mengatakan apapun.
Drrrt Drrrt
Sebuah panggilan masuk. Intan merogoh saku blazer yang dikenakannya. Terlihat icon panggilan dengan profil seorang anak kecil dilayar handphone miliknya. Baskoro melihatnya hanya sekilas.
"Baiklah, saya akan segera ke atas." Intan berbicara dengan sekertarisnya yang memberi tahukan bahwa peserta rapat telah lama menunggu.
Intan menatap tajam Baskoro.
"Dengar! Aku hanya ingin mengatakan ucapan selamat kepadamu. Aku tidak sempat mengatakannya kepadamu waktu itu. Selamat berbahagia Bapak Baskoro!" Intan mengucapkan kalimat itu setengah berteriak dengan nada sinis.
##
Apa yang dilakukannya di Swalayan tadi membuatnya gelisah. Beberapa kali Baskoro berusaha memejamkan mata tapi tak juga bisa tidur. Yang terbayang di pelupuk matanya hanya wajah Intan yang menatapnya.
Dengan jarak yang ia buat sendiri dia bahkan merasa tidak akan terpedaya dengan mantan istrinya itu. Intimidasi yang dilakukannya seperti magnet yang semakin menarik dirinya untuk terus mengungkung lebih dekat dan lebih lagi.
Baskoro mencium aroma lavender dileher Intan. Juga Aroma mint dirambutnya. Aroma yang sama sejak lima tahun lalu. Aroma favoritnya. Hanya warna rambutnya yang berubah. Gelombang rambut itu saja masih sama dengan yang dulu. Wajah itu lebih dewasa dan seksi dan memancarkan pesona yang menaklukkan.
Ia berdiri dan membuka jendela rumah kontrakan itu. Menghirup udara malam yang dingin. Hujan baru saja mengguyur kota Jakarta, dan itu cukup membuat udara menjadi lebih sejuk.
"Dengar! Aku hanya ingin mengatakan ucapan selamat kepadamu. Aku tidak sempat mengatakannya kepadamu waktu itu. Selamat berbahagia Bapak Baskoro!"
Ucapan Intan terngiang dikepalanya.
"Selamat berbahagia katanya? Bahh!" Baskoro meludah keluar jendela.
"Aku bahkan tak pernah merasakan bahagia semenjak kau hancurkan perasaanku!" tangan Baskoro mengepal kuat.
"Bagaimana denganmu?" bibir Baskoro merapat. Menahan perih yang tiba-tiba melintas di dadanya.
"Apakah kamu bahagia?" wajah itu memandang lurus ke arah gelap. Menangkap hembusan angin malam yang menerpanya. Dia berbicara seolah Intan berada dibalik kegelapan disana.
"Katakan padaku, bagaimana setelah kau meninggalkanku?" Baskoro terus mencengkram kusen lebar dibawahnya.
"Siapa dia? Apakah dia lebih kamu cintai?"
"Tidak! Aku pasti tidak akan membiarkan kamu bahagia! Kamu dan Abraham, kamu harus menanggung apa yang kurasakan selama lima tahun ini!"
Terpancar kemarahan di matanya, kemarahan yang dipenuhi rasa sakit. Tubuhnya merosot kelantai. Kepalan tangannya menghantam bumi. Semua yang melihatnya akan tahu betapa sakitnya dia.
Seorang pria berjalan tegap memasuki koridor perkantoran Wijaya Group. Dia adalah lelaki dengan usia enam puluhan. Dengan kilau Arloji ditangannya, menunjukkan betapa elegan penampilannya meskipun sebagian rambutnya telah memutih. Sorot mata tegas yang ia pancarkan membuat orang lain menunduk saat melihatnya. Tentu saja setiap orang yang dilaluinya digedung itu tahu siapa Pria dengan wibawa yang demikian memanas. Ketegangan akan tiba-tiba menghampiri disetiap meja kerja yang berada disana. Mereka, bila terlihat sedikit saja kesalahan, teguran dengan aroma mempermalukan akan menjadi kenangan seumur hidup mereka. Sementara orang-orang disekelilingnya adalah para ajudan yang menjaga tuannya. Mereka menjaga Tuan Abraham pemilik Wijaya Group. Abraham memutar handle pintu ditempat putri semata wayangnya berada. Menyembulkan kepalanya tanpa suara. Intan yang sejak bergeraknya handle pintu sudah mengawasi, tertawa melihat ayahnya menyembulkan kepala dari balik pintu.
"Sangat keterlaluan orang yang lari dari undangannya sendiri." Intan terlompat karena sangking terkejutnya. Toilet itu sangat sepi karena jarang sekali karyawan yang bekerja sampai malam. "Ya Tuhan! " Ia memegang jantungnya yang serasa melompat dari tempatnya. "Andre? Apa yang kau lakukan disini? Apaa..." mata Intan melirik pintu toilet. "Ha ha ha. Kamu memang pandai membuat orang tersudut. Seharusnya aku masuk saja tadi, toh pintu toilet wanita itu terbuka." "Dasar mesum!" Intan membalikkan badan hendak pergi, tapi Andre mengikutinya. "Aku heran dengan orang sepertimu, kita bahkan belum berbicara apapun tetapi kau sangat tidak bersahabat. Apakah selalu begitu caramu bersikap terhadap orang yang baru saja ingin mengenalmu?" "Bagaimana denganmu? Apa yang kau kerjakan disini? Aku tidak pernah tahu kau bekerja disini." Ucapnya. "Aku memang tidak bekerja disini, aku sedang menjemput calon istriku." "Andre
Baskoro masih memikirkan sebuah sebutan yang diteriakkan bocah empat tahun itu. "Mommy? Hah sejak kapan dia dipanggil mommy?" Rasa penasaran membuatnya susah tidur semalaman. "Bocah itu pastilah bocah yang ada di foto itu." Baskoro mengingat sebuah foto dengan latar belakang Pinus bersalju yang sempat mengganggu pikirannya. Tak satu berita yang menjelaskan Intan sudah bersuami apalagi memiliki anak. Itu membuat Baskoro merasakan sesuatu yang sangat berkaitan dengan dirinya. Egonya merasa tersakiti karena dia adalah suami yang dibuang oleh wanita konglomerat itu, tapi ia tidak mungkin berasumi bahwa anak itu adalah darah dagingnya. "Tapi mungkinkah?" Batinnya bergolak. "Tidak mungkin!" Lagi-lagi hatinya mengingkarinya. Seandainya mungkin, itu membuatnya semakin pusing. Baskoro berjalan ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Perjalanannya tidak terencana semalam membuatnya sangat letih. Memang tidak ter
Gedung gedung pencakar langit adalah pemandangan yang bagi Baskoro sebuah fenomena tentang bagaimana ia menciptakan sebuah seni keindahan dalam artian keindahan dalam kemajuan sebuah tempat. Ketika sebuah kota yang terbelakang, kemudian dalam suatu waktu berubah menjadi deretan gedung-gedung tinggi, maka label kemajuan akan tertempel dikota itu . Tentu saja semua itu akan tercipta dari sebab dolar dan rupiah yang mengalir disitu. Tempat-tempat seperti itu adalah ladang uang bagi orang-orang yang berprofesi semisal Baskoro. Disisi lain, Baskoro juga mencintai alam pedesaan yang sangat damai. Dengan pola hidup sederhana, masyarakat yang ramah dan tidak masa bodoh. Membuat hatinya terpaut dengan kampung halamannya. Tetapi ada hal yang membuat ia takut. Dia telah memiliki istri palsu sekarang. Dia tidaklah pulang karena ingin. Mengingat tatapan menyedihkan Wulan dia sungguh tak sanggup. Dia jua manusia biasa, memiliki hati yang lemah. Dia ju
"Cepatlah Nita! Nanti kita kesiangan!?" Intan berteriak memanggil Nita. "Sebentar Ibu, ini lagi nyari topi buat Bastian!" Nita balas berteriak. "Nah ini dapat!" Nita mengambil topi koboi milik Bastian dan tergopoh-gopoh keluar rumah. Di halaman Intan sedang mengisi bagasi dengan berbagai macam perbekalan. Tikar, tenda , ban renang, seluncur dan perbekalan makan sudah hampir semua masuk ke dalam bagasi. Intan menutup bagasi."Selesai!" Gumamnya. Bastian yang hanya melompat-lompat kegirangan tertawa melihat kesibukan Mommy nya dan Nita. Dia sangat bahagia karena mereka akan rekreasi ke pantai. "Ayo Bastian, let's go!" Intan mencium pipi Bastian dan menggandengnya masuk ke dalam mobilnya. Tak lama setelah mereka sudah berada didalam mobil, Andre menelfon. "Aku sudah menunggu di area yang kamu sebutin kemarin." Andre telah berada di gerbang pantai yang dijanjikannya kemarin. "Oke. Kami sudah berangkat. Tapi maaf mungkin satu j
Abraham melihat kedekatan diantara Andre dan Intan. Dalam hati ia bersyukur karena sekarang Intan bisa menerima kehadiran Andre."Andre adalah orang yang kompeten dalam menjalankan bisnis ayahnya." Abraham memuji Andre dihadapan Intan saat Intan menghidangkan Teh Rosella untuk ayahnya. "Sama denganmu, Andre orang yang bisa diandalkan." Intan hanya diam."Ayah memang selalu memujinya." Intan protes."Bukannya tadi aku juga memujimu?" Intan tersenyum, tentu saja dia cuma mancing ayahnya biar gak terlalu serius."Jadi kapan kalian berencana untuk menikah?" Tadinya Intan asyik menikmati pudding yang baru dibukanya, mendengar itu seleranya langsung lenyap."Ayah...kami tidak pernah membicarakan apapun!" tegas Intan. Sekarang wajahnya yang jadi serius."Itulah sebabnya ayah harus segera mengingatkan kalian. Apa kalian menunggu ayah sekarat lagi baru kalian akan menikah heh? Seperti yang kamu lakukan dengan siapa itu hah? Siapa nama bajingan
"Ayah sudah tua, ayah ingin punya cucu." Meja makan adalah tempat yang pas untuk ayahnya merajuk. Suasana hidang menghidangkan membuat ayah ingat betapa sepinya rumah sebesar ini."Makanya yah, ngapain ayah suruh ibu KB setelah melahirkan aku? Akhirnya malah mampet kan? Coba kalau aku dulu punya adik, gak cuma aku yang disuruh-suruh menikah." protesnya. "Apa ayah saja yang menikah? Yakin deh Yah banyak yang mau sama Ayah. Kan ayah tajir!""Uhuk uhuk, ayah dah batuk-batuk begini apa masih ada yang mau?"" Ha ha ha... Tenang aja , ayah kan tajir melintir. Masih kuat tanda tangan surat warisan kan?" Abraham tertawa"Tapi Intan, Andre benar-benar serius kepadamu. Ayah ingin kamu bertunangan Minggu ini.""Ayah!?""Ayah sudah siapkan tempat dan semua perlengkapannya. Dan juga sudah menghubungi awak media untuk meliput acara kalian." Dengan santainya Abraham mengatakan itu."Ayah!?" Intan seakan tak percaya. Bagaimana secepat itu
Perut Wulan sudah semakin membesar di usia enam bulan kehamilan. Senyum tipis terukir di bibirnya saat mengingat bagaimana semalam Baskoro mengabulkan permintaannya untuk ikut ke Jakarta. Ia sangat senang karena dengan begitu mereka semakin tampak sebagai istri sah sungguhan. Walaupun misi sebenarnya ia hanya ingin melihat-lihat saja seperti apa ibu kota Jakarta. "Dua jam lagi kita berangkat, tolong siapkan semua keperluanku dan jangan sampai ketinggalan!" Baskoro memperingati. "Baiklah Mas, sepertinya sudah semua," Wulan menggeret kepala resleting sebuah tas besar dan mengangkatnya keluar. "Biarkan aku saja yang mengangkatnya Lan!" Kata Baskoro kemudian. Baskoro melihat bagaimana susahnya seorang wanita yang sedang hamil. Dengan bayi diperutnya harus merasakannya sepanjang hari, semakin lama semakin membesar. "Pria biadab mana yang telah melakukan semua ini terhadap Wulan?! Aku pasti akan membunuh pria itu jika bertemu dengannya!" Batinnya.&n