Jemari mungil Aurelia saling terpaut di antara jemari Rafa, yang lebih besar dan terasa lumayan kasar.
Kaki mereka seirama melangkah menyusuri keramik Botani Square.Sudah dua bulan Rafa mulai bekerja di pemerintahan Kota Bogor. Aurelia pun menyusulnya ke sana karena tanggal merah sudah tiba sejak hari jumat kemarin. Ini adalah kesempatannya melepas rindu dengan sang kekasih. Saat itu mereka belum menikah.Tiba-tiba kaki Rafa mengajak masuk ke sebuah toko perhiasan yang cabangnya sudah tersebar hampir di seluruh kota besar Indonesia itu.Namun kaki Aurel malah berhenti melangkah di pintu masuk. Wanita berbibir mungil itu menatapi ruangan yang sangat terang itu dengan kening mengernyit.Rafa, yang sudah masuk beberapa langkah, kembali ke arah kedatangan, menjemput pemilik hatinya yang malah berdiri dalam diam.“Ayo,” ajaknya seraya meraih jemari yang tadi terlepas dari genggamannya itu.Dalam satu hentakan kecil, tubuh Aurel pun sepenuhnya mengikuti langkah Rafa. Tidak ada penolakan lagi walaupun wajah Aurel masih terlihat bingung.“Kamu boleh pilih yang mana aja.”Aurel tercengang menatap Rafa. “Maksudnya?!”“Pilih yang kamu suka, cincin tunangan kita,” jawab Rafa. Lalu, demi menyembunyikan pipinya yang memerah, dia berjalan duluan mengitari etalase.“Tunangan?!” tanya Aurel hampir berteriak. Untungnya sempat dia tahan. Itu saja dua orang pegawai yang berada di dekat mereka langsung menoleh ke arahnya.Aurel berusaha mengejar Rafa, tetapi lelaki itu sudah berada di ujung lain etalase.Rafa mengangkat alisnya dua kali sambil tersenyum jahil. “Janji aku untuk menikahi kamu waktu kelulusan dulu, perlahan, mulai hari ini akan aku tepati.”Kedua sudut bibir Aurel tertarik. Kini, jemarinya mendekat ke etalase. “Jadi, aku bisa milih sendiri cincin seperti apa yang aku mau?”Rafa pun berdiri di sisi kekasihnya. “Iya, terserah kamu.”“Cincin yang harus kamu pertahankan di jari manis ini.” Rafa menunjuk bagian kiri jari manis kekasihnya itu.Sekarang, di masa ini, Aurelia menggenggam jemarinya erat tatkala Rafa melihat ke arah sana.Ya, yang di depannya ini benar Rafa, kan? Sorot mata teduh itu sudah dipastikan milik Rafa. Lalu, tubuh tinggi, serta betisnya yang dipenuhi rambut halus itu memang benar milik lelaki yang pernah hidup serumah dengannya. Mereka sudah lama berpisah, tapi Aurel masih ingat setiap jengkal tubuh mantan suaminya itu.‘Sedang apa dia di sini?’ benak Aurel benar-benar bingung kenapa harus bertemu Rafa di rumah ini.Sebenarnya, Rafa juga tengah memikirkan hal yang sama. ‘Apa yang tengah dilakukan mantan istriku itu di depan rumah ini? Bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di sini? Setelah bertahun-tahun, lantas kenapa baru muncul sekarang?’Rafa ingin sekali menghapus pikirannya yang mulai bercabang-cabang. Karena dia sangat mengenal Aurel. Tidak mungkin kedatangannya kemari hanya untuk menghancurkan rumah tangganya. Atau, itu bisa saja terjadi?Rafa menggeleng pelan. ‘Ngga mungkin Lia sepicik itu. Aku tahu betul kalau dia ngga suka segala sesuatu yang rumit dan melelahkan seperti itu.’“Ada siapa, Mas?” Terdengar suara seorang wanita dari arah dalam. Sepertinya Aurel juga bisa mendengarnya, karena manik matanya tertuju ke arah belakang Rafa.Rafa terlihat terkejut. Dia baru menoleh, tapi sosok itu sudah muncul di sisinya.Seorang wanita berhijab biru gelap berdiri mendahului Rafa. “Siapa?” bisiknya pada sang suami.Rafa hendak menjawab, tapi malah disikut oleh istrinya.“Maaf, mau cari siapa, ya Mbaknya ini?” tanya wanita itu dengan nada lembut juga senyum yang ramah.Rafa menatap tajam ke arah Aurel. Jantungnya berdegup kencang, takut akan setiap kata yang bakal keluar dari mulut mantan istrinya itu. Dalam hati dia berdoa, semoga Aurel tidak mengungkit tentang masa lalu mereka.Aurel tertawa canggung. Jemarinya melipat kacamata hitamnya. Dia menatap Rafa, tersenyum penuh arti.Rafa menggeleng pelan. Lewat matanya yang melotot garang, Rafa melarang Aurel menjawab pertanyaan sang istri.Wanita berhijab biru itu mengernyitkan keningnya. Dia merasa kalau Aurel tengah berbincang dengan suaminya. Dia pun menoleh, tapi Rafa terlihat menengok ke arah lain.“Saya mau cari Fathan,” jawab Aurel. “Kalau bener ini rumahnya, sih.” Dia sudah siap untuk pergi dari sini.“Oh, Fathan,” ujar wanita itu.Rafa mengernyitkan keningnya, bingung. ‘Fathan?!’Mata Aurel mendelik. ‘Jadi, bener ini rumah Fathan? Padahal, aku berharap sebaliknya.’ Tatapannya kemudian berhenti pada Rafa, yang terlihat bingung.Wanita berhijab biru tadi melihat ke arah dalam. “Fathan lagi sakit,” jawabnya kemudian.“Iya. Makanya, Saya bawain roti kesu....”“Bawa masuk aja,” ajak wanita itu sambil membentangkan tangan kanannya ke arah rumah, mempersilakan Aurel masuk.“Hah? Apa?!” Aurel jadi terkaget-kaget sendiri dengan ajakan yang tak disangka itu. Niatnya hanya mau membawakan roti ini. Maksudnya, biar disambut saja sementara dirinya langsung pergi.“Mas!” Wanita itu menepuk lengan Rafa, yang tersentak karena masih kaget akan kedatangan Aurel, terlebih lagi malah nyariin Fathan.“Apa, Ma?” rengeknya.“Melamun aja. Ambilin atuh rotinya. Kasihan keberatan.”Rafa menatap plastik putih yang tidak terlihat terlalu berat itu, lalu pada Aurel, yang juga sedang menatapnya. Lantas, keduanya tertawa canggung.“Sini, biar Saya bawakan,” tawar Rafa bersikap seolah tak mengenal Aurel.“Oh, ngga usah. Bisa Saya bawa, kok.” Bak gayung bersambut, Aurel juga meneruskan sandiwara Rafa.Tapi, Rafa tidak mendengarkan jawaban itu. Dia mengambil plastik itu dari tangan Aurel. Jemari mereka sempat saling bersentuhan, namun Aurel menariknya cepat.“Silakan masuk,” ucap Rafa sambil menunjuk ke arah dalam.Aurel ingin menoyor kepala Rafa. Dia yakin sekali kalau lelaki itu memikirkan hal yang sama dengannya. Ingin dirinya cepat pergi dari sini, bukannya malah masuk rumah.Tapi, sepertinya Aurel tidak bisa menolak. Diliriknya wanita berhijab biru itu yang ditebak Aurel memiliki kekuasaan teratas di rumah ini.“Saya masuk dulu,” pamit Aurel.Wanita berhijab biru itu tersenyum lebar dengan sorot mata berbinar. Dia mengangguk pelan seraya terus menatapi ke arah kepergian Aurel.Aurel pun melangkahkan kakinya ke arah dalam, menyusuri lorong rumah yang terbuat dari dinding kaca. Benar dugaannya kalau rumah ini luar biasa besar. Buktinya, lorong kaca ini terasa sangat panjang baginya.Manik mata Aurel melihat Rafa dari sudut mata. Dia tahu kalau lelaki itu berada tepat di belakangnya, mengekori setiap langkahnya.Entah kenapa, jantung Aurel seolah tengah berontak dari tempatnya. Aurel berusaha tetap berjalan santai seperti biasa. Dia tidak mau Rafa memergoki kekalutan hatinya.Sementara itu, Rafa memperhatikan punggung Aurelia. Dia memegang dada kirinya. Entah kenapa, jantungnya terasa bergejolak hebat. Perasaan yang sama setiap kali dia menatap Aurelia, dulu, ketika mereka masih menjalin kasih.Jadi, kini gejolak itu kembali? Ketika mereka bertemu lagi? Ketika mereka memiliki ikatan dengan orang lain?Bersambung ...Rafa memandangi punggung mantan istrinya itu. Masih sama seperti yang dulu, paling gaya berhijabnya yang berbeda. Dulu hijab segitiga tapi sekarang lebih ke pashmina. Jemari Rafa hendak menyentuh bahu Aurel. Dia ingin menyapanya sebelum ada yang melihat mereka.Tiba-tiba Aurel menoleh, membuat Rafa kaget, lantas menghentikan langkahnya. Tidak lupa menarik jemarinya walaupun Aurel sempat melihatnya.Akan tetapi, Aurel tidak mempermasalahkan itu meskipun keningnya mengernyit jelas.“Ada apa?”“Ngga, itu ....”“Ada apa?” Wanita berhijab tadi tiba. Jemarinya sibuk menempelkan ponsel di telinga.“Ngga enak kalau Saya masuk. Saya cuma mau nganter kue aja.”“Iya, Ma. Biar kuenya aku anterin ke Fathan,” imbuh Rafa cepat. Ini kesempatannya untuk mempersilakan Aurel pulang. Entah kenapa benaknya merasakan sesuatu yang buruk jika mantan istrinya itu berlama-lama di rumah ini.Aurel membelalakkan matanya seraya menoleh pelan ke arah Rafa. ‘Ma? Mama? Wanita ini ....’Wanita berhijab itu menghampir
Rafa tengah berbaring menghadap dinding. Matanya tampak segar, belum ada tanda-tanda mengantuk. Kemudian, dia tidur terlentang. Sorot matanya kembali menerawang ke langit-langit kamar berdampingan tingkat dengan lampu warna cream yang kalem.“Ma,” panggil Rafa pelan.“Hm,” sahut Davina pelan dari balik meja rias. Banyak rentetan skincare malam yang harus dipoles pada wajah hingga ujung kakinya. Dia hanya melirik suaminya dari kaca.Rafa menghela napas pelan. “Menurut kamu, Fathan serius ngga dengan ucapannya tadi?”“Mau melamar Aurel? Kayaknya serius, sih.”“Lho, kok kayaknya?” tanya Rafa seolah tidak terima.Davina menoleh. Dia sudah selesai mengoleskan krim malam. Karena tidak ada hijab yang menutupi kepalanya, ketahuanlah bahwa rambutnya panjang bergelombang hingga ke punggung. Tubuhnya juga hanya berbalut setelan piyama berlengan dan celana pendek.“Iya, menurutku serius, sih. Karena selama ini dia ngga pernah mempersilakan seorang teman perempuan datang ke rumah ini.” Davina pun
~~“Aku seorang duda,” ucap Rafaizan malam itu.Di antara macetnya kota Jakarta malam itu dalam perjalanan mereka pulang kembali ke Bekasi. Ya, mereka. Dia dan seorang wanita yang duduk di sisinya.Box popcorn ukuran large dengan merk salah satu bioskop berada dalam pelukan wanita itu. Masih tersisa setengah dan tengah dalam proses dihabiskan oleh wanita itu.Jemari yang tadi tidak berhenti memindah popcorn satu-persatu dari box ke dalam mulutnya, tiba-tiba berhenti. Manik matanya yang tadinya menatap lelaki yang sedang menyetir itu, beralih pada kendaraan yang mengantri di depan.Seketika suara riuh di luar sana menyeruak masuk ke dalam mobil, meskipun samar. Tapi klakson juga deru kendaraan itu terdengar bising sekali.Wanita itu dan Rafa sama-sama membungkam mulut. Sibuk dengan pikiran masing-masing.“Davina,” panggil Rafa memecah keheningan.Davina menaikkan tangan kanannya. “Sebentar,” potongnya cepat. Sedangkan matanya tetap melihat ke depan. “Aku masih dalam proses mencerna pen
Rafa tengah berbaring menghadap dinding. Matanya tampak segar, belum ada tanda-tanda mengantuk. Kemudian, dia tidur terlentang. Sorot matanya kembali menerawang ke langit-langit kamar berdampingan tingkat dengan lampu warna cream yang kalem.“Ma,” panggil Rafa pelan.“Hm,” sahut Davina pelan dari balik meja rias. Banyak rentetan skincare malam yang harus dipoles pada wajah hingga ujung kakinya. Dia hanya melirik suaminya dari kaca.Rafa menghela napas pelan. “Menurut kamu, Fathan serius ngga dengan ucapannya tadi?”“Mau melamar Aurel? Kayaknya serius, sih.”“Lho, kok kayaknya?” tanya Rafa seolah tidak terima.Davina menoleh. Dia sudah selesai mengoleskan krim malam. Karena tidak ada hijab yang menutupi kepalanya, ketahuanlah bahwa rambutnya panjang bergelombang hingga ke punggung. Tubuhnya juga hanya berbalut setelan piyama berlengan dan celana pendek.“Iya, menurutku serius, sih. Karena selama ini dia ngga pernah mempersilakan seorang teman perempuan datang ke rumah ini.” Davina pun
Fathan memandangi jemari telunjuk nan lentik Aurelia yang terpaut dengan jemarinya. Kedua sudut bibirnya tertarik. Senyuman terindah yang bisa ia berikan pada sang kekasih.Pandangannya kemudian beralih pada Aurelia. Wanita itu berbalik, lantas menatap Fathan. Tatapannya terlihat tak fokus.Fathan pun tertawa kecil. Melihat wanita yang biasanya terlihat serius bekerja malah kehilangan fokus seperti ini sungguh lucu buatnya, terlebih lagi jika wanita itu adalah orang yang dicintainya.“Kenapa? Kamu kaget dengan ucapanku di dalam tadi?”“Menurut kamu? Aku datang ke sini cuma mau nganterin roti, malah disuruh masuk. Itu aja sudah bikin kaget. Terus kamu tiba-tiba bilang mau ngelamar aku di depan keluarga kamu.” Aurel menarik napas dan menghempasnya berat. “Kalau aku ngga kaget, kayaknya bukan manusia normal, deh.”Fathan mengayunkan lembut tangan Aurel. Bibirnya tak henti tersenyum. Padahal, tubuhnya sedang lemah karena sakit ini. “Maaf, karena aku ngga melamar kamu dengan layak.”“Deng
Rafa melihat ke arah kancing kemeja batiknya sekali lagi. Seorang wanita berhijab pink floral menepuk pundaknya sambil memerhatikan penampilan Rafa.“Perfect, 'kan, Bu?” tanya Rafa sedikit berbisik.Wanita itu tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.Hanya dengan jawaban sang ibu sudah mengembalikan kepercayaan diri Rafa. Dia duduk sambil memerhatikan ruang tamu itu. Tidak terlalu besar, paling hanya sekitar tiga kali enam meter. Hampir sama besar dengan kamarnya. Rafa sudah sering duduk di ruangan itu. Di kala masih berstatus siswa putih biru dulu hampir setiap malam minggu hadir di sini. Semenjak menginjak bangku kuliah dan bekerja yang mulai jarang mampir. Kesibukan membuatnya menomorduakan hubungan manis itu.Seharusnya dia merasa nyaman di tempat yang tidak asing buatnya itu. Tapi malam ini, Rafa merasa sesak di lehernya.Dia baru bisa tersenyum ketika sosok Aurel muncul dari belakang dan menyajikan teh manis dalam cangkir.Isti dan Yudi memerhatikan calon menantu mereka itu den
Davina berhenti di samping Fathan, yang berdiri di belakang Rafa. Dia melihat ke arah orang tua Aurelia, lalu pada suaminya itu.“Ada apa, Than?” tanya Davina heran. “Belum dipersilakan masuk, Kak.”Davina kembali menatap kedua orang tua Aurelia. Keningnya pun mengernyit. ‘Kok keduanya kayak kaget gitu ngeliat Rafa?’Lis maju selangkah setelah menarik lengan suaminya supaya tidak menghalangi jalan. “Ayo, masuk dulu,” ucapnya sambil memberikan ruang di pintu masuk.Rafa langsung menyalimi tangan Lis, yang disambut tawa dibuat-buat oleh wanita hampir paruh baya itu. Lalu, beralih menyalimi tangan Sukamto, walaupun ditarik cepat oleh lelaki itu.Rafa pun duduk di kursi tamu. Kursi jati itu masih ada, hanya kain pembungkus busanya yang berubah. Kalau dulu berwarna merah, sekarang hijau dengan aksen emas. Dan, ruangan itu tidak banyak berubah. Foto Aurel mengenakan toga ketika menyelesaikan Strata 1-nya masih terpampang jelas. Tambahannya adalah foto Aurel bersama kedua orang tuanya. Sep
Rafa bertukar pandang dengan Davina dan Fathan, yang penuh dengan tanya. “Mungkin mau ngomongin detail acaranya. Kalian duluan ke mobil, ya. Nanti aku susul,” ujar Rafa, berusaha menghilangkan tatapan bingung dari keduanya.Davina pun mengangguk.Fathan langsung menggendong Tania. Kemudian, menyalimi Sukamto dan Lis lalu mengerling pada Aurel yang melambai pelan padanya. Rafa tidak melepaskan pandangannya dari keluarga kecilnya itu yang masuk ke mobil, lalu kembali ke dalam rumah dan duduk di tempatnya tadi. “Ya, Pak?”Sukamto yang sudah kembali duduk menunjuk-nunjuk ke arah Rafa. “Istrimu sama Fathan tahu kalau kamu itu mantan suaminya Aurelia?”“Ngga, Pak. Mereka berdua sama sekali ngga tahu.”“Kalau Lia memang benar nantinya menikah sama Fathan, apa bakal jadi masalah buat kalian berdua? Tidak ada rasa yang tertinggal bukan?” Sukamto tidak hanya menatap Rafa, tapi juga Aurel.“Insya Allah, ngga akan jadi masalah, Pak,” jawab Rafa padahal Aurel sudah membuka mulutnya.“Kapan kalia
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada