"Jadi, bagaimana dokter, apa saya subur? Kami sudah menikah lebih dari 3 bulan, tapi aku tak kunjung hamil."
Naomi kedengaran seperti seorang yang sedang curhat, wajahnya menekuk kecewa, seraya tangannya memilin ujung dress. Dokter wanita yang mendengarnya hanya senyam-senyum. Beliau paham betul, karena beberapa kali juga mendapat pasien yang serupa.
"Apa yang Nyonya rasakan belakangan ini? Apa nyonya mudah merasakan lelah atau pusing-pusing disertai mual?"
Naomi tak paham maksud pertanyaan dokter. Padahal dia yang bertanya, tapi dokter malah balik nanya. Gimana sih? Tambah kesal saja. Tapi, karena dokter wanita itu menatapnya serius, Naomi terpaksa mengingat-ingat. Mudah lelah, pusing disertai mual?
"Kalau mudah lelah, sih, iya, dok. Naik turun tangga biasanya juga baik-baik aja, kalau sekarang agak ngos-ngosan. Padahal teman bilang
Naomi menggeliat di balik selimut yang menutupi tubuhnya hingga pundak. Ia menggeliat karena merasa ada yang kurang, tidak ada lengan kekar yang biasa melingkari di pinggangnya, tidak ada dada bidang tempatnya biasa bersandar.Masih dengan mata tertutup, dirabanya ranjang yang kosong di belakang. Ke mana Mas Adrian? Cepat Naomi membuka mata dan betapa terkejutnya dia, alih-alih mendapati suaminya itu tidur di ranjang malah berlutut di depannya, seperti tadi malam.Astaga! Jadi dia tidak main-main. Mas Adrian benar-benar berlutut di sini sampai aku mau memaafkan dia. Bagaimana ini? Aku masih marah, dan belum ingin memberitahu padanya soal kehamilanku.Naomi belum ingin bangun, dia masih ingin mengamati raut wajah kelelahan Adrian, ketika mendadak isi perutnya seperti diobok-obok. Ia merasakan mual yang teramat sangat, dan seperti ada dorongan yang dahsyat untuk m
Dia nggak mual dan muntah-muntah lagi. Apa benar kemarin itu karena masuk angin, ya?Adrian yang hendak berangkat kerja, sedikit bimbang meninggalkan Naomi di rumah. Langkah yang sudah diambang pintu itu berbalik demi melihat Naomi yang bergerak menggeliat. Hanya menggeliat, tidak ada tanda-tanda mual dan ingin muntah. Bahkan mata istrinya itu masih terpejam.Syukurlah."Bik, titip Naomi ya. Dia masih tidur, kalau sampai jam 9 belum turun juga untuk sarapan, Bibik antar aja langsung ke kamar. Khawatir dia belum bisa banyak bergerak." Perintah Adrian dengan jari telunjuk yang bergerak-gerak menunjuk ke arah kamar.Bi Inah mengangguk. "Baik, Tuan."Tanpa diminta pun, Bi Inah akan melakukannya kok. Dia kan memang menyayangi majikannya itu seperti anak juga cucu sendiri. 
Euuugh. Adrian melenguh panjang disertai geliat tubuhnya. Ia berbalik menghadap ranjang di samping lalu merabanya. Kosong? Ke mana Naomi? Sontak matanya terbuka lebar menengok ke sana ke mari. Jantungnya dalam sekejap berpacu kencang, seperti habis lari keliling lapangan. Pikiran-pikiran aneh pun muncul di benak. Apa Naomi pergi karena marah padanya?Bersamaan dengan itu, dari dalam kamar mandi terdengar suara jeritan yang memanggilnya. Naomi. Terpontang-panting Adrian bangun berlari menuju kamar mandi.ARGGHHH! MAAAS!BRAK.Bunyi pintu kamar mandi yang dibanting keras oleh Adrian, namun apa pedulinya. Yang penting, dia cepat sampai pada sang istri."Naomi, kamu kenapa, Sayang?"Naomi tampak baik-baik saja, tapi kenapa dia menjerit barusan? Dia juga tidak ter
"Kok kecil sekali ya, Dok? Kayak upil. Dokter pasti salah nih." Interupsi Adrian sembari menunjuk layar monitor berbentuk segi empat di samping ranjang.Jadi, siang harinya di hari yang sama setelah tahu Naomi hamil, Adrian dengan hati yang riang gembira membawa istrinya menemui dokter kandungan lagi. Di rumah sakit yang sama dengan kemarin.Dokter menunjuk bahwa titik hitam kecil dalam layar monitor itu adalah bayi mereka. Naomi juga kaget, tapi dia masih berusaha mempercayainya. Dokter tidak mungkin salah, kan? Apalagi spesialis kandungan, masa tidak bisa membedakan mana titik biasa sama bayi dalam perut.Naomi mendongak memandang Adrian yang menatapnya tanpa dosa. Dia juga tak salah, kan, bertanya seperti itu? Namanya juga orang tidak tahu.Tapi, jangan menyamakan dengan upil juga kali. 
Adrian ke kantor seperti biasanya, meninggalkan Naomi sendirian di rumah. Tapi, Naomi tidak perlu khawatir lagi, karena ia sudah membeli banyak makanan kemarin. Adrian sampai kebingungan menatanya dalam lemari pantri. Beneran, seperti orang berjualan saja."Mau makan apa ya?" Naomi membuka lemari pantri dan mengamati satu persatu makanan ringan hingga berat yang kemarin dia beli. Telunjuknya ditaruh di dagu serta kedua bola matanya bergerak-gerak menimbang makanan mana yang enak dimakan."Semua tampak enak. Yang mana satu yang mau aku makan?" Ia berbicara sendiri dalam kebingungan. Tidak ada makanan, pengen makan. Giliran udah punya makan sebanyak ini, jadi bingung mau makan yang mana. Gimana sih? Naomi jadi kesal sendiri. Tanpa sadar ia menghentakkan kakinya ke lantai."Bagaimana Nyonya? Apa sekarang sering mual dan muntah-muntah lagi?" Saking kesalnya, Naomi j
"MAAAS!"Suara jeritan dari dalam kamar, sontak membuat Adrian dan Bi Inah saling pandang. Seketika, pemikiran soal Naomi sangat menyebalkan melesat dari kepalanya, berganti menjadi kaget, bingung dan cemas bercampur satu."Itu Nyonya kenapa ya, Tuan?" tanya Bi Inah harap-harap cemas."Aku juga nggak tau, Bik. Ayo kita lihat." Layaknya seorang superhero dalam film-film laga, Adrian melompat dari sofa, tapi karena tidak berhati-hati dan terburu-buru, ia jatuh terjerembab ke lantai.GEDEBUK. Seperti nangka busuk.Bi Inah berjongkok untuk membantu Adrian berdiri, baru kemudian mereka bersama menuju ke kamar. Adrian sungguh malu pada Bi Inah, tapi itu tidak penting untuk sekarang ini."Sayang, kamu kenapa?" Adrian mengabsen setiap jengkal tubuh Naomi,
"Mas, ketemu es potongnya?"Adrian sudah cukup lelah dan kesal karena ulah Tristan, yah walaupun bukan salah pria itu sepenuhnya, lalu sekarang kepulangannya tidak disambut sama sekali. Naomi lebih mementingkan es potong yang dia bawa.Astaga! Apakah ini cobaan memiliki istri yang sedang hamil? Ini baru berjalan beberapa Minggu, bagaimana dengan minggu-minggu selanjutnya? Atau bisa jadi, Adrian akan menghadapi ini setiap hari? Ampun deh."Ketemu dong, Sayang. Adrian gitu loh." Dan anehnya, kesal bagaimanapun, Adrian masih membanggakan dirinya di hadapan Naomi dengan cengiran yang lebar. Dasar. Perbuatan sama ucapan tidak singkron sama sekali."Makasih ya, Mas. Kamu memang suami terbaik deh." Entah itu pujian atau asal sebut, tapi Naomi tidak mempedulikan Adrian. Dia berpaling setelah mendapati sang suami membelikan banyak
"Loh, mama? Kok datang ke mari nggak bilang-bilang dulu sih?"Naomi yang baru keluar dari kamar karena hendak mencari makan dibikin kaget luar biasa. Bagaimana tidak kaget? Pas ia berdiri di ujung tangga, rupanya ada mama mertuanya yang sedang berbual dengan Bi Inah di ruang makan.Naomi pun berlari-lari kecil menghampiri mama mertuanya itu yang juga sudah melihat dan tersenyum ke arahnya."Halo dear, kenapa? Nggak senang ya mama datang mendadak ke mari?" Ya mendadak, kayak orang mau inspeksi aja. Keduanya berpelukan, layaknya orang yang sudah lama tidak berjumpa.Menggeleng manja setelah pelukan erat itu lepas. "Bukan begitu, Ma. Kalau aku tahu mama mau datang, kan aku bisa minta Bi Inah siapkan masakan yang banyak."Mata bening Mama Nawang menatap dalam seolah bisa berbicara. Dia juga menggeleng p
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin