Rencana apa yang akan Adrian lakukan untuk mengembalikan perusahaan, Nada tidak mengetahuinya. Pasalnya sang paman tidak memberi tahu Nada, walau dia sudah memaksanya. Sehingga Nada pun mengurungkan niatnya untuk membagikan informasi yang dia dapatkan.Setelah beberapa hari mencari informasi mengenai Sindy, Nada akhirnya mendapatkan titik terang. Hari ini dia akan bertemu dengan salah satu orang yang—mungkin bisa dikatakan haters-nya Sindy.“Selamat siang, dengan Mbak Nada?”Nada segera mendongak, saat namanya disebut, lalu dia mendapati sesosok laki-laki. Dia melihat laki-laki dengan berperawakan tinggi, tampan, mengenakan pakaian kaus berbalut jaket levis. Jika Nada memindai sekilas wajahnya, usia laki-laki itu tak begitu jauh darinya.“Oh, iya. Mas Radivan?” tanya Nada, seraya bangkit dari kursinya.“Iya,” timpal pria itu.“Silakan duduk, Mas. Sekalian saja pesan makanan, ini sudah jam makan siang,” kata Nada.Namun, pria itu menggeleng, “Aku pesan minum saja. Kebetulan aku sudah m
“Itu Michele!” kata Nada, yang seolah sudah mengetahui sosok anak yang dia cari. Kemudian dia melirik ke arah Ulfi, yang sudah menegang.“Ah … itu, anu ….” Ulfi begitu gelagapan, apalagi saat Michele sudah mendekat ke arah mereka berdua.Nada melambaikan tangan pada Michele, lalu menyapanya dengan sedikit berbisik. Kembali Nada alihkan perhatiannya pada Ulfi.“Bolehkah aku berbicara dengan Michele sebentar, Bu? Tidak jauh, aku akan bicara dengannya di sini,” kata Nada.Entah alasan apalagi yang harus Ulfi berikan. Nampaknya wanita paruh baya itu tidak pandai untuk berbohong dan menutupi sesuatu.“Baiklah, Mbak. Hanya saja saya berikan waktu lima belas menit. Karena Michele harus beristirahat, dia baru saja pulang dari sekolah.”Nada tersenyum kemenangan, saat mendapatkan izin dari Ulfi. Sedangkan wanita itu nampak gelisah dan segera memasuki rumah bersama satu anak gadis, yang tadi bersama dengan Michele.“Halo, Michele, silakan duduk.” Nada mempersilakan gadis kecil itu untuk duduk d
“Deven, Nada. Apa kalian sudah siap?”Suara Adrian seketika membuyarkan pikiran Nada. Untuk beberapa saat, dia sempat hanyut dengan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh anaknya.“Mama sebentar lagi, Pa!” seru Deven dari dalam kamar. Kemudian dia menatap sang ibunda, “ayo, Ma. Cepat bersiap, kita berangkat sekarang!” ajak Deven.Anak itu pun segera keluar, memberikan waktu pada ibunya untuk bersiap. Tidak ingin membuat Deven kecewa, Nada segera bergegas untuk bersiap diri. Setelah Nada siap, mereka pun segera pergi menuju Mall besar di ibu kota.Sepanjang jalan mereka hanya ditemani oleh suara Deven, yang sedang menghafal dialognya. Sesekali Adrian menimpal, berpura-pura memerankan peran lain, agar anaknya bisa maksimal dalam berlatih.Sedangkan Nada, hanya bisa diam menatap dua laki-laki itu secara bergantian. Di mata Nada terlihat Adrian sangat mengayomi anaknya. Sedangkan Deven, terlihat sangat bahagia karena kini memiliki sosok ayah. Nada? Dia hanyut dalam lukanya sendiri.“Ini
“Terima kasih, Sindy,” ucap seorang fotografer yang baru saja selesai memotret Sindy untuk sebuah majalah. Sindy hanya mengangguk kecil, lalu dia duduk di sebuah sofa. Ivan langsung datang dengan membawakan minuman manis kesukaan Sindy. “Ponselku!” pinta Sindy seraya mengulurkan tangannya dengan angkuh. Ivan langsung merogoh tas kecil miliknya, lalu memberikan ponsel milik sang artis. Sindy langsung menyambar, mengambil ponsel miliknya. Belum juga Sindy membuka kunci ponselnya, tapi tiba-tiba layar ponselnya menampilkan sebuah nama. Seseorang menelepon dirinya. Hal itu membuat Sindy tersentak. Dengan menahan gugup Sindy pun mengangkat panggilan orang tersebut. “Halo,” sapa Sindy saat menerima panggilan itu. “Halo, Bu. Ada seorang perempuan bernama Nada Hartanto, dia tadi mencari Michele.” Deg. Jantung Sindy seolah dihantam oleh beda keras. Bahkan saking terkejutnya Sindy sampai terlonjak dan bangkit dari kursinya. “Apa? Siapa? Nada Hartanto?” cecar Sindy dengan mata membulat
Nada sedang mengemudikan mobil setelah mendapatkan telepon dari guru sekolah Deven. Dengan wajah yang panik Nada berusaha fokus dengan jalanan yang ada di hadapannya. “Ahhh!” desah Nada frustrasi, sambil menonjok kemudi. Di detik berikutnya Nada menekan klakson mobil. “Tolonglah, cepat minggir!” katanya dengan mata yang sudah berkaca. Dadanya pun terasa sangat sesak, setelah mendapat kabar kalau anaknya dilarikan ke rumah sakit. Dari tempat Nada berada, butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke rumah sakit tujuannya. Sedangkan kini jalanan juga penuh dan terasa sangat sesak. Nada hanya berharap orang-orang dengan berbaik hati memberikannya jalan. Atau pamannya bisa sampai lebih dulu di rumah sakit. Suara sirine ambulans terdengar dari belakang. Nada segera melirik pada kaca spion yang ada di atasnya. Dia langsung memberikan jalan pada ambulans tersebut. Dan seolah tidak ingin menghilangkan kesempatan, Nada langsung mengemudikan mobilnya tepat di belakang ambulans. Akhirnya
“Nenek?” gumam Nada, yang sedikit terkejut. Kemudian dia melirik pada Adrian.“Angkat saja,” timpal Adrian.“Tapi ini panggilan video? Bagaimana kalau nenek sadar kalau aku ada di rumah sakit?” tanyanya.“Berpikir positif saja. Kalau kamu tidak mengangkatnya, bisa-bisa nenek akan curiga,” kata Adrian.Nada mengigit bibir bawahnya. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Namun, Nada tetap tidak mengabaikan panggilan dari neneknya. Setelah dia mendapatkan spot yang nyaman, Nada segera mengangkat panggilan dari Eva.“Halo, Nek,” sapa Nada dengan memasang wajah seperti biasanya. Nada sudah memastikan bahwa tidak ada air mata yang menggenang di kelopak matanya.“Nada, kamu di mana? Katanya Deven dilarikan ke rumah sakit?”Tanpa berbasa-basi Eva langsung bertanya pada poinnya. Hal itu membuat Nada sedikit tersentak dan membulatkan matanya. Ternyata ini alasan kenapa perasaannya mendadak tidak enak, saat mendapatkan panggilan dari neneknya.“Ah … itu.” Nada berusaha untuk berbohong, dia tidak i
Keesokan harinya, Deven sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya. “Dev, hari ini biar sama Papa dulu, ya. Mamamu pasti mau kerja,” kata Adrian membujuk Deven. Pasalnya anak itu tidak ingin jauh dari Nada. Bahkan semalaman Nada sampai harus terjaga. Deven masih sering terbangun di malam hari, karena rasa sesaknya yang masih belum kunjung membaik. Namun, pagi ini saturasi oksigen Deven sudah kembali normal. Bahkan ruam di tubuhnya pun sudah sedikit berkurang. Wajah anak itu juga sudah terlihat lebih cerah.“Memangnya Mama tidak bisa libur? Aku sedang sakit,” katanya dengan menekuk wajah. “Mama sudah keseringan libur. Nanti bosnya pas—”“Mama akan tetap di sini, menemani kamu. Tenang saja.”Tiba-tiba Nada muncul setelah tadi keluar untuk membeli sarapan. Nada menaruh dua bungkus nasi kuning di atas meja. Mendengar ibunya yang tidak akan pergi, membuat senyuman lebar terukir di wajah Deven. “Apa tidak masalah? Kemarin kamu pasti izin pulang cepat. Dan sebelum—”“Aku sudah resign da
Nama Sindy kini sedang di atas awan. Bahkan setelah film-nya sudah berhenti tayang pun, namanya masih menjadi perbincangan publik. Mereka mengelu-elukan Sindy karena bakat aktingnya yang tidak diragukan. Selain itu ada rasa kasihan yang publik rasakan, perihal masalah pribadi yang menimpanya. “Aku tidak keberatan jika harus mengantarmu, Sin.” Ivan—manajer Sindy sedang berada di sebuah butik bersama dengan artisnya. Kini wanita yang dalam beberapa tahun lagi menginjak umur kepala empat itu, tampak sedang sibuk memilih sebuah dress yang akan dikenakannya malam ini. “Tidak usah. Aku ingin mendapatkan privasiku sendiri,” ucap Sindy. Jemari lentiknya itu sedang menyentuh satu demi satu dress yang berjejer di hadapannya.Kemudian jari telunjuk Sindy berhenti pada sebuah gaun yang berwarna putih gading. Dengan cepat dia mengambil gaun itu. Memampangkan sambil menilik dengan saksama. “Aku ambil ini,” kata Sindy pada seorang pegawai butik, seraya dia memberikan dress yang dia pilih. “Tapi