Saat aku masih bingung, tiba-tiba terdengar suara perempuan dari telepon, seperti nada suara perawat.Aku mengernyit. "Kak, ada apa? Di mana sekarang?""Haha! Di mana lagi, ya di kantor kerja.""Tidak, kamu apa di rumah sakit?" Aku jelas dengar kata 'ganti perban'."Tidak, Kakak baik-baik saja, mana mungkin di rumah sakit. Sudah, ya. Aku tutup dulu ya."Saudaraku sangat terburu-buru menutup telepon, jelas dia sedang berbohong.Untuk hal yang tidak ingin diungkapkan padaku, meskipun aku bertanya berulang kali, dia tidak akan mengatakan apa-apa.Hatiku cemas dan bingung, setelah mencari informasi, aku baru tahu, saudaraku menjadi peran pengganti untuk film aksi demi mengumpulkan uang.Semalam, dia juga menjadi pengganti untuk adegan yang sangat berbahaya. Karena tidak mengatur tali pengaman dengan baik, saudaraku jatuh dan kakinya terluka.Ketika aku tiba di rumah sakit, saudaraku sedang bersandar di tempat tidur sambil menelepon satu per satu untuk meminjam uang.Gayanya yang merendah,
Ketika telepon tersambung, ibuku langsung menangis di ujung telepon lain.Begitu mendengar suara tangisnya, hatiku langsung bergetar, kepalaku juga terasa sakit berdenyut-denyut.Aku menahan suara dan bertanya padanya, "Ada apa lagi?""Ayahmu yang tidak berguna itu, dia kembali berjudi, dan kalah lagi 10 miliar.""Apa?" Aku tidak bisa menahan diri dan berteriak, "Keluarga kita sudah begini, mengapa dia masih mau berjudi? Apa dia mau kita mati?""Audrey ....""Bagaimana kamu bicara?" Bapakku merebut telepon, "Aku berjudi, bukankah aku mau menangkan banyak uang untuk kembalikan kehidupan kita? Apa salahku?""Tapi, apa Ayah menang? Apa Ayah pernah menang?" Aku menangis marah, "Jangan lagi gunakan alasan 'untuk kehidupan kita yang lebih baik'. Ayah sudah terjebak dalam perjudian. Ayah cuma mau berjudi!""Sudahlah, uang sudah hilang. Ayah juga tidak mau. Kamu cepat cari Zayn untuk minta uang, minta 40 miliar.""Aku tidak mau!" Aku menggeram.Ayahku marah. "Kalau kamu tidak pergi, siapa lagi
Tubuhku langsung menegang.Suara itu ... terdengar sangat familiar, dan jelas-jelas itu suara ayahku!Astaga, ayah sampai datang ke kantornya Zayn!Setelah menyadari itu, aku buru-buru berlari ke arah lift.Pantas saja orang-orang tadi pada ngelihatin aku dengan pandangan aneh, ternyata ayah lagi bikin onar di sini.Aku lihat ayah keluar dari lift, ngejar-ngejar seorang perempuan sambil mulutnya terus-terusan memaki."Dasar tidak tahu malu! Anak dan menantuku baik-baik aja, kok, kamu malah datang dan ngerusak rumah tangga mereka. Aku tahu kamu yang goda menantuku, makanya mereka jadi cerai!Gimana sih kamu? Masih muda tidak mau kerja sendiri, malah ngarep dari laki orang!Emangnya laki-laki kaya cuma dia doang? Nempel sama dia terus kayak tidak punya harga diri!"Wanita yang kena omelan ayah kelihatan polos, ekspresinya bingung, rambutnya hitam panjang, dan kelihatan rapuh banget.Aku buru-buru maju buat nahan ayah, "Ayah ngapain, sih?""Itu dia, Audrey! Udah kucari tahu, perempuan ini
Dia menikahi karena terpaksa.Tapi ayah tetap tidak percaya. Dia ngotot bilang ke Zayn, "Mana mungkin? Kamu tidak mungkin tidak suka sama Audrey! Kamu dulu selalu nurut sama Audrey, pasti gara-gara perempuan ini! Pasti dia yang ngerayu kamu ....""Ayah! Udah, cukup, ayah!"Aku merasa benar-benar tidak enak, menarik lengan ayahku, berharap dia berhenti ngomong.Tapi ayah bukannya dengerin, dia malah liat aku dengan ekspresi kecewa, "Kamu ini tidak mau berjuang, makanya perempuan-perempuan kayak dia bisa ambil kesempatan! Tenang aja, ayah di sini, ayah bakal bela kamu!"Baru aja ngomong gitu, ayah udah menggulung lengan baju, siap-siap buat mukul si 'cinta pertama' itu.Aku kaget, buru-buru berusaha nahan dia, tapi terlambat.Pas ayah mau nyerang, tiba-tiba Zayn gerak cepat, langsung menahan tangan ayahku.Si 'cinta pertama' bersandar di dada Zayn, matanya berkaca-kaca, "Kak Zayn, mereka siapa? Kenapa nyakitin aku?""Tidak apa-apa," Zayn menariknya ke belakang, melindunginya dengan ekspr
Ayah makin panik, masih mau ngomong lagi, tapi aku buru-buru menariknya dan menyeret dia keluar dari gedung.Begitu di luar, ayah langsung marah-marah, "Kamu ini ngapain sih?! Tadi tinggal buka mulut aja. Zayn pasti bakal kasih uang ke ayah!""Kasih uang? Kenapa dia harus kasih uang? Kamu belum sadar, ya? Dia udah tidak ada urusan lagi sama keluarga kita! Dia juga tidak suka samaku. Jadi, buat apa dia ngasih uang ke orang luar?"Aku tidak tahan lagi, sampai nadaku naik. Kepalaku langsung berdenyut-denyut."Dan, siapa yang nyuruh ayah datang ke kantornya bikin ribut? Siapa yang nyuruh ayah mukulin perempuan yang dia suka? Sejak kapan ayah berubah jadi kayak gini?""Udah, deh! Kamu itu anak tidak tahu diri! Ayah bikin ribut, karena kamu yang tega ngeliat ayah dipotong tangan dan kaki gara-gara utang tapi masih tidak mau minta tolong Zayn!""Berapa kali kubilang, aku bakal cari solusi. Aku ini anak ayah, mana mungkin aku biarin ayah kayak gitu?"Aku bicara lemah sambil menahan rasa capek.
"Oh, Nona, keningmu kenapa?" tanya Bik Nur khawatir.Darah di keningku sudah berhenti, tapi muncul benjolan besar.Bik Nur segera mengambil es untuk mengompresnya.Melihat Bik Nur yang begitu peduli, hatiku terasa perih.Seorang pelayan masih memikirkan keadaanku, tapi ayah sama sekali tidak peduli.Setelah mendapatkan janjiku, ayah pergi begitu saja tanpa memberi perhatian sedikit pun.Tadi di rumah sakit, kakak sudah bilang bahwa ayah sekarang sudah benar-benar berubah. Sekarang di pikirannya hanya ada uang, bukan lagi keluarga.Saat itu aku belum percaya, tapi sekarang, aku sepenuhnya yakin.Aku menelungkup di meja dengan kepala yang terasa nyeri, dan hati yang lebih nyeri lagi.Bik Nur berkata cemas, "Nona, bagaimana kalau saya panggil Tuan kembali?""Jangan!" Aku langsung menahan Bik Nur.Zayn tidak suka denganku.Sekarang dia pasti sedang bersama si 'cinta pertama'. Untuk apa aku mengganggu mereka?Tapi setiap kali teringat janjiku tadi kepada ayah, dadaku terasa sesak, seperti d
Kamar terasa gelap dan sunyi. Selain aku, tak ada orang lain di ruangan ini.Jadi, Zayn belum pulang?Aku segera turun dari tempat tidur dan berlari ke luar kamar.Karena kakiku masih lemas, aku hampir terjatuh saat menuruni tangga.Bik Nur yang sedang membereskan ruang tamu langsung bertanya, "Nona, sudah bangun? Apa kamu lapar? Mau makan apa, aku buatkan."Aku menggeleng pelan, merasa tidak ada nafsu makan, lalu bertanya, "Tuan pulang tadi malam?""Tidak," kata Bik Nur, "Nona mau Tuan pulang? Aku bisa telepon dia sekarang.""Tidak perlu!" Aku buru-buru menggeleng.Menatap halaman yang kosong, barulah aku sadar bahwa yang tadi itu hanya mimpi.Aku bermimpi tentang Zayn, mimpi di mana dia mempermalukanku.Angin malam yang masuk dari jendela membuatku menggigil, baru kusadari tubuhku berkeringat.Aku menyeka wajahku yang basah oleh keringat dan dengan lesu kembali ke kamar.Sudah jam sembilan lewat. Sepertinya, malam ini Zayn tidak akan pulang.Aku memutuskan untuk mandi,tapi seluruh t
Aku tengah melihat-lihat sekitar, tiba-tiba sosok yang begitu kukenal muncul dalam pandanganZayn.Aku membuka mulut, hendak memanggilnya.Namun, sosok perempuan yang dikenal sebagai "cinta pertama" segera berlari ke arahnya, merangkul manja lengan Zayn."Kak Zayn, kenapa kamu naik ke sini? Bukankah aku memintamu untuk menungguku di bawah setelah mengambil hasilnya?" ucapnya dengan manja.Zayn mengusap rambutnya dengan lembut, tatapannya penuh kasih, "Aku khawatir meninggalkanmu sendirian.""Aku khawatir meninggalkanmu sendirian."Kata-kata itu, yang ia ucapkan pada "cinta pertama"nya, membuatku semakin sadar diri. Aku memandangi infus yang tergantung dan jarum yang menusuk punggung tanganku. Rasa pedih merambati hidungku, dan mataku mulai berkaca-kaca."Aduh ...." Wanita itu merengek manja sambil cemberut, "Aku hanya naik untuk tes darah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Mereka pun berbalik, berjalan menuju lift yang berada di arahku.Refleks, aku segera menundukkan kepala dan mem
"Jadi ... apa yang kamu katakan barusan, berarti kamu ... suka aku?"Aku mencengkeram selimut erat-erat, dan pada saat dia berbalik, aku tanpa sadar bertanya.Sebenarnya, begitu pertanyaan itu keluar, aku langsung menyesalinya.Pertanyaan ini, yang tadi terus dia desak, aku selalu menghindarinya. Sudah bertekad untuk tidak menanyakannya.Ironisnya, dalam situasi seperti ini, pertanyaan itu justru keluar dengan begitu mudahnya.Pada akhirnya, hatiku masih belum cukup teguh, bukan begitu?Tubuh Zayn tampak terdiam sejenak.Dia tidak berbalik, suaranya yang dingin disertai sedikit ejekan terdengar, "Suka kamu? Apa itu mungkin?"Setelah dia mengatakan itu, dia pergi, langkah kakinya tanpa sedikit pun keraguan.Pintu luar ditutup olehnya dengan keras, menghasilkan suara yang cukup keras.Aku menundukkan kepala, tersenyum pahit dengan rasa sedih.Jadi, pertanyaan itu memang seharusnya tidak dilontarkan, 'kan?Mengingat bagaimana dia pergi dengan penuh emosi, aku mentertawakan diri sendiri. N
"Kenapa tidak bertanya?"Tangannya makin berlebihan, dengan cerdik memancing sarafku.Pelan-pelan, aku merasa wajahku mulai memanas. Tubuhnya yang tadinya dingin kini terasa seperti membara.Aku yang berada di pelukannya, meskipun saraf tegang, kakiku lemas, hampir tidak mampu berdiri.Aku mencengkeram kerah bajunya, seluruh tubuhku hanya ditopang oleh kekuatan di pinggangku.Dengan susah payah, aku membuka mulut, "Ti ... tidak ada alasan, aku ... aku memang mau tidur."Mata hitamnya yang dalam menatapku lekat-lekat, mendesakku terus-menerus, "Kita bicara dulu baru tidur. Ayo, katakan padaku, apa sebenarnya yang mau kamu tanyakan tadi?"Nada suara berat dan lembut itu, seolah membawa daya tarik tersendiri, menyeret hatiku ke jurang yang makin dalam.Aku melihat ke dalam matanya yang dalam, hatiku terus bergetar.Tubuhku melemah oleh sentuhannya yang lembut.Dengan hampir memohon, aku berkata kepadanya, "Bisakah kamu berhenti seperti ini? Topik tadi, aku benar-benar tidak mau bahas lagi
Dorin kembali berbicara denganku tentang beberapa hal sehari-hari, bahkan menanyakan tentang kondisi bayiku.Saat berbicara tentang bayi, aku perlahan melupakan kebingungan tadi.Aku memberitahukan Dorin bahwa sebelum perutku mulai terlihat besar, aku akan mencari kesempatan untuk meninggalkan Kota Jenara ini.Dia bilang saat itu nanti, filmnya juga sudah selesai, dan dia akan membantuku mencari jalan.Setelah mengobrol dengan Dorin, waktu sudah hampir pukul satu dini hari.Zayn belum juga kembali, atau mungkin, malam ini dia menemani Cindy di rumah sakit.Aku mematikan lampu dan masuk ke dalam selimut.Aku merasakan kasur suite presidensial yang besar dan lembut.Walau begitu, mungkin karena suasana hati yang tidak merasa aman, aku tidur dengan sangat gelisah.Aku terus-menerus terbangun beberapa kali, Dalam selang waktu belasan hingga dua puluh menit, aku selalu terbangun.Aku menghela napas dan mengambil ponsel sambil menggulir layarnya.Setelah sekitar setengah jam, mataku mulai te
Aku terpaku menatap wajah itu, sampai-sampai lupa bernapas.Pria itu mengenakan kostum tradisional. Terlihat alisnya yang tebal melengkung, matanya bersinar tajam, dengan rambut yang diikat tinggi dan dihias mahkota giok.Di bahunya tersampir mantel berbulu rubah, melengkapi wajahnya yang tampan luar biasa. Penampilannya memang memancarkan keanggunan tak tertandingi.Aku tertegun cukup lama sebelum akhirnya mengenali dia sebagai Arya.Melihat aku terpesona, Dorin di sampingku tertawa. "Audrey, kamu ini mata keranjang. Lihat pria tampan saja sampai matamu tidak bisa berpaling."Aku langsung memerah, lalu menatapnya dengan kesal, "Jangan asal bicara. Aku cuma butuh waktu untuk mengenali dia adalah Pak Arya.""Haha, Pak Arya memang tampan baik dalam kostum tradisional maupun pakaian modern. Tidak kalah dengan Zayn-mu, 'kan?"Arya tiba-tiba muncul di panggilan video kami. Suara Dorin masih terdengar di samping, tetapi sosoknya menghilang dari layar.Sekarang, di layar video hanya ada Arya,
"Maaf, Kak Zayn, aku ... aku selalu ganggu kalian. Maaf ...."Cindy berkata sambil air matanya terus mengalir.Tampangnya yang lemah dan menyedihkan itu jelas terlihat tidak dibuat-buat.Zayn terburu-buru menghiburnya, "Jangan berkata begitu. Kamu jatuh sakit, itu juga bukan keinginanmu.""Maaf, Kak Zayn ... ah, sakit sekali, Kak Zayn, dadaku sangat sakit. Apa yang harus kulakukan ...."Cindy menangis, tampak sangat kesakitan.Zayn segera menggendongnya dan berkata dengan suara rendah, "Aku akan bawa kamu ke rumah sakit sekarang."Dia dengan tergesa-gesa menuju pintu lift.Setelah berjalan beberapa langkah, dia berbalik dengan gelisah menatapku, "Tunggu aku kembali."Aku menggigit bibir tanpa berkata apa-apa, tetapi hatiku terasa seperti ditusuk, sangat menyakitkan.Zayn menatapku dalam-dalam, lalu membawa Cindy masuk ke dalam lift.Sampai bayangan mereka menghilang di pintu lift, aku baru bisa memaksakan senyum kaku, dan air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga.Saat itu, Henry tiba-
"Zayn, sebenarnya aku ....""Kak Zayn!"Aku baru saja membuka mulut ketika suara lembut nan manis tiba-tiba terdengar dari belakang pria itu.Tubuhku langsung membeku, dan getaran hati yang kurasakan tadi seketika menghilang tanpa jejak.Aku tersenyum pahit pada diriku sendiri.Bagaimana bisa aku lupa kalau ada Cindy?Barusan aku hampir saja kehilangan akal di bawah suara rendah dan lembut Zayn, hampir membuka hati padanya.Zayn tetap menatapku dengan dalam.Aku mendorong dadanya pelan, mengingatkannya dengan suara rendah, "Nona Cindy sudah datang.""Audrey!"Zayn mengerutkan alisnya dan dengan keras kepala berkata, "Jawab dulu pertanyaanku tadi!""Lalu, apa yang mau kamu dengar? Katakan saja."Aku menatapnya.Tatapan kami bertemu. Matanya gelap dan dalam, hingga akhirnya secara perlahan muncul secercah sikap dingin."Apa maksudmu?"Aku menundukkan kepala, berkata datar, "Tidak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau bilang, apa pun jawaban yang mau Pak Zayn dengar, itulah yang akan kukatakan
Uh ....Henry berkata dengan kesal, "Baiklah, aku kalah bicara. Aku mau kembali ke kamar untuk tidur."Dia berbalik dan berjalan beberapa langkah, lalu sepertinya teringat sesuatu dan buru-buru menoleh, mengingatkan Zayn, "Jangan lupa belikan aku mantel kulit, ya.""Uangnya sudah aku transfer ke rekeningmu, beli sendiri."Mendengar itu, mata Henry membelalak, lalu segera memeriksa ponselnya.Beberapa saat kemudian, dia tertawa kecil, "Lumayan, lebih banyak dari yang kupikirkan. Nanti aku juga bawakan satu untukmu, ya.""Tidak perlu." Zayn menjawab dingin tanpa ekspresi.Henry melanjutkan, "Kalau begitu, aku bawakan untuk Audrey saja.""Tidak boleh!" Zayn memotong dengan dingin dua kata.Henry memonyongkan bibirnya, "Kalau tidak boleh, ya sudah. Uang lebihnya bisa kupakai beli yang lain."Setelah berkata demikian, dia langsung kabur ke kamarnya sendiri.Begitu Henry pergi, aku merasa suasana di sekitarku jadi agak menekan.Aku memegang tasku dan mundur dua langkah hingga punggungku meny
Aku segera memanggilnya, "Tuan Henry, tunggu sebentar."Henry tertegun sejenak, lalu menoleh ke arahku, "Kenapa, Audrey?""Itu ... kamar aku di mana?"Henry tampak terkejut, "Bukankah ini kamar kamu?"Sambil berbicara, pandangannya jatuh pada tas yang kubawa, dan dia bertanya, "Kamu tidak mau tinggal di kamar ini? Ini adalah satu-satunya kamar suite presidensial yang aku pesan, kamar terbaik di hotel ini.""Tapi, ini kamar Zayn."Henry tertawa kecil, "Kamarnya dia 'kan sama saja dengan kamar kamu? Kalian dulu pasangan suami istri, hal-hal yang harus dilakukan juga sudah dilakukan, kenapa masih dipisah-pisah?"Melihatku mengerutkan kening, dia segera tertawa lagi, "Baiklah, aku tidak canda lagi.""Tapi, aku cuma pesan tiga kamar, kalau kamu tidak tinggal di kamar ini, mau tinggal di mana?""Kalau begitu, aku akan pesan kamar biasa saja."Henry buru-buru menghentikan aku, "Jangan repot-repot, ini hotel terbaik di daerah ini, sudah penuh sejak lama. Aku harus pesan jauh sebelumnya untuk d
Namun meskipun tidak disukai oleh Keluarga Hale sejak masih kecil, Zayn tetaplah Tuan Muda dari Keluarga Hale. Bagaimana bisa terlibat dengan seorang gadis desa?"Ya, dulu Cindy dari pedesaan. Zayn menjemputnya setelah bercerai denganmu."Setelah mendengar ini, aku merasakan kepedihan di hatiku.Terlepas Cindy adalah orang pedesaan atau bukan, Zayn menceraikan aku karena Cindy."Hei, Cindy sebenarnya cukup menyebalkan, sangat lemah bahkan tidak bisa teriak ataupun berbicara.""Pikiran dan perasaannya begitu aneh sehingga aku harus berhati-hati saat berbicara dengannya.""Aku benar-benar tidak tahu kenapa Zayn bersikeras bersikap baik padanya. Audrey, kamu jauh lebih baik darinya. "Henry berkata dengan ekspresi jijik.Aku menahan ketidaknyamanan di hatiku dan berkata sambil tersenyum tipis, "Setiap orang punya daya tarik masing-masing. Mungkin Zayn hanya menyukai yang itu.""Tidak ...." Henry mengerutkan kening dan berkata, "Menurutku Zayn belum tentu menyukai Cindy, tapi tidak bisa di