"Sangat keterlaluan orang yang lari dari undangannya sendiri."
Intan terlompat karena sangking terkejutnya. Toilet itu sangat sepi karena jarang sekali karyawan yang bekerja sampai malam.
"Ya Tuhan! " Ia memegang jantungnya yang serasa melompat dari tempatnya. "Andre? Apa yang kau lakukan disini? Apaa..." mata Intan melirik pintu toilet.
"Ha ha ha. Kamu memang pandai membuat orang tersudut. Seharusnya aku masuk saja tadi, toh pintu toilet wanita itu terbuka."
"Dasar mesum!" Intan membalikkan badan hendak pergi, tapi Andre mengikutinya.
"Aku heran dengan orang sepertimu, kita bahkan belum berbicara apapun tetapi kau sangat tidak bersahabat. Apakah selalu begitu caramu bersikap terhadap orang yang baru saja ingin mengenalmu?"
"Bagaimana denganmu? Apa yang kau kerjakan disini? Aku tidak pernah tahu kau bekerja disini." Ucapnya.
"Aku memang tidak bekerja disini, aku sedang menjemput calon istriku."
"Andre
Baskoro masih memikirkan sebuah sebutan yang diteriakkan bocah empat tahun itu. "Mommy? Hah sejak kapan dia dipanggil mommy?" Rasa penasaran membuatnya susah tidur semalaman. "Bocah itu pastilah bocah yang ada di foto itu." Baskoro mengingat sebuah foto dengan latar belakang Pinus bersalju yang sempat mengganggu pikirannya. Tak satu berita yang menjelaskan Intan sudah bersuami apalagi memiliki anak. Itu membuat Baskoro merasakan sesuatu yang sangat berkaitan dengan dirinya. Egonya merasa tersakiti karena dia adalah suami yang dibuang oleh wanita konglomerat itu, tapi ia tidak mungkin berasumi bahwa anak itu adalah darah dagingnya. "Tapi mungkinkah?" Batinnya bergolak. "Tidak mungkin!" Lagi-lagi hatinya mengingkarinya. Seandainya mungkin, itu membuatnya semakin pusing. Baskoro berjalan ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Perjalanannya tidak terencana semalam membuatnya sangat letih. Memang tidak ter
Gedung gedung pencakar langit adalah pemandangan yang bagi Baskoro sebuah fenomena tentang bagaimana ia menciptakan sebuah seni keindahan dalam artian keindahan dalam kemajuan sebuah tempat. Ketika sebuah kota yang terbelakang, kemudian dalam suatu waktu berubah menjadi deretan gedung-gedung tinggi, maka label kemajuan akan tertempel dikota itu . Tentu saja semua itu akan tercipta dari sebab dolar dan rupiah yang mengalir disitu. Tempat-tempat seperti itu adalah ladang uang bagi orang-orang yang berprofesi semisal Baskoro. Disisi lain, Baskoro juga mencintai alam pedesaan yang sangat damai. Dengan pola hidup sederhana, masyarakat yang ramah dan tidak masa bodoh. Membuat hatinya terpaut dengan kampung halamannya. Tetapi ada hal yang membuat ia takut. Dia telah memiliki istri palsu sekarang. Dia tidaklah pulang karena ingin. Mengingat tatapan menyedihkan Wulan dia sungguh tak sanggup. Dia jua manusia biasa, memiliki hati yang lemah. Dia ju
"Cepatlah Nita! Nanti kita kesiangan!?" Intan berteriak memanggil Nita. "Sebentar Ibu, ini lagi nyari topi buat Bastian!" Nita balas berteriak. "Nah ini dapat!" Nita mengambil topi koboi milik Bastian dan tergopoh-gopoh keluar rumah. Di halaman Intan sedang mengisi bagasi dengan berbagai macam perbekalan. Tikar, tenda , ban renang, seluncur dan perbekalan makan sudah hampir semua masuk ke dalam bagasi. Intan menutup bagasi."Selesai!" Gumamnya. Bastian yang hanya melompat-lompat kegirangan tertawa melihat kesibukan Mommy nya dan Nita. Dia sangat bahagia karena mereka akan rekreasi ke pantai. "Ayo Bastian, let's go!" Intan mencium pipi Bastian dan menggandengnya masuk ke dalam mobilnya. Tak lama setelah mereka sudah berada didalam mobil, Andre menelfon. "Aku sudah menunggu di area yang kamu sebutin kemarin." Andre telah berada di gerbang pantai yang dijanjikannya kemarin. "Oke. Kami sudah berangkat. Tapi maaf mungkin satu j
Abraham melihat kedekatan diantara Andre dan Intan. Dalam hati ia bersyukur karena sekarang Intan bisa menerima kehadiran Andre."Andre adalah orang yang kompeten dalam menjalankan bisnis ayahnya." Abraham memuji Andre dihadapan Intan saat Intan menghidangkan Teh Rosella untuk ayahnya. "Sama denganmu, Andre orang yang bisa diandalkan." Intan hanya diam."Ayah memang selalu memujinya." Intan protes."Bukannya tadi aku juga memujimu?" Intan tersenyum, tentu saja dia cuma mancing ayahnya biar gak terlalu serius."Jadi kapan kalian berencana untuk menikah?" Tadinya Intan asyik menikmati pudding yang baru dibukanya, mendengar itu seleranya langsung lenyap."Ayah...kami tidak pernah membicarakan apapun!" tegas Intan. Sekarang wajahnya yang jadi serius."Itulah sebabnya ayah harus segera mengingatkan kalian. Apa kalian menunggu ayah sekarat lagi baru kalian akan menikah heh? Seperti yang kamu lakukan dengan siapa itu hah? Siapa nama bajingan
"Ayah sudah tua, ayah ingin punya cucu." Meja makan adalah tempat yang pas untuk ayahnya merajuk. Suasana hidang menghidangkan membuat ayah ingat betapa sepinya rumah sebesar ini."Makanya yah, ngapain ayah suruh ibu KB setelah melahirkan aku? Akhirnya malah mampet kan? Coba kalau aku dulu punya adik, gak cuma aku yang disuruh-suruh menikah." protesnya. "Apa ayah saja yang menikah? Yakin deh Yah banyak yang mau sama Ayah. Kan ayah tajir!""Uhuk uhuk, ayah dah batuk-batuk begini apa masih ada yang mau?"" Ha ha ha... Tenang aja , ayah kan tajir melintir. Masih kuat tanda tangan surat warisan kan?" Abraham tertawa"Tapi Intan, Andre benar-benar serius kepadamu. Ayah ingin kamu bertunangan Minggu ini.""Ayah!?""Ayah sudah siapkan tempat dan semua perlengkapannya. Dan juga sudah menghubungi awak media untuk meliput acara kalian." Dengan santainya Abraham mengatakan itu."Ayah!?" Intan seakan tak percaya. Bagaimana secepat itu
Perut Wulan sudah semakin membesar di usia enam bulan kehamilan. Senyum tipis terukir di bibirnya saat mengingat bagaimana semalam Baskoro mengabulkan permintaannya untuk ikut ke Jakarta. Ia sangat senang karena dengan begitu mereka semakin tampak sebagai istri sah sungguhan. Walaupun misi sebenarnya ia hanya ingin melihat-lihat saja seperti apa ibu kota Jakarta. "Dua jam lagi kita berangkat, tolong siapkan semua keperluanku dan jangan sampai ketinggalan!" Baskoro memperingati. "Baiklah Mas, sepertinya sudah semua," Wulan menggeret kepala resleting sebuah tas besar dan mengangkatnya keluar. "Biarkan aku saja yang mengangkatnya Lan!" Kata Baskoro kemudian. Baskoro melihat bagaimana susahnya seorang wanita yang sedang hamil. Dengan bayi diperutnya harus merasakannya sepanjang hari, semakin lama semakin membesar. "Pria biadab mana yang telah melakukan semua ini terhadap Wulan?! Aku pasti akan membunuh pria itu jika bertemu dengannya!" Batinnya.&n
Baskoro menyetir sebuah minibus dengan perlahan bukan karena ingin, namun karena Jakarta selalu menyajikan kemacetan dimana-mana. Padahal pembangunan flyover sudah dioptimalkan di beberapa titik pusat kemacetan, entah mengapa hanya sedikit saja teratasi.Wulan yang berada disampingnya melihat ke sekitar dengan sesekali berdecak kagum melihat gedung pencakar langit yang berjajar rapi. Pemandangan yang tak pernah ia saksikan secara langsung kecuali dari tayangan televisi."Apakah ini dibangun manusia ya Mas?" Ucap Wulan sambil terkagum-kagum."Tentu saja, manusia mampu untuk merubah apapun Lan. Dulu Jakarta mungkin hanya kota seperti kota kecamatan saja tanpa gedung tinggi, tanpa jembatan layang. Namun karena tangan manusia, semuanya jadi berubah."Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya, sekarang rasa mual dan pusing menderanya karena ia tak terbiasa dengan bau AC mobil."Aku sangat pusing Mas,"Baskoro menoleh, melihat Wulan yang mengeluh. Ia j
Sangat mengherankan bahwa Intan sempat mengaku pernah menikah di hadapan publik dan mengatakan "Saya butuh surat cerai yang sah!" Apakah artinya itu? Apakah dirinya masih merasa menjadi istrinya? Setelah sekian lama? Apakah itu masuk akal? Pikiran Baskoro melayang pada kejadian Intan menemuinya di desa waktu itu. Mengingat bagaimana Intan menangis dihadapannya. "Apakah kamu melupakan pernikahan kita?" Kata-kata intan tersebut mengusik Baskoro. . "Mas, apa Mas sudah capek?" Baskoro terpaku dengan penampilan Wulan yang hanya mengenakan pakaian satin tipis di tubuhnya, ia berdiri di pintu. "Hemm, enggak juga. Ada apa Lan?" "Tolong Mas gosokkan minyak angin di punggung Wulan," katanya. "Aku? Minyak angin?" Baskoro terbata. Dan Wulan mengangguk. "Rasa pusingku belum hilang sejak siang tadi Mas," jawab Wulan memelas. Baskoro masih terpaku tak bergerak. "Ya sudah kalau Mas nggak ma