Sementara di tempat lain, tepatnya di rumah Faiz dan Kinan yang baru, Safa tersenyum semringah menyaksikan live streaming peresmian Harafa Hospital, ia menatap kagum pada perubahan sang ibu, juga jabatan yang sekarang di embannya. Kepala cheff rumah sakit adalah jabatan yang sangat bergengsi menurut Safa, ia berjalan cepat menemui Larasati yang tengah sibuk di dapur.“Oma, lihatlah Mamahku sekarang berbeda,” ujar Safa, memperlihatkan layar ponsel, ke arah Larasati.Larasati menajamkan mata rentanya. ”Ambil kaca mata Oma, di meja kamar, mata Oma sudah nggak jelas,” suruh Larasati.“Baik Oma, aku ambilkan kaca mata Oma.”Safa setengah berlari menuju kamar Larasati dan mengambil kaca mata, setelah itu menghampiri sang Oma yang menunggu Safa.Larasati meraih cepat kacamata yang disodorkan cucunya itu. Kacamata pun segera dipakai dan melihat ke arah layar.“Benar ini Mamahmu, Safa. Tak kusangka Rani
Setibanya di rumah mewahnya, Kinan membanting tas dan sepatunya di lantai, membuat Larasati terkejut.“Ada apa Kinan?”“Itu, anak Ibu, main tarik saja, aku sedang berbincang dengan para tamu yang hadir di acara peresmian Harafa Hospital, tapi Mas Faiz malah cemburu,” sahut Kinan.Larasati hanya menghela napas panjang. “Jika Faiz cemburu itu tandanya cinta, kamu harusnya bangga dong, bukan marah-marah seperti itu.” Larasati berucap sambil duduk di sofa ruang tengah menyalakan televisi“Sudah malam, tidak usah berdebat lagi,” sela Faiz, sambil berjalan ke lantai dua menuju kamarnya.“Kinan, apa benar Rania, menjadi kepala cheff rumah sakit?”“Ibu, tahu darimana?”“Dari ponsel, Safa yang memperlihatkan pada Ibu tadi,” sahut Larasati ingin mendengar cerita dari Kinan.“Iya, Bu, itu benar, aku yakin, Rania jual diri pada Pak Fathan iya, ‘kan Bu,” Kinan menyungingkan senyum sinis.“Bisa jadi Kinan, atau Dokter Fathan jatuh cinta pada Rania,” tebak Larasati.“Nggak mungkin, ada puluhan wani
Pagi menyapa, sinar sang surya bersinar dengan cerahnya, Rania bersemangat pergi ke Harafa Hospital, hari ini adalah hari pertama ia kerja, di tempat yang baru dan dengan jabatan baru. Celana kain warna hitam, dipadukan dengan blouse warna navy mempercantik penampilan Rania, polesan wajah yang sederhana dengan rambut yang diikat. Rania menatap dirinya di cermin, sambil menerbitkan senyumnya ia tak menyangka saat ini sudah menjadi wanita karir, bukan lagi wanita yang berdiam di dalam rumah.Rania menaiki ojek online untuk sampai di rumah sakit Harafa Hospital, sekitar lima belas menit sampailah Rania di tempat tujuannya.Kini ia berjalan memasuki loby, ada banyak hal yang akan ia lakukan, salah satunya adalah mengadakan pertemuan dengan staff ahli gizi, karena apa yang ia kerjakan sangat berhubungan dengan gizi dan nutrisi pada pasien.Seharian Rania sibuk dengan perkerjaan, hingga masalah Safa semalam ia lupakan.Hingga waktu hampir menjelang malam, Rania baru selesai, ia pun berma
“Bagaimana jika polisi menyelidikinya, apa Nay, akan di penjara?” “Tutup mulutmu Nay, jangan bilang seperti itu, kamu tidak sengaja ‘kan jadi tolong tenanglah sedikit, Mamah akan cari cara supaya kamu keluar dari masalah ini.” Kinan beralih duduk di samping Nayla, pikirannya terus berpikir. “Malam ini tinggalah disini, Mamah akan pulang melihat keadaan Safa, matikan ponselmu, sekarang emosimu belum terkontrol, Mamah takut kamu keceplosan, istirahatlah dan tenangkan dirimu,” suruh Kinan. “Baik Mah..” Kinan mengantarkan Nayla ke kamar, menyelimuti tubuhnya lalu pergi meninggalkannya sendiri. Kinan kembali duduk di ruang depan, menyalakan ponsel, dan benar saja, panggilan dari Faiz dan chat dari Faiz. Wanita bertubuh sintal itu menghembuskan napas pelan, lalu mencoba meghubungi Faiz. “Hallo Mas Faiz, ada apa? maaf ponselku low battery?’ “Safa terjatuh dari lantai dua kamarnya, aku perlu bicara denganmu, segeralah pulang!” perintah Faiz, lalu menutup poselnya. Kinan bergegas kelua
Larasati terlihat marah ia mencerca Faiz dan Kinan sesampainya di rumah.“Kalian, menyembunyikan hal sebesar ini dariku, ternyata Nayla adalah cucuku juga,” ucap Larasati.“Sekarang ibu sudah tahu, aku harap ibu tidak memberitahukan ini dulu pada Nayla, biar kami yang akan memberitahukan masalah besar ini, karena ini menyangkut emosional, aku takut Nayla marah dan kecewa, oleh karena itu, kami ingin memberikannya banyak kasih sayang dulu,” jelas Faiz.“Iya, aku tahu, aku juga akan memberikannya kasih sayang,“ sahut Larasati.“Bagaimana keadaan Safa, Bu?” tanya Kinan.“Safa masih koma, mudah-mudahan ia bisa melewati masa kritisnya, aku kasihan melihat Safa,” balas Larasati.“Sepulang kerja nanti aku dan Kinan akan menjenguknya,” timpal Faiz.“Iya Mas, aku juga ingin melihat keadaan Safa.”“Ajak juga Nayla,” suruh Faiz.“Lebih baik jangan Mas, dia bisa shock, jika melihat Safa dalam keadaan koma, Mas tahu sendiri ‘kan Nayla sangat dekat dengan Safa.”“Baiklah terserah kamu, aku akan per
Rania bergegas menuju rumah Faiz, setelah memastikan jika Safa dalam penjagaan perawat. Rasa penasarannya harus dituntaskan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, haruskah ia melapor ke polisi biar polisi yang menyelidikinya, itulah yang sempat terpikirkan Rania.Rania menekan bell pintu pagar yang menjulang tinggi, tidak lama kemudian Pak Tarjo datang.“Mau bertemu siapa?”“Bapak, saya ingin menanyakan sesuatu pada Bapak?”“Tanya apa?”“Bapak ‘kan yang menemukan pertama kali Safa terjatuh?”“Iya saya, kenapa?”“Ada siapa saja waktu itu yang di rumah?”Hanya ada saya, lalu ketika aku meminta pertolongan satpam komplek, Bu Larasati baru pulang dari belanja, dan ikut membawa Safa ke rumah sakit.”“Bapak yakin, jika di rumah tidak ada Nayla?”“Yakin,” jawab Pak Tarjo tegas dan serius.“Baiklah, sekarang aku ingin bertemu Kinan.”“Maaf, Nyonya Kinan belum pulang, yang di rumah hanya Nyonya Larasati.”“Baiklah aku akan bertemu dengan Bu Larasati,” pinta Rania.Pintu pagar dibuka, da
Rania sedang sibuk memberi briefing, pada lima karyawan yang akan membantunya memasak untuk catering sebuah seminar, semua bahan telah disiapkan, daftar menu dan resepnya sudah dipelajari. Bu Fatma yang berada disana juga ikut berpartisipasi . “Ran, ini sudah jam tujuh, lebih baik kamu segera ke Harafa Hospital, biar aku yang handle untuk proses selanjutnya. “Terima kasih Bu Fatma, saya pergi dulu,” pamit Rania. Rania menaiki ojek online, supaya lebih cepat dan tidak terjebak macet hingga sampai di Harafa Hospital tepat waktu, sebelum masuk ke ruang kerja, ia melihat keadaan Safa, gadis itu sendirian di dalam kamar dan masih belum sadar. Rania kembali terlihat sedih, tekadnya untuk membawa Safa berobat ke rumah sakit Singapura semakin bulat, walau Faiz tidak akan setuju, bahkan tidak membantu secara finansial, Rania pun tetap pada pendiriannya. Hari berlalu begitu cepat, menjelang senja, Rania sudah berada di kamar Safa, satu jam lagi, ia akan pergi k
Rania lalu mengayunkan kakinya keluar dari rumah Faiz. Sementara Faiz terduduk di sofa, ia menatap Nayla dan Kinan dengan tajam.“Kenapa kalian menyembunyikan hal ini padaku?”“Mas...aku hanya ingin melindungi Nayla, ingat, Nayla juga putri kandungmu,” sahut Kinan tanpa merasa bersalah sedikitpun.“Tapi, seharusnya kamu jujur pada kami, Kinan,” sela Larasati.“Cukup Bu, jangan ikut campur dalam masalah keluarga kami!” bentak Kinan pada ibu mertuanya itu.Larasati terdiam, lalu memilih pergi, meninggalkan ruang tengah. Kinan, Faiz, juga Nayla berpikir mengenai ancaman Rania.“Apa Rania akan benar-benar melaporkan hal ini, jika kita tidak memberinya uang dua milyar?”tanya Kinan “Aku yakin, ia akan melaporkannya, dan pasti Nayla akan masuk penjara, usia Nayla sudah tujuh belas tahun tepat bulan ini ‘kan?” jadi kemungkinan, penjara bukan pusat rehabilitasi untuk kejahatan anak di bawah umur, aku tidak bisa membayangkan, kedua putriku bernasib, sial, yang satunya terbaring di rumah sakit,