Erika terdiam di tempat karena ucapan Sugiono. Dia yang semula tidak ada kedudukan apa pun di rumahnya, semakin tidak ada artinya semenjak menjual Pipa Tembakau Giok milik lelaki itu. Sekarang Monika tidak tahu dikirim ke tempat apa, bahkan dia tidak ada teman untuk berbincang.Melihat Dylan yang diam saja ketika ditegur oleh Sugiono membuat Erika semakin tidak terima. Semakin lama dia semakin membenci Lydia. Dylan terdiam dan memerintahkan Tony, “Antar Bu Erika pulang saja, acara makan malam nanti Mama nggak perlu ikut.”Erika seketika berdiri kaku. Sugino juga ikut mengangguk dan berkata, “Boleh juga, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk damai dengan keluarga Agustine.”Mereka tidak peduli dengan perasaan Erika sama sekali. Perempuan itu hanya bisa pergi dengan raut wajah yang sangat keruh. Makan malam nanti diadakan di sebuah rumah makan yang terdapat di vila pribadi. Selain mereka, tidak ada orang lain yang ada di sana.Rizal datang bersama dengan Nixon dan Lydia. Saat tiba di
Sugiono tersenyum dan berkata, “Sebenarnya dulu Lydia sudah sangat menderita. Kalau ada kesempatan, kami akan memperbaikinya lagi.”Rizal mengibaskan tangannya dan berkata, “Hanya karena anak-anak ini masih belum mengerti saja. Yang lalu biarlah berlalu, Lydia juga sudah nggak mempermasalahkannya lagi. Kita sebagai orang tua mereka juga jangan dimasukkan dalam hati. Berhubungan seperti normalnya saja.”“Belum mengerti?” gumam Dylan sambil tersenyum dan kedua bola matanya menggelap.“Benar, selanjutnya harus berhubungan dengan normal,” lanjut lelaki itu lagi sambil menatap Lydia penuh arti.Perempuan itu merasakan tatapan tajam tersebut dan mengangkat wajahnya. Dia melihat Dylan tengah menatapnya dengan lekat. Sorot mata lelaki itu terlihat lembut dan juga ada senyuman jenaka di sana. Apa yang sedang ditertawakan?Lydia tercenung dan mendadak kehilangan selera makan. Dia meletakkan sendoknya dan memutar bola matanya jengah. Namun ternyata lelaki di depannya tidak marah dan justru semaki
Lydia mengambil kembali ponselnya dan meliriknya sekilas. Seketika emosinya naik dan membuatnya tidak bisa berkata apa pun. Dia menulis namanya dengan tulisan “Sang Penolong”. Lelaki itu sungguh tidak tahu malu!Dia tidak ingin banyak basa-basi lagi dan memutuskan untuk berbalik pergi tanpa berkata apa pun. Dengan santai Dylan mengikutinya, semakin cepat Lydia melangkah maka semakin cepat pula langkah lelaki itu.Saat tiba di pintu keluar, Dylan tiba-tiba bersuara, “Lydia, aku ajar berenang, ya?”Dia masih ingat ketika kecelakaan pesawat, Liam memberi tahu bahwa perempuan itu tidak bisa berenang ketika mereka sedang mencarinya di lautan. Selain itu, Lydia terlihat sangat panik di acara yang tayang ketika Malvin tidak muncul ke permukaan dalam waktu yang cukup lama. Sepertinya rasa panik tersebut bukan karena Malvin, tetapi karena trauma dan ketakutan yang ada di dalam hatinya.Lydia yang tidak mau kalah bagaimana mungkin tidak bisa berenang? Dylan ingin mengajarinya agar perempuan itu
Tiga tahun lalu, di mata Dylan hanya ada sosok Olivia saja. Bagaimana mungkin lelaki itu peduli dengan rupa orang yang dia tolong?Sorot Dylan terlihat berantakan. Ada sebersit sorot gelap yang tidak bisa disingkirkan di kedua bola mata lelaki itu.“Maaf ….”Semua kalimat yang ingin Dylan ucapkan hanya mampu dikeluarkan dalam satu kata sederhana itu saja. Lydia hanya terkekeh kecil dan berkata, “Kamu memang harus minta maaf karena kamu nggak pernah menyangka setelah menolongmu dari sasana tinju gelap itu, mereka akan datang untuk balas dendam padaku, bukan?”Satu kalimat Lydia bagaikan sambaran petir di siang bolong yang membuat Dylan memucat. Lelaki itu menatap Lydia dengan lekat sambil mencengkeram lengannya erat-erat dan berkata, “Kamu bilang apa?”Lydia tidak mengerti kenapa harus terkejut? Dia hanya tersenyum santai menanggapi lelaki itu. Karena sudah terlanjur terucapkan, maka sekalian dijelaskan saja.“Pak Dylan, tiga tahun yang lalu aku memang bisa berenang. Karena kepalaku dit
Lydia nyaris gila karena Dylan sudah seperti lalat yang sangat sulit sekali dia usir. Perempuan itu ingin melayangkan umpatan, tetapi tangan hangat lelaki itu yang memegangnya erat membuat Lydia tidak bisa menolak.“Nggak peduli kamu percaya atau nggak. Lydia, aku sungguh menyesal. Kalau saja masih ada satu kesempatan-““Dylan, selama beberapa tahun ini aku selalu mimpi buruk. Mimpi kejadian itu! Semenjak bertemu denganmu, aku nggak pernah hidup dengan bahagia lagi!” potong Lydia dengan suara dingin.“Aku nggak menyesal pernah menolongmu. Tapi anggap saja aku mohon padamu, bisa nggak kamu lupakan kejadian lalu dan jangan dibahas lagi?” pinta Lydia dengan wajah penuh permohonan.Bagi Lydia, tidak ada gunanya mengetahui apakah lelaki itu menyesal atau tidak. Dia hanya merasa konyol. Tubuh Dylan kembali menegang karena terkejut dengan nada bicara perempuan itu. Bahkan sorot terluka di mata Lydia tidak berani dihadapi oleh Dylan.Semua luka itu muncul karena ulahnya. Sedangkan dia sendiri
PRANG!Suara yang begitu memekakkan telinga terdengar dari arah meja. Botol minuman, gelas dan juga kaca meja hancur berantakan. Bahkan pecahan kacanya ada yang mengenai wajah pemuda yang berbicara tadi. Tetesan darah segar mengalir di pipinya.Ruangan tersebut mendadak berubah menjadi sangat sunyi. Bahkan pemuda tersebut tampak pucat pasi hingga tidak berani berbicara. Dia tahu bahwa dia sudah salah berbicara. Mata Dylan memerah dan tubuhnya dikelilingi api tak kasat mata. Lelaki itu berdiri dan menunjuk pemuda tadi sambil berkata,“Kamu pikir kamu siapa sehingga kamu pantas membicarakan hal buruk tentang dia?!”Dia melangkah mendekat dan tanpa ragu melayangkan tendangan kuat di tubuhnya. Pemuda itu meringkuk kesakitan dan keningnya banjir dengan keringat dingin. Orang-orang di sekitar tidak ada yang berani berkomentar apa pun.“Dylan, tenang sedikit!” ujar Lucas menghentikan Dylan.Setelah itu dia berkata pada orang yang lainnya, “Semuanya, dia minum banyak. Yang di sini serahkan pad
Mobil milik Lucas berhenti di depan kediaman keluarga Agustine. Lelaki yang duduk di dalam mobil itu sibuk menelepon Lydia yang sedang beristirahat. Perempuan itu tampak jengah ketika mengangkat telepon dan bertanya, “Siapa?”“Ini aku, Lucas. Eum … Dylan mabuk dan sekarang ada di depan rumahmu. Kamu bisa keluar sebentar? Setelah dia selesai bicara, aku langsung membawanya pergi.”Keadaan di seberang telepon mendadak sunyi. Saat Lydia tersadar, dia berkata dengan suara dingin, “Bawa dia pergi dari sini!”“Kami sudah datang, kalau kamu nggak keluar lagi maka aku akan tinggalin dia di luar saja. Kalau ada apa-apa dengan dia, kamu harus tanggung jawab penuh.”Setelah sambungan telepon terputus, Lucas menepuk-nepuk dadanya. Butuh keberanian yang besar untuk berbicara seperti itu dengan Lydia. Lucas membawa Dylan turun dari mobil dan membiarkan lelaki itu duduk di depan gerbang.“Dylan, aku melakukan ini demi kebaikanmu. Kamu nggak boleh balas dendam sama aku, ya!” gumam Lucas. Semua ini per
Anak perusahaan Agustine Group yang ada di luar negeri terjadi masalah dan harus segera diatasi. Untuk sementara Nixon tidak bisa meninggalkan kantor pusat dan kebetulan Lydia ingin jalan-jalan melepas penat sehingga dia memutuskan menggantikan kakaknya.Berita tentang Lydia yang hendak keluar negeri langsung terdengar oleh Dylan satu jam kemudian. Saat ini dia sedang di ruang kantornya tengah minum teh untuk meredakan alkohol kemarin.“Apa?!” Dylan terkejut dan minumannya langsung tumpah mengenai dokumennya yang penting. Lelaki itu langsung bangkit berdiri. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat pinggangnya sedikit nyeri.“Dia keluar negeri?”Tony mengangguk dan menjawab, “Benar, yang tadi menerima hadiah kirimannya adalah Liam. Dia yang bilang sendiri kalau Bu Lydia akan keluar negeri dan kemungkinan nggak akan kembali lagi.”Wajah Dylan berubah seketika dan bertanya, “Dia ke mana? Naik pesawat apa?”Perasaan lelaki itu langsung berantakan. Dia khawatir perempuan itu membencinya dan t