“Ayang!”
Rafaiza menoleh. Iya. Namanya Rafaiza, acapkali dipanggil Rafa sama teman-temannya. Namun khusus wanita muda berhijab putih yang tengah berlari kecil ke arahnya itu, Rafa mengizinkan untuk memanggilnya dengan sebutan ‘ayang’.Seragam putih abu-abu yang dikenakan wanita muda itu penuh dengan coretan spidol dan cat semprot warna-warni. Ah, hijab putihnya juga bernasib sama.Tapi Rafa sama sekali tidak terganggu dengan penampilan itu, ya karena dia juga melakukan hal yang sama. Seragam putih abu-abunya sudah tidak ada space kosong lagi untuk dicorat-coret.“Yang!” panggil wanita muda itu. Deretan giginya yang tidak terlalu rapi dengan penuh percaya diri dipamerkannya. Setiap sudut bibirnya tertarik ke atas.Rafa hanya bereaksi dengan mendelikkan kedua alisnya.“Aku setuju,” ucap wanita muda itu dengan napas tersengal-sengal.Jelas saja Rafa mengernyitkan keningnya. “Setuju? Tentang apa?”“Cita-cita kamu.” Wanita itu menjawab masih dengan senyuman mengembang.“Kuliah Prodi Perencanaan Wilayah?”Wanita menganggukkan kepalanya berulang kali. “Iya. Jurusan kuliah yang mau diambil almarhum kakak kamu. Kamu bilang kalau mau melanjutkan cita-cita kakak kamu yang tertunda.”Iya, Rafa memiliki seorang kakak lelaki yang terpaut lima tahun darinya. Saat semester tiga, kakaknya yang tengah berkuliah itu harus menghembuskan napas terakhir karena gagal jantung. Sepulang dari bermain futsal, kakaknya itu merokok, dan langsung tidak sadarkan diri, hingga dilarikan ke rumah sakit.Rafa yang sempat melepaskan pandangannya ke arah lain, menatap wanita muda itu lagi. “Kamu yakin? Itu artinya aku bakal kuliah di Bandung.”Wanita muda itu menarik napas berat. Namun, senyuman itu tidak juga menghilang dari wajahnya. “Aku bukan siapa-siapa yang berhak untuk melarang kamu melangkah ke arah yang lebih baik.”Kelopak mata Rafa mengerjap perlahan. Hal inilah yang membuatnya jatuh cinta pada wanita muda itu. Dia lebih dewasa daripada usianya. Tidak semua orang bisa seperti itu.“Yah, walaupun artinya kita harus LDR antara Bekasi sama Bandung. Tapi, ngga terlalu jauh, kan. Masih satu pulau, terus cuma hitungan jam.” Senyum wanita muda itu hampir menghilang namun susah payah dipaksakan untuk bertahan di wajah bulatnya.Rafa pun memegang kedua pundak wanita muda itu. Mata mereka saling bertemu.“Aurelia, aku janji kalau akan menikahi kamu begitu cita-cita aku tercapai. Mau berapa jauh jarak yang memisahkan, mau berapa lama, tapi jangan pernah berpaling dan tunggu aku datang menghampirimu.”Kali ini gantian, mata Aurelia yang terperjap perlahan. Namun saat bibir Rafa menyentuh sekilas pipinya, dia tertunduk, lantas tersenyum.“Kenapa? Kamu kira aku ngga bakal memenuhi janji itu?” tanya Rafa. Kini penampilannya sudah berubah.Seragam putih abu-abunya berganti setelan jas hitam. Sementara Aurelia yang berdiri di sisinya, berbalut dress silver dihiasi payet batu kristal.Sudah enam tahun Rafa dan Aurelia menjalin kasih. Walaupun harus berpacaran jarak jauh, tapi bukan masalah besar bagi keduanya. Putus nyambung juga tidak pernah terjadi dalam hubungan mereka.Keduanya pun lulus kuliah. Rafa langsung ikut tes CPNS karena ada lowongan untuk jurusan yang diambilnya. Selain karena memang dirinya yang pintar, dan juga sudah rezekinya, Rafa lulus dan di tempatkan di Bogor.Tidak mau menunggu lama, Rafa bergegas melamar Aurelia. Satu-satunya wanita yang dia cintai. Daripada nanti keburu diembat orang lain.Setelah menikah, Aurelia ikut dengan Rafa tinggal di Bogor. Mereka menyewa sebuah rumah kontrakan.Setahun berlalu, Rafa dan Aurelia masih bersemangat dengan hubungan pernikahan mereka.Jarak yang memisahkan selama ini membuat hubungan mereka kian kuat, atau justru jadi boomerang? Karena kini Rafa seperti merasa jenuh ketika bertemu dengan Aurelia di rumah.Hingga di tahun kelima, Rafa tidak tahan lagi akan hambarnya pernikahan mereka.“Yang,” panggil Aurelia dari arah dapur.Rafa menoleh. Sang istri berjalan ke arahnya sambil membawa sponge cake ke arahnya.“Aku berhasil bikinnya. Cobain, yuk,” ajak Aurelia dengan senyuman mengembang.Rafa terus menatap sosok sang istri yang berjalan menjauh hingga hanya menampakkan punggung itu.Kini, Rafa tahu apa yang mengganggu benaknya beberapa bulan belakangan ini. Perasaan itu sudah lenyap. Jantungnya tidak lagi bergejolak seperti dulu setiap kali Aurelia memanggilnya.“Sepertinya, kita harus berpisah. Bukan karena aku punya wanita lain. Tapi, perasaan itu sepertinya sudah pudar. Aku ...”“Aku mengerti apa yang kamu maksud, Yang,” potong Aurelia malam itu.Rafa menatapnya tak percaya. “Kamu? Mengerti?”“Aku juga merasakan hal yang sama.”Rafa menarik napas, tertahan di dada, lalu menghembuskannya pelan. Ternyata Aurelia juga sudah tidak mencintainya lagi.Perpisahan baik-baik mungkin jarang terjadi di antara setiap pasangan. Tapi, tidak berlaku bagi Rafa dan Aurelia. Bahkan setelah sama-sama memegang akta cerai, keduanya saling berpelukan sebelum memilih berjalan ke arah yang berbeda.Sejak berpisah, Rafa tidak terlalu mengikuti perkembangan Aurelia selain tahu kalau mantan istrinya itu kembali ke rumah orang tuanya. Karena Rafa cukup sibuk dengan pekerjaan dan dunianya.Hingga dia bertemu dengan perempuan lain yang mampu menghidupkan gejolak yang selama ini padam.Sama seperti dulu, tidak mau berlama-lama, Rafa melamar wanita itu.Sudah lima tahun mereka menikah dan Rafa masih sangat bahagia dengan keluarga barunya. Apalagi, mereka dianugerahi sepasang kembar yang sangat menggemaskan, Tania dan Fania.“Pa,” panggil Davina agak berteriak dari arah kamar.Rafa menampakkan wajahnya sedikit. “Ya, Ma?”“Ada orang di luar,” sahut Davina lagi.Rafa menoleh ke arah luar. Dia tidak tahu kalau ada orang di luar karena tidak ada tanda-tandanya. Bel rumah saja belum bunyi, kok. ‘Atau, aku yang ngga denger?’Baru saja Rafa hendak mengacuhkan ucapan istrinya, bel rumah berbunyi nyaring. Rafa berdiri sambil melihat sekilas kedua anak kembarnya bermain di bawah sofa.“Fathan mana, Ma?” tanya Rafa sambil berteriak juga.“Fathan masih demam,” sahut Davina masih nyaring.Adik iparnya satu itu memang sudah sejak pagi tidak menampakkan diri. Rafa sudah curiga kalau itu alasannya saja supaya tidak ikut dengannya gotong royong RT tadi pagi.Bel berbunyi lagi.“Sebentar, sebentar,” ucap Rafa sambil terus melangkah ke arah pintu. Dia sudah curiga, nih sama siapa yang ada di balik pintu. Kalau bukan Kang Paket paling Kang Ojek Online. Kerjaan istrinya itu, ada saja yang dipesannya apalagi kalau makanan. Hampir tiap hari ada aja pesanannya.Rafa membuka pintu rumah dengan santai. Keningnya mengernyit saat menemukan sosok yang jauh dari dugaan. Bukan kurir dengan jaket hitamnya yang sudah memudar, melainkan sesosok manusia berbalut hijab yang tengah membelakanginya.“Maaf, cari siapa, ya?” tanya Rafa. Sosok itu tidak dikenalinya. Seingatnya, teman-teman istrinya tidak ada yang selangsing dan setinggi itu.Wanita itu menoleh. Namun, langsung terdiam.“Halo?” tanya Rafa sambil menjentikkan jemarinya di depan wajah wanita itu, yang seperti di-pause saja gerakannya.Wanita itu sepertinya tersadar. Dia melepaskan kacamata hitamnya.Seperti penyakit menular, gantian, kini Rafa yang terdiam sambil menganga.‘Aurelia?!’Jantungnya berdetak cukup cepat. Senyum wanita di hadapannya itu mengingatkannya akan masa muda wanita itu, saat masih mengenakan seragam putih abu-abu. Ketika bibir ranum itu memancarkan auranya hingga membuat Rafa jatuh cinta ... pada pandangan pertama.Bersambung ....Hai, readers! Ketemu lagi dengan naskah keduaku. Happy reading, ya. Kalau mau silahturahmi boleh mampir ke IG @buuchaaa_ Terima kasih yaaaa ..
Masa-masa putih abu-abu sepertinya akan sangat membekas buat Aurelia. Terutama sejak memutuskan untuk menerima pernyataan cinta dari seorang lelaki bernama Rafa, yang tahun ini satu kelas dengannya. Bukan lelaki biasa, tapi seorang siswa paling ganteng yang sudah diperhatikannya sejak baru masuk dulu, juga seorang siswa yang selalu juara umum, atau paling teranyar adalah seorang siswa yang memenangkan juara debat bahasa inggris tingkat SMA se-DKI Jakarta.“Abis SMA, kamu mau lanjut ke mana, Yang?” tanyanya suatu hari sambil menyantap chicken katsu.Rafa menyenderkan punggung sambil melipat kedua tangan di dada. “Rencananya aku mau kuliah di ITB.”Sontak saja Aurelia berhenti memegang garpu. Punggung dia hempas ke kursi, lantas membuang muka ke arah lain. “Itu artinya kita bakal pisah.”Wajah Rafa berkerut bingung. “Hanya jarak, bukan berarti kita harus putus. Kenapa? Kamu ngga yakin dengan kekuatan cinta kita sampai ngga bisa mengalahkan rintangan jarak itu?”Tatapan Aurelia terhenti
Jemari mungil Aurelia saling terpaut di antara jemari Rafa, yang lebih besar dan terasa lumayan kasar.Kaki mereka seirama melangkah menyusuri keramik Botani Square. Sudah dua bulan Rafa mulai bekerja di pemerintahan Kota Bogor. Aurelia pun menyusulnya ke sana karena tanggal merah sudah tiba sejak hari jumat kemarin. Ini adalah kesempatannya melepas rindu dengan sang kekasih. Saat itu mereka belum menikah.Tiba-tiba kaki Rafa mengajak masuk ke sebuah toko perhiasan yang cabangnya sudah tersebar hampir di seluruh kota besar Indonesia itu. Namun kaki Aurel malah berhenti melangkah di pintu masuk. Wanita berbibir mungil itu menatapi ruangan yang sangat terang itu dengan kening mengernyit.Rafa, yang sudah masuk beberapa langkah, kembali ke arah kedatangan, menjemput pemilik hatinya yang malah berdiri dalam diam.“Ayo,” ajaknya seraya meraih jemari yang tadi terlepas dari genggamannya itu.Dalam satu hentakan kecil, tubuh Aurel pun sepenuhnya mengikuti langkah Rafa. Tidak ada penolakan
Rafa memandangi punggung mantan istrinya itu. Masih sama seperti yang dulu, paling gaya berhijabnya yang berbeda. Dulu hijab segitiga tapi sekarang lebih ke pashmina. Jemari Rafa hendak menyentuh bahu Aurel. Dia ingin menyapanya sebelum ada yang melihat mereka.Tiba-tiba Aurel menoleh, membuat Rafa kaget, lantas menghentikan langkahnya. Tidak lupa menarik jemarinya walaupun Aurel sempat melihatnya.Akan tetapi, Aurel tidak mempermasalahkan itu meskipun keningnya mengernyit jelas.“Ada apa?”“Ngga, itu ....”“Ada apa?” Wanita berhijab tadi tiba. Jemarinya sibuk menempelkan ponsel di telinga.“Ngga enak kalau Saya masuk. Saya cuma mau nganter kue aja.”“Iya, Ma. Biar kuenya aku anterin ke Fathan,” imbuh Rafa cepat. Ini kesempatannya untuk mempersilakan Aurel pulang. Entah kenapa benaknya merasakan sesuatu yang buruk jika mantan istrinya itu berlama-lama di rumah ini.Aurel membelalakkan matanya seraya menoleh pelan ke arah Rafa. ‘Ma? Mama? Wanita ini ....’Wanita berhijab itu menghampir
Rafa tengah berbaring menghadap dinding. Matanya tampak segar, belum ada tanda-tanda mengantuk. Kemudian, dia tidur terlentang. Sorot matanya kembali menerawang ke langit-langit kamar berdampingan tingkat dengan lampu warna cream yang kalem.“Ma,” panggil Rafa pelan.“Hm,” sahut Davina pelan dari balik meja rias. Banyak rentetan skincare malam yang harus dipoles pada wajah hingga ujung kakinya. Dia hanya melirik suaminya dari kaca.Rafa menghela napas pelan. “Menurut kamu, Fathan serius ngga dengan ucapannya tadi?”“Mau melamar Aurel? Kayaknya serius, sih.”“Lho, kok kayaknya?” tanya Rafa seolah tidak terima.Davina menoleh. Dia sudah selesai mengoleskan krim malam. Karena tidak ada hijab yang menutupi kepalanya, ketahuanlah bahwa rambutnya panjang bergelombang hingga ke punggung. Tubuhnya juga hanya berbalut setelan piyama berlengan dan celana pendek.“Iya, menurutku serius, sih. Karena selama ini dia ngga pernah mempersilakan seorang teman perempuan datang ke rumah ini.” Davina pun
~~“Aku seorang duda,” ucap Rafaizan malam itu.Di antara macetnya kota Jakarta malam itu dalam perjalanan mereka pulang kembali ke Bekasi. Ya, mereka. Dia dan seorang wanita yang duduk di sisinya.Box popcorn ukuran large dengan merk salah satu bioskop berada dalam pelukan wanita itu. Masih tersisa setengah dan tengah dalam proses dihabiskan oleh wanita itu.Jemari yang tadi tidak berhenti memindah popcorn satu-persatu dari box ke dalam mulutnya, tiba-tiba berhenti. Manik matanya yang tadinya menatap lelaki yang sedang menyetir itu, beralih pada kendaraan yang mengantri di depan.Seketika suara riuh di luar sana menyeruak masuk ke dalam mobil, meskipun samar. Tapi klakson juga deru kendaraan itu terdengar bising sekali.Wanita itu dan Rafa sama-sama membungkam mulut. Sibuk dengan pikiran masing-masing.“Davina,” panggil Rafa memecah keheningan.Davina menaikkan tangan kanannya. “Sebentar,” potongnya cepat. Sedangkan matanya tetap melihat ke depan. “Aku masih dalam proses mencerna pen
Rafa tengah berbaring menghadap dinding. Matanya tampak segar, belum ada tanda-tanda mengantuk. Kemudian, dia tidur terlentang. Sorot matanya kembali menerawang ke langit-langit kamar berdampingan tingkat dengan lampu warna cream yang kalem.“Ma,” panggil Rafa pelan.“Hm,” sahut Davina pelan dari balik meja rias. Banyak rentetan skincare malam yang harus dipoles pada wajah hingga ujung kakinya. Dia hanya melirik suaminya dari kaca.Rafa menghela napas pelan. “Menurut kamu, Fathan serius ngga dengan ucapannya tadi?”“Mau melamar Aurel? Kayaknya serius, sih.”“Lho, kok kayaknya?” tanya Rafa seolah tidak terima.Davina menoleh. Dia sudah selesai mengoleskan krim malam. Karena tidak ada hijab yang menutupi kepalanya, ketahuanlah bahwa rambutnya panjang bergelombang hingga ke punggung. Tubuhnya juga hanya berbalut setelan piyama berlengan dan celana pendek.“Iya, menurutku serius, sih. Karena selama ini dia ngga pernah mempersilakan seorang teman perempuan datang ke rumah ini.” Davina pun
Fathan memandangi jemari telunjuk nan lentik Aurelia yang terpaut dengan jemarinya. Kedua sudut bibirnya tertarik. Senyuman terindah yang bisa ia berikan pada sang kekasih.Pandangannya kemudian beralih pada Aurelia. Wanita itu berbalik, lantas menatap Fathan. Tatapannya terlihat tak fokus.Fathan pun tertawa kecil. Melihat wanita yang biasanya terlihat serius bekerja malah kehilangan fokus seperti ini sungguh lucu buatnya, terlebih lagi jika wanita itu adalah orang yang dicintainya.“Kenapa? Kamu kaget dengan ucapanku di dalam tadi?”“Menurut kamu? Aku datang ke sini cuma mau nganterin roti, malah disuruh masuk. Itu aja sudah bikin kaget. Terus kamu tiba-tiba bilang mau ngelamar aku di depan keluarga kamu.” Aurel menarik napas dan menghempasnya berat. “Kalau aku ngga kaget, kayaknya bukan manusia normal, deh.”Fathan mengayunkan lembut tangan Aurel. Bibirnya tak henti tersenyum. Padahal, tubuhnya sedang lemah karena sakit ini. “Maaf, karena aku ngga melamar kamu dengan layak.”“Deng
Rafa melihat ke arah kancing kemeja batiknya sekali lagi. Seorang wanita berhijab pink floral menepuk pundaknya sambil memerhatikan penampilan Rafa.“Perfect, 'kan, Bu?” tanya Rafa sedikit berbisik.Wanita itu tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.Hanya dengan jawaban sang ibu sudah mengembalikan kepercayaan diri Rafa. Dia duduk sambil memerhatikan ruang tamu itu. Tidak terlalu besar, paling hanya sekitar tiga kali enam meter. Hampir sama besar dengan kamarnya. Rafa sudah sering duduk di ruangan itu. Di kala masih berstatus siswa putih biru dulu hampir setiap malam minggu hadir di sini. Semenjak menginjak bangku kuliah dan bekerja yang mulai jarang mampir. Kesibukan membuatnya menomorduakan hubungan manis itu.Seharusnya dia merasa nyaman di tempat yang tidak asing buatnya itu. Tapi malam ini, Rafa merasa sesak di lehernya.Dia baru bisa tersenyum ketika sosok Aurel muncul dari belakang dan menyajikan teh manis dalam cangkir.Isti dan Yudi memerhatikan calon menantu mereka itu den
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada