Mereka sudah berada di dalam mobil dan bergegas menuju sekolah Bastian, berharap Bastian segera bisa ditemukan.
Sampailah mereka pada gerbang sebuah sekolah taman kanak-kanak yang gerbangnya tertutup rapat. Tak ada seorangpun berada disana kecuali seorang petugas kebersihan."Maaf Pak, adakah seorang anak yang masih tersisa di sekolah? Sebab anak kami belum sampai di rumah."Pria itu sedikit bingung, kalau sudah satu jam berlalu biasanya memang sudah tidak ada lagi anak yang tertinggal di sekolah."Apa biasanya pulang sendiri?""Tidak, tadi pengasuhnya menjemput tapi tidak ada di sekolah.""Bolehkah saya melihat foto anak tersebut?"Intan mengeluarkan ponsel miliknya dan menunjukkan foto Bastian."Hemm, anak ini ya. Sepertinya ada seorang lelaki yang bersamanya tadi.""Seorang lelaki? Bagaimana wajah pria tersebut? Apa Bapak tahu siapa lelaki itu?" Intan makin panik."Intan, tenanglah Jangan terlalu mendesak bapak ini, sebaiknya kamu"Kau mengenalinya?" Baskoro menautkan alisnya."Iya, mereka adalah pengawal ayahku. Kita bahkan belum bertanya kepada ayahku."Polisi tersebut melihat mereka keheranan. "Jadi, apakah kalian sungguh mengenal pria tadi?"Intan tersenyum tipis. "Kami mohon maaf karena telah merepotkan. Kami tidak menyangka itu adalah perbuatan kakeknya. Syukurlah karena kemungkinan besar putra kami baik-baik saja."Petugas kepolisian tersebut tersenyum lega. "Syukurlah, sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu masyarakat," katanya kemudian.Lalu mereka berpamitan."Jadi kita akan ke mansion ayahmu?""Kenapa tidak? Aku sungguh kesal dibuatnya!""Intan, sebaiknya engkau menahan perasaan kesalmu itu."Baskoro khawatir Intan akan marah-marah kepada ayahnya."Bagaimana aku nggak kesal? Ayah bertindak seperti itu dan membuatku hampir mati ketakutan!"Baskoro mengemudi dengan tenang. Ia bisa mengerti perasaan Intan sebagai seorang ibu yang
"Ayah sangat keterlaluan, kami hampir mati depresi karenanya." Intan masih terus mengeluh dengan cara ayahnya mengambil Bastian tanpa pemberitahuan. Ia sudah kalang kabut dibuatnya. Tubuhnya serasa dipukuli ratusan kali karena letih."Baiklah, maafkan ayah karena menculik anakmu. Akan tetapi kau harus menerima hadiah dari ayah ini. Ayah tidak tahu harus memberikan hadiah apa yang sesuai. Dan inilah yang mampu ayah berikan sebagai rasa bahagia dengan kesembuhanmu dari kecelakaan maut itu."Abraham memeluk putrinya, dan Intan balas memeluknya karena terharu dengan penuturan ayahnya."Bagaimanapun, kau telah melewati masa kritis terselamatkan dari maut. Ayah tak bisa membayangkan bagaimana kamu bisa melalui hal itu," ujar Abraham kemudian."Terimakasih ayah, terimakasih karena telah mengkhawatirkan aku. Aku menerima hadiahmu ayah. Dan aku tidak akan melupakannya."Mereka saling berpelukan hangat. Membuat orang-orang di sekitarnya menangis haru. Pemandanga
Abraham terus menatap ke bawah sana dimana keluarga kecil itu tertawa bahagia. Sesekali Abraham ikut tersenyum bersama mereka.Untungnya, rasa sesal itu datang di saat yang tepat. Di saat semua masih bisa diperbaiki, ia masih bisa menyatukan puing-puing yang sempat ia hancurkan di dalam kehidupan putrinya. Hal yang mungkin ia inginkan dan harapkan saat ini adalah kebahagiaan putrinya yang telah ia rusak selama bertahun-tahun.Mungkin sudah saatnya ia juga membuka hati untuk seorang pria sebagai suami pilihan Intan. Dengan begitu lengkap sudah keinginan putrinya untuk hidup bersama dengan putranya dan juga suaminya.Dahulu, ia tak memiliki keluarga kecil yang bahagia seperti yang ia lihat sekarang, membuatnya tersadar bahwa Istrinya memang tidak pernah bahagia hidup bersamanya. Keluarga kecilnya hanyalah keluarga yang penuh luka dan kepalsuan. Tiba-tiba air mata Abraham mengalir."Apakah pekerjaan lebih penting bagimu daripada keluargamu?" Saat itu ist
Wanita paruh baya itu berdiri melihatnya dengan tersenyum. Dia sangat cantik menawan meskipun guratan usia telah terlukis dibalik make up tipis yang ia poleskan.Bukan disambut senyum manis juga Abraham malah menatapnya dengan sorot mata yang teramat dingin.Wanita itu memberanikan diri untuk melangkah, mendekati Abraham meskipun hatinya mulai gentar."Kenapa kau masih berani mendatangiku?" Kerasnya suara Abraham membuat beberapa pelayan menoleh ke arah mereka, tapi mereka cukup punya sopan santun untuk memberi ruang kepada tuan mereka dengan meninggalkan tempat itu."Maafkan, sebenarnya aku tidak punya cukup keberanian untuk menemuimu kecuali sangat terpaksa," ujarnya sambil tertunduk dalam.Abraham berdecih. "Kalau begitu, pergilah dan jangan pernah menginjakkan kakimu di hadapanku!" geramnya.Wanita itu tak bergeming, hanya bulir air mata yang berusaha menjelaskan kepada Abraham bahwa ia harus berada di tempat itu, ada sesuatu yang harus ia katakan m
Baskoro sudah tak mampu menahan langkah Intan yang ingin ikut campur urusan ayahnya. Ia bisa memahami sikap Intan karena pasti Intan sangat mengenali watak ayahnya yang kasar, apalagi Intan melihat ayahnya bersikap kasar terhadap seorang wanita. Intan tidak mungkin bisa menerima hal itu."Ayah, kenapa ayah membiarkan wanita ini duduk di lantai seperti ini?" Intan memegang bahu wanita itu dan menarik lengannya untuk membantunya berdiri. Wanita itu tampak sangat menyedihkan, tapi ia menurut untuk berdiri.Abraham melengos dan sedikit menjauh, ia menatap jauh kedepan, seakan tak perduli dengan sikap putrinya."Ayah, dengarkan bibi ini berbicara dan selesaikan baik-baik. Aku yakin ayah akan bisa menolongnya bukan? Ayah jangan berbuat kasar terhadap wanita, ayah," Intan memohon.Abraham masih terdiam. Ia sungguh hanyut dengan pikirannya sendiri."Bibi, duduklah di sini. Aku akan mengambilkan untukmu air minum. Hemm?"Intan bergegas masuk ke dalam,
Intan masih mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan wanita ini. Kata "wanita selingkuhan" yang diucapkannya begitu fulgar dan jujur, apa sebenarnya dibalik semua ini?"Tapi, bukankah itu bukan masalah penting sekarang ini? Ibuku sudah tiada lagi, anda bukan lagi selingkuhan ayahku. Bukankah begitu?"Wanita itu tampak tersenyum. Seberkas cahaya bersinar di sorot matanya."Benar bukan? Itu adalah masa lalu, tetapi ayahmu seakan menganggap aku hama yang menjijikkan. Ayahmu tidak ingat bagaimana dia merayuku dulu."Intan sedikit risih, ini adalah masalah yang sangat pribadi bagi ayahnya, mana mungkin ia bisa mendengar dengan nyaman?"Bibi, saya tidak bisa mencampuri masalah anda dengan ayah. Saya harap anda segera pulang terlebih dahulu, ana bisa datang lain kali ketika ayah sudah merasa siap bertemu dengan anda," ujarnya pelan karena Intan takut menyinggung.Wanita bernama Anita itu seketika berubah air mukanya. Sebenarnya ia datang ke tempat Abrah
"Baiklah ayah, seharusnya ayah memang tidak berselingkuh waktu itu sehingga ayah tidak terbebani sekarang ini. Bisa saja ayah melupakan sebuah janji kepada bibi tadi, Yah?"Intan memeluk Abraham, ia tahu ayahnya sedang bimbang karena kehadiran wanita tadi."Maafkan, ayah merasa sangat bersalah kepadamu dan juga ibumu. Ayah rasa, kehadirannya hanya akan merusak hubungan kita. Ayah tidak mau itu terjadi?""Apakah bibi tadi adalah kekasih ayah sebelum mengenal ibu?"Abraham terkekeh, "apa pentingnya sekarang wanita sialan itu hah? Jangan mendesak ayahmu yang sudah tua ini putriku," iapun menoel pipi Intan karena gemas.Intan memberengut, "ayah memang semakin kelihatan tua, kalau ayah ingin awet muda ayah harus bahagia. Ayah, ayah harus menolong orang yang membutuhkan, karena itu adalah kebahagiaan, ayah.""Baiklah, ayah akan menolong orang yang membutuhkan, tapi tidak dengan wanita tadi.""Ayah keras kepala.""Dan kamu?""Tidak, aku tidak ak
Mereka menikmati keindahan taman yang luas yang berada di sekeliling tugu, tugu Monas memiliki puncak dengan bentuk lidah api, di mana lidah api ujung tugu tersebut dilapisi dengan lapisan emas dengan berat 45 kg.Untuk naik ke puncak Monas, mereka harus antre karena jumlah pengunjung di puncak Monas dibatasi agar tidak melebihi kapasitas. Pengunjung juga harus antre naik lift karena kapasitasnya hanya 800 kilogram.Mereka bergerak ke lantai tiga. Begitu pintu lift terbuka, suasana sejuk angin malam segera terasa. Dari sela teralis monas, gemerlap lampu kota terlihat begitu mengagumkan.Puncak Monas berada di ketinggian 132 meter. Dari tempat ia bisa melihat pemandangan Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Di sana juga tersedia empat teropong yang dipasang berdasarkan arah mata angin.Baskoro dan Intan menggandeng Bastian di kanan kirinya. Orang akan mengira mereka adalah keluarga yang sempurna, padahal mereka berstatus mantan istri dan mant