"Kenapa, Ndin? Kita udah rencanakan ini jauh-jauh hari, loh. Kamu juga paling antusias waktu kita usul pergi ke pantai."
Andini menghembuskan napas pelan. Memang sedikit menyesal tak bisa pergi ke pantai dengan teman-temannya. Tapi sepertinya kali ini rumah tangganya lebih penting dari apapun. Andini tidak bisa pergi dari rumah dalam keadaan Angga yang sedang marah.
"Iya, maaf. Maaf banget, La. Bilang ke temen-temen aku minta maaf, ya. Have fun buat kalian."
"Oke kalau gitu, Ndin. Aku sampaikan ke teman-teman."
Andini hanya bisa memperhatikan pintu kamar Angga yang tertutup rapat. Andini tau Angga tengah kecewa kepadanya. Mungkin Angga sudah mulai lelah menghadapi sikapnya yang enggan untuk berdamai dengan keadaan.
Mendadak Andini takut kalau Angga benar-benar mengabulkan permintaan Andini selama ini. Yaitu berpisah. Andini takut Angga akan benar-benar menceraikan dirinya.
Pintu kamar Angga terbuka. Dan Angga berjalan cepat menuruni anak tangga. Berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Andini yang terus memperhatikan Angga.
Andini segera mengejar Angga yang keluar dari rumah tanpa sepatah kata pun. "Angga," panggilnya dengan ragu.
Angga menoleh dan menatap Andini dengan penuh tanya meskipun tidak bersuara sedikitpun.
"Kamu mau kemana?"
"Bukankah kemanapun aku pergi kamu tidak pernah peduli?" sindir Angga, membuat Andini menunduk malu. Air matanya kembali berjatuhan menyadari Angga mulai berubah.
Tanpa memperdulikan Andini, Angga pergi begitu saja. Membiarkan Andini terpaku di tempatnya sambil menatap kepergian Angga dengan air mata yang terus mengalir.
Angga telah berubah. Dan semua karena kesalahannya.
Tak ingin terlalu berlarut dalam kesedihannya, Andini akhirnya mengerjakan pekerjaan rumah satupun belum dia sentuh sejak pagi. Dia sibuk menyiapkan keperluannya untuk pergi yang akhirnya batal karena dia lebih memilih Angga.
Andini berpikir mungkin saja Angga sedang butuh waktu untuk sendiri. Barangkali jika dia melihat Andini hanya akan terbawa emosi saja.
Angga bilang, dia sudah mulai mencintai Andini. Andini tak bisa lupa akan ucapan Angga yang satu itu.
Tapi bagi Andini, perasaan itu masih terlalu jauh untuk dirinya yang sedang berusaha menerima keadaan.
Perasaan khawatir muncul di hati Andini saat Angga belum juga pulang sampai malam hari. Berkali-kali Andini mencoba menghubungi Angga, tapi tidak bisa. Nomornya tidak aktif sama sekali. Pesan yang dia kirimkan masih centang satu sejak siang hari tadi.
Rasanya Andini ingin pergi ke rumah mertuanya. Menanyakan apakah Angga ada di sana atau tidak. Tapi itu tidak mungkin dia lakukan. Takut kalau mereka akan tahu bahwa antara Angga dan dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Andini juga tidak tahu kemana harus mencari Angga. Malam-malam begini Andini takut untuk keluar rumah sendirian. Apalagi tanpa tujuan yang pasti.
"Kamu dimana, Ga?" Andini meneteskan air matanya. Menyesali semua yang sudah dia lakukan.
Saat ini dia hanya bisa berandai-andai. Andai Andini bisa menurunkan sedikit egonya. Andai dia bisa mencoba menerima kenyataan. Dan seandainya Andini bisa memutar waktu. Pasti saat ini Angga ada di sampingnya.
Andini terperanjat saat mendengar suara pintu dibuka. Dia menghela napas lega saat melihat Angga-lah yang membuka pintu rumah.
Lega karena bukan maling. Juga lega karena Angga akhirnya pulang.
Tanpa ragu, Andini berlari menghampiri Angga dan memeluk Angga dengan erat. "Kamu kemana? Aku khawatir banget sama kamu. Aku nungguin kamu dari tadi. Telponin kamu tapi nggak aktif. Padahal aku mau minta maaf."
Diam-diam Angga menyunggingkan senyuman. Tapi dia belum ingin menanggapi ucapan panjang Andini. Tidak sia-sia dia rebahan seharian di rumah mertuanya sambil bermain PS dengan Bayu tanpa mengaktifkan handphonenya.
Angga sudah bekerja sama dengan keluarga Andini untuk memberi sedikit pelajaran kepada Andini. Beruntung Angga memiliki mertua dan adik ipar yang satu frekuensi dengannya.
Andini mendongak, menangkup wajah Angga dengan kedua tangannya. "Kamu nggak apa-apa, kan? Masih marah sama aku?"
Mata bulat Andini yang memerah dan terus meneteskan air mata membuat Angga tak tega berlama-lama mendiamkan Andini. "Aku nggak kemana-mana. Seharian main PS sama Bayu di rumah kamu."
Seketika wajah Andini berubah kesal. Dia mencubit dengan keras perut Angga tanpa ampun. "Anggaaaa!!!!" Andini memekik kesal.
"Aduh, Ndin. Sakit, Ndin."
"Ngeselin banget, sih, kamu, Ga! Aku di sini khawatir sama kamu. Nangisin kamu. Mau makan nggak enak karena nggak ada kabar dari kamu. Bisa-bisanya kamu main PS sama Bayu dan handphone kamu nggak aktif sama sekali. Aku sebel sama kamu, Angga!"
"Iya, Ndin, maaf. Udah, sakit banget ini."
Andini mendorong tubuh Angga dengan pelan. Dan dia pergi begitu saja dari hadapan Angga sambil mengusap air mata yang kembali menetes karena kekesalan hatinya.
"Ndin, aku minta maaf." Angga berusaha mengejar Andini. "Ndin." Angga segera memeluk tubuh Andini saat dia berhasil meraih tangan Andini dan membuat langkah Andini terhenti.
"Maaf," ucap Angga pelan.
"Kamu jahat, Ga. Kamu nggak tau gimana khawatirnya aku sama kamu. Mau cari kamu kemana aku nggak tau."
"Iya. Aku minta maaf, ya. Aku cuma ingin tahu, seberapa berharganya kehadiran aku untuk kamu, Ndin. Aku ingin tau apakah kehadiranku masih kamu harapkan atau tidak. Terimakasih, ya, sudah mengkhawatirkan aku. Terimakasih sudah berharap aku kembali. Aku cinta sama kamu, Ndin. Cinta seorang suami kepada istrinya."
Andini tak menjawab. Tapi pelukannya yang semakin erat di tubuh Angga, membuat Angga tersenyum senang. Setidaknya ucapan cinta Angga tak ditepis lagi oleh Andini.
***
Malam ini mereka tidak langsung tidur dalam satu kamar meskipun kata cinta itu telah terucap dari bibir Angga. Juga meskipun Andini tidak menolak lagi pernyataan cinta dari Angga.
Semua itu Andini yang meminta dengan alasan bahwa dia belum siap jika harus dalam satu kamar dengan Angga. Takut Angga macam-macam, katanya. Padahal, mau apapun sudah sah. Tidak akan menggerebek mereka jika mereka melakukan yang iya-iya.
Tanpa Andini sadari, Angga sudah membayangkan malam ini akan memeluk Andini dalam tidurnya. Dan wajah Andini yang pertama kali dia lihat saat esok pagi dia membuka kedua matanya.
Selain itu, Angga juga sudah membayangkan akan melewati malam pertamanya dengan sahabat yang kini menjadi istri yang dia cintai. Angga lelaki normal. Itu kebutuhannya, juga haknya sebagai suami. Tapi dia juga tidak akan memaksa Andini jika Andini belum siap melakukannya.
"Ndin..." panggil Angga dengan nada suara tak rela saat mereka harus berpisah di lantai dua. Andini ke kamarnya, dan Angga ke kamarnya sendiri.
"Apa, sih, Ga?"
"Ke sini aja, yuk," ajaknya sambil menarik pelan tangan Andini untuk masuk ke dalam kamar Angga.
"Kapan-kapan aja, deh."
"Aku kayak minta jatah ke pacar, deh, Ndin."
Andini terbahak. "Uhhh... Kasian banget, sih." Andini mengusap pipi Angga. "Kasih aku waktu, ya," lanjutnya pelan.
Dan akhirnya Angga pun mengangguk pasrah, membiarkan Andini masuk ke dalam kamarnya sendiri tanpa mengajak Angga.
Tapi Angga tak kurang akal. Malam ini dia harus bisa tidur dengan memeluk Andini. "Ndin..."
"Apalagi, Angga?" Andini sudah hampir menutup pintu saat Angga kembali memanggilnya.
"Kamu ingat tetangga belakang yang meninggal kemarin?"
"Kenapa memangnya?"
"Dia lagi hamil. Semalam ada suara bayi baru lahir lagi nangis. Tetangga pada dengar, Ndin."
"Anggaaa... Jangan bikin takut."
"Ini udah jam dua belas, loh, Ndin. Bentar lagi pasti_"
"Stop, Angga. Jangan bikin takut." Angga berusaha menahan senyumnya saat Andini kembali keluar dan menggandeng tangan Angga.
"Ini ngapain?" tanya Angga berpura-pura tidak mengerti dengan yang dilakukan Andini.
"Jadi takut tidur sendirian."
"Terus mau tidur sama siapa? Katanya nggak mau tidur sama aku."
"Iiihhh... Awas, ya, kalah sampai kamu macam-macam."
"Satu macam aja, kok, Ndin. Enggak apa-apa, kan? Kita, kan_"
Belum sempat Angga menyelesaikan ucapannya, Andini langsung menjerit ketakutan saat mendengar suara tangisan bayi.
Dia segera menarik tangan Angga dan masuk ke dalam kamar Angga. Berbaring di atas tempat tidur sambil memeluk Angga dengan erat.
Angga tersenyum puas.
Tetangga mereka yang meninggal kemarin memang sedang hamil muda.
Tapi kemarin sore tetangga samping rumahnya juga habis melahirkan anak pertama mereka. Dan suara tangisan bayi itu, bukan tangisan hantu atau yang lain. Melainkan tangisan dari bayi tetangga sebelah. Bayi berumur dua hari.
Andini mengerjap pelan. Matanya menyesuaikan cahaya lampu yang menyala dengan terang.Ketika dia berusaha menggerakkan tubuhnya, dia mengernyitkan keningnya. Tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan. Seperti ada beban yang menimpa tubuhnya.Seketika Andini menjauhkan tubuhnya saat dia menyadari tubuhnya sedang berada dalam pelukan Angga.Guling yang semalam dijadikan pembatas sudah teronggok di atas lantai. Entah siapa yang membuangnya, yang jelas Andini merasa tidak terima karena Angga mencari kesempatan untuk memeluk dirinya tanpa ijin."Hai, istri," sapa Angga dengan renyah saat matanya juga terbuka setelah merasakan gerakan di sampingnya.Andini memasang wajah datar. "Geli banget dipanggil begitu," balasnya sedikit ketus."Istri orang lain dipanggil begitu seneng, tersipu. Ini kenapa istriku dipanggil begitu malah kayak gini ekspresinya, sih?"
Pagi ini Angga dan Andini berangkat bersama. Baru kali ini Andini dengan suka rela mengiyakan permintaan Angga untuk berangkat bekerja bersama.Biasanya Andini akan beralasan kalau naik mobil pasti macet dan bisa jadi terlambat ke kantor.Tapi kali ini Andini tak banyak protes saat mobil Angga terjebak dalam kemacetan panjang. Sudah pukul tujuh. Itu artinya setengah jam lagi Andini harus sudah sampai di kantor kalau tidak mau dipotong gaji.Andini merasa, lebih baik dia berdoa agar mobil Angga segera lepas dari kemacetan daripada dia menggerutu kesal. Membuang-buang tenaga saja."Nanti sore kalau aku belum jemput kamu, kamu pesan taksi online aja, ya. Atau minta dijemput Bayu.""Tuh, kan. Kayak gini kalau bareng kamu, tuh. Belum tentu bisa jemput. Kadang telat jemputnya.""Kamu kayaknya kesel, ya, Ndin? Tapi nggak nolak waktu aku ajak bareng. Apa lagi pengen sama aku terus?""Kalau iya memangnya kenapa?" Da
Setiap berangkat bekerja bersama Angga, belum tentu pulangnya bisa dijemput Angga pula.Seperti sore ini, Andini harus pulang dengan naik ojek karena Angga tak bisa menjemputnya karena masih ada pasien.Harusnya Andini percaya. Tapi entah kenapa hatinya tidak bisa tenang. Bayangan Angga akan melakukan hal yang sama dengan dia atasan Andini terus terlihat di depan mata.Rasanya Andini tidak rela jika harus berbagi suaminya dengan wanita lain. Jangan sampai. Andini tidak mau."Hati-hati kalau suami kamu bisa kayak Pak Sandy. Nyesel kamu ntar."Ucapan Lila terus saja terngiang. Andini menggelengkan kepalanya pelan untuk mengenyahkan pikiran buruk itu dari kepalanya.Sesampainya di rumah, Andini langsung membersihkan dirinya. Menyiapkan makan malam yang dia pesan melalui online. Malam ini dia tidak ingin bau dapur. Jadi dia lebih memilih memesan makanan daripada harus memasak.Setelah semuanya selesai, Angga belum juga pulan
Mata Andini terpejam. Napasnya terengah menikmati sisa permainan panas yang efek dari pelepasan yang terjadi itu belum juga usai.Angga masih enggan untuk memisahkan diri. Tubuh telanjangnya masih berada di atas tubuh Andini yang berkeringat. Berada di dalam Andini terasa begitu nikmat sampai dia tak ingin terpisah dan ingin kembali mengulangnya lagi nanti setelah keduanya beristirahat."Angga, kamu berat banget. Sesak napas akunya," keluh Andini berusaha untuk menyingkirkan tubuh Angga.Angga tertawa pelan. "Maaf," ucap Angga.Kerutan di kening Andini serta desisan pelan yang keluar dari bibir Andini mengiringi keluarnya milik Angga dari dalam milik Andini.Perih itu kembali terasa. Bersamaan dengan itu, cairan milik Angga yang bercampur dengan darah keperawanan Andini mengalir keluar. Angga tersenyum bangga.Dia menjadi yang pertama bagi Andini. Selama ini, dia hanya bisa melihat Andini sebatas tanpa hijab
Parahnya Angga, dia meminta Andini untuk datang kerumahnya hanya untuk mendengarkan kisah cintanya yang kandas lagi.Dan kali ini sepertinya sudah yang paling parah. Hubungannya dengan kekasihnya berakhir disaat hari pernikahan mereka tinggal seminggu lagi."Aku harus gimana, dong, Ndin? Semua sudah siap. Kalau bapak sama ibu tahu soal ini mereka pasti marah besar."Andini memandang Angga yang berjalan mondar-mandir seperti setrika sambil mengacak-acak rambutnya. "Aku mana bisa kasih solusi sih, Ga? Yang pasti harus ngomong ke bapak sama ibu kamu. Lagian cewek kamu ada-ada aja, sih. Rela batalin nikah cuma mau ikut audisi nyanyi. Iya kalau dia bisa lolos. Kalau enggak, apa nggak malu?""Bantu aku ngomong ke bapak sama ibu, ya, Ndin?""Eehhh... Nggak mau. Aku nggak mau ikut campur urusan kamu, ya."Angga bersimpuh di hadapan Andini. Kedua tangann
Angga menatap punggung Andini yang bergerak menjauh. Rasa bersalah tentu saja dia rasakan. Tapi Angga juga tidak ada pilihan lain selain menuruti apa kata orangtuanya yang tidak ingin menanggung malu karena anaknya batal menikah.Dan kandidat satu-satunya adalah Andini. Sahabatnya yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh kedua orangtuanya.Angga merasa tidak berguna karena sudah membuat sahabatnya sedih. Pernikahan ini tidak mudah di terima oleh Andini. Semua salahnya yang terlalu buru-buru untuk menikahi Vika tanpa mencari tahu bagaimana watak gadis itu terlebih dahulu.Saat pertama mengenal Vika sampai pada akhirnya Angga memberanikan diri untuk melamarnya, Vika selalu menunjukkan sikap yang baik. Entah di depan Angga ataupun di depan orangtua Angga.Vika juga pernah bercerita kalau dia memiliki mimpi untuk menjadi seorang penyanyi yang terkenal. Dia memiliki suara yang bagus dan tergabung dalam sebuah grup campursari yang sering di m
Perjalanan pulang, Andini tidak dibiarkan untuk naik motor Bayu. Malam sudah menyapa dan udara begitu dingin. Andai bisa, Bayu sendiri diminta untuk naik mobil. Tapi motor Bayu tidak ada yang membawa pulang atau tidak ada tempat penitipan motor di sekitar bukit tersebut.Lagi pula, Bayu sendiri lebih memilih untuk naik motor ketimbang naik mobil. Selain membanggakan dirinya adalah laki-laki, Bayu juga mengatakan bahwa dia tidak ingin mengganggu Andini dan Angga yang barangkali ingin berduaan saja.Andini memutar bola matanya. Jengah mendengar godaan Bayu. Kalau saja Andini bisa, Andini juga lebih memilih untuk naik motor bersama Bayu. Tapi Angga mengancam akan menelepon ayah Andini jika Andini tidak menuruti keinginan Angga.Andini kesal. Dengan kasar dia membuka pintu mobil Angga dan menutupnya dengan keras. Mentang-mentang ayahnya tidak bisa di bantah, hal itu di jadikan senjata bagi Angga."Mampir toserba dulu, ya.""Buat apa?
Hari yang dinanti oleh keluarga Angga dan Andini akhirnya tiba. Hari Minggu, 3 November 20xx menjadi hari dimana dua insan itu di persatukan dalam ikatan yang suci. Andaikan semua ini sesuai dengan pernikahan yang diimpikan oleh Andini dan juga pasangan yang Andini inginkan, pasti akan terasa membahagiakan bagi Andini. Sayangnya, dirinya hanya pengantin dadakan yang di minta untuk mengganti posisi Vika untuk menjadi pendamping Angga. Dirinya hanya di jadikan alat agar orangtua Angga tidak malu karena pernikahan anaknya gagal. Ya, harusnya Andini sadar akan hal ini sejak awal. Tapi Andini justru terlalu larut dalam kesedihannya. Sehingga tidak sadar bahwa hari pernikahannya telah tiba. Andini menuruni tangga. Dia terlihat sangat cantik dalam balutan gaun dengan detail kerah V-neck yang cantik. Gaun dengan aksen bordir bunga yang elegan dan warna pastel memberikan tampilan yang anggun dan manis secara instan. Gaun brokat yang mo
Mata Andini terpejam. Napasnya terengah menikmati sisa permainan panas yang efek dari pelepasan yang terjadi itu belum juga usai.Angga masih enggan untuk memisahkan diri. Tubuh telanjangnya masih berada di atas tubuh Andini yang berkeringat. Berada di dalam Andini terasa begitu nikmat sampai dia tak ingin terpisah dan ingin kembali mengulangnya lagi nanti setelah keduanya beristirahat."Angga, kamu berat banget. Sesak napas akunya," keluh Andini berusaha untuk menyingkirkan tubuh Angga.Angga tertawa pelan. "Maaf," ucap Angga.Kerutan di kening Andini serta desisan pelan yang keluar dari bibir Andini mengiringi keluarnya milik Angga dari dalam milik Andini.Perih itu kembali terasa. Bersamaan dengan itu, cairan milik Angga yang bercampur dengan darah keperawanan Andini mengalir keluar. Angga tersenyum bangga.Dia menjadi yang pertama bagi Andini. Selama ini, dia hanya bisa melihat Andini sebatas tanpa hijab
Setiap berangkat bekerja bersama Angga, belum tentu pulangnya bisa dijemput Angga pula.Seperti sore ini, Andini harus pulang dengan naik ojek karena Angga tak bisa menjemputnya karena masih ada pasien.Harusnya Andini percaya. Tapi entah kenapa hatinya tidak bisa tenang. Bayangan Angga akan melakukan hal yang sama dengan dia atasan Andini terus terlihat di depan mata.Rasanya Andini tidak rela jika harus berbagi suaminya dengan wanita lain. Jangan sampai. Andini tidak mau."Hati-hati kalau suami kamu bisa kayak Pak Sandy. Nyesel kamu ntar."Ucapan Lila terus saja terngiang. Andini menggelengkan kepalanya pelan untuk mengenyahkan pikiran buruk itu dari kepalanya.Sesampainya di rumah, Andini langsung membersihkan dirinya. Menyiapkan makan malam yang dia pesan melalui online. Malam ini dia tidak ingin bau dapur. Jadi dia lebih memilih memesan makanan daripada harus memasak.Setelah semuanya selesai, Angga belum juga pulan
Pagi ini Angga dan Andini berangkat bersama. Baru kali ini Andini dengan suka rela mengiyakan permintaan Angga untuk berangkat bekerja bersama.Biasanya Andini akan beralasan kalau naik mobil pasti macet dan bisa jadi terlambat ke kantor.Tapi kali ini Andini tak banyak protes saat mobil Angga terjebak dalam kemacetan panjang. Sudah pukul tujuh. Itu artinya setengah jam lagi Andini harus sudah sampai di kantor kalau tidak mau dipotong gaji.Andini merasa, lebih baik dia berdoa agar mobil Angga segera lepas dari kemacetan daripada dia menggerutu kesal. Membuang-buang tenaga saja."Nanti sore kalau aku belum jemput kamu, kamu pesan taksi online aja, ya. Atau minta dijemput Bayu.""Tuh, kan. Kayak gini kalau bareng kamu, tuh. Belum tentu bisa jemput. Kadang telat jemputnya.""Kamu kayaknya kesel, ya, Ndin? Tapi nggak nolak waktu aku ajak bareng. Apa lagi pengen sama aku terus?""Kalau iya memangnya kenapa?" Da
Andini mengerjap pelan. Matanya menyesuaikan cahaya lampu yang menyala dengan terang.Ketika dia berusaha menggerakkan tubuhnya, dia mengernyitkan keningnya. Tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan. Seperti ada beban yang menimpa tubuhnya.Seketika Andini menjauhkan tubuhnya saat dia menyadari tubuhnya sedang berada dalam pelukan Angga.Guling yang semalam dijadikan pembatas sudah teronggok di atas lantai. Entah siapa yang membuangnya, yang jelas Andini merasa tidak terima karena Angga mencari kesempatan untuk memeluk dirinya tanpa ijin."Hai, istri," sapa Angga dengan renyah saat matanya juga terbuka setelah merasakan gerakan di sampingnya.Andini memasang wajah datar. "Geli banget dipanggil begitu," balasnya sedikit ketus."Istri orang lain dipanggil begitu seneng, tersipu. Ini kenapa istriku dipanggil begitu malah kayak gini ekspresinya, sih?"
"Hallo, La. Bilang ke temen-temen hari ini aku nggak jadi ikut, ya?""Kenapa, Ndin? Kita udah rencanakan ini jauh-jauh hari, loh. Kamu juga paling antusias waktu kita usul pergi ke pantai."Andini menghembuskan napas pelan. Memang sedikit menyesal tak bisa pergi ke pantai dengan teman-temannya. Tapi sepertinya kali ini rumah tangganya lebih penting dari apapun. Andini tidak bisa pergi dari rumah dalam keadaan Angga yang sedang marah."Iya, maaf. Maaf banget, La. Bilang ke temen-temen aku minta maaf, ya. Have fun buat kalian.""Oke kalau gitu, Ndin. Aku sampaikan ke teman-teman."Andini hanya bisa memperhatikan pintu kamar Angga yang tertutup rapat. Andini tau Angga tengah kecewa kepadanya. Mungkin Angga sudah mulai lelah menghadapi sikapnya yang enggan untuk berdamai dengan keadaan.Mendadak Andini takut kalau Angga benar-benar mengabulkan permintaan Andini selama ini. Yaitu berpisah. Andini takut Angga akan benar-benar menceraikan dir
Sebenarnya, Andini tidak terlalu bisa memasak. Dia hanya bisa memasak makanan sederhana saja. Seperti pagi ini, Andini hanya mampu memasak nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya sebagai topping.Dua piring nasi goreng sudah tersaji di atas meja. Entah bagaimana rasanya, namun Andini puas melihat hasil karya tangannya yang tak pernah di asah dalam hal memasak.Andini kembali naik ke lantai atas. Bukan untuk membangunkan Angga. Tapi untuk mengganti pakaiannya dengan baju kerja. Sejak awal memang Andini tak mau terlalu banyak ikut campur dalam urusan Angga. Termasuk masalah kapan dia harus bangun dan tidur kembali.Orang yang dulu sangat dekat seolah tak terpisahkan itu kini bak orang asing yang hidup dalam satu atap.Andini benar-benar membatasi dirinya agar tak terlalu dekat dengan Angga. Perasaannya sebagai seorang sahabat terasa sulit jika harus di ubah menjadi perasaan sebagai sepasang suami istri meskipun sudah seharusnya begitu.
Weekend, hari yang paling di tunggu oleh Andini. Dia bisa bangun siang sesuka hatinya tanpa takut terlambat pergi bekerja.Tapi, harapan tinggal harapan. Angga memaksanya untuk bangun karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli isi kulkas dan perabotan yang lainnya yang belum ada di rumah baru mereka.Belanja adalah hal yang membahagiakan bagi Andini. Tapi kali ini tidak karena belanjanya dengan lelaki yang dia rasa kini sangat menyebalkan baginya.Andini seolah lupa kalau sebelum mereka di nikahkan, mereka adalah sepasang sahabat yang seperti tidak bisa di pisahkan oleh apapun. Tapi kini, Andini menganggap Angga seperti orang asing, yang baru saja masuk ke dalam hidupnya dan merusak tatanan hidupnya.Terpaksa Andini mengikuti Angga meskipun dengan tampang kusutnya. Bibir mengerucut, tatapan matanya yang galak yang harus Angga nikmati sepanjang perjalanan ke mall."Beli mesin cuci dulu dan yang lainnya dulu ya, Ndin."
"Sepertinya nama pengantin wanitanya yang tertulis di undangan bukan Andini. Tapi Vika atau siapa, gitu." "Iya, bener. Apa jangan-jangan yang ini udah di hamili duluan sama anaknya Pak Lurah." "Bisa jadi tuh. Mereka berdua kan, sering kemana-mana bareng. Ya kemana perginya kalau nggak kayak gituan." "Aduh, pergaulan anak jaman sekarang ngeri, ya, buk." "Jangan suka fitnah, ibu-ibu. Saya dengar si Vika itu lebih pilih ikut audisi nyanyi daripada melanjutkan pernikahannya dengan Angga." "Oh, begitu? Jadi, mungkin saja yang ini hanya di jadikan pengantin pengganti begitu, ya, Mama Helen? Aduh, kasian, ya, kalau begitu ceritanya. Bisa-bisa nanti yang ini di tinggalin kalau si Vika itu udah sukses dan balik lagi ke sini." "Keluarga Pak Seno mau aja, ya, anaknya di manfaatkan?" "Siapa yang bisa nolak, sih, Mama Karen kalau bisa jadi besannya kepala desa? Anak mantunya udah mapan, pekerjaannya dokter, ganteng lagi. Paket komplit i
Hari yang dinanti oleh keluarga Angga dan Andini akhirnya tiba. Hari Minggu, 3 November 20xx menjadi hari dimana dua insan itu di persatukan dalam ikatan yang suci. Andaikan semua ini sesuai dengan pernikahan yang diimpikan oleh Andini dan juga pasangan yang Andini inginkan, pasti akan terasa membahagiakan bagi Andini. Sayangnya, dirinya hanya pengantin dadakan yang di minta untuk mengganti posisi Vika untuk menjadi pendamping Angga. Dirinya hanya di jadikan alat agar orangtua Angga tidak malu karena pernikahan anaknya gagal. Ya, harusnya Andini sadar akan hal ini sejak awal. Tapi Andini justru terlalu larut dalam kesedihannya. Sehingga tidak sadar bahwa hari pernikahannya telah tiba. Andini menuruni tangga. Dia terlihat sangat cantik dalam balutan gaun dengan detail kerah V-neck yang cantik. Gaun dengan aksen bordir bunga yang elegan dan warna pastel memberikan tampilan yang anggun dan manis secara instan. Gaun brokat yang mo