PoV "Kamu yakin opa saya sering ke rumah itu?" tanyaku pada Leo. Jam satu malam kami berhenti di depan sebuah rumah sederhana, tetapi berpagar. Aku terus memperhatikan dengan seksama. Apa selingkuhan opa yang ada di sana? Apa istri baru? Aku semakin cemas saja membayangkan wanita yang mungkin saja menjadi simpanan opa ku. Sudah pasti, wanita muda yang mau dengan kakek-kakek itu, hanya mengejar hartanya saja. Bukan murni mencintai opa. Tapi siapa? "Siapa nama pemililik rumah itu?" "Gak tahu, Bos, belom nanya saya." Aku mnecebik. "Kamu ini, harusnya dapat informasi jelas dong, siapa pemilik rumah itu. Kerja apa? Ketemu di mana sama opa. Apa dia LC, biduan organ tunggal, atau sekretaris nakal yang mengejar harta opa ku saja? Jangan setengah-setengah gini, jadinya nanggung kan?""I-iya, Bos, maaf, saya terlalu senang karena berhasil dapat informasi, jadinya langsung kabari bos Dhuha. Jadi, sekarang bagaimana, Bos?""Ck, gue salah bayar orang kayaknya. Udah, lo tunggu di sini dah, gue
"Halo, lu di mana, Dhu?""Gue lagi ada urusan, Kim." Aku memperhatikan Aini yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggendong Intan yang baru saja habis mandi. Aku masih saja dicemberuti gara-gara aku sebal saat nama Anton disebut Aini. "Urusan apa? Tumben lo gak ngantor? Tumben juga gak ada info ke sekretaris lo.""Iya, dadakan urusannya. Mungkin tiga hari aku ijin gak ngantor dulu. Udah dulu ya, Kim, gue lagi beneran sibuk."Aku segera menutup panggilan dari Hakim. Ponsel pun aku matikan setelah aku berikan pesan pada sekretarisku untuk reschedule jadwal meeting hari ini. Aku tidak ingin ada yang mengangguku saat ini karena aku harus berbaikan dengan Aini. Dari pada dengan Luna yang penuh dengan kebohongan, lebih baik dengan Aini. Gak jelek juga, manis malah, meski kulitnya agak coklat. "Mau sampai kapan di sini?" tanya Aini ketus. Tangannya berada di pinggang seolah-olah tengah menantangku. "Suka-suka saya. Kamu itu istri saya, kenapa saya harus pergi dari sini?" Aini
PoV Luna"Apa yang sebenarnya terjadi Luna? Apa maksud video yang ditunjukkan Dhuha kemarin? Kenapa bisa ada video suara kamu di dalam mobil kamu pula bersama lelaki lain? Siapa lelaki itu?" cecar papaku dengan suara yang lemas. Aku tahu ia kecewa dan juga syok. "Pa, sudah, Luna sendiri masih syok. Mama percaya anak kita, pasti hanya salah paham. Bisa saja itu kerjaan orang yang mau merusak rumah tangga Luna dan Dhuha. Kita harus cari tahu dan jangan gegabah. Kamu juga harus bilang mama mertua kamu, Luna. Bukankah beliau yang paling mendukung hubungan ini?" mama mengusap pundakku pelan. Air mata ini tidak mau berhenti, sehingga aku tak bisa menjawab ucapan mama dan papaku. Semuanya masih menyesakkan dada. Ditambah nomor ponselku di blokir mas Dhuha. Aku tidak ingat persis kejadian hari itu, tapi.... "Terserah Mama saja. Papa pusing. Jika saja anak kita ini tidak tertipu bule di sana, tidak akan mungkin kita bangkrut, Ma. Sekarang, disaat kita berharap bisa membangun usaha kembali d
Mama mertuaku melemparkan ponselnya begitu saja sambil mengurut dada. "A-ada apa, Mbak?" tanya mamaku. "Itu, ada orang nomornya gak dikenal, kirim video aneh-aneh. Mereka kira, saya remaja labil atau perempuan gak bener. Dasar anak jaman sekarang!" Mama dan aku akhirnya bisa bernapas lega. Namun, aku tidak yakin setelah ini jika mama mertuaku memperhatikan video itu kembali. Aku yakin sekali, Dhuha yang mengirimkan pada mamanya, tetapi kenapa mama bilang nomornya gak dikenal? "Tadi, sambung yang tadi. M-maksud kamu gimana, Luna? Anak Mama menceraikan kamu?" aku mengangguk. Drama air mata mulai aku peragakan agar mama mertuaku iba. "Gak mungkin. Kalian mau akad ulang dan resepsi. Undangan cetak sudah dipercetakan dan undangan online sedang dirapikan. Kamu pasti salah dengar, Nak. Gak mungkin Dhuha melakukan hal bodoh seperti itu. Sebentar Mama telepon anak itu." Mama mengambil kembali telepon genggam yang tadi ia lemparkan di atas sofa. Wajahnya menyiratkan keadaan khawatir dan ti
"Dion, kamu mau tolong Mbak?" tanyaku pada Dion yang tengah bermain video game di kamarnya. "Tolong apa?" tanyanya balik tanpa melihat ke arahku. "Cari informasi tentang suamiku." Dion meletakkan remote game-nya. Ia menghela napas. "Kata papa, Mbak dicerai?" "Iya, tapi talak itu tidak berlaku karena aku sedang hamil.""Mas Dhuha bukannya tidak KDRT, tidak galak, tidak pelit, baik malah. Tapi kenapa bisa Mbak ditalak?" cecar Dion sambil terus menatap kearahku. "Suamiku itu.... ck, udahlah, kamu gak perlu tahu detail urusan Mbak. Mbak cuma minta tolong sama kamu untuk menguntit mas Dhuha. Ke mana saja dia? Apa yang dia lakukan, sama siapa? Cek ke kantornya juga. Kamu libur kan?""Iya, nanti Dion cari. Sekarang Dion mau main dulu, sorean Dion keluar." Dion malah menarikku keluar dari kamarnya. Dasar anak itu, susah sekali dimintai tolong. Selalu saja sibuk dengan urusannya. Padahal, jika bukan suamiku yang bayarin kuliah, Dion pasti sudah putus kuliah, orang papaku bangkrut. Merasa
"Apa kamu siap bertanggung jawab jika ada hal buruk terjadi pada Aini, ketika kamu memutuskan kembali menikahinya?! " tanya opa Fauzi pada siang Cucu. "Mama gak akan tega melakukan hal jahat, Pa. Dhuha kenal mama.""Yang kenal dengan diri kita adalah kita sendiri. Bukan orang lain. Apalagi kamu tidak tinggal satu rumah lagi dengan mama kamu. Opa hanya ingatkan, jika sesuatu hal buruk terjadi pada Aini dan anak-anaknya karena kamu, maka Opa tidak akan tinggal diam!""Opa, jangan begitu! Bagaimana juga, mas Dhuha cucu Opa. Darah daging keluarga Opa dari anak sulung. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya orang lain yang datang dengan membawa dua anak. Saya pun, mungkin jika menjadi bu Maria, akan melakukan hal yang sama. Menolak anak lelaki hebat saya menikahi sembarangan perempuan. Maka dari itu.... ""Saya mau Mas Dhuha menolak saya!" Sambung Dhuha jelas. "Itu-itu terus yang kamu ucapkan, Aini. Gak ada yang lain? Aku udah bilang, aku gak mau ceraikan kamu, titik! Ada urusan yang harus a
"Mas, bukannya Mas punya istri yang lain? Kenapa gak tidurnya sama yang istri pertama saja?" tanya Aini dengan ekspresi datar. "Saya ini istri jadi-jadian. Jadi, gak perlu tidur bareng beneran. Lagian capek." Dhuha menggigit bibirnya agar tidak tertawa. Aini benar-benar polos. Jelas begituan ya capek. Kalau yang gak capek itu, tidur. "Ya sudah, yang penting sekarang, kamu udah jadi istri aku lagi." Dhuha mulai menikmati makan malamnya. Aini hanya memperhatikan tanpa bersuara lagi. Ia tidak mau merusak suasana makan malam suaminya yang begitu lahap. "Kamu pintar sekali memasak," kata Dhuha sambil menggerakkan kepalanya karena begitu takjub menikmati masakan sang Istri. "Saya memang pintar." Komentar Aini membuat Dhuha tertawa. "Iya, makanya kamu bisa bikin CEO ganteng kayak aku, balik lagi nguber-nguber kamu." "Habis makan, jangan langsung tidur, Mas. Nanti asam lambung." Aini mengingatkan saat Dhuha menguap lebar setelah menghabiskan nasinya. "Iya, aku mau duduk dulu. Kita ngob
"Kim, lu bisa ke ruangan gue?" "Eh, udah masuk lu! Bukannya kata opa pengantin baru lagi?""Udah, masuk gue. Kata opa, pengantin basi karena gak ganti pasangan ha ha ha.... ""Oke, gue nanti ke ruangan lu."Dhuha menutup panggilannya pada Hakim. Ia benar-benar merasa ceroboh karena lupa bahwa ia pernah meminta Luna mengirimkan CV pada perusahaannya dan ia pula yang merekomendasikan pada pihak HRD. Tidak mungkin sekarang ia minta HRD memecat Luna karena mereka berdua sedang ada masalah? Apalagi, orang di kantornya yang tahu ia sudah menikah dengan Luna, hanya Hakim saja. Tok! Tok! "Masuk!" Pintu pun terbuka. Hakim berjalan masuk dengan santai. "Gimana pengantin, baru? Kayaknya lu makin gemuk aja.""Ck, baru dua hari. Gak dapat susu, baru dapat nasi doang!" Pletak! Hakim melemparkan pulpen ke arah Dhuha, untung saja pria itu bisa mengelak, sehingga mengenai kursi kebanggaannya saja. "Otak lu!" Hakim mendengus kesal. "Makanya, lu nikah, Kim. Emang lu gak jadi pacaran sama Intan?"
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang