"Tapi... kamu gak papa kalau aku kerja dengan seorang pria? Maksudnya, sebagai sekretaris otomatis akan terus ketemu kan?"
Senyuman Aldi sangat manis mendengar hal itu. "Tentu saja tidak." "Makasih, Mas. Aku mau siapin berkas-berkasnya dulu biar besok lolos wawancara. Kalau begitu aku pulang." Aldi mengangguk, ia tidak mengantarkan Rania ke depan, pria itu malah memanggil Siska untuk masuk setelah sang istri pergi. "Manggil saya, Pak?" "Siska, kamu saya pindahkan jadi staf kantor. Besok akan ada sekretaris baru, dan saya harap kamu dengan lapang dada menerima keputusan saya." "Tapi, Pak. Apa salah saya kok di pindahkan?" "Daripada kamu saya pecat?" Siska menunduk, ia tak mampu lagi menjawab perkataan Aldi. Namun hatinya bergemuruh, ia berjanji akan menyingkirkan kembali orang yang telah merenggut jabatannya itu. "Mulai besok, kamu gabung dengan yang lain." "Baik, Pak," jawab Siska pelan, dia melenggang pergi dengan tangan yang terkepal. Sebenarnya bukan soal jabatan, tapi dengan tidak menjadi sekretaris lagi, ia jadi tidak bisa berdekatan dengan Aldi. Perempuan itu benar-benar kesal. *** Tengah malam, Rania masih sibuk mempelajari untuk besok wawancara. Sedangkan Aldi yang sedari tadi hanya bermain ponsel pun sesekali memperhatikan. Se-serius itu dia melakukan semuanya. "Huh, akhirnya selesai. Semoga besok aku bisa lulus dan mulai bekerja. Dengan begitu aku bisa hidupi Azka." Wanita itu memeluk berkasnya sambil tersenyum. Aldi yang melihat itu merasa senang, ini adalah senyuman pertama Rania setelah empat bulan hanya diam dan merenung karena kepergian sang suami. Pria itu janji, akan membahagiakan Rania dan Azka apa pun yang terjadi. Meskipun sekarang memang wanita itu belum bisa menerimanya, tapi Aldi akan tetap berusaha, karena dia lah pria itu belum menikah sama sekali. "Loh, kamu belum tidur?" "Belum, aku masih ada kerjaan dikit." "Ish, udah di rumah gini kok masih kerja. Bosmu itu pasti galak dan suka nyuruh-nyuruh, ya? Duh apes dong kalau begini. Tapi gak papa deh, demi Azka." Aldi hanya bisa menahan tawa saat Rania menggosip tentang bosnya. "Lihat aja besok, aku yakin kamu pasti terpana liat dia." Rania bergidik ngeri, kemudian ia berusaha berbaring agar besok bisa melakukan aktifitas dengan baik. *** "Mas Aldi!" kata Rania terkejut saat melihat orang yang duduk di kursi direktur itu ternyata adalah suaminya. "Jangan bilang kalau...." "Iya, aku bosnya. Bukankah kamu terpana melihatku?" tanya Aldi, sembari merapikan jas nya dengan senyuman yang menyeringai. Wanita itu masih diam tak percaya, bagaimana bisa suaminya itu seorang CEO? Sedangkan kemarin saat dia masuk ke ruangannya.... Mata wanita itu membelalak, kemudian melihat meja yang bertuliskan nama lengkap Aldi di sana. Dia memejamkan mata sambil berbalik, tangannya menepok jidat karena ia sangat bodoh pikirannya. "Sopankah membelakangi bos?" canda Aldi, tapi dengan nada suara yang dingin. Mendengar itu Rania berbalik dengan senyuman yang penuh tekanan, ia menggaruk kepalanya karena bingung, ini sekarang dia harus gimana? "Hari ini juga kamu bisa bekerja di perusahaan ini. Selamat, ya!" Pria itu berdiri mendekat, kemudian mengulurkan tangan, dengan pelan Rania ingin menerimanya, tapi Aldi dengan cepat menarik tangan wanita itu sampai ia menabrak tubuh sang suami. Hal itu membuat Rania terkejut, ia menatap wajah sang suami penuh protes. "Di sini belum ada yang tau kalau kamu istriku. Nanti ada saatnya kita umumkan." Rania mengangguk mendengarnya. Kemudian ia mengusap-usap tangannya saat sudah lepas dari dekapan Aldi. "Ya sudah." Pria itu mempersilakan Rania untuk duduk di kursi sekretaris dan memulai pekerjaannya. Siang berlalu, sampai pada sore hari wanita itu mengetuk pintu dan masuk untuk memberitahukan ada meeting mendadak dengan perusahaan lain. "Kamu ikut, ya. Jangan lupa pakai baju yang bagus." "Baik." Rania kembali duduk di kursinya. Ia berpikir, kalau seperti ini caranya, ia akan selalu bertemu dengan Aldi setiap saat. Padahal, memang itu tujuan Aldi yang sebenarnya.Meeting selesai pukul sembilan malam. Mereka kini masih berada di dalam mobil untuk pulang ke rumah. Akan tetapi, Aldi berinisiatif ingin membelikan ayam untuk sang anak karena tadi saat ia di telfon belum tidur karena besok hari libur.Pria itu pun belok dulu ke resto yang ia tuju. Sedangkan Rania yang merasa sangat lelah dia terpejam sepanjang perjalanan.Menunggu tanpa harus turun dari mobil, pria itu mendapatkan apa yang ia beli. Kemudian mobil kembali melaju dan setengah jam kemudian sampai di rumah."Om!" teriak Azka, ia menyambut dengan gembira saat Aldi dan Rania pulang bersama."Kok belum tidur?" tanya Rania, sembari memeluk sang anak."Gak papa, kan besok libur, ya?" Aldi mengusap kepala Akza lembut."Iya, Bun. Besok aku libur, jadi malam ini mau main sama makan ayam goreng!""Ayam goreng?" Rania bergumam. "Yuk kita makan! Mbo, tolong sapin nasi buat kami, ya.""Eh, aku aja!" seru Rania, membuat Aldi mencekal tangannya agar ia diam menikmati makana karena sudah lelah sehari
Namun, ia melihat pintu terbuka, dengan pelan Aldi melepaskan Rania yang masih senyum-senyum, ia berjalan nenengoki Azka, ternyata anak itu sudah pules di kamarnya. Aldi bisa bernapas tenang, ia kembali menutup pintu kamar sang anak dan masuk kembali ke kamarnya, kemudian dikunci. "Aku kangen sama kamu," gumam Rania.Aldi melihat itu merasa kasihan, ia kembali berbaring sambil menatap wajah istrinya. Tangan pria itu terangkat, mengelus pipi Rania lembut. Malam yang dingin dengan suara hujan di luar, di hadapannya ada wanita cantik yang sudah sah menjadi istri. Aldi pria normal, terlebih lagi ia masih perjaka belum pernah melakukan hal-hal yang berbau suami istri. Pria itu terbawa, ia semakin mendekat untuk mengecup bibir ranum sang istri yang sebentar lagi akan ia dapat. Namun gagal, Rania berbalik dan memeluk guling yang ada di sampingnya. Padahal tubuh Aldi sudah memanas, ia kini hanya bisa sabar sambil mengatur napas. Setidaknya, tadi ia sudah mendapatkan kecupan dari sang ist
Di meja makan, Rania hanya diam bahkan menatap Aldi saja tidak. Ia merasa malu dan bersalah dengan kejadian yang tadi mereka lewati.Meskipun Aldi sudah berdehem berkali-kali memberikan kode agar wanita itu mendengar atau hanya sekedar menatapnya, tapi Rania tidak berkutik sama sekali. Sarapan selesai, Rania memilih kembali ke kamar membuka laptopnya melihat laporan untuk besok. Ia menggaruk kepalanya karena sedikit pusing, selama ini ia hanya diam di rumah menikmati hasil yang Andika berikan. Akan tetapi sekarang ia harus berjuang mati-matian untuk menghidupi sang anak meskipun ada Aldi yang dengan siap untuk merawat mereka berdua.Tapi yang Rania rasa mereka menikah hanyalah menjalankan wasiat, tidak wajib bagi Aldi untuk menafkahi mereka berdua. Padahal pria itu tulus sekali menyayangi mereka berdua. "Urusan besok biar besok, ngapain kamu kerjakan hari ini?" Tiba-tiba saja Aldi masuk dengan secangkir kopi di tangannya."Gak dikerjain, cuma mastiin aja buat besok.""Oh." Singka
Aldi yang semula diam karena terkejut, ia menggeleng sambil tersenyum, berusaha gembira di hadapan sahabatnya. "Gue... gue bekerja sama dengan salah satu perusahaan, yang di mana keuntungan itu mencapai miliaran.""Hah, beneran? Wahh, selamat, Bro. Gue salut banget sama Lo!" Andika semakin merasa bahagia, ia memeluk Aldi dengan tawa, sedangkan Aldi memejamkan mata untuk mengikhlaskan semuanya."Saat aku sudah mengikhlaskan kamu, kenapa Tuhan malah mempersatukan kita berdua, Ran," gumam Aldi, ia ingin menyeruput kembali kopinya, tapi ternyata sudah kosong, hanya tersisa hampasnya saja. Pria itu tersenyum miring, ia bingung dengan permainan Tuhan yang diberikan padanya. Takdir apa ini? Dulu Ia ambil kekasih hatinya, sekarang Ia mengambil sahabatnya. "Andai waktu bisa berputar kembali, bisa kan kita mencintai wanita yang berbeda? Mungkin dengan itu kita akan bahagia sekarang, An."Aldi kini hanya bisa menghela napas pelan. Semuanya telah terjadi, ia kini memiliki kekasih yang dulu tel
"Mulai sekarang, gak ada lagi yang boleh menyuruh-nyuruh di kantor ini. Ketahuan ada yang melakukan itu, saya denda lima ratus ribu!" Nita yang merasa bahwa ucapan itu diarahkan padanya, ia hanya bisa tertunduk dan merasa kesal, ia yakin bahwa Rania telah mengadu pada bosnya itu."Dan yang di suruhnya, jangan mau lakuin hal itu," kata Aldi tegas, kemudian ia menatap Rania yang diam di pojokan dengan tangan yang saling bertautan.Mata Aldi tak lepas dari menatap sang istri saat berlalu ingin masuk lagi ke ruangannya. Begitu juga dengan Rania yang matanya mengikuti arah sang suami pergi.Nita yang memperhatikan Rania, tangannya terkepal. Ia akan mengadu pada sang paman agar Rania di pecat dari perusahaan. ***"Aww!" Sebuah tangan yang mencengkram leher Rania membuat wanita itu meringis karena kesakitan.Ia sedang berada di kamar mandi, dan ternyata Nita mengikutinya untuk memberikan Rania pelajaran."Lo kan yang udah ngadu sama Pak Aldi soal yang tadi. Sudah gue bilang, jangan berani
"Pa—Pak Aldi, foto ini saya dapat dari grup. Nita... dia yang ngirim, Pak.""Dia lagi," ujar Aldi jengkel. Ia meminta Anisa untuk kembali bekerja dan jangan terus menyebarkan rumor. "Udah dibilang jangan deket-deket, ngeyel!" Tekan Rania, dengan wajah yang kesal tapi tatapan fokus ke laptop. "Tapi memangnya kenapa kalau mereka tau? Toh kamu memang istriku aku, kan?"Entah ke berapa kali Aldi mendapatkan tatapan tajam dari istrinya itu. Ia hanya bisa tersenyum meledek sambil berlalu pergi memasuki ruangan.Siska yang menatap foto itu di ponselnya, ia mengepalkan tangan kemudian menggebrak meja. Ia berpikir Rania terlalu berani, dia saja belum pernah di ajak pulang bareng selama tiga tahun menjadi sekretaris Aldi, tapi dengan mudah Rania bisa mendapatkan itu semua padahal baru saja bekerja di kantor ini. "Sepertinya dia memang gak bisa aku diamkan!" Siska tersenyum miring merencanakan sesuatu yang akan membuat Rania menyesal karena telah berurusan dengannya. Jam istirahat datang, se
Rania mendongak dengan mata yang melotot. Dia bahkan lebih percaya orang-orang di sana daripada memastikan lebih dulu bahwa bukan Rania lah yang mencuri."Bapak juga memfitnah saya?" tekan Rania, satu bulir air mata menetes di pipi wanita itu. Melihat itu membuat Aldi tidak tega, ia berdehem agar sedikit lebih kalem lagi. "Bukan... Bukan begitu maksud saya. Tapi—""Alahh mana ada sih, Pak, maling ngaku!""Iya, Pak. Udah jelas-jelas semua barang teman-teman kita ada di tas dia semua.""Diam! Ini kenapa kalian berdua yang ribut dari tadi. Memangnya barang kalian juga ada di tas dia?" sentak Aldi. Siska dan Nita hanya bisa menunduk dan menggeleng mendengar Aldi yang sudah mulai marah. "Sudah, kalian kembali bekerja. Urusan Rania, biar saya yang urus. Dan kita lihat, siapa pelaku sebenarnya. Jika memang bukan Rania yang mencuri, maka orang itu akan saya pecat tanpa pesangon!"Nita dan Siska mendongak dengan mata yang melotot. Mereka saling pandang dengan isyarat mata. Habis sudah jik
Ia meminta semuanya untuk kumpul dan melihat kejadian yang sebenarnya. Kapan waktu orang itu mengambil barang, dan saat itu sedang di mana Rania berada. Semua orang di sana mengangguk dan merasa bersalah karena telah terlanjur menuduh Rania. Sebagian dari mereka ada yang meminta maaf, tapi juga yang hanya diam dan menganggap semua ini hanya keisengan semata. Aldi meminta mereka untuk kembali bekerja. Sedangkan Siska dan Nita diam-diam mengacungkan jempol satu sama lain. Mereka berpikir mereka itu pintar karena terpikir lebih dulu untuk tidak menampakan wajah. "Kamu ikuti saya." Rania dengan malas membuntuti suaminya itu. Di dalam, Aldi tersenyum penuh arti, sedangkan Rania menatap dengan bingung karena suaminya itu senyum-senyum sendiri sedari tadi. "Ada apa?" tanya Rania, ia tidak ingin lama-lama ada di ruangan berdua dengan suaminya itu. "Kamu lupa perjanjian kita?""Enggak," kata Rania. "Bagus kalau begitu. Ya udah, langsung aja. Aku mau....""Mau apa? Kan perjanjiannya juga
"Es teehhh!" jawab Rania sebal. Bisa-bisanya dia memanggil seperti itu, bahkan di tempat umum begini. Kan dia jadi malu. Aldi kembali setelah memesan, ia duduk sambil menatap danau yang di ujungnya dipenuhi lampu-lampu dari penduduk sana. Semilir angin menabrak wajahnya, entah kenapa ia sangat menyukai tempat itu. Baginya, tempat itu tenang dan damai, bisa membuat mood jadi baik. Walaupun ramai orang yang berkunjung juga di sana. Pria itu yang tak sengaja melirik sang istri, Rania nampak mengusap-usap tangannya karena merasa dingin. Baju dengan lengan pendek yang ia kenakan, membuat angin dengan lembut menyentuhnya. Tanpa basa-basi Aldi berdiri dan membuka jaz-nya, ia menyelimuti sang istri, membuat Rania menatapnya dengan terheran-heran. Kenapa dia biasa sangat peka, padahal Rania tidak berkata apa-apa. "Makasih," ujarnya serius. "Sama-sama." Aldi tersenyum menanggapi. Tak lama makanan datang, disambut oleh Rania dengan mata yang berbinar. Ini makanan yang dia rindukan. Sudah
Rania langsung lari keluar dan kembali duduk di tempat kerjanya dengan perasaan yang berkecamuk. Anisa yang melihat itu hanya bengong, bertanya-tanya ada apa dengan temannya itu. Sementara napas Rania masih belum stabil, ia mengusap dadanya berusaha untuk tenang. Namun, hal itu justru membuat orang-orang di sana memperhatikan dia. Karena dengan secara tiba-tiba berlari dari ruangan bos seperti melarikan diri dari kejaran anji*ng.Anisa yang melihat karyawan lain saling berbisik, ia mendekat pada wanita itu. "Are you oke?""Hmm." Rania mengangguk dan berusaha bersikap biasa saja."Kamu yakin? Wajah kamu pucat, gak abis dimarahin kan?""Hah? Eng—enggak. Aku cuma... Ahh, takut tadi ada kecoa. Iya, makanya aku kabur," elak Rania. Mana mungkin ia mengatakan bawah habis mendapatkan kecupan dari sang bos secara brutal. "Owalah... Kirain kenapa. Ya udah, lanjut kerja. Kalau Bu Linda tau kita suka ngerumpi, bisa habis dimarahi.""Iya." Rania tersenyum pada temannya itu, padahal jantungnya ma
"Katanya Bu Linda sudah kembali.""Iyakah? Wah, berarti sekarang Pak Aldi gak bakalan kesepian lagi. Hihi.""Iya bener banget. Pasti mereka bakalan selalu pergi berduaan diam-diam. Padahal kita semua tau kalau mereka ada hubungan khusus."Rania mendengar itu jadi tak fokus pada pekerjaannya. Ia menggeser kursi mendekat pada Anisa yang sibuk berkutik dengan laptopnya."Siapa Bu Linda itu?" "Hah?" Anisa yang tak mendengar gosip mereka, ia membenarkan kacamatanya mencerna lagi apa yang Rania katakan. "Bu Linda siapa?""Bu Linda? Oh... dia. Itu, asisten Pak Aldi. Dia sempat cuti seminggu kayaknya gak tau kenapa. Dengar-dengar sih sekarang bakalan datang ke kantor.""Owh... emang ada hubungan apa dia sama Pak Aldi?" Anisa yang mendengar itu tersenyum penuh curiga pada Rania. Ia mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Kamu cemburu yaaa.""Ishhh, apaan sih. Aku kan cuma nanya, itu dengar-dengar katanya mereka ada hubungan spesial.""Hmm... Gak tau juga sih. Tapi biasanya mereka emang suka
Ia meminta semuanya untuk kumpul dan melihat kejadian yang sebenarnya. Kapan waktu orang itu mengambil barang, dan saat itu sedang di mana Rania berada. Semua orang di sana mengangguk dan merasa bersalah karena telah terlanjur menuduh Rania. Sebagian dari mereka ada yang meminta maaf, tapi juga yang hanya diam dan menganggap semua ini hanya keisengan semata. Aldi meminta mereka untuk kembali bekerja. Sedangkan Siska dan Nita diam-diam mengacungkan jempol satu sama lain. Mereka berpikir mereka itu pintar karena terpikir lebih dulu untuk tidak menampakan wajah. "Kamu ikuti saya." Rania dengan malas membuntuti suaminya itu. Di dalam, Aldi tersenyum penuh arti, sedangkan Rania menatap dengan bingung karena suaminya itu senyum-senyum sendiri sedari tadi. "Ada apa?" tanya Rania, ia tidak ingin lama-lama ada di ruangan berdua dengan suaminya itu. "Kamu lupa perjanjian kita?""Enggak," kata Rania. "Bagus kalau begitu. Ya udah, langsung aja. Aku mau....""Mau apa? Kan perjanjiannya juga
Rania mendongak dengan mata yang melotot. Dia bahkan lebih percaya orang-orang di sana daripada memastikan lebih dulu bahwa bukan Rania lah yang mencuri."Bapak juga memfitnah saya?" tekan Rania, satu bulir air mata menetes di pipi wanita itu. Melihat itu membuat Aldi tidak tega, ia berdehem agar sedikit lebih kalem lagi. "Bukan... Bukan begitu maksud saya. Tapi—""Alahh mana ada sih, Pak, maling ngaku!""Iya, Pak. Udah jelas-jelas semua barang teman-teman kita ada di tas dia semua.""Diam! Ini kenapa kalian berdua yang ribut dari tadi. Memangnya barang kalian juga ada di tas dia?" sentak Aldi. Siska dan Nita hanya bisa menunduk dan menggeleng mendengar Aldi yang sudah mulai marah. "Sudah, kalian kembali bekerja. Urusan Rania, biar saya yang urus. Dan kita lihat, siapa pelaku sebenarnya. Jika memang bukan Rania yang mencuri, maka orang itu akan saya pecat tanpa pesangon!"Nita dan Siska mendongak dengan mata yang melotot. Mereka saling pandang dengan isyarat mata. Habis sudah jik
"Pa—Pak Aldi, foto ini saya dapat dari grup. Nita... dia yang ngirim, Pak.""Dia lagi," ujar Aldi jengkel. Ia meminta Anisa untuk kembali bekerja dan jangan terus menyebarkan rumor. "Udah dibilang jangan deket-deket, ngeyel!" Tekan Rania, dengan wajah yang kesal tapi tatapan fokus ke laptop. "Tapi memangnya kenapa kalau mereka tau? Toh kamu memang istriku aku, kan?"Entah ke berapa kali Aldi mendapatkan tatapan tajam dari istrinya itu. Ia hanya bisa tersenyum meledek sambil berlalu pergi memasuki ruangan.Siska yang menatap foto itu di ponselnya, ia mengepalkan tangan kemudian menggebrak meja. Ia berpikir Rania terlalu berani, dia saja belum pernah di ajak pulang bareng selama tiga tahun menjadi sekretaris Aldi, tapi dengan mudah Rania bisa mendapatkan itu semua padahal baru saja bekerja di kantor ini. "Sepertinya dia memang gak bisa aku diamkan!" Siska tersenyum miring merencanakan sesuatu yang akan membuat Rania menyesal karena telah berurusan dengannya. Jam istirahat datang, se
"Mulai sekarang, gak ada lagi yang boleh menyuruh-nyuruh di kantor ini. Ketahuan ada yang melakukan itu, saya denda lima ratus ribu!" Nita yang merasa bahwa ucapan itu diarahkan padanya, ia hanya bisa tertunduk dan merasa kesal, ia yakin bahwa Rania telah mengadu pada bosnya itu."Dan yang di suruhnya, jangan mau lakuin hal itu," kata Aldi tegas, kemudian ia menatap Rania yang diam di pojokan dengan tangan yang saling bertautan.Mata Aldi tak lepas dari menatap sang istri saat berlalu ingin masuk lagi ke ruangannya. Begitu juga dengan Rania yang matanya mengikuti arah sang suami pergi.Nita yang memperhatikan Rania, tangannya terkepal. Ia akan mengadu pada sang paman agar Rania di pecat dari perusahaan. ***"Aww!" Sebuah tangan yang mencengkram leher Rania membuat wanita itu meringis karena kesakitan.Ia sedang berada di kamar mandi, dan ternyata Nita mengikutinya untuk memberikan Rania pelajaran."Lo kan yang udah ngadu sama Pak Aldi soal yang tadi. Sudah gue bilang, jangan berani
Aldi yang semula diam karena terkejut, ia menggeleng sambil tersenyum, berusaha gembira di hadapan sahabatnya. "Gue... gue bekerja sama dengan salah satu perusahaan, yang di mana keuntungan itu mencapai miliaran.""Hah, beneran? Wahh, selamat, Bro. Gue salut banget sama Lo!" Andika semakin merasa bahagia, ia memeluk Aldi dengan tawa, sedangkan Aldi memejamkan mata untuk mengikhlaskan semuanya."Saat aku sudah mengikhlaskan kamu, kenapa Tuhan malah mempersatukan kita berdua, Ran," gumam Aldi, ia ingin menyeruput kembali kopinya, tapi ternyata sudah kosong, hanya tersisa hampasnya saja. Pria itu tersenyum miring, ia bingung dengan permainan Tuhan yang diberikan padanya. Takdir apa ini? Dulu Ia ambil kekasih hatinya, sekarang Ia mengambil sahabatnya. "Andai waktu bisa berputar kembali, bisa kan kita mencintai wanita yang berbeda? Mungkin dengan itu kita akan bahagia sekarang, An."Aldi kini hanya bisa menghela napas pelan. Semuanya telah terjadi, ia kini memiliki kekasih yang dulu tel
Di meja makan, Rania hanya diam bahkan menatap Aldi saja tidak. Ia merasa malu dan bersalah dengan kejadian yang tadi mereka lewati.Meskipun Aldi sudah berdehem berkali-kali memberikan kode agar wanita itu mendengar atau hanya sekedar menatapnya, tapi Rania tidak berkutik sama sekali. Sarapan selesai, Rania memilih kembali ke kamar membuka laptopnya melihat laporan untuk besok. Ia menggaruk kepalanya karena sedikit pusing, selama ini ia hanya diam di rumah menikmati hasil yang Andika berikan. Akan tetapi sekarang ia harus berjuang mati-matian untuk menghidupi sang anak meskipun ada Aldi yang dengan siap untuk merawat mereka berdua.Tapi yang Rania rasa mereka menikah hanyalah menjalankan wasiat, tidak wajib bagi Aldi untuk menafkahi mereka berdua. Padahal pria itu tulus sekali menyayangi mereka berdua. "Urusan besok biar besok, ngapain kamu kerjakan hari ini?" Tiba-tiba saja Aldi masuk dengan secangkir kopi di tangannya."Gak dikerjain, cuma mastiin aja buat besok.""Oh." Singka