Meeting selesai pukul sembilan malam. Mereka kini masih berada di dalam mobil untuk pulang ke rumah. Akan tetapi, Aldi berinisiatif ingin membelikan ayam untuk sang anak karena tadi saat ia di telfon belum tidur karena besok hari libur.
Pria itu pun belok dulu ke resto yang ia tuju. Sedangkan Rania yang merasa sangat lelah dia terpejam sepanjang perjalanan. Menunggu tanpa harus turun dari mobil, pria itu mendapatkan apa yang ia beli. Kemudian mobil kembali melaju dan setengah jam kemudian sampai di rumah. "Om!" teriak Azka, ia menyambut dengan gembira saat Aldi dan Rania pulang bersama. "Kok belum tidur?" tanya Rania, sembari memeluk sang anak. "Gak papa, kan besok libur, ya?" Aldi mengusap kepala Akza lembut. "Iya, Bun. Besok aku libur, jadi malam ini mau main sama makan ayam goreng!" "Ayam goreng?" Rania bergumam. "Yuk kita makan! Mbo, tolong sapin nasi buat kami, ya." "Eh, aku aja!" seru Rania, membuat Aldi mencekal tangannya agar ia diam menikmati makana karena sudah lelah seharian bekerja. "Biar Mbo Nem aja," ujar Aldi. Wanita itu pun diam menurut, kemudian mereka menikmati ayam goreng yang Aldi beli. "Kapan kamu beli ayam goreng?" "Saking pulesnya kamu sampai gak sadar aku beli ayam goreng? Ckckck!" kata Aldi. Rania menggeleng. "Aku capek, seharian disuruh sama bos terus. Mentang-mentang aku pekerja baru." "Bosnya ganteng gak, Ndo?" tanya Mbo Nem, membuat Rania seketika menatap Aldi yang sedang menikmati paha ayam. Wanita itu berdehem sambil berkata, "Biasa aja." Membuat Aldi memancungkan mata sambil menggeleng pelan. Dalam hatinya, liat aja kamu ya nanti hari Senin, akan dikerjai biar kapok. *** "Besok libur kan, Mas? Aku mau ke makan Mas Andika." "Iya, besok kita ke sana, ya. Aku juga mau ziarah." Rania mengangguk. Ia tiba-tiba ingin buang air kecil, alhasil terburu-buru sampai kakinya kesandung satu sama lain. Aldi yang kebetulan masih berada di meja kerjanya, ia sontak menangkap istrinya itu yang mau terjatuh. Tubuh Rania jatuh di dalam dekapan Aldi. Hidung mereka sampai bersentuhan saking dekatnya. Mata Aldi yang sedikit sayu, ia menatap dengan dalam pada Rania. Diperhatikan dari dekat, ia benar-benar cantik, tak ayal Andika sangat mencintai istrinya ini. Embusan napas Rania membuat Aldi yang tadi diam, kini perlahan ia memiringkan wajahnya dan mendekati bibir sang istri. Rania yang mendadak mematung hanya diam sambil terpejam saat sedikit lagi mereka bersentuhan. "Bunda!" Mata Rania langsung membulat dan menarik diri dari dekapan Aldi. Wanita itu merapikan rambutnya dan berusaha tenang di hadapan sang anak yang secara tiba-tiba membuka pintu. "Bunda... Aku tidur di sini, ya?" "Kenapa, kok belum tidur, kirain udah dari tadi." "Aku gak bisa tidur," ujar Azka. Aldi menutup laptopnya dan menghampiri sang anak, ia memangku Azka sambil membawanya ke ranjang. "Kamu tidur sama ayah malam ini, ya!" "Horeee, akhirnya aku tidur bertiga lagi." Melihat sang anak berseru bahagia, Rania malah diam bersedih. Ia jadi teringat betapa bahagianya dulu mereka saat akan tidur bersama. Setiap hari libur pasti mereka tidur bertiga, sebelum tidur bercanda lebih dulu, tertawa dan kemudian membacakan dongeng untuk Azka. Namun, sekarang semua itu hanya kenangan, ia tidak bisa lagi mengulang apa yang sudah terjadi dulu. "Bunda ayo!" seru Azka, meminta sang ibu untuk tidur di sampingnya. Wanita itu bingung, selama ini ia tidur di sofa tidak satu ranjang dengan Aldi. Pria itu yang melihat kebingungan sang istri, ia menghampirinya dan meminta dia untuk tidur bersama malam ini saja. Mau tak mau Rania menerimanya, ia merasa kasihani pada sang anak. Akhirnya Azka bisa tidur dengan nyenyak saat kedua orang tuanya mengusap dirinya dengan lembut. Malam kian larut, Azka mendadak buka mata dan turun dari ranjang. Ia pindah tidur ke kamarnya sambil memeluk boneka singa yang lupa ia bawa. Anak itu kembali pulas di kamarnya. Sedangkan Rania dan Aldi, mereka pulas sampai tidak sadar saling berpelukan satu sama lain karena cuaca di luar juga hujan dan AC menyala, membuat suasana menjadi dingin. Rania yang bermimpi bertemu dengan Andika, ia memeluk pria itu dan mencium bibir sang suami, tanpa sadar, ia melakukannya ke dunia nyata, Rania terbawa arus mimpi, ia tersenyum sambil mengecup bibir Aldi, membuat pria itu menggeliat terbangun. Ia terkejut saat bangun ternyata sedang berpelukan, bahkan bibir sang istri masih menempel padanya. Ia mencari Azka, di ranjangnya yang cukup besar tidak mendapati Azka di sana.Namun, ia melihat pintu terbuka, dengan pelan Aldi melepaskan Rania yang masih senyum-senyum, ia berjalan nenengoki Azka, ternyata anak itu sudah pules di kamarnya. Aldi bisa bernapas tenang, ia kembali menutup pintu kamar sang anak dan masuk kembali ke kamarnya, kemudian dikunci. "Aku kangen sama kamu," gumam Rania.Aldi melihat itu merasa kasihan, ia kembali berbaring sambil menatap wajah istrinya. Tangan pria itu terangkat, mengelus pipi Rania lembut. Malam yang dingin dengan suara hujan di luar, di hadapannya ada wanita cantik yang sudah sah menjadi istri. Aldi pria normal, terlebih lagi ia masih perjaka belum pernah melakukan hal-hal yang berbau suami istri. Pria itu terbawa, ia semakin mendekat untuk mengecup bibir ranum sang istri yang sebentar lagi akan ia dapat. Namun gagal, Rania berbalik dan memeluk guling yang ada di sampingnya. Padahal tubuh Aldi sudah memanas, ia kini hanya bisa sabar sambil mengatur napas. Setidaknya, tadi ia sudah mendapatkan kecupan dari sang ist
Di meja makan, Rania hanya diam bahkan menatap Aldi saja tidak. Ia merasa malu dan bersalah dengan kejadian yang tadi mereka lewati.Meskipun Aldi sudah berdehem berkali-kali memberikan kode agar wanita itu mendengar atau hanya sekedar menatapnya, tapi Rania tidak berkutik sama sekali. Sarapan selesai, Rania memilih kembali ke kamar membuka laptopnya melihat laporan untuk besok. Ia menggaruk kepalanya karena sedikit pusing, selama ini ia hanya diam di rumah menikmati hasil yang Andika berikan. Akan tetapi sekarang ia harus berjuang mati-matian untuk menghidupi sang anak meskipun ada Aldi yang dengan siap untuk merawat mereka berdua.Tapi yang Rania rasa mereka menikah hanyalah menjalankan wasiat, tidak wajib bagi Aldi untuk menafkahi mereka berdua. Padahal pria itu tulus sekali menyayangi mereka berdua. "Urusan besok biar besok, ngapain kamu kerjakan hari ini?" Tiba-tiba saja Aldi masuk dengan secangkir kopi di tangannya."Gak dikerjain, cuma mastiin aja buat besok.""Oh." Singka
Aldi yang semula diam karena terkejut, ia menggeleng sambil tersenyum, berusaha gembira di hadapan sahabatnya. "Gue... gue bekerja sama dengan salah satu perusahaan, yang di mana keuntungan itu mencapai miliaran.""Hah, beneran? Wahh, selamat, Bro. Gue salut banget sama Lo!" Andika semakin merasa bahagia, ia memeluk Aldi dengan tawa, sedangkan Aldi memejamkan mata untuk mengikhlaskan semuanya."Saat aku sudah mengikhlaskan kamu, kenapa Tuhan malah mempersatukan kita berdua, Ran," gumam Aldi, ia ingin menyeruput kembali kopinya, tapi ternyata sudah kosong, hanya tersisa hampasnya saja. Pria itu tersenyum miring, ia bingung dengan permainan Tuhan yang diberikan padanya. Takdir apa ini? Dulu Ia ambil kekasih hatinya, sekarang Ia mengambil sahabatnya. "Andai waktu bisa berputar kembali, bisa kan kita mencintai wanita yang berbeda? Mungkin dengan itu kita akan bahagia sekarang, An."Aldi kini hanya bisa menghela napas pelan. Semuanya telah terjadi, ia kini memiliki kekasih yang dulu tel
"Mulai sekarang, gak ada lagi yang boleh menyuruh-nyuruh di kantor ini. Ketahuan ada yang melakukan itu, saya denda lima ratus ribu!" Nita yang merasa bahwa ucapan itu diarahkan padanya, ia hanya bisa tertunduk dan merasa kesal, ia yakin bahwa Rania telah mengadu pada bosnya itu."Dan yang di suruhnya, jangan mau lakuin hal itu," kata Aldi tegas, kemudian ia menatap Rania yang diam di pojokan dengan tangan yang saling bertautan.Mata Aldi tak lepas dari menatap sang istri saat berlalu ingin masuk lagi ke ruangannya. Begitu juga dengan Rania yang matanya mengikuti arah sang suami pergi.Nita yang memperhatikan Rania, tangannya terkepal. Ia akan mengadu pada sang paman agar Rania di pecat dari perusahaan. ***"Aww!" Sebuah tangan yang mencengkram leher Rania membuat wanita itu meringis karena kesakitan.Ia sedang berada di kamar mandi, dan ternyata Nita mengikutinya untuk memberikan Rania pelajaran."Lo kan yang udah ngadu sama Pak Aldi soal yang tadi. Sudah gue bilang, jangan berani
"Pa—Pak Aldi, foto ini saya dapat dari grup. Nita... dia yang ngirim, Pak.""Dia lagi," ujar Aldi jengkel. Ia meminta Anisa untuk kembali bekerja dan jangan terus menyebarkan rumor. "Udah dibilang jangan deket-deket, ngeyel!" Tekan Rania, dengan wajah yang kesal tapi tatapan fokus ke laptop. "Tapi memangnya kenapa kalau mereka tau? Toh kamu memang istriku aku, kan?"Entah ke berapa kali Aldi mendapatkan tatapan tajam dari istrinya itu. Ia hanya bisa tersenyum meledek sambil berlalu pergi memasuki ruangan.Siska yang menatap foto itu di ponselnya, ia mengepalkan tangan kemudian menggebrak meja. Ia berpikir Rania terlalu berani, dia saja belum pernah di ajak pulang bareng selama tiga tahun menjadi sekretaris Aldi, tapi dengan mudah Rania bisa mendapatkan itu semua padahal baru saja bekerja di kantor ini. "Sepertinya dia memang gak bisa aku diamkan!" Siska tersenyum miring merencanakan sesuatu yang akan membuat Rania menyesal karena telah berurusan dengannya. Jam istirahat datang, se
Rania mendongak dengan mata yang melotot. Dia bahkan lebih percaya orang-orang di sana daripada memastikan lebih dulu bahwa bukan Rania lah yang mencuri."Bapak juga memfitnah saya?" tekan Rania, satu bulir air mata menetes di pipi wanita itu. Melihat itu membuat Aldi tidak tega, ia berdehem agar sedikit lebih kalem lagi. "Bukan... Bukan begitu maksud saya. Tapi—""Alahh mana ada sih, Pak, maling ngaku!""Iya, Pak. Udah jelas-jelas semua barang teman-teman kita ada di tas dia semua.""Diam! Ini kenapa kalian berdua yang ribut dari tadi. Memangnya barang kalian juga ada di tas dia?" sentak Aldi. Siska dan Nita hanya bisa menunduk dan menggeleng mendengar Aldi yang sudah mulai marah. "Sudah, kalian kembali bekerja. Urusan Rania, biar saya yang urus. Dan kita lihat, siapa pelaku sebenarnya. Jika memang bukan Rania yang mencuri, maka orang itu akan saya pecat tanpa pesangon!"Nita dan Siska mendongak dengan mata yang melotot. Mereka saling pandang dengan isyarat mata. Habis sudah jik
Ia meminta semuanya untuk kumpul dan melihat kejadian yang sebenarnya. Kapan waktu orang itu mengambil barang, dan saat itu sedang di mana Rania berada. Semua orang di sana mengangguk dan merasa bersalah karena telah terlanjur menuduh Rania. Sebagian dari mereka ada yang meminta maaf, tapi juga yang hanya diam dan menganggap semua ini hanya keisengan semata. Aldi meminta mereka untuk kembali bekerja. Sedangkan Siska dan Nita diam-diam mengacungkan jempol satu sama lain. Mereka berpikir mereka itu pintar karena terpikir lebih dulu untuk tidak menampakan wajah. "Kamu ikuti saya." Rania dengan malas membuntuti suaminya itu. Di dalam, Aldi tersenyum penuh arti, sedangkan Rania menatap dengan bingung karena suaminya itu senyum-senyum sendiri sedari tadi. "Ada apa?" tanya Rania, ia tidak ingin lama-lama ada di ruangan berdua dengan suaminya itu. "Kamu lupa perjanjian kita?""Enggak," kata Rania. "Bagus kalau begitu. Ya udah, langsung aja. Aku mau....""Mau apa? Kan perjanjiannya juga
"Katanya Bu Linda sudah kembali.""Iyakah? Wah, berarti sekarang Pak Aldi gak bakalan kesepian lagi. Hihi.""Iya bener banget. Pasti mereka bakalan selalu pergi berduaan diam-diam. Padahal kita semua tau kalau mereka ada hubungan khusus."Rania mendengar itu jadi tak fokus pada pekerjaannya. Ia menggeser kursi mendekat pada Anisa yang sibuk berkutik dengan laptopnya."Siapa Bu Linda itu?" "Hah?" Anisa yang tak mendengar gosip mereka, ia membenarkan kacamatanya mencerna lagi apa yang Rania katakan. "Bu Linda siapa?""Bu Linda? Oh... dia. Itu, asisten Pak Aldi. Dia sempat cuti seminggu kayaknya gak tau kenapa. Dengar-dengar sih sekarang bakalan datang ke kantor.""Owh... emang ada hubungan apa dia sama Pak Aldi?" Anisa yang mendengar itu tersenyum penuh curiga pada Rania. Ia mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Kamu cemburu yaaa.""Ishhh, apaan sih. Aku kan cuma nanya, itu dengar-dengar katanya mereka ada hubungan spesial.""Hmm... Gak tau juga sih. Tapi biasanya mereka emang suka
"Es teehhh!" jawab Rania sebal. Bisa-bisanya dia memanggil seperti itu, bahkan di tempat umum begini. Kan dia jadi malu. Aldi kembali setelah memesan, ia duduk sambil menatap danau yang di ujungnya dipenuhi lampu-lampu dari penduduk sana. Semilir angin menabrak wajahnya, entah kenapa ia sangat menyukai tempat itu. Baginya, tempat itu tenang dan damai, bisa membuat mood jadi baik. Walaupun ramai orang yang berkunjung juga di sana. Pria itu yang tak sengaja melirik sang istri, Rania nampak mengusap-usap tangannya karena merasa dingin. Baju dengan lengan pendek yang ia kenakan, membuat angin dengan lembut menyentuhnya. Tanpa basa-basi Aldi berdiri dan membuka jaz-nya, ia menyelimuti sang istri, membuat Rania menatapnya dengan terheran-heran. Kenapa dia biasa sangat peka, padahal Rania tidak berkata apa-apa. "Makasih," ujarnya serius. "Sama-sama." Aldi tersenyum menanggapi. Tak lama makanan datang, disambut oleh Rania dengan mata yang berbinar. Ini makanan yang dia rindukan. Sudah
Rania langsung lari keluar dan kembali duduk di tempat kerjanya dengan perasaan yang berkecamuk. Anisa yang melihat itu hanya bengong, bertanya-tanya ada apa dengan temannya itu. Sementara napas Rania masih belum stabil, ia mengusap dadanya berusaha untuk tenang. Namun, hal itu justru membuat orang-orang di sana memperhatikan dia. Karena dengan secara tiba-tiba berlari dari ruangan bos seperti melarikan diri dari kejaran anji*ng.Anisa yang melihat karyawan lain saling berbisik, ia mendekat pada wanita itu. "Are you oke?""Hmm." Rania mengangguk dan berusaha bersikap biasa saja."Kamu yakin? Wajah kamu pucat, gak abis dimarahin kan?""Hah? Eng—enggak. Aku cuma... Ahh, takut tadi ada kecoa. Iya, makanya aku kabur," elak Rania. Mana mungkin ia mengatakan bawah habis mendapatkan kecupan dari sang bos secara brutal. "Owalah... Kirain kenapa. Ya udah, lanjut kerja. Kalau Bu Linda tau kita suka ngerumpi, bisa habis dimarahi.""Iya." Rania tersenyum pada temannya itu, padahal jantungnya ma
"Katanya Bu Linda sudah kembali.""Iyakah? Wah, berarti sekarang Pak Aldi gak bakalan kesepian lagi. Hihi.""Iya bener banget. Pasti mereka bakalan selalu pergi berduaan diam-diam. Padahal kita semua tau kalau mereka ada hubungan khusus."Rania mendengar itu jadi tak fokus pada pekerjaannya. Ia menggeser kursi mendekat pada Anisa yang sibuk berkutik dengan laptopnya."Siapa Bu Linda itu?" "Hah?" Anisa yang tak mendengar gosip mereka, ia membenarkan kacamatanya mencerna lagi apa yang Rania katakan. "Bu Linda siapa?""Bu Linda? Oh... dia. Itu, asisten Pak Aldi. Dia sempat cuti seminggu kayaknya gak tau kenapa. Dengar-dengar sih sekarang bakalan datang ke kantor.""Owh... emang ada hubungan apa dia sama Pak Aldi?" Anisa yang mendengar itu tersenyum penuh curiga pada Rania. Ia mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Kamu cemburu yaaa.""Ishhh, apaan sih. Aku kan cuma nanya, itu dengar-dengar katanya mereka ada hubungan spesial.""Hmm... Gak tau juga sih. Tapi biasanya mereka emang suka
Ia meminta semuanya untuk kumpul dan melihat kejadian yang sebenarnya. Kapan waktu orang itu mengambil barang, dan saat itu sedang di mana Rania berada. Semua orang di sana mengangguk dan merasa bersalah karena telah terlanjur menuduh Rania. Sebagian dari mereka ada yang meminta maaf, tapi juga yang hanya diam dan menganggap semua ini hanya keisengan semata. Aldi meminta mereka untuk kembali bekerja. Sedangkan Siska dan Nita diam-diam mengacungkan jempol satu sama lain. Mereka berpikir mereka itu pintar karena terpikir lebih dulu untuk tidak menampakan wajah. "Kamu ikuti saya." Rania dengan malas membuntuti suaminya itu. Di dalam, Aldi tersenyum penuh arti, sedangkan Rania menatap dengan bingung karena suaminya itu senyum-senyum sendiri sedari tadi. "Ada apa?" tanya Rania, ia tidak ingin lama-lama ada di ruangan berdua dengan suaminya itu. "Kamu lupa perjanjian kita?""Enggak," kata Rania. "Bagus kalau begitu. Ya udah, langsung aja. Aku mau....""Mau apa? Kan perjanjiannya juga
Rania mendongak dengan mata yang melotot. Dia bahkan lebih percaya orang-orang di sana daripada memastikan lebih dulu bahwa bukan Rania lah yang mencuri."Bapak juga memfitnah saya?" tekan Rania, satu bulir air mata menetes di pipi wanita itu. Melihat itu membuat Aldi tidak tega, ia berdehem agar sedikit lebih kalem lagi. "Bukan... Bukan begitu maksud saya. Tapi—""Alahh mana ada sih, Pak, maling ngaku!""Iya, Pak. Udah jelas-jelas semua barang teman-teman kita ada di tas dia semua.""Diam! Ini kenapa kalian berdua yang ribut dari tadi. Memangnya barang kalian juga ada di tas dia?" sentak Aldi. Siska dan Nita hanya bisa menunduk dan menggeleng mendengar Aldi yang sudah mulai marah. "Sudah, kalian kembali bekerja. Urusan Rania, biar saya yang urus. Dan kita lihat, siapa pelaku sebenarnya. Jika memang bukan Rania yang mencuri, maka orang itu akan saya pecat tanpa pesangon!"Nita dan Siska mendongak dengan mata yang melotot. Mereka saling pandang dengan isyarat mata. Habis sudah jik
"Pa—Pak Aldi, foto ini saya dapat dari grup. Nita... dia yang ngirim, Pak.""Dia lagi," ujar Aldi jengkel. Ia meminta Anisa untuk kembali bekerja dan jangan terus menyebarkan rumor. "Udah dibilang jangan deket-deket, ngeyel!" Tekan Rania, dengan wajah yang kesal tapi tatapan fokus ke laptop. "Tapi memangnya kenapa kalau mereka tau? Toh kamu memang istriku aku, kan?"Entah ke berapa kali Aldi mendapatkan tatapan tajam dari istrinya itu. Ia hanya bisa tersenyum meledek sambil berlalu pergi memasuki ruangan.Siska yang menatap foto itu di ponselnya, ia mengepalkan tangan kemudian menggebrak meja. Ia berpikir Rania terlalu berani, dia saja belum pernah di ajak pulang bareng selama tiga tahun menjadi sekretaris Aldi, tapi dengan mudah Rania bisa mendapatkan itu semua padahal baru saja bekerja di kantor ini. "Sepertinya dia memang gak bisa aku diamkan!" Siska tersenyum miring merencanakan sesuatu yang akan membuat Rania menyesal karena telah berurusan dengannya. Jam istirahat datang, se
"Mulai sekarang, gak ada lagi yang boleh menyuruh-nyuruh di kantor ini. Ketahuan ada yang melakukan itu, saya denda lima ratus ribu!" Nita yang merasa bahwa ucapan itu diarahkan padanya, ia hanya bisa tertunduk dan merasa kesal, ia yakin bahwa Rania telah mengadu pada bosnya itu."Dan yang di suruhnya, jangan mau lakuin hal itu," kata Aldi tegas, kemudian ia menatap Rania yang diam di pojokan dengan tangan yang saling bertautan.Mata Aldi tak lepas dari menatap sang istri saat berlalu ingin masuk lagi ke ruangannya. Begitu juga dengan Rania yang matanya mengikuti arah sang suami pergi.Nita yang memperhatikan Rania, tangannya terkepal. Ia akan mengadu pada sang paman agar Rania di pecat dari perusahaan. ***"Aww!" Sebuah tangan yang mencengkram leher Rania membuat wanita itu meringis karena kesakitan.Ia sedang berada di kamar mandi, dan ternyata Nita mengikutinya untuk memberikan Rania pelajaran."Lo kan yang udah ngadu sama Pak Aldi soal yang tadi. Sudah gue bilang, jangan berani
Aldi yang semula diam karena terkejut, ia menggeleng sambil tersenyum, berusaha gembira di hadapan sahabatnya. "Gue... gue bekerja sama dengan salah satu perusahaan, yang di mana keuntungan itu mencapai miliaran.""Hah, beneran? Wahh, selamat, Bro. Gue salut banget sama Lo!" Andika semakin merasa bahagia, ia memeluk Aldi dengan tawa, sedangkan Aldi memejamkan mata untuk mengikhlaskan semuanya."Saat aku sudah mengikhlaskan kamu, kenapa Tuhan malah mempersatukan kita berdua, Ran," gumam Aldi, ia ingin menyeruput kembali kopinya, tapi ternyata sudah kosong, hanya tersisa hampasnya saja. Pria itu tersenyum miring, ia bingung dengan permainan Tuhan yang diberikan padanya. Takdir apa ini? Dulu Ia ambil kekasih hatinya, sekarang Ia mengambil sahabatnya. "Andai waktu bisa berputar kembali, bisa kan kita mencintai wanita yang berbeda? Mungkin dengan itu kita akan bahagia sekarang, An."Aldi kini hanya bisa menghela napas pelan. Semuanya telah terjadi, ia kini memiliki kekasih yang dulu tel
Di meja makan, Rania hanya diam bahkan menatap Aldi saja tidak. Ia merasa malu dan bersalah dengan kejadian yang tadi mereka lewati.Meskipun Aldi sudah berdehem berkali-kali memberikan kode agar wanita itu mendengar atau hanya sekedar menatapnya, tapi Rania tidak berkutik sama sekali. Sarapan selesai, Rania memilih kembali ke kamar membuka laptopnya melihat laporan untuk besok. Ia menggaruk kepalanya karena sedikit pusing, selama ini ia hanya diam di rumah menikmati hasil yang Andika berikan. Akan tetapi sekarang ia harus berjuang mati-matian untuk menghidupi sang anak meskipun ada Aldi yang dengan siap untuk merawat mereka berdua.Tapi yang Rania rasa mereka menikah hanyalah menjalankan wasiat, tidak wajib bagi Aldi untuk menafkahi mereka berdua. Padahal pria itu tulus sekali menyayangi mereka berdua. "Urusan besok biar besok, ngapain kamu kerjakan hari ini?" Tiba-tiba saja Aldi masuk dengan secangkir kopi di tangannya."Gak dikerjain, cuma mastiin aja buat besok.""Oh." Singka