“Deven, Nada. Apa kalian sudah siap?”Suara Adrian seketika membuyarkan pikiran Nada. Untuk beberapa saat, dia sempat hanyut dengan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh anaknya.“Mama sebentar lagi, Pa!” seru Deven dari dalam kamar. Kemudian dia menatap sang ibunda, “ayo, Ma. Cepat bersiap, kita berangkat sekarang!” ajak Deven.Anak itu pun segera keluar, memberikan waktu pada ibunya untuk bersiap. Tidak ingin membuat Deven kecewa, Nada segera bergegas untuk bersiap diri. Setelah Nada siap, mereka pun segera pergi menuju Mall besar di ibu kota.Sepanjang jalan mereka hanya ditemani oleh suara Deven, yang sedang menghafal dialognya. Sesekali Adrian menimpal, berpura-pura memerankan peran lain, agar anaknya bisa maksimal dalam berlatih.Sedangkan Nada, hanya bisa diam menatap dua laki-laki itu secara bergantian. Di mata Nada terlihat Adrian sangat mengayomi anaknya. Sedangkan Deven, terlihat sangat bahagia karena kini memiliki sosok ayah. Nada? Dia hanyut dalam lukanya sendiri.“Ini
“Terima kasih, Sindy,” ucap seorang fotografer yang baru saja selesai memotret Sindy untuk sebuah majalah. Sindy hanya mengangguk kecil, lalu dia duduk di sebuah sofa. Ivan langsung datang dengan membawakan minuman manis kesukaan Sindy. “Ponselku!” pinta Sindy seraya mengulurkan tangannya dengan angkuh. Ivan langsung merogoh tas kecil miliknya, lalu memberikan ponsel milik sang artis. Sindy langsung menyambar, mengambil ponsel miliknya. Belum juga Sindy membuka kunci ponselnya, tapi tiba-tiba layar ponselnya menampilkan sebuah nama. Seseorang menelepon dirinya. Hal itu membuat Sindy tersentak. Dengan menahan gugup Sindy pun mengangkat panggilan orang tersebut. “Halo,” sapa Sindy saat menerima panggilan itu. “Halo, Bu. Ada seorang perempuan bernama Nada Hartanto, dia tadi mencari Michele.” Deg. Jantung Sindy seolah dihantam oleh beda keras. Bahkan saking terkejutnya Sindy sampai terlonjak dan bangkit dari kursinya. “Apa? Siapa? Nada Hartanto?” cecar Sindy dengan mata membulat
Nada sedang mengemudikan mobil setelah mendapatkan telepon dari guru sekolah Deven. Dengan wajah yang panik Nada berusaha fokus dengan jalanan yang ada di hadapannya. “Ahhh!” desah Nada frustrasi, sambil menonjok kemudi. Di detik berikutnya Nada menekan klakson mobil. “Tolonglah, cepat minggir!” katanya dengan mata yang sudah berkaca. Dadanya pun terasa sangat sesak, setelah mendapat kabar kalau anaknya dilarikan ke rumah sakit. Dari tempat Nada berada, butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke rumah sakit tujuannya. Sedangkan kini jalanan juga penuh dan terasa sangat sesak. Nada hanya berharap orang-orang dengan berbaik hati memberikannya jalan. Atau pamannya bisa sampai lebih dulu di rumah sakit. Suara sirine ambulans terdengar dari belakang. Nada segera melirik pada kaca spion yang ada di atasnya. Dia langsung memberikan jalan pada ambulans tersebut. Dan seolah tidak ingin menghilangkan kesempatan, Nada langsung mengemudikan mobilnya tepat di belakang ambulans. Akhirnya
“Nenek?” gumam Nada, yang sedikit terkejut. Kemudian dia melirik pada Adrian.“Angkat saja,” timpal Adrian.“Tapi ini panggilan video? Bagaimana kalau nenek sadar kalau aku ada di rumah sakit?” tanyanya.“Berpikir positif saja. Kalau kamu tidak mengangkatnya, bisa-bisa nenek akan curiga,” kata Adrian.Nada mengigit bibir bawahnya. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Namun, Nada tetap tidak mengabaikan panggilan dari neneknya. Setelah dia mendapatkan spot yang nyaman, Nada segera mengangkat panggilan dari Eva.“Halo, Nek,” sapa Nada dengan memasang wajah seperti biasanya. Nada sudah memastikan bahwa tidak ada air mata yang menggenang di kelopak matanya.“Nada, kamu di mana? Katanya Deven dilarikan ke rumah sakit?”Tanpa berbasa-basi Eva langsung bertanya pada poinnya. Hal itu membuat Nada sedikit tersentak dan membulatkan matanya. Ternyata ini alasan kenapa perasaannya mendadak tidak enak, saat mendapatkan panggilan dari neneknya.“Ah … itu.” Nada berusaha untuk berbohong, dia tidak i
Keesokan harinya, Deven sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya. “Dev, hari ini biar sama Papa dulu, ya. Mamamu pasti mau kerja,” kata Adrian membujuk Deven. Pasalnya anak itu tidak ingin jauh dari Nada. Bahkan semalaman Nada sampai harus terjaga. Deven masih sering terbangun di malam hari, karena rasa sesaknya yang masih belum kunjung membaik. Namun, pagi ini saturasi oksigen Deven sudah kembali normal. Bahkan ruam di tubuhnya pun sudah sedikit berkurang. Wajah anak itu juga sudah terlihat lebih cerah.“Memangnya Mama tidak bisa libur? Aku sedang sakit,” katanya dengan menekuk wajah. “Mama sudah keseringan libur. Nanti bosnya pas—”“Mama akan tetap di sini, menemani kamu. Tenang saja.”Tiba-tiba Nada muncul setelah tadi keluar untuk membeli sarapan. Nada menaruh dua bungkus nasi kuning di atas meja. Mendengar ibunya yang tidak akan pergi, membuat senyuman lebar terukir di wajah Deven. “Apa tidak masalah? Kemarin kamu pasti izin pulang cepat. Dan sebelum—”“Aku sudah resign da
Nama Sindy kini sedang di atas awan. Bahkan setelah film-nya sudah berhenti tayang pun, namanya masih menjadi perbincangan publik. Mereka mengelu-elukan Sindy karena bakat aktingnya yang tidak diragukan. Selain itu ada rasa kasihan yang publik rasakan, perihal masalah pribadi yang menimpanya. “Aku tidak keberatan jika harus mengantarmu, Sin.” Ivan—manajer Sindy sedang berada di sebuah butik bersama dengan artisnya. Kini wanita yang dalam beberapa tahun lagi menginjak umur kepala empat itu, tampak sedang sibuk memilih sebuah dress yang akan dikenakannya malam ini. “Tidak usah. Aku ingin mendapatkan privasiku sendiri,” ucap Sindy. Jemari lentiknya itu sedang menyentuh satu demi satu dress yang berjejer di hadapannya.Kemudian jari telunjuk Sindy berhenti pada sebuah gaun yang berwarna putih gading. Dengan cepat dia mengambil gaun itu. Memampangkan sambil menilik dengan saksama. “Aku ambil ini,” kata Sindy pada seorang pegawai butik, seraya dia memberikan dress yang dia pilih. “Tapi
“SS?” ucap Nada yang terkejut dengan inisial sang artis, yang disebutkan oleh pembaca berita. Sedangkan mata Adrian masih menatap layar televisi, yang menampilkan berita kecelakaan lalu lintas. Terlihat mobil sedan berwarna hitam menabrak tiang listrik. Bagian kap depan mobil yang sudah ringsek. Kemudian kamera menyoroti bagian dalam mobil.Kedua alis Adrian terangkat, saat melihat gantungan hias di dalam mobil. Benda itu nampak tak asing di mata Adrian.“Itu mobil Sindy,” kata Adrian. Tayangan itu kemudian beralih pada sosok perempuan, yang terlihat mengamuk saat diamankan polisi. Namun, wajahnya masih diburamkan oleh pihak stasiun tv.“Diduga SS mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Selain itu setelah di tes urine, ternyata SS positif obat-obatan terlarang. Menurut dugaan polisi, SS mengkonfirmasi obat tersebut dengan cara melarutkan dalam sebuah minuman. Terbukti dengan ditemukannya kopi di dalam mobil, yang ternyata terdapat kandungan narkotika tinggi di dalamnya.”Begitu perny
Mata Nada sampai membeliak, saat mendapati sosok pria tua yang kini ada di hadapannya. “Pa-Pak Calvin?” ucap Nada tergagap.Ada angin apa pria tua itu mendatangi kediaman Hartanto? Dan kenapa dia tadi menyinggung tentang rumah sakit? “Kenapa wajahmu seperti itu? Memangnya saya ini teroris, sampai harus disambut dengan wajah tegang seperti itu?” sinis Calvin. “Ah, tidak.” Nada langsung menggeleng, seraya dia mengubah ekspresi wajahnya, “aku hanya terkejut, orang penting seperti Bapak sampai repot-repot datang ke mari.” Calvin tidak datang sendirian, dia ditemani oleh seorang asisten pribadinya. “Siapa, Nada?” Dari belakang, terdengar Adrian memanggil namanya. Nada menoleh ke belakang. Sehingga ada celah bagi Adrian untuk melihat tamu yang datang ke rumahnya. “Pak Calvin?” gumam Adrian, dengan wajah terkejutnya. Setiap melihat Calvin, entah kenapa perasaan Adrian semakin tidak enak. Ia jadi mengingat informasi yang diberikan Gilang. Seketika Adrian ingin menghajar pria tua itu s
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p