Perut Wulan sudah semakin membesar di usia enam bulan kehamilan. Senyum tipis terukir di bibirnya saat mengingat bagaimana semalam Baskoro mengabulkan permintaannya untuk ikut ke Jakarta. Ia sangat senang karena dengan begitu mereka semakin tampak sebagai istri sah sungguhan. Walaupun misi sebenarnya ia hanya ingin melihat-lihat saja seperti apa ibu kota Jakarta.
"Dua jam lagi kita berangkat, tolong siapkan semua keperluanku dan jangan sampai ketinggalan!" Baskoro memperingati.
"Baiklah Mas, sepertinya sudah semua," Wulan menggeret kepala resleting sebuah tas besar dan mengangkatnya keluar.
"Biarkan aku saja yang mengangkatnya Lan!" Kata Baskoro kemudian.
Baskoro melihat bagaimana susahnya seorang wanita yang sedang hamil. Dengan bayi diperutnya harus merasakannya sepanjang hari, semakin lama semakin membesar.
"Pria biadab mana yang telah melakukan semua ini terhadap Wulan?! Aku pasti akan membunuh pria itu jika bertemu dengannya!" Batinnya.&n
Baskoro menyetir sebuah minibus dengan perlahan bukan karena ingin, namun karena Jakarta selalu menyajikan kemacetan dimana-mana. Padahal pembangunan flyover sudah dioptimalkan di beberapa titik pusat kemacetan, entah mengapa hanya sedikit saja teratasi.Wulan yang berada disampingnya melihat ke sekitar dengan sesekali berdecak kagum melihat gedung pencakar langit yang berjajar rapi. Pemandangan yang tak pernah ia saksikan secara langsung kecuali dari tayangan televisi."Apakah ini dibangun manusia ya Mas?" Ucap Wulan sambil terkagum-kagum."Tentu saja, manusia mampu untuk merubah apapun Lan. Dulu Jakarta mungkin hanya kota seperti kota kecamatan saja tanpa gedung tinggi, tanpa jembatan layang. Namun karena tangan manusia, semuanya jadi berubah."Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya, sekarang rasa mual dan pusing menderanya karena ia tak terbiasa dengan bau AC mobil."Aku sangat pusing Mas,"Baskoro menoleh, melihat Wulan yang mengeluh. Ia j
Sangat mengherankan bahwa Intan sempat mengaku pernah menikah di hadapan publik dan mengatakan "Saya butuh surat cerai yang sah!" Apakah artinya itu? Apakah dirinya masih merasa menjadi istrinya? Setelah sekian lama? Apakah itu masuk akal? Pikiran Baskoro melayang pada kejadian Intan menemuinya di desa waktu itu. Mengingat bagaimana Intan menangis dihadapannya. "Apakah kamu melupakan pernikahan kita?" Kata-kata intan tersebut mengusik Baskoro. . "Mas, apa Mas sudah capek?" Baskoro terpaku dengan penampilan Wulan yang hanya mengenakan pakaian satin tipis di tubuhnya, ia berdiri di pintu. "Hemm, enggak juga. Ada apa Lan?" "Tolong Mas gosokkan minyak angin di punggung Wulan," katanya. "Aku? Minyak angin?" Baskoro terbata. Dan Wulan mengangguk. "Rasa pusingku belum hilang sejak siang tadi Mas," jawab Wulan memelas. Baskoro masih terpaku tak bergerak. "Ya sudah kalau Mas nggak ma
"Cari pria bernama Baskoro itu, berikan dia sejumlah uang untuk menutup mulutnya. Jangan sampai wartawan tahu dan mengusut semua cerita tentang Intan" Abraham memerintahkan Dodi seorang sekretaris kepercayaan Abraham. "Baik tuan, akan tetapi kita telah lama kehilangan jejaknya Tuan. Kabar terakhir katanya dia telah pindah ke desa dan menikah disana," Abraham tersenyum puas, jangan sampai Intan menemukan pria itu karena Abraham tahu putrinya masih sangat terobsesi dengan pria itu. "Awasi dia mulai saat ini!" Dodi mengangguk dan berlalu dari hadapan Abraham. Abraham menyayangkan tindakan Intan yang membongkar masa lalunya dengan menyebutkan bahwa benar dirinya pernah menikah. Bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa dia belumlah bercerai. Bersamaan dengan itu Intan mengumumkan akan bertunangan. Abraham jadi memijat pelipisnya yang telah mengerut dimakan usia. "Ayah, mengapa ayah tidak membiarkan aku mati saja daripada memisahkan aku darinya? Aku
Semenjak keributan dengan ayahnya tempo hari, Intan banyak berdiam diri di kamarnya. Apa yang ia ucapkan sebenarnya untuk mewakili dirinya sepenuhnya. Ibu Intan memang pernah menceritakan penderitaannya ketika menikahi ayahnya, namun seiring berjalannya waktu ibunya bisa menerima demi dirinya yang telah lahir ke dunia ini.Intan hanya bisa memaki ayahnya dengan cara itu. Dia menyalahkan ayahnya atas nasib cintanya. Lalu bagaimana dengan dirinya saat ini? Seharusnya dia memperjuangkan Baskoro demi Bastian bukan? Akan tetapi karena semua itu sudah terlambat, Intan hanya bisa mempertahankan Bastian untuk dirinya sendiri. Ia harus melakukannya secepat mungkin sebelum pertunangannya berlangsung. Ia harus mendapatkan pengakuan bahwa dulu dia adalah istri sah Baskoro lalu diceraikan. Dengan malas Intan turun dari pembaringan, apapun yang terjadi dia harus bertemu Baskoro hari ini. Intan menyetop taksi dan meminta sopir taksi membawanya ke kawasan perumahan Pond
Apa yang kau lakukan disini? Baskoro menatap Intens pada manik mata Intan. Intan yang masih terkejut ikut membalas tatapannya. "Sepertinya aku selalu mengganggumu?" "Bagus! Kau sudah faham itu!" "Tanda tangani ini agar aku tidak akan pernah mengganggumu lagi!" Baskoro melihat Wulan yang sedang kebingungan melihat mereka bersitegang. Lalu ia melihat Intan yang sudah mengeluarkan selembar kertas dan meletakkannya di atas meja. Dengan wajah masam Baskoro mengambilnya kemudian membaca isi kertas itu. "Bah! Kamu memang sama liciknya dengan ayahmu! Kamu pikir aku akan dengan mudah menyerahkan tanda tanganku hanya karena kamu akan menikah lagi? Kamu bisa membuat tanda tangan palsu seperti ayahmu!" Cibir Baskoro. Intan menundukkan kepalanya, melihat lembaran kertas yang diletakkan kembali dihadapannya. "Aku ingin kalian hidup bahagia tanpa ada sesuatu yang menyulitkan kalian, lalu apakah aku tidak berhak untuk men
Intan menata duduknya, sesekali ia menggigit bibirnya. Apakah Baskoro telah jelas mengetahui siapa Bastian yang sebenarnya?"Dari semua kesalahanmu, aku semakin tidak mengerti dengan tujuanmu yang sebenarnya!" Baskoro mengeratkan giginya."Katakan sekarang Intan!" Baskoro mengguncang tubuh Intan."Baiklah, dengan satu syarat! Dengarkan baik-baik ucapanku, aku.tak mau kamu.selalu.salah faham kepadaku!""Salah faham katamu? Haruskah aku salah faham setelah hampir enam tahu lamanya? Apakah aku sebuah patung yang bisa menunggumu sepanjang masa?""Tapi Bas...""Tapi apa?!" Apakah kau mencariku karena bocah yang kau sembunyikan dariku?""Dia memang anakmu Bas," suaranya serak dan bergetar, terlalu berat ia mengatakan kebenaran itu."Jadi apa maumu?""Lihatlah mataku Bas, lihatlah agar kamu bisa melihat kebenaran. Tataplah sebentar saja, aku ingin mengatakan kebenarannya kepadamu!"Embun itu sudah menganak sungai di mata
Baskoro memijat pelipisnya, wanita dihadapannya ini sudah pingsan cukup lama namun belum juga sadarkan diri.Dokter mengatakan bahwa Intan menderita anemia. Itulah sebabnya ia harus segera mendapatkan perawatan dengan memberikan asupan melalui cairan infus."Kenapa kamu lemah sekali?" Gumamnya.Menyusuri pola wajah cantik dihadapannya, ia menyadari bahwa Intan sangat kurus sekarang. Wajah tirus membuatnya terlihat menyedihkan. Baskoro tak tahu harus menghubungi siapa melihatnya seperti ini.Seharusnya ada hanphone didalam tasnya yang menyimpan nomor teman, atau kekasihnya. Baskoro membuka tas tersebut. Ia mendapati dua buah handphone didalamnya.Ia mulai menekan tombol untuk membukanya, mencari seseorang yang sekiranya bisa dihubungi. Namun kedua hanphone itu terkunci. Baskoro mencoba mengingat tombol yang biasa Intan gunakan, yaitu tanggal dimana mereka menikah. Dan ternyata cara itu berhasil."Wanita aneh!" Gumam Baskoro, bagai
"Apa yang kamu lakukan disini? Ba-bagaimana kamu tahu aku disini?" Tanya Intan lagi."Ah, itu nggak penting. Sekarang yang terpenting adalah keadaanmu. Apakah kamu baik baik saja?" Andre menyentuh tangan Intan, namun refleks Intan menariknya. Andre sedikit heran melihat sikap Intan yang ketakutan, hingga netranya terperangkap pada sosok seorang pria di belakang Intan.Baskoro menarik Intan sedikit memaksa kembali ke brangkar rumah sakit."Susah payah aku membawamu kemari, tapi apa yang kamu lakukan?" Katanya sambil mendudukkan Intan di tepi tempat tidur. "Lihat wajahmu yang pucat, apa kau mau mati?!" Geramnya tepat di wajah Intan."Hei Bung! Apa yang kamu lakukan kepada seorang wanita? Tidak bisakah kamu sedikit lembut?" Andre mengomentari Baskoro yang kasar terhadap Intan."Ini juga bukan urusanmu!""Benarkah? Sejak kapan Intan menjadi urusanmu?" Andre melangkah mendekati Baskoro, matanya tajam menyoroti penampilan Baskoro yang le