PoV AlyaAku melakukan panggilan video dengan Ibu setelah Mas Kaivan pergi. Sebelumnya kumasukkan sim card milikku ke dalam ponsel Mas Kaivan—yang memiliki fitur dual sim, dan login akun WhatsApp-ku di sana.Baru beberapa saat melakukan panggilan video, ada pesan aneh dari nomor baru. Pesan itu beruntun sehingga aku terpaksa buru-buru mengakhiri panggilan video dengan Ibu. Entahlah, nomor baru atau nomor sama yang mengirim video kemarin. Karena semua history chat akunku terhapus.Pesan aneh itu berisi video dan beberapa pesan teks."KAU PIKIR KAI MAU BERSAMAMU KARENA MENCINTAI PEREMPUAN MURAH SEPERTIMU?""😂😂😂DIA HANYA TIDAK INGIN KEHILANGAN PUTRANYA.""TAPI, GIMANA KALAU KAI TAHU BAHWA ANAKMU BUKAN ANAK KAIVAN?" "KAU TAK LEBIH DARIPADA SEORANG PELAKOR!!!" tulis nomor asing itu dengan huruf kapital.Seketika membuatku merasakan perih di dalam sana. Siapa pengirim pesan kasar itu? Apakah dia ... satu-satunya yang ada di kepalaku adalah mantan istri Mas Kaivan. Namun, untuk apa dia m
PoV Alya "Alya?" Aku terkesiap. Karena saking tidak fokus dan cemas, aku tidak tahu jika si driver ternyata cukup familier wajahnya. Aku mengerutkan dahi. Tidak asing memang. Dia mengulas senyum. "Kita baru ketemu sekitar satu bulan lalu. Kamu lupa?" Saat itu juga ingatannku seakan kembali. "Edo?" Dia mengangguk. Pandangannya beralih pada Rayyan yang masih pulas dalam pangkuanku. "Anak siapa?" tanyanya. "Anakku." Aku menjawab tanpa ragu. Dia mengerutkan dahi. "Kamu udah nikah?" Aku mengangguk. Lagi-lagi tanpa ragu. Pria ini aneh. Siapa yang tidak tahu gosip tentangku di kampus. "Aku pikir gosip itu tidak benar," ucapnya lemah. Aku setengah tertawa. Dia amnesia atau gimana? "Waktu kita ketemu di depan ruang sidang, ayah anak ini ikut. Kamu lupa?" Dia terlihat membuka mulutnya seperti orang terkejut. "Serius? Cowok yang duduk pake topi itu Pak Kaivan?" Dia menepuk dahinya. Aku mengangguk. "Astaghfirullah, pasti dia menganggap aku mahasiswa sombong, ga
PoV AlyaBelum sempat aku berpikir jauh, aku dibuat terkejut saat salah orang dari mereka menarik tas sandangku.Refleks aku menjerit dan mempertahankan tasku. Tapi kekuatanku jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka beruda. Kaki dari si kurus hampir saja mengenai Rayyan jika saja tidak ada yang tiba-tiba mendorong tubuh mereka. Aku terduduk seakan tak lagi memiliki tenaga saking syoknya. Aku benar-benar tak dapat menyembunyikan rasa takut. Ada sedikit rasa sesal saat menyadari aku pergi tanpa persiapan yang matang. Seseorang menepuk bahuku dan membuatku tersadar. Rayyan ternyata sudah menangis dalam gendonganku. Aku membangun kekuatan untuk berdiri."Ayo, Alya. Aku antarkan ke mana tujuanmu." Suara lbariton itu berseru di tengah tangis Rayyan yang belum bisa ditenangkan. Ya, dia Edo. Ternyata dia sejak tadi mengikutiku dengan mengendari mobilnya pelan-pelan, sehingga bantuannya datang tepat waktu. "Aku butuh tempat untuk bisa asiin dia," ucapku akhirnya. "Di mobilk
PoV Alya"Ma–maksud Tante, sebelumnya kamar ini ada yang menyewa, tapi baru berapa hari ditempati dia dipindahtugaskan ke kota lain. Jadi, untuk saat ini kamar ini kosong, gak ada yang menempati." Tante Diah menjelaskan."Tapi gimana kalau nanti orang yang sewa datang, Tan?" "Enggak mungkin, soalnya dia sendiri yang ngomong, suruh kasih aja kalau ada yang nerusin. 'Duitnya Ga perlu diganti', katanya," lanjut Tante Diah lagi. Kulirik Edo yang tengah sibuk dengan ponselnya sambil berdiri—menyandarkan bahu kirinya pada kusen pintu.Aku sedikit heran. Emang ada, ya, orang kayak gitu? Sewa kos baru ditempati beberapa hari terus dikasih ke orang tak di kenal. Rada aneh sih, tetapi semoga dilancarkan rezekinya siapa pun orang itu."Ya udah, kamu istirahat saja. Nanti Tante antar makan malam."Aku buru-buru menolak. "Gak usah, Tante. Saya pesan online saja.""Gak apa, makan dua kali sehari termasuk fasilitas di sini. Harga sewa include untuk makan. Kamu jangan khawatir, penghuni di sini bai
PoV AlyaHari demi hari berlalu dengan cepat. Satu pekan sudah aku berada di tempat baru. Aku mulai terbiasa dengan ritme hidup baru di tempat kos ini. Untungnya Rayyan tidak begitu rewel. Selama tinggal di tempat baru aku belum ada keluar dari kos karena memang belum ada hal penting. Setiap pagi dan malam, aku mengambil jatah makan menggunakan kupon-kupon yang diberikan Maya. Penghuni lainnya pun rata-rata ramah, walaupun aku masih berusaha menjaga jarak, berusaha menjaga privasi.Hari ini aku mengambil jatah sarapan agak sedikit siang, jam sembilan lewat. Karena pagi tadi sudah sarapan dengan roti. Selain itu, karena memang kata Tante Diah, jatah catering bisa diambil kapan saja selama masih ada kuponnya.Aku turun sambil membawa Rayyan di gendonganku, berjalan menuju dapur catering yang cukup sepi. memang biasanya lingkungan kos sepi, karena penghuni sedang yang rata-rata karyawan sedang bekerja. Namun, memang inilah yang kucari agar aku tidak banyak bertemu dengan banyak orang.
"Saya tahu ini adalah kesalahan besar, tapi saya harap kamu bisa melupakan malam ini. Anggap yang telah terjadi tidak pernah terjadi." Pria berusia matang itu bersuara. Berat. Dia terburu-buru mengenakan kembali semua pakaiannya. Wajahnya masam karena sebuah petaka besar yang baru saja menimpa kami.Sementara aku duduk di tepi ranjang. Beberapa saat menatap pria itu, lalu membuang muka. Mendadak aku muak dengan orang yang kukagumi sejak resmi menjadi mahasiswi.Siang kemarin, aku baru saja memuji kewibaannya. Semua peserta seminar pasti terkagum-kagum setiap dosen itu menjadi nara sumber. Karena setiap Kaivan Satria Aksa mengisi pasti bahan yang disampaikan sangat berbobot untuk para mahasiswa. Sehingga seminar yang diisi dengan Kaivan Satria Aksa sebagai narasumbernya tidak pernah sepi peserta. Bimbingan skripsi yang harusnya membawaku pada pintu kelulusan, siapa sangka justru membawaku pada petaka yang tak 'kan pernah kulupakan seumur hidup.Aku masih bergeming. Meresapi penyesalan
Entah kenapa aku muak melihat pria yang berusia sebaya dengan Pak Kaivan itu. Dia tidak sendiri. Dua orang lainnya berdiri di belakangnya layaknya bodyguard."Hai, kamu!" Kini ekor matanya beralih padaku yang berdiri di belakang punggung Pak Kaivan."Ayam kampus!" ejeknya sambil tersenyum miring. Dia maju beberapa langkah untuk mendekatiku. Namun, Pak Kaivan menggeser tubuhnya menghadang pria itu."Bukankah kita sudah janjian sebelumnya? Tapi di sini rupanya kamu!" Dia masih tak menyerah. Ya, dia memang Pak Arga. Dosen pembimbing skripsi yang membuatku tersesat di sini. Entah kenapa aku yakin jika dia sengaja memberiku nomor kamar yang salah. Jangan ditanya bagaimana keadaanku sekarang, rasanya seperti tak bermalu lagi."Bisakah kau berhenti melibatkan orang lain dalam masalah kita, Ga?" tekan Pak Kaivan dengan suara berat.Pak Arga menyeringai lagi. "Sayangnya tidak. Tidak akan seru jika kita hanya bermain berdua, Kai." Dia menjawab santai."Ssst." Pak Arga setengah menoleh menatap
"Terima kasih, tidak membuat keluarga saya curiga dengan pernikahan kita," ucapku saat kami memulai perjalan untuk kembali ke Jakarta. Jujur saja rasa canggung sedikit terselip dalam kalimat itu. Kata ‘kita’ di dalam kalimat itulah yang menjadi penyebabnya. Pasalnya aku tahu, kami menikah bukan karena cinta. Bahkan aku merasa seperti menjadi simpanan sekarang. Bedanya, jika wanita simpanan lain merasa disayangi dan diperlakukan lebih daripada istri sah, aku justru merasa bersyukur sudah dinikahi. Aku cukup tahu diri untuk meminta banyak hal dari Pak Kaivan.Ya, akhirnya pernikahan yang tak diinginkan itu terjadi. Tragedi di malam itu benar-benar menyisakan bekasdan menghadirkan kehidupan kecil di rahimku.Sesaat, aku merasa dunia seakan berhenti saat sadar jika kehamilan itu terjadi. Aku seperti berada relung bumi yang paling dasar.“Sejak malam itu saya merasa, kalau kamu adalah tanggung jawab saya. Tanggung jawab saya menjaga nama baik kamu, di depan keluarga kamu sendiri.” Tid
PoV AlyaHari demi hari berlalu dengan cepat. Satu pekan sudah aku berada di tempat baru. Aku mulai terbiasa dengan ritme hidup baru di tempat kos ini. Untungnya Rayyan tidak begitu rewel. Selama tinggal di tempat baru aku belum ada keluar dari kos karena memang belum ada hal penting. Setiap pagi dan malam, aku mengambil jatah makan menggunakan kupon-kupon yang diberikan Maya. Penghuni lainnya pun rata-rata ramah, walaupun aku masih berusaha menjaga jarak, berusaha menjaga privasi.Hari ini aku mengambil jatah sarapan agak sedikit siang, jam sembilan lewat. Karena pagi tadi sudah sarapan dengan roti. Selain itu, karena memang kata Tante Diah, jatah catering bisa diambil kapan saja selama masih ada kuponnya.Aku turun sambil membawa Rayyan di gendonganku, berjalan menuju dapur catering yang cukup sepi. memang biasanya lingkungan kos sepi, karena penghuni sedang yang rata-rata karyawan sedang bekerja. Namun, memang inilah yang kucari agar aku tidak banyak bertemu dengan banyak orang.
PoV Alya"Ma–maksud Tante, sebelumnya kamar ini ada yang menyewa, tapi baru berapa hari ditempati dia dipindahtugaskan ke kota lain. Jadi, untuk saat ini kamar ini kosong, gak ada yang menempati." Tante Diah menjelaskan."Tapi gimana kalau nanti orang yang sewa datang, Tan?" "Enggak mungkin, soalnya dia sendiri yang ngomong, suruh kasih aja kalau ada yang nerusin. 'Duitnya Ga perlu diganti', katanya," lanjut Tante Diah lagi. Kulirik Edo yang tengah sibuk dengan ponselnya sambil berdiri—menyandarkan bahu kirinya pada kusen pintu.Aku sedikit heran. Emang ada, ya, orang kayak gitu? Sewa kos baru ditempati beberapa hari terus dikasih ke orang tak di kenal. Rada aneh sih, tetapi semoga dilancarkan rezekinya siapa pun orang itu."Ya udah, kamu istirahat saja. Nanti Tante antar makan malam."Aku buru-buru menolak. "Gak usah, Tante. Saya pesan online saja.""Gak apa, makan dua kali sehari termasuk fasilitas di sini. Harga sewa include untuk makan. Kamu jangan khawatir, penghuni di sini bai
PoV AlyaBelum sempat aku berpikir jauh, aku dibuat terkejut saat salah orang dari mereka menarik tas sandangku.Refleks aku menjerit dan mempertahankan tasku. Tapi kekuatanku jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka beruda. Kaki dari si kurus hampir saja mengenai Rayyan jika saja tidak ada yang tiba-tiba mendorong tubuh mereka. Aku terduduk seakan tak lagi memiliki tenaga saking syoknya. Aku benar-benar tak dapat menyembunyikan rasa takut. Ada sedikit rasa sesal saat menyadari aku pergi tanpa persiapan yang matang. Seseorang menepuk bahuku dan membuatku tersadar. Rayyan ternyata sudah menangis dalam gendonganku. Aku membangun kekuatan untuk berdiri."Ayo, Alya. Aku antarkan ke mana tujuanmu." Suara lbariton itu berseru di tengah tangis Rayyan yang belum bisa ditenangkan. Ya, dia Edo. Ternyata dia sejak tadi mengikutiku dengan mengendari mobilnya pelan-pelan, sehingga bantuannya datang tepat waktu. "Aku butuh tempat untuk bisa asiin dia," ucapku akhirnya. "Di mobilk
PoV Alya "Alya?" Aku terkesiap. Karena saking tidak fokus dan cemas, aku tidak tahu jika si driver ternyata cukup familier wajahnya. Aku mengerutkan dahi. Tidak asing memang. Dia mengulas senyum. "Kita baru ketemu sekitar satu bulan lalu. Kamu lupa?" Saat itu juga ingatannku seakan kembali. "Edo?" Dia mengangguk. Pandangannya beralih pada Rayyan yang masih pulas dalam pangkuanku. "Anak siapa?" tanyanya. "Anakku." Aku menjawab tanpa ragu. Dia mengerutkan dahi. "Kamu udah nikah?" Aku mengangguk. Lagi-lagi tanpa ragu. Pria ini aneh. Siapa yang tidak tahu gosip tentangku di kampus. "Aku pikir gosip itu tidak benar," ucapnya lemah. Aku setengah tertawa. Dia amnesia atau gimana? "Waktu kita ketemu di depan ruang sidang, ayah anak ini ikut. Kamu lupa?" Dia terlihat membuka mulutnya seperti orang terkejut. "Serius? Cowok yang duduk pake topi itu Pak Kaivan?" Dia menepuk dahinya. Aku mengangguk. "Astaghfirullah, pasti dia menganggap aku mahasiswa sombong, ga
PoV AlyaAku melakukan panggilan video dengan Ibu setelah Mas Kaivan pergi. Sebelumnya kumasukkan sim card milikku ke dalam ponsel Mas Kaivan—yang memiliki fitur dual sim, dan login akun WhatsApp-ku di sana.Baru beberapa saat melakukan panggilan video, ada pesan aneh dari nomor baru. Pesan itu beruntun sehingga aku terpaksa buru-buru mengakhiri panggilan video dengan Ibu. Entahlah, nomor baru atau nomor sama yang mengirim video kemarin. Karena semua history chat akunku terhapus.Pesan aneh itu berisi video dan beberapa pesan teks."KAU PIKIR KAI MAU BERSAMAMU KARENA MENCINTAI PEREMPUAN MURAH SEPERTIMU?""😂😂😂DIA HANYA TIDAK INGIN KEHILANGAN PUTRANYA.""TAPI, GIMANA KALAU KAI TAHU BAHWA ANAKMU BUKAN ANAK KAIVAN?" "KAU TAK LEBIH DARIPADA SEORANG PELAKOR!!!" tulis nomor asing itu dengan huruf kapital.Seketika membuatku merasakan perih di dalam sana. Siapa pengirim pesan kasar itu? Apakah dia ... satu-satunya yang ada di kepalaku adalah mantan istri Mas Kaivan. Namun, untuk apa dia m
PoV Kaivan"Tapi gimana kalau anak yang dikandung Kinan benar-benar anak gua, Zam?" tanyaku lirih penuh sesal.Azzam diam. “Ya lu kudu tanggung jawab lah, lu bapaknya."Aku mendengkus."Bertanggung jawab yang gua maksud bukan berarti lu harus nikahin dia dan korbanin istri lu sekarang. Itu namanya lu bodoh karena mau masuk ke lubang yang sama.""Maksud lu?""Lu manusia cerdas, pasti bisa mikir.""Gua memang lagi gak bisa mikir sekarang, Zam. Gua takut kehilangan Alya. Gua takut dia kecewa kalau tahu Kinan hamil anak gua." Aku mengusap wajah. "Gua takut Alya gak bisa terima ini, Zam.""Kenapa lu begitu ga percaya diri, Bro?"Aku yang tadi menunduk pun menoleh. "Maksud gue, yang Alya gak suka tuh lu balikan sama Kinan tapi masih mau sama dia.""Iya, tapi ....""Jangan bilang lu masih belum move on dari Kinan?"Aku menunduk. "Gila, lu. Gua kasihan sama Alya. Hidup dan masa depannya hancur karena kecerobohan lu, sekarang–"“Ya gaklah, Zam. Gua gak mungkin nyimpen perasaan buat Kinan yan
PoV Kaivan"Bu Alya tiba-tiba mau pergi, Pak!" Rani mengatakannya dengan suara bergetar, matanya menyorotkan kecemasan.Alya? Mau pergi? "Maksud Mbak Rani gimana? Pergi gimana? Alya kan masih belum sehat?" tanyaku tak mengerti.Pertanyaan yang kucipta sendiri seketika membuat jantung berdegup kencang. Firasatku ini tidak baik.Rani menggeleng cepat. "Bapak lihat dulu deh, dia udah beres-beres masukin baju ke dalam tas."Ini Alya maksudnya apa, sih? Tadi baik-baik saja, kenapa sekarang .... Ah, sulit.Aku langsung melesat keluar, meninggalkan Azzam yang masih kebingungan di ruangan. Langkahku cepat, hampir berlari menuju kamar di lantai atas. Akan tetapi, saat aku membuka pintu kamar yang kulihat justru hal yang biasa. Dia yang tadi berdiri di depan lemari, kemudian duduk di tepi ranjang."Ada apa, Mas?" Dia menatap aneh.Aku menatap sekeliling. Tidak ada tanda-tanda Alya akan pergi atau sedang beres-beres seperti yang dikatakan Mbak Rani.Aku menoleh, ke belakang. Menatap Mbak Rani
PoV KaiAlya masih terduduk di lantai kamar mandi, wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Aku berdiri di depan pintu, tak berani mendekat, tidak juga ingin pergi. Mana mungkin aku meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Bau parfum Kinan yang masih menempel di bajuku memang menyengat, dan Alya jelas sangat sensitif saat ini. "Sayang, aku akan mandi dulu. Aku panggil Bu Rumi untuk bantu kamu, ya," kataku pelan sebelum akhirnya berbalik menuju keluar untuk memanggil Bu Rumi kemudian mandi di kamar mandi yang lain. Air dingin mengalir deras di tubuhku, mencoba membersihkan segala bau dan kenangan buruk semalam. Aku kembali memikirkan Kinan yang bersikap aneh semalam. [Anak siapa yang dikandung Kinan? Bagaimana jika benar anakku? Alya pasti tidak akan suka] Pikiranku terus berputar pada Kinan, pada apa yang harus kulakukan selanjutnya?Aku tak bisa membiarkannya terus mengganggu hidup kami. Namun, bagaimana caranya? Setelah mandi, aku memastikan tak ada lagi bau asing di t
"Mas selingkuh?"Aku menggeleng.Sial. Ini pasti ulah Kinan tadi malam. Namun, penjelasan seperti apa yang harus kukatakan pada Alya."Gak perlu bohong, Mas. Aku bisa lihat. Dan ...." Dia menarik paksa napasnya. "Ini bukan aroma parfum kamu, ini parfum perempuan." Dia mendorong tubuhku.Aku bergeming. Aku baru saja akan bercerita ke mana aku pergi semalam supaya tidak menimbulkan salah paham. Namun, dia sudah terlanjur salah paham. Lalu aku harus bagaimana? Apa dia masih bisa mendengarku?"Alya, aku gak selingkuh. Kamu salah paham. Aku bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi semalam." Aku berkata lirih.Dia menatapku lemah. Napasnya mulai naik turun dengan tempo cepat dan berat.Aku mencoba meraih tangannya dalam genggaman. Namun, dia menepis dengan cepat. Dia kemudian memiringkan tubuhnya dan membelakangiku."Bukannya dulu aku pernah bilang. Aku bisa bertahan hanya jika Mas tinggalka Bu Kinan. Tapi bukan berarti boleh ada wanita lain meski itu bukan Bu Kinan, Mas," ucapnya lirih. Su