Setelah berhasil keluar dari kemacetan menuju kampus, Dhuha meraih ponselnya yang tergeletak di kursi penumpang. Ia menekan kontak “Opa Fauzi” dan menempelkan telepon ke telinganya. Suara dering terdengar sebentar sebelum akhirnya disambut suara lembut sang kakek.“Halo, Dhuha. Kamu sudah sampai panti?”Dhuha tersenyum kecil. “Sudah, Opa. Aku baru selesai mengantar sembako dan alat sekolahnya. Anak-anak panti kelihatan senang sekali. Pak Zainal juga menyampaikan terima kasih untuk bantuan dari Opa.”“Alhamdulillah, Nak. Opa lega dengarnya. Kamu gimana, ada kesulitan?”“Tidak ada, kok. Semuanya berjalan lancar. Oh ya, tadi aku sempat dikenalkan dengan salah satu pengurus panti, namanya Diana karena ownernya Bu Nara sedang sakit. Sepertinya dia yang banyak mengurus anak-anak di sana. Orangnya ramah."Pak Fauzi terkekeh. “Bagus kalau begitu. Diana memang pengurus yang rajin, kata Zainal. Sama ada satu lagi yang biasa mengurus anak-anak di sana, tapi Opa lupa namanya.Opa senang kamu bisa
Setelah pertemuan yang emosional dengan Luna di kafe, Dhuha memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Perjalanan malam itu terasa berat, pikirannya penuh dengan kekhawatiran dan rencana-rencana yang tak pasti. Namun, ia merasa butuh ruang sendiri untuk mencerna semuanya, jauh dari rumah yang biasanya diwarnai suasana hangat keluarganya. Chat whatsapp darinya pun belum dibuka oleh Luna. Setibanya di apartemen, ponselnya berbunyi. Nama "Mama" muncul di layar. Dhuha menghela napas sejenak sebelum menjawab. Ia meletakkan ransel di gantungan tas, lalu meletakkan bokongnya dengan keras di ranjang. “Halo, Ma,” sapanya dengan suara datar.“Dhuha, kamu di mana, Nak?” suara Maria terdengar cemas. “Mama pikir kamu sudah pulang ke rumah tadi, tapi pas Mama cek kamar kamu, malah kosong. Kata bibik, kamu belum pulang dari sore."“Aku di apartemen, Ma,” jawab Dhuha sambil membuka pintu dan masuk ke ruangannya yang sederhana. “Ada banyak yang harus kupikirkan, jadi aku nggak sempat pulang.”Maria te
Belum lagi reda rasa terkejutnya, sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya. Kali ini bukan kontak Luna, tapi mamanya. "Dhuha, maafkan aku. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Jarak ini terlalu sulit untukku. Aku tidak ingin membuatmu terus berharap pada sesuatu yang mungkin tidak bisa kupenuhi. Aku harap kamu bisa mengerti. Terima kasih untuk segalanya. Kamu akan selalu menjadi bagian penting dalam hidupku."Pesan itu kembali menghantam dadanya dengan keras. Dhuha membaca ulang kata-kata itu beberapa kali, berharap ia salah paham, berharap ini hanya mimpi buruk yang akan berlalu saat ia membuka mata. Namun, kenyataan tetap tidak berubah. Luna telah memutuskan hubungan mereka.Ia merasakan air mata mengalir tanpa ia sadari. Perasaan kecewa, kehilangan, dan kesepian bercampur menjadi satu. Dhuha ingin membalas pesan itu, ingin memohon pada Luna untuk mempertimbangkan ulang, tetapi ia sadar bahwa tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang tidak lagi diinginkan oleh Luna.Sebagia
Siang itu, Dhuha tiba di panti asuhan Cahaya Kasih dengan sebuah mobil penuh sembako dan peralatan sekolah. Ini adalah kunjungan ketiga sebenarnya setelah sebelumnya ia mengantar bantuan dari opa Fauzi. Kunjungan kedua, Hakim yang melakukan karena bulan lalu, ia masih galau karena diputuskan Luna. Kemarin ia sudah bertekad untuk tidak terus larut dalam kegalauan karena putus cinta. Rio yang sedang cuti kerja, muncul untuk menyambut Dhuha di depan panti. Rio mengenakan kemeja kasual biru muda dan celana jeans, terlihat ramah dan santai.“Mas Dhuha, ya? saya Rio. Selamat datang lagi di Cahaya Kasih,” sapa Rio sambil menjabat tangan Dhuha dengan hangat.“Iya, Mas. Maaf, tadi saya sempat macet sebentar. Biasanya Mbak Diana yang menyambut,” ujar Dhuha. “Oh, Mbak Diana lagi istirahat di dalam. Katanya tadi sempat kontraksi palsu, jadi disuruh bed rest sama dokter,” jawab Rio sambil tersenyum tipis."Oh, Mbak Diana sedang hamil?""Iya betul. Tidak keliatan ya karena memang perutnya kecil
Siang itu, rumah sakit dipenuhi ketegangan. Diana dibawa masuk ke ruang persalinan darurat setelah dokter memastikan bahwa ia mengalami komplikasi yang memaksa kelahiran dini. Kehamilannya baru memasuki usia tujuh bulan, tetapi kondisi pendarahan yang terus berlangsung membuat dokter tidak punya pilihan lain.Rio duduk gelisah di ruang tunggu bersama Aini menunggu Erwin yang belum juga tiba. Wajahnya tegang, tangannya terus menggenggam ponsel. Sesekali ia melirik ke arah pintu, menanti kedatangan Erwin, suami Diana, yang sedang dalam perjalanan.“Aini, gimana ini?” bisik Rio dengan suara gemetar. “Kita berdoa saja, Mas. Dokter-dokter di sini pasti akan melakukan yang terbaik. Kak Diana dan bayinya akan baik-baik saja. Kak Diana wonder Woman he he.... ""Saya tahu hati kamu bersih, Ai. Meskipun Diana bersikap jahat sama kamu, tapi kamu tidak membalasnya." Aini yang duduk diam di sudut ruangan memandang lantai dengan tatapan kosong. Ia tahu Diana sering bersikap semena-mena padanya, t
Siang itu, matahari bersinar terik, memanaskan atap genting panti Cahaya Kasih yang dikelola Bu Nara sejak belasan tahun lalu. Anak-anak panti sedang bermain di halaman, riang tertawa sambil berlarian ke sana ke mari. Aini, yang sedang menyuapi bayi kecilnya, Diana, duduk di ruang depan bersama bayi tiga tahun lainnya yang tengah merengek pelan. Meski hari itu tampak biasa saja, suasana damai itu segera berubah saat dua pria asing masuk ke pekarangan panti tanpa permisi.“Permisi, ini panti Cahaya Kasih, kan?” salah satu pria, bertubuh tinggi besar dan bersuara berat, menghampiri Aini yang duduk di dekat pintu masuk.Aini menoleh. Wajahnya berubah heran. "Iya, betul. Ada yang bisa saya bantu, Pak?""Ada apa ini?" Pak Zainal dengan tergopoh menghampiri Aini yang berdiri di depan pintu berhadapan dengan dua orang pria. Wajah pria itu sangat asing. Pria itu tidak langsung menjawab. Ia melirik rekan di sebelahnya, seorang pria berperawakan lebih kecil namun dengan wajah yang tampak ding
Di ruang tamu Panti Cahaya Kasih, suasana terasa berat. Pak Zainal, pria paruh baya yang selama ini menjadi penjaga panti dan tangan kanan Bu Nara, duduk berhadapan dengan Fauzi. Donatur yang dianggap Pak Zainal, bisa menolongnya. “Terima kasih sudah datang, Pak Zainal,” ujar Fauzi memulai percakapan. Tangannya Pak Zainal gemetar. Pak Fauzi tersenyum tipis. “Saya yang terima kasih, Pak. karena akhirnya Pak Zainal menyempatksn mampir ke kantor saya.""Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pak Fauzi sambil memandang tamu di depannya dengan seksama. Pak Zainal menarik napas panjang. “Pak, saya mohon maaf harus mengatakan ini, tapi situasi panti benar-benar kritis. Kami... kami terancam kehilangan tempat ini.”Alis Pak Fauzi terangkat. “Kehilangan? Apa maksudmu?”Pak Zainal menunduk, lalu menjelaskan semuanya—utang Erwin, ancaman dari dua pria yang datang ke panti, dan risiko kehilangan rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi puluhan anak yatim piatu. “Pak, saya tidak tahu
Rumah kontrakan itu sederhana. Sebuah rumah kecil dengan dua kamar tidur, ruang tamu yang sempit, dan dapur mungil di bagian belakang. Tidak ada halaman luas seperti di panti. Tidak ada suara riang anak-anak yang berlarian. Hanya keheningan yang sesekali dipecahkan oleh suara tangisan Izzam atau helaan napas panjang dari salah satu penghuni rumah.Malam pertama di rumah baru terasa berat bagi Aini. Ia duduk di lantai ruang tamu, memeluk lututnya, menatap kosong ke dinding. Bayangan panti, suara anak-anak, dan semua kenangan yang ia tinggalkan masih menghantuinya. Rumah ini bukan rumahnya. Ia merasa asing, seolah tempat ini tidak bisa menggantikan tempat di mana ia tumbuh besar selama 24 tahun terakhir.Nara sudah berbaring di kamar setelah menyadari ia sudah bukan di tempat tidur biasanya. Rio duduk di kursi kayu di sudut ruangan, menatap diam ke arah Erwin yang duduk dengan kepala tertunduk. Tidak ada yang berbicara selama beberapa menit. Namun, akhirnya, Rio membuka suara.“Kamu ak
Langit di luar rumah sakit mendung, seolah turut berduka atas kepergian Nara. Di ruang tunggu, Erwin, Rio, dan Aini berdiri dalam diam, menanti dokter keluar dari ruang gawat darurat.Pintu terbuka, dan seorang dokter melangkah keluar dengan wajah sendu."Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi..." Dokter menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Maafkan kami. Ibu Nara telah berpulang."Seakan waktu berhenti sejenak."Tidak... tidak mungkin," Rio berbisik, matanya membulat tak percaya.Erwin terduduk lemas di kursi, sementara Aini menutup mulutnya dengan tangan, berusaha meredam isakan yang mulai pecah."Dok... benarkah?" suara Erwin serak, hampir tidak terdengar.Dokter mengangguk pelan. "Seperti yang tadi saya katakan, Beliau mengalami serangan jantung mendadak. Kami telah mencoba segalanya."Air mata yang ditahan Rio akhirnya jatuh. "Ibu..."Aini, yang sejak tadi berusaha tegar, akhirnya terisak keras. Ia menunduk, bahunya bergetar. "Aku bahkan belum sempat bicara banyak d
Rumah kontrakan itu sederhana. Sebuah rumah kecil dengan dua kamar tidur, ruang tamu yang sempit, dan dapur mungil di bagian belakang. Tidak ada halaman luas seperti di panti. Tidak ada suara riang anak-anak yang berlarian. Hanya keheningan yang sesekali dipecahkan oleh suara tangisan Izzam atau helaan napas panjang dari salah satu penghuni rumah.Malam pertama di rumah baru terasa berat bagi Aini. Ia duduk di lantai ruang tamu, memeluk lututnya, menatap kosong ke dinding. Bayangan panti, suara anak-anak, dan semua kenangan yang ia tinggalkan masih menghantuinya. Rumah ini bukan rumahnya. Ia merasa asing, seolah tempat ini tidak bisa menggantikan tempat di mana ia tumbuh besar selama 24 tahun terakhir.Nara sudah berbaring di kamar setelah menyadari ia sudah bukan di tempat tidur biasanya. Rio duduk di kursi kayu di sudut ruangan, menatap diam ke arah Erwin yang duduk dengan kepala tertunduk. Tidak ada yang berbicara selama beberapa menit. Namun, akhirnya, Rio membuka suara.“Kamu ak
Di ruang tamu Panti Cahaya Kasih, suasana terasa berat. Pak Zainal, pria paruh baya yang selama ini menjadi penjaga panti dan tangan kanan Bu Nara, duduk berhadapan dengan Fauzi. Donatur yang dianggap Pak Zainal, bisa menolongnya. “Terima kasih sudah datang, Pak Zainal,” ujar Fauzi memulai percakapan. Tangannya Pak Zainal gemetar. Pak Fauzi tersenyum tipis. “Saya yang terima kasih, Pak. karena akhirnya Pak Zainal menyempatksn mampir ke kantor saya.""Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pak Fauzi sambil memandang tamu di depannya dengan seksama. Pak Zainal menarik napas panjang. “Pak, saya mohon maaf harus mengatakan ini, tapi situasi panti benar-benar kritis. Kami... kami terancam kehilangan tempat ini.”Alis Pak Fauzi terangkat. “Kehilangan? Apa maksudmu?”Pak Zainal menunduk, lalu menjelaskan semuanya—utang Erwin, ancaman dari dua pria yang datang ke panti, dan risiko kehilangan rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi puluhan anak yatim piatu. “Pak, saya tidak tahu
Siang itu, matahari bersinar terik, memanaskan atap genting panti Cahaya Kasih yang dikelola Bu Nara sejak belasan tahun lalu. Anak-anak panti sedang bermain di halaman, riang tertawa sambil berlarian ke sana ke mari. Aini, yang sedang menyuapi bayi kecilnya, Diana, duduk di ruang depan bersama bayi tiga tahun lainnya yang tengah merengek pelan. Meski hari itu tampak biasa saja, suasana damai itu segera berubah saat dua pria asing masuk ke pekarangan panti tanpa permisi.“Permisi, ini panti Cahaya Kasih, kan?” salah satu pria, bertubuh tinggi besar dan bersuara berat, menghampiri Aini yang duduk di dekat pintu masuk.Aini menoleh. Wajahnya berubah heran. "Iya, betul. Ada yang bisa saya bantu, Pak?""Ada apa ini?" Pak Zainal dengan tergopoh menghampiri Aini yang berdiri di depan pintu berhadapan dengan dua orang pria. Wajah pria itu sangat asing. Pria itu tidak langsung menjawab. Ia melirik rekan di sebelahnya, seorang pria berperawakan lebih kecil namun dengan wajah yang tampak ding
Siang itu, rumah sakit dipenuhi ketegangan. Diana dibawa masuk ke ruang persalinan darurat setelah dokter memastikan bahwa ia mengalami komplikasi yang memaksa kelahiran dini. Kehamilannya baru memasuki usia tujuh bulan, tetapi kondisi pendarahan yang terus berlangsung membuat dokter tidak punya pilihan lain.Rio duduk gelisah di ruang tunggu bersama Aini menunggu Erwin yang belum juga tiba. Wajahnya tegang, tangannya terus menggenggam ponsel. Sesekali ia melirik ke arah pintu, menanti kedatangan Erwin, suami Diana, yang sedang dalam perjalanan.“Aini, gimana ini?” bisik Rio dengan suara gemetar. “Kita berdoa saja, Mas. Dokter-dokter di sini pasti akan melakukan yang terbaik. Kak Diana dan bayinya akan baik-baik saja. Kak Diana wonder Woman he he.... ""Saya tahu hati kamu bersih, Ai. Meskipun Diana bersikap jahat sama kamu, tapi kamu tidak membalasnya." Aini yang duduk diam di sudut ruangan memandang lantai dengan tatapan kosong. Ia tahu Diana sering bersikap semena-mena padanya, t
Siang itu, Dhuha tiba di panti asuhan Cahaya Kasih dengan sebuah mobil penuh sembako dan peralatan sekolah. Ini adalah kunjungan ketiga sebenarnya setelah sebelumnya ia mengantar bantuan dari opa Fauzi. Kunjungan kedua, Hakim yang melakukan karena bulan lalu, ia masih galau karena diputuskan Luna. Kemarin ia sudah bertekad untuk tidak terus larut dalam kegalauan karena putus cinta. Rio yang sedang cuti kerja, muncul untuk menyambut Dhuha di depan panti. Rio mengenakan kemeja kasual biru muda dan celana jeans, terlihat ramah dan santai.“Mas Dhuha, ya? saya Rio. Selamat datang lagi di Cahaya Kasih,” sapa Rio sambil menjabat tangan Dhuha dengan hangat.“Iya, Mas. Maaf, tadi saya sempat macet sebentar. Biasanya Mbak Diana yang menyambut,” ujar Dhuha. “Oh, Mbak Diana lagi istirahat di dalam. Katanya tadi sempat kontraksi palsu, jadi disuruh bed rest sama dokter,” jawab Rio sambil tersenyum tipis."Oh, Mbak Diana sedang hamil?""Iya betul. Tidak keliatan ya karena memang perutnya kecil
Belum lagi reda rasa terkejutnya, sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya. Kali ini bukan kontak Luna, tapi mamanya. "Dhuha, maafkan aku. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Jarak ini terlalu sulit untukku. Aku tidak ingin membuatmu terus berharap pada sesuatu yang mungkin tidak bisa kupenuhi. Aku harap kamu bisa mengerti. Terima kasih untuk segalanya. Kamu akan selalu menjadi bagian penting dalam hidupku."Pesan itu kembali menghantam dadanya dengan keras. Dhuha membaca ulang kata-kata itu beberapa kali, berharap ia salah paham, berharap ini hanya mimpi buruk yang akan berlalu saat ia membuka mata. Namun, kenyataan tetap tidak berubah. Luna telah memutuskan hubungan mereka.Ia merasakan air mata mengalir tanpa ia sadari. Perasaan kecewa, kehilangan, dan kesepian bercampur menjadi satu. Dhuha ingin membalas pesan itu, ingin memohon pada Luna untuk mempertimbangkan ulang, tetapi ia sadar bahwa tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang tidak lagi diinginkan oleh Luna.Sebagia
Setelah pertemuan yang emosional dengan Luna di kafe, Dhuha memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Perjalanan malam itu terasa berat, pikirannya penuh dengan kekhawatiran dan rencana-rencana yang tak pasti. Namun, ia merasa butuh ruang sendiri untuk mencerna semuanya, jauh dari rumah yang biasanya diwarnai suasana hangat keluarganya. Chat whatsapp darinya pun belum dibuka oleh Luna. Setibanya di apartemen, ponselnya berbunyi. Nama "Mama" muncul di layar. Dhuha menghela napas sejenak sebelum menjawab. Ia meletakkan ransel di gantungan tas, lalu meletakkan bokongnya dengan keras di ranjang. “Halo, Ma,” sapanya dengan suara datar.“Dhuha, kamu di mana, Nak?” suara Maria terdengar cemas. “Mama pikir kamu sudah pulang ke rumah tadi, tapi pas Mama cek kamar kamu, malah kosong. Kata bibik, kamu belum pulang dari sore."“Aku di apartemen, Ma,” jawab Dhuha sambil membuka pintu dan masuk ke ruangannya yang sederhana. “Ada banyak yang harus kupikirkan, jadi aku nggak sempat pulang.”Maria te
Setelah berhasil keluar dari kemacetan menuju kampus, Dhuha meraih ponselnya yang tergeletak di kursi penumpang. Ia menekan kontak “Opa Fauzi” dan menempelkan telepon ke telinganya. Suara dering terdengar sebentar sebelum akhirnya disambut suara lembut sang kakek.“Halo, Dhuha. Kamu sudah sampai panti?”Dhuha tersenyum kecil. “Sudah, Opa. Aku baru selesai mengantar sembako dan alat sekolahnya. Anak-anak panti kelihatan senang sekali. Pak Zainal juga menyampaikan terima kasih untuk bantuan dari Opa.”“Alhamdulillah, Nak. Opa lega dengarnya. Kamu gimana, ada kesulitan?”“Tidak ada, kok. Semuanya berjalan lancar. Oh ya, tadi aku sempat dikenalkan dengan salah satu pengurus panti, namanya Diana karena ownernya Bu Nara sedang sakit. Sepertinya dia yang banyak mengurus anak-anak di sana. Orangnya ramah."Pak Fauzi terkekeh. “Bagus kalau begitu. Diana memang pengurus yang rajin, kata Zainal. Sama ada satu lagi yang biasa mengurus anak-anak di sana, tapi Opa lupa namanya.Opa senang kamu bisa