Share

Bab. 05

Penulis: Salsha23
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-26 09:03:29

Waktu berlalu, dan desa kembali hidup dalam kedamaian. Penduduk tidak lagi berbicara tentang Rumah Tanpa Nama atau kejadian-kejadian aneh yang pernah menghantui mereka. Namun, di sudut pikiran mereka, ada rasa waspada yang tak pernah benar-benar hilang. Mereka tahu, sesuatu masih tertinggal di tempat itu.

Sementara itu, cermin kecil yang berdiri di tengah bekas Rumah Tanpa Nama tetap tak tersentuh. Paranormal yang menyaksikan pengorbanan Danang memperingatkan penduduk desa untuk tidak mendekati atau bahkan melihat cermin itu terlalu lama.

Namun, rasa penasaran adalah sifat manusia yang sulit dihindari.

---

Sepuluh tahun setelah pengorbanan Danang, seorang anak laki-laki bernama Raka bermain-main di sekitar lokasi itu. Ia sering mendengar larangan orang tua untuk mendekati tempat tersebut, tetapi rasa ingin tahunya terlalu besar.

Suatu sore, ketika matahari hampir tenggelam, Raka berjalan perlahan ke tengah lahan kosong itu. Rumput yang tumbuh di sekitar tempat itu terasa berbeda, seperti lebih gelap dan dingin daripada rumput di tempat lain. Di sana, ia melihat cermin kecil yang berdiri tegak di atas tanah.

“Cermin ini aneh,” gumam Raka sambil mendekatinya. Ia menatap bayangannya sendiri di permukaan cermin. Namun, sesuatu terasa tidak benar.

Bayangan Raka di cermin itu tidak bergerak mengikuti gerakannya. Sebaliknya, bayangan itu tersenyum kepadanya, senyum lebar yang tidak wajar.

“Hei... siapa kamu?” tanya Raka, suaranya bergetar.

Bayangan itu berbicara dengan suara yang bukan milik Raka. “Aku adalah bagian dari tempat ini. Kamu datang untuk membebaskanku?”

Raka mundur, ngeri, tapi matanya tetap terpaku pada cermin itu. Ia mencoba berlari, tetapi kakinya terasa berat, seolah-olah tanah di bawahnya menahannya. Bayangan di cermin mulai berubah, menjadi sosok tinggi dengan mata merah menyala—kegelapan yang pernah disegel oleh Danang.

“Sudah terlalu lama aku menunggu,” suara itu bergema. “Dan sekarang, aku bebas lagi.”

Raka menjerit, tetapi suaranya tenggelam dalam angin malam yang tiba-tiba bertiup kencang.

---

Malam itu, penduduk desa mendengar suara aneh dari arah bekas Rumah Tanpa Nama—tawa menyeramkan yang bergema di udara. Ketika mereka berkumpul untuk mencari tahu, mereka menemukan cermin kecil itu telah pecah, dan Raka tidak pernah ditemukan lagi.

Kisah Rumah Tanpa Nama kembali menghantui desa. Penduduk sadar bahwa kegelapan itu telah kembali, lebih kuat dan lebih berbahaya dari sebelumnya.

---

Di sebuah kota jauh dari desa itu, seorang pedagang barang antik sedang memeriksa koleksinya. Di antara barang-barang itu, ada sebuah cermin kecil dengan retakan di permukaannya.

“Cermin ini terlihat unik,” kata pedagang itu kepada seorang pelanggan.

Namun, saat pelanggan itu menatap ke dalam cermin, ia merasa bayangannya tersenyum kepadanya.

Kegelapan tidak pernah mati. Ia hanya berpindah, menunggu jiwa berikutnya untuk dimangsa.

Cermin kecil dengan retakan di permukaannya menjadi pusat perhatian di toko barang antik. Banyak pelanggan yang tertarik, tapi tidak ada yang tahu rahasia kelam yang tersembunyi di baliknya. Hingga suatu hari, seorang wanita muda bernama Nadia, seorang kolektor barang aneh, membeli cermin itu karena merasa ada sesuatu yang istimewa.

“Cermin ini seperti memiliki cerita,” katanya kepada pedagang.

Pedagang itu tersenyum samar, tak menyadari apa yang sebenarnya ia jual. “Semoga Anda menikmati koleksi baru Anda.”

Nadia membawa cermin itu pulang ke apartemennya di pusat kota. Ia menaruhnya di ruang tamu, di tempat yang bisa ia lihat setiap hari. Semakin lama ia menatap cermin itu, semakin ia merasa terhubung. Bayangannya di cermin sering kali tampak aneh, seperti bergerak lebih lambat dari dirinya, atau tersenyum meskipun ia tidak tersenyum.

Awalnya, Nadia menganggap hal itu hanya perasaannya saja. Tapi seiring waktu, keanehan mulai terjadi di rumahnya. Lampu sering berkedip tanpa alasan, bayangan-bayangan di sudut ruangan tampak lebih gelap, dan ia sering merasa diawasi.

Suatu malam, saat ia sedang bekerja di depan laptop, ia mendengar suara bisikan samar.

“Nadia...”

Ia mendongak dengan cepat, tapi tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Dengan jantung berdebar, ia melihat ke arah cermin. Dalam refleksi cermin, bayangannya tidak sedang duduk di meja, melainkan berdiri di belakangnya, tersenyum lebar.

Nadia berteriak, berbalik, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Ketika ia menoleh kembali ke cermin, bayangannya sudah normal.

“Aku pasti hanya lelah,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Namun, malam-malam berikutnya semakin buruk. Bayangan di cermin itu mulai berbisik kepadanya, berbicara tentang hal-hal yang tidak ia mengerti. Ia mendengar nama-nama aneh, mantra-mantra asing, dan janji-janji yang mengerikan.

“Bebaskan aku,” bisik bayangan itu suatu malam. “Kamu hanya perlu menyentuh permukaanku... dan semuanya akan berakhir.”

Nadia tahu itu tidak benar, tapi rasa penasaran dan ketakutan bercampur dalam pikirannya. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak bisa ia hindari.

---

Beberapa minggu kemudian, teman-teman Nadia mulai memperhatikan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi pendiam, matanya tampak lelah, dan sering berbicara sendiri. Ketika salah satu temannya, Rina, datang untuk mengunjunginya, Rina merasa ada sesuatu yang aneh di apartemen itu.

“Ada apa dengan cermin itu?” tanya Rina, merasa tidak nyaman.

“Oh, itu hanya cermin biasa,” jawab Nadia dengan senyum yang aneh. “Tapi kadang aku merasa... dia berbicara kepadaku.”

Rina tertawa gugup, berpikir Nadia sedang bercanda. Namun, ketika ia mendekati cermin itu, ia merasakan hawa dingin yang aneh. Dalam pantulan cermin, ia melihat sesuatu yang tidak ia harapkan—bayangan gelap yang berdiri di sudut ruangan, menatap langsung ke arahnya.

Rina mundur dengan ketakutan. “Nadia, cermin ini tidak normal! Kamu harus menyingkirkannya!”

Nadia hanya tertawa kecil. “Tidak, Rina. Cermin ini adalah bagian dariku sekarang.”

Rina pergi dengan perasaan tidak enak, berjanji akan kembali dengan bantuan. Tapi malam itu, sebelum ia sempat kembali, Nadia menghilang. Tetangga-tetangganya melaporkan suara jeritan dari apartemennya, dan ketika polisi datang, mereka hanya menemukan apartemen kosong dengan cermin itu masih berdiri di ruang tamu.

---

Cermin itu kini kembali menjadi misteri, menunggu pemilik baru yang cukup penasaran untuk membawa pulangnya.

Kegelapan tidak bisa dihancurkan. Ia hanya berpindah dari satu jiwa ke jiwa berikutnya, menyebarkan teror ke mana pun ia pergi.

Bab terkait

  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 01

    Angin berbisik pelan di tengah malam, mengirimkan rasa dingin yang merayap di kulit. Jalan setapak yang mengarah ke sebuah rumah tua di ujung desa itu nyaris tak terlihat, tertutup ilalang yang tinggi dan rapat. Penduduk desa menyebutnya “Rumah Tanpa Nama.” Tak ada yang tahu siapa pemiliknya, kapan rumah itu dibangun, atau mengapa tidak pernah ada yang tinggal di sana lebih dari seminggu. Malam itu, Bima dan tiga temannya—Sinta, Arif, dan Lila—memutuskan untuk membuktikan keberanian mereka. “Katanya, setiap malam Jumat, suara tangisan terdengar dari dalam rumah itu,” ujar Sinta sambil menggenggam senter kecil dengan erat. “Mungkin hanya cerita untuk menakut-nakuti anak-anak,” balas Arif, meski nada suaranya terdengar ragu. Ketika mereka sampai di depan rumah itu, aroma kayu lapuk bercampur tanah basah menyeruak. Jendela-jendela yang pecah menganga seperti mulut yang ingin menelan mereka bulat-bulat. Pintu utama sedikit terbuka, berderit pelan ketika angin menyentuhnya. “Masuk

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 02

    Beberapa bulan setelah kejadian itu, desa kembali tenang, meski cerita tentang Rumah Tanpa Nama tetap beredar. Namun, ketenangan itu hanya ilusi. Penduduk mulai melaporkan hal-hal aneh. Beberapa orang yang tinggal di dekat rumah itu sering mendengar suara langkah kaki, meski tidak ada siapa pun di sekitar. Beberapa lainnya melihat bayangan yang melintas di jendela rumah tersebut, meski rumah itu sudah lama tidak dihuni. Pak Hasan merasa bahwa ini tidak bisa dibiarkan. Ia menghubungi seorang pria bernama Ki Surya, seorang paranormal yang dikenal mampu menangani tempat-tempat berhantu. “Ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah itu,” kata Pak Hasan saat Ki Surya tiba. “Kami kehilangan empat anak di sana, dan sejak saat itu, desa ini tidak lagi damai.” Ki Surya mengangguk, wajahnya serius. “Rumah ini menyimpan dendam lama. Kita harus mencari tahu apa yang terjadi di sini.” Malam itu, Ki Surya, ditemani Pak Hasan dan Rahmat, memasuki Rumah Tanpa Nama dengan membawa peralatan ritual. Be

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 03

    Meski ritual telah selesai dan kedamaian kembali ke desa, tidak ada yang benar-benar merasa lega. Ki Surya memperingatkan bahwa kegelapan itu hanya tertidur, bukan lenyap sepenuhnya. Penduduk desa berusaha melupakan Rumah Tanpa Nama, berharap bahwa melupakan adalah cara terbaik untuk melindungi diri mereka. Namun, rahasia seperti ini tidak pernah benar-benar hilang.Bima, Sinta, Arif, dan Lila berusaha menjalani kehidupan mereka seperti biasa, tapi setiap malam, mimpi buruk selalu datang. Dalam mimpi itu, mereka melihat bayangan-bayangan hitam menggeliat di dalam tanah, mencoba keluar. Mereka mendengar bisikan-bisikan yang mengatakan, “Kami akan kembali. Kami selalu kembali.”Mimpi buruk itu terasa terlalu nyata, hingga akhirnya Bima memutuskan untuk kembali ke lokasi puing-puing rumah itu sendirian. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang harus ia pastikan. Dengan membawa senter dan keberanian yang tersisa, ia berjalan menyusuri jalan setapak yang dulu menuju Rumah Tan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 04

    Sejak hari itu, desa benar-benar tenang. Tidak ada lagi suara-suara aneh, mimpi buruk, atau bayangan yang menghantui. Penduduk merasa lega, meski di balik rasa damai itu ada luka mendalam—kehilangan Bima, Sinta, Arif, dan Lila yang mengorbankan diri demi keselamatan semua orang.Namun, seperti yang pernah dikatakan Ki Surya, kegelapan tidak pernah benar-benar hilang.---Lima tahun kemudian, seorang pemuda bernama Danang datang ke desa itu. Ia seorang penulis yang sedang mencari inspirasi untuk novel horornya. Ia mendengar tentang Rumah Tanpa Nama dari cerita-cerita lama penduduk desa dan merasa ini adalah kesempatan emas untuk menciptakan kisah yang menarik.“Mereka bilang rumah itu sudah lama hancur,” ujar salah seorang penduduk yang ia temui. “Tapi anak muda, jangan terlalu penasaran. Beberapa cerita sebaiknya dibiarkan menjadi misteri.”Namun, rasa ingin tahu Danang lebih besar daripada peringatan itu. Ia pergi ke lokasi bekas rumah tersebut, yang kini telah menjadi tanah lapang d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26

Bab terbaru

  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 05

    Waktu berlalu, dan desa kembali hidup dalam kedamaian. Penduduk tidak lagi berbicara tentang Rumah Tanpa Nama atau kejadian-kejadian aneh yang pernah menghantui mereka. Namun, di sudut pikiran mereka, ada rasa waspada yang tak pernah benar-benar hilang. Mereka tahu, sesuatu masih tertinggal di tempat itu.Sementara itu, cermin kecil yang berdiri di tengah bekas Rumah Tanpa Nama tetap tak tersentuh. Paranormal yang menyaksikan pengorbanan Danang memperingatkan penduduk desa untuk tidak mendekati atau bahkan melihat cermin itu terlalu lama.Namun, rasa penasaran adalah sifat manusia yang sulit dihindari.---Sepuluh tahun setelah pengorbanan Danang, seorang anak laki-laki bernama Raka bermain-main di sekitar lokasi itu. Ia sering mendengar larangan orang tua untuk mendekati tempat tersebut, tetapi rasa ingin tahunya terlalu besar.Suatu sore, ketika matahari hampir tenggelam, Raka berjalan perlahan ke tengah lahan kosong itu. Rumput yang tumbuh di sekitar tempat itu terasa berbeda, sepe

  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 04

    Sejak hari itu, desa benar-benar tenang. Tidak ada lagi suara-suara aneh, mimpi buruk, atau bayangan yang menghantui. Penduduk merasa lega, meski di balik rasa damai itu ada luka mendalam—kehilangan Bima, Sinta, Arif, dan Lila yang mengorbankan diri demi keselamatan semua orang.Namun, seperti yang pernah dikatakan Ki Surya, kegelapan tidak pernah benar-benar hilang.---Lima tahun kemudian, seorang pemuda bernama Danang datang ke desa itu. Ia seorang penulis yang sedang mencari inspirasi untuk novel horornya. Ia mendengar tentang Rumah Tanpa Nama dari cerita-cerita lama penduduk desa dan merasa ini adalah kesempatan emas untuk menciptakan kisah yang menarik.“Mereka bilang rumah itu sudah lama hancur,” ujar salah seorang penduduk yang ia temui. “Tapi anak muda, jangan terlalu penasaran. Beberapa cerita sebaiknya dibiarkan menjadi misteri.”Namun, rasa ingin tahu Danang lebih besar daripada peringatan itu. Ia pergi ke lokasi bekas rumah tersebut, yang kini telah menjadi tanah lapang d

  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 03

    Meski ritual telah selesai dan kedamaian kembali ke desa, tidak ada yang benar-benar merasa lega. Ki Surya memperingatkan bahwa kegelapan itu hanya tertidur, bukan lenyap sepenuhnya. Penduduk desa berusaha melupakan Rumah Tanpa Nama, berharap bahwa melupakan adalah cara terbaik untuk melindungi diri mereka. Namun, rahasia seperti ini tidak pernah benar-benar hilang.Bima, Sinta, Arif, dan Lila berusaha menjalani kehidupan mereka seperti biasa, tapi setiap malam, mimpi buruk selalu datang. Dalam mimpi itu, mereka melihat bayangan-bayangan hitam menggeliat di dalam tanah, mencoba keluar. Mereka mendengar bisikan-bisikan yang mengatakan, “Kami akan kembali. Kami selalu kembali.”Mimpi buruk itu terasa terlalu nyata, hingga akhirnya Bima memutuskan untuk kembali ke lokasi puing-puing rumah itu sendirian. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang harus ia pastikan. Dengan membawa senter dan keberanian yang tersisa, ia berjalan menyusuri jalan setapak yang dulu menuju Rumah Tan

  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 02

    Beberapa bulan setelah kejadian itu, desa kembali tenang, meski cerita tentang Rumah Tanpa Nama tetap beredar. Namun, ketenangan itu hanya ilusi. Penduduk mulai melaporkan hal-hal aneh. Beberapa orang yang tinggal di dekat rumah itu sering mendengar suara langkah kaki, meski tidak ada siapa pun di sekitar. Beberapa lainnya melihat bayangan yang melintas di jendela rumah tersebut, meski rumah itu sudah lama tidak dihuni. Pak Hasan merasa bahwa ini tidak bisa dibiarkan. Ia menghubungi seorang pria bernama Ki Surya, seorang paranormal yang dikenal mampu menangani tempat-tempat berhantu. “Ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah itu,” kata Pak Hasan saat Ki Surya tiba. “Kami kehilangan empat anak di sana, dan sejak saat itu, desa ini tidak lagi damai.” Ki Surya mengangguk, wajahnya serius. “Rumah ini menyimpan dendam lama. Kita harus mencari tahu apa yang terjadi di sini.” Malam itu, Ki Surya, ditemani Pak Hasan dan Rahmat, memasuki Rumah Tanpa Nama dengan membawa peralatan ritual. Be

  • Malam di Rumah Tanpa Nama   Bab. 01

    Angin berbisik pelan di tengah malam, mengirimkan rasa dingin yang merayap di kulit. Jalan setapak yang mengarah ke sebuah rumah tua di ujung desa itu nyaris tak terlihat, tertutup ilalang yang tinggi dan rapat. Penduduk desa menyebutnya “Rumah Tanpa Nama.” Tak ada yang tahu siapa pemiliknya, kapan rumah itu dibangun, atau mengapa tidak pernah ada yang tinggal di sana lebih dari seminggu. Malam itu, Bima dan tiga temannya—Sinta, Arif, dan Lila—memutuskan untuk membuktikan keberanian mereka. “Katanya, setiap malam Jumat, suara tangisan terdengar dari dalam rumah itu,” ujar Sinta sambil menggenggam senter kecil dengan erat. “Mungkin hanya cerita untuk menakut-nakuti anak-anak,” balas Arif, meski nada suaranya terdengar ragu. Ketika mereka sampai di depan rumah itu, aroma kayu lapuk bercampur tanah basah menyeruak. Jendela-jendela yang pecah menganga seperti mulut yang ingin menelan mereka bulat-bulat. Pintu utama sedikit terbuka, berderit pelan ketika angin menyentuhnya. “Masuk

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status