"Den, lu di mana? Bantuin gue, mobil mogok nih!""Yah, Bos, istri saya mau lahiran nih. Udah mules, jadi gak bisa ditinggal.""Eh, cepet amat. Baru bulan lalu nikah, udah mau lahiran sekarang? Serius lu? Hamil apaan cepet banget?""Ha ha... Nikahnya udah setahun Bos. Masa lupa sih! Maaf ya Bos Anton, saya beneran lagi gak bisa. Mau saya telepon Udin?""Gak usah, si Udin nanti malah nyuruh gue. Ya udah, gue akalin dulu deh!" "Mobil yang mana dibawa, yang lama ya?""Iya, pick up lama.""Saya udah bilang itu mobil rusak. Bos masih pake aja!"Aku segera menutup telepon. Udah lagi susah, malah kena omel. Suara gemuruh langit yang akan segera menumpahkan air hujan membuatku semakin tak fokus memperbaiki mesin mobil. Mesin udah aku cek, semuanya aman. Memang mesinnya aja udah tua. Aku juga sampai masuk ke kolong mobil untuk mengecek bagian bawah. Sayangnya aku gak bawa senter. Terpaksa menggunakan senter HP. Bep! Aduh, batrei ponselku sudah mau habis pula. Mau nelepon tukang service, ma
"Jangan bohong, Mas. Dari mana Mas Alex tahu kalau mas Dhuha sakit?" tanya Aini tak yakin. "Pria bernama Hakim yang menelepon. Sepupunya kan?" Aini terkejut. "Iya, Mas Hakim." "Mau jenguk?" Aini menggelengkan kepala. "Gak, Mas. Saya sebenarnya udah selesai dengan lelaki itu hanya saja.... ""Pikirkan dulu, Ai. Ayah bayi kamu lagi sakit dan dia bilang ingin ketemu kamu. Kalau kamu mau, bisa aku anter. Gak nginep di Jakarta gak papa kalau mau langsung pulang ke Surabaya. Mumpung aku masih di sini. Biar aku temani." Aini tidak menjawab. Jujur hatinya ingin sekali menjenguk Dhuha, tetapi ia khawatir bertemu dengan Maria. Ia sudah berjanji untuk tidak muncul lagi di Jakarta, tetapi di sudut hatinya yang lain, Aini ingin mengunjungi Dhuha. Bagaimana kalau umur suaminya tidak lama lagi? Semalaman Aini tidak nyenyak tidur karena teringat Dhuha. Perutnya juga sejak tadi pagi; mendengar kabar Dhuha sakit, tak hentinya melakukan kontraksi. Wanita itu mengambil ponsel yang ada di atas naka
"Mbak Aini jadi ke sini kan? Sudah di mana?"SendIstri Orang 1"Jadi, ini lagi di jalan. Saya naik kereta api.""Apinya kecil apa gede?"SendIstri Orang 1"Wkwkwkwk... bisa aja, Mas Hakim."Hakim tertawa cekikan di sofa. Dhuha menatap heran sepupunya yang sejak tadi hanya senyam-senyum di depan ponsel. "Lu lagi chatting sama siapa, Kim?" tanya Dhuha dengan suara serak. "Cewek lu? Siapa?"Hakim menoleh pada Dhuha. "Istri orang ha ha.... ""Jangan sembarangan lu, Kim. Ditembak m@ti lakinya nanti lu!" Hakim malah terbahak. "Kagak bakalan, orang lakinya lemes." Kening Dhuha mengerut. Jika saja ia bisa merampas ponsel sepupunya itu, sudah pasti ia lakukan sejak tadi. "Lakinya sakit?""Iya, mau sakaratul maut." "Oh, kasihan sekali istrinya mau ditinggal mati." Hakim malah semakin terbahak mendengar komentar Dhuha. Pria itu memutuskan untuk segera keluar dari kamar perawatan Dhuha agar tidak terus-terusan menggoda orang sakit. Dhuha hanya bisa termenung melihat langit-langit kamar p
a ke sini untuk melihat kondisi Mas Dhuha. Ternyata benar-benar memprihatinkan. Mas sakit apa? Apa beneran gak lama lagi?" awalnya Dhuha tersenyum tipis, tetapi setelah pertanyaan Aini barusan, senyumnya hilang. Wanita itu duduk di kursi samping Dhuha. "Gak lama lagi apanya?" tanya Dhuha berpura-pura tak paham. "Kata dokter kondisi Mas Dhuha kritis ya. Namanya umur gak ada yang tahu, Mas. Mas harus.... ""Maksud kamu apa, Ai? Aku mau mati, gitu? Kamu senang jadi janda dua kali?" Aini menahan senyumnya. "Bukannya emang udah janda ya, Mas?""Kata siapa? Udah, kalau kita ngobrol, pasti akan bertengkar. Sekarang kamu suapin aku buah. Itu, di piring kecil ada buah, suapin aku. Biar kita gak usah bicara!" Aini menoleh pada meja kecil yang ditunjuk Dhuha dengan dagunya. Aini melakukan apa yang diperintahkan oleh Dhuha. Wanita itu mengambil buah jeruk, lalu mengupas kulitnya. Sabar Aini, Dhuha lagi sakit dan kamu harus ekstra sabar. Gak sakit aja menguji kesabaran, apalagi sakit. Ungkap A
"Sejak kapan perut pindah ke atas!?" tanya Aini sewot sambil mengusap kasar bibirnya. Ia hendak bergeser, tetapi Dhuha menahannya. "Kita itu bukan suami istri lagi, Mas! Jadi gak bisa sembarangan cium! Zie na!""Kata siapa cerai? Nggak!" Dhuha menjauhkan tubuhnya dari Aini. Ia tahu istrinya belum benar-benar menerima keadaan seperti ini setelah fitnah yang pernah ia tuduhkan pada Aini. "Saya mau pulang!""Nggak, jangan! Iya, iya, boleh pulang. Tapi kamu nunggu Alex dulu. Perut kamu udah gede gitu. Berapa bulan sekarang usianya?" Dhuha mengalah. Suaranya ia pelan kan agar Aini tidak merajuk. "Delapan," jawab Aini singkat. "Oh, udah lama juga ya. Terakhir itu kita yang sore-sore ya. Itu mungkin langsung jadi, Ai!" Aini memutar bola mata malasnya. "Anaknya laki-laki atau perempuan?""Gak usah kepo, Mas. Bukannya Mas bilang ini bukan anak Mas? Kenapa sekarang berubah lagi?" Dhuha menghela napas. Ia tahu ia salah dan gak mudah membetulkan kembali apa yang sudah dirusak olehnya. "Tapi
"Apa-apaan ini, Kim? Kenapa jadi begini?" tanya Dhuha sambil meremas kasar rambutnya. Hakim pun tidak tahu harus berkomentar apa karena ia pun jika menjadi Dhuha, akan sangat bingung. "Sabar, Dhu, ini ujian buat lo!" "Maaf, Pak, silakan buat keputusan sekarang." Dhuha menatap Hakim dengan mata berkaca-kaca. Perawat memberikan dua lembar pernyataan yang harus ditanda tangani oleh Dhuha. Pria itu memegang pulpen dengan tangan gemetaran. Istri atau anaknya. Dua-duanya... Apa ini teguran karena dia meragukan buah hatinya?"Istri saya, Dok. Saya pilih istri saya." Dokter pun mengangguk dan langsung masuk ke ruangan operasi. Dhuha menunggu dengan cemas. Ia bolak-balik berdiri karena tak sabar dengan hasil tindakan dokter hari ini. Kaki tangannya ikut dingin, begitu juga perutnya. "Dhuha, bagaimana Aini?" Alex tiba di samping Dhuha dengan sama paniknya. "Masih di dalam. Belum keluar sudah empat puluh lima menit." "Apa yang terjadi? Bukankah Aini baik-baik saja sebelumnya?" tanya Laex
PoV Dhuha"Dhu, mami Maria sakit. Lo gak mau pulang nengokin? Ini udah hari kesepuluh dirawat. Dia nanyain lo terus?" Aku diam. Sejak mama terang-terangan menentangku berumah tangga dengan Aini, aku pun memutuskan untuk mengalah. Di satu sisi, ada mama, tapi di sisi lain, ada Aini yang aku sayangi, tetapi ia tidak pernah memaafkanku lagi. Kematian putri kami dan penolakan mama yang membuat Aini membenciku. Empat tahun bukan waktu yang sebentar, tetapi sampai detik ini, aku tidak bisa melupakannya. Istriku pergi setelah bayi kami dimakamkan waktu itu. Nama yang begitu indah sudah disiapkan oleh Aini untuk putri kami. Hania Rahmah binti Fajar Pratama. Nama yang sangat sederhana, tetapi aku suka. Aini marah dan tidak memaafkanku. Ia juga terang-terangan diusir mama karena mama menganggap Aini tidak becus mengandung cucunya. Strata sosial masih yang paling penting bagi mama saat itu. Tidak tahu kalau sekarang. Lalu apa kalimat talak aku ucapkan pada Aini? Aku tidak mau dan aku tidak t
PoV Luna"Aku capek. Anak kamu nangis terus. Aku pusing karena gak tahu mau dia apa?!" omelku pada Anton. Dia pria dari anak yang aku kandung. Bukan Dhuha, mantan suamiku terdahulu. Anton baru sampai dari bekerja di tempat pengepulan sampah dan kalian tahu kan, baunya kayak apa? Jika bukan karena utang orang tuaku yang dibayarkan lelaki sampah ini, tidak mau aku menikahinya. "Mungkin lapar. Udah kamu kasih makan belum?" "Males. Kamu aja yang kasih makan. Orang dia anak kamu!" Bentakku kesal. Aku benar-benar tersandera menjadi istri dari pria yang benar-benar aku benci seumur hidupku. Pria yang mengambil kesempatan saat aku diluar kendali. Anton menaruh bajunya di keranjang cucian khusus. Ya, aku gak mau bajuku bercampur dengan bajunya. Sepulang bekerja, ia pasti menaruh pakaian motor dan baunya di sana. "Ya sudah, biar aku yang suapi." "Kamu dari luar, bau, kotor, kenapa gak mandi dulu! Cukup kamu aja yang bau sampah di rumah ini, jangan anak kamu juga. Bisa-bisa aku mati berdi
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.