"Cepatlah Nita! Nanti kita kesiangan!?" Intan berteriak memanggil Nita.
"Sebentar Ibu, ini lagi nyari topi buat Bastian!" Nita balas berteriak.
"Nah ini dapat!" Nita mengambil topi koboi milik Bastian dan tergopoh-gopoh keluar rumah. Di halaman Intan sedang mengisi bagasi dengan berbagai macam perbekalan. Tikar, tenda , ban renang, seluncur dan perbekalan makan sudah hampir semua masuk ke dalam bagasi.
Intan menutup bagasi."Selesai!" Gumamnya. Bastian yang hanya melompat-lompat kegirangan tertawa melihat kesibukan Mommy nya dan Nita. Dia sangat bahagia karena mereka akan rekreasi ke pantai.
"Ayo Bastian, let's go!" Intan mencium pipi Bastian dan menggandengnya masuk ke dalam mobilnya.
Tak lama setelah mereka sudah berada didalam mobil, Andre menelfon.
"Aku sudah menunggu di area yang kamu sebutin kemarin." Andre telah berada di gerbang pantai yang dijanjikannya kemarin.
"Oke. Kami sudah berangkat. Tapi maaf mungkin satu j
Abraham melihat kedekatan diantara Andre dan Intan. Dalam hati ia bersyukur karena sekarang Intan bisa menerima kehadiran Andre."Andre adalah orang yang kompeten dalam menjalankan bisnis ayahnya." Abraham memuji Andre dihadapan Intan saat Intan menghidangkan Teh Rosella untuk ayahnya. "Sama denganmu, Andre orang yang bisa diandalkan." Intan hanya diam."Ayah memang selalu memujinya." Intan protes."Bukannya tadi aku juga memujimu?" Intan tersenyum, tentu saja dia cuma mancing ayahnya biar gak terlalu serius."Jadi kapan kalian berencana untuk menikah?" Tadinya Intan asyik menikmati pudding yang baru dibukanya, mendengar itu seleranya langsung lenyap."Ayah...kami tidak pernah membicarakan apapun!" tegas Intan. Sekarang wajahnya yang jadi serius."Itulah sebabnya ayah harus segera mengingatkan kalian. Apa kalian menunggu ayah sekarat lagi baru kalian akan menikah heh? Seperti yang kamu lakukan dengan siapa itu hah? Siapa nama bajingan
"Ayah sudah tua, ayah ingin punya cucu." Meja makan adalah tempat yang pas untuk ayahnya merajuk. Suasana hidang menghidangkan membuat ayah ingat betapa sepinya rumah sebesar ini."Makanya yah, ngapain ayah suruh ibu KB setelah melahirkan aku? Akhirnya malah mampet kan? Coba kalau aku dulu punya adik, gak cuma aku yang disuruh-suruh menikah." protesnya. "Apa ayah saja yang menikah? Yakin deh Yah banyak yang mau sama Ayah. Kan ayah tajir!""Uhuk uhuk, ayah dah batuk-batuk begini apa masih ada yang mau?"" Ha ha ha... Tenang aja , ayah kan tajir melintir. Masih kuat tanda tangan surat warisan kan?" Abraham tertawa"Tapi Intan, Andre benar-benar serius kepadamu. Ayah ingin kamu bertunangan Minggu ini.""Ayah!?""Ayah sudah siapkan tempat dan semua perlengkapannya. Dan juga sudah menghubungi awak media untuk meliput acara kalian." Dengan santainya Abraham mengatakan itu."Ayah!?" Intan seakan tak percaya. Bagaimana secepat itu
Perut Wulan sudah semakin membesar di usia enam bulan kehamilan. Senyum tipis terukir di bibirnya saat mengingat bagaimana semalam Baskoro mengabulkan permintaannya untuk ikut ke Jakarta. Ia sangat senang karena dengan begitu mereka semakin tampak sebagai istri sah sungguhan. Walaupun misi sebenarnya ia hanya ingin melihat-lihat saja seperti apa ibu kota Jakarta. "Dua jam lagi kita berangkat, tolong siapkan semua keperluanku dan jangan sampai ketinggalan!" Baskoro memperingati. "Baiklah Mas, sepertinya sudah semua," Wulan menggeret kepala resleting sebuah tas besar dan mengangkatnya keluar. "Biarkan aku saja yang mengangkatnya Lan!" Kata Baskoro kemudian. Baskoro melihat bagaimana susahnya seorang wanita yang sedang hamil. Dengan bayi diperutnya harus merasakannya sepanjang hari, semakin lama semakin membesar. "Pria biadab mana yang telah melakukan semua ini terhadap Wulan?! Aku pasti akan membunuh pria itu jika bertemu dengannya!" Batinnya.&n
Baskoro menyetir sebuah minibus dengan perlahan bukan karena ingin, namun karena Jakarta selalu menyajikan kemacetan dimana-mana. Padahal pembangunan flyover sudah dioptimalkan di beberapa titik pusat kemacetan, entah mengapa hanya sedikit saja teratasi.Wulan yang berada disampingnya melihat ke sekitar dengan sesekali berdecak kagum melihat gedung pencakar langit yang berjajar rapi. Pemandangan yang tak pernah ia saksikan secara langsung kecuali dari tayangan televisi."Apakah ini dibangun manusia ya Mas?" Ucap Wulan sambil terkagum-kagum."Tentu saja, manusia mampu untuk merubah apapun Lan. Dulu Jakarta mungkin hanya kota seperti kota kecamatan saja tanpa gedung tinggi, tanpa jembatan layang. Namun karena tangan manusia, semuanya jadi berubah."Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya, sekarang rasa mual dan pusing menderanya karena ia tak terbiasa dengan bau AC mobil."Aku sangat pusing Mas,"Baskoro menoleh, melihat Wulan yang mengeluh. Ia j
Sangat mengherankan bahwa Intan sempat mengaku pernah menikah di hadapan publik dan mengatakan "Saya butuh surat cerai yang sah!" Apakah artinya itu? Apakah dirinya masih merasa menjadi istrinya? Setelah sekian lama? Apakah itu masuk akal? Pikiran Baskoro melayang pada kejadian Intan menemuinya di desa waktu itu. Mengingat bagaimana Intan menangis dihadapannya. "Apakah kamu melupakan pernikahan kita?" Kata-kata intan tersebut mengusik Baskoro. . "Mas, apa Mas sudah capek?" Baskoro terpaku dengan penampilan Wulan yang hanya mengenakan pakaian satin tipis di tubuhnya, ia berdiri di pintu. "Hemm, enggak juga. Ada apa Lan?" "Tolong Mas gosokkan minyak angin di punggung Wulan," katanya. "Aku? Minyak angin?" Baskoro terbata. Dan Wulan mengangguk. "Rasa pusingku belum hilang sejak siang tadi Mas," jawab Wulan memelas. Baskoro masih terpaku tak bergerak. "Ya sudah kalau Mas nggak ma
"Cari pria bernama Baskoro itu, berikan dia sejumlah uang untuk menutup mulutnya. Jangan sampai wartawan tahu dan mengusut semua cerita tentang Intan" Abraham memerintahkan Dodi seorang sekretaris kepercayaan Abraham. "Baik tuan, akan tetapi kita telah lama kehilangan jejaknya Tuan. Kabar terakhir katanya dia telah pindah ke desa dan menikah disana," Abraham tersenyum puas, jangan sampai Intan menemukan pria itu karena Abraham tahu putrinya masih sangat terobsesi dengan pria itu. "Awasi dia mulai saat ini!" Dodi mengangguk dan berlalu dari hadapan Abraham. Abraham menyayangkan tindakan Intan yang membongkar masa lalunya dengan menyebutkan bahwa benar dirinya pernah menikah. Bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa dia belumlah bercerai. Bersamaan dengan itu Intan mengumumkan akan bertunangan. Abraham jadi memijat pelipisnya yang telah mengerut dimakan usia. "Ayah, mengapa ayah tidak membiarkan aku mati saja daripada memisahkan aku darinya? Aku
Semenjak keributan dengan ayahnya tempo hari, Intan banyak berdiam diri di kamarnya. Apa yang ia ucapkan sebenarnya untuk mewakili dirinya sepenuhnya. Ibu Intan memang pernah menceritakan penderitaannya ketika menikahi ayahnya, namun seiring berjalannya waktu ibunya bisa menerima demi dirinya yang telah lahir ke dunia ini.Intan hanya bisa memaki ayahnya dengan cara itu. Dia menyalahkan ayahnya atas nasib cintanya. Lalu bagaimana dengan dirinya saat ini? Seharusnya dia memperjuangkan Baskoro demi Bastian bukan? Akan tetapi karena semua itu sudah terlambat, Intan hanya bisa mempertahankan Bastian untuk dirinya sendiri. Ia harus melakukannya secepat mungkin sebelum pertunangannya berlangsung. Ia harus mendapatkan pengakuan bahwa dulu dia adalah istri sah Baskoro lalu diceraikan. Dengan malas Intan turun dari pembaringan, apapun yang terjadi dia harus bertemu Baskoro hari ini. Intan menyetop taksi dan meminta sopir taksi membawanya ke kawasan perumahan Pond
Apa yang kau lakukan disini? Baskoro menatap Intens pada manik mata Intan. Intan yang masih terkejut ikut membalas tatapannya. "Sepertinya aku selalu mengganggumu?" "Bagus! Kau sudah faham itu!" "Tanda tangani ini agar aku tidak akan pernah mengganggumu lagi!" Baskoro melihat Wulan yang sedang kebingungan melihat mereka bersitegang. Lalu ia melihat Intan yang sudah mengeluarkan selembar kertas dan meletakkannya di atas meja. Dengan wajah masam Baskoro mengambilnya kemudian membaca isi kertas itu. "Bah! Kamu memang sama liciknya dengan ayahmu! Kamu pikir aku akan dengan mudah menyerahkan tanda tanganku hanya karena kamu akan menikah lagi? Kamu bisa membuat tanda tangan palsu seperti ayahmu!" Cibir Baskoro. Intan menundukkan kepalanya, melihat lembaran kertas yang diletakkan kembali dihadapannya. "Aku ingin kalian hidup bahagia tanpa ada sesuatu yang menyulitkan kalian, lalu apakah aku tidak berhak untuk men