Livy mengirimkan lokasinya langsung. Namun, setelah itu, Preston tidak lagi membalas."Ck, ck, ck."Di sebelahnya, Charlene mencondongkan tubuhnya untuk mengintip riwayat percakapan mereka. "Kalian biasanya memang berinteraksi seperti ini?"Livy mengangguk kecil, lalu bertanya dengan sedikit ragu, "Charlene, aku nggak terlalu berpengalaman sama pria. Sebelum ini cuma ada Stanley .... Menurut instingmu, kira-kira Preston benar-benar punya perasaan padaku atau nggak?"Memang, dia pernah menjalani hubungan dengan Stanley. Namun, itu hanyalah cinta monyet yang polos dan naif, lebih mirip dengan hubungan teman dekat yang saling percaya daripada hubungan romantis.Sekarang, saat mengingatnya kembali, Livy sadar bahwa dia hanya menganggap Stanley sebagai seseorang yang bisa diandalkan, seorang sahabat yang tumbuh bersama sejak kecil, bukan seseorang yang benar-benar dia sukai secara fisik.Sampai akhirnya dia bersama Preston, barulah dia mengerti apa itu ketertarikan fisik. Keinginan untuk di
Pada akhirnya, acara kumpul-kumpul Livy dan Charlene malah berubah menjadi perjalanan bertiga. Menurut Charlene, harga makanan dan minuman di tempat ini memang cukup mahal.Jadi, kalau ada pria tampan yang rela jadi sugar daddy dadakan, kenapa tidak diterima saja?"Rasanya enak juga," ujar Charlene sambil makan dengan cepat, tetapi matanya terus mengawasi pantai."Meskipun sudah masuk musim gugur, cuaca di sini ternyata berbeda dengan di pusat kota. Sudah malam begini masih terasa panas .... Eh, eh, eh, Livy, gimana menurutmu pria itu?"Livy mengikuti arah yang ditunjukkan Charlene. Seorang pria muda, terlihat seperti mahasiswa, wajahnya cukup tampan dan menarik."Lumayan, tapi masih terlalu muda." Dia memberikan penilaian yang objektif.Charlene tertawa kecil. "Sayang, kamu lanjutkan makan, aku mau ke sana sebentar!"Lagi?!Livy hanya bisa menghela napas. Belum sempat mencegahnya, Charlene sudah berlari ke arah pria muda itu dengan penuh semangat."Temanmu benar-benar energik," koment
Saat Livy baru saja hendak berbicara, Charlene sudah kembali dengan wajah puas, sambil menggoyangkan ponselnya dengan bangga. "Anak kuliahan itu benar-benar polos.""Sudah tukar kontak?" Livy sama sekali tidak terkejut. Charlene memang punya wajah cantik dan selalu berhasil setiap kali dia mengambil inisiatif."Tentu saja." Charlene tertawa kecil, lalu merangkul bahu Livy. "Nanti malam akan ada pesta kembang api di sana, ayo kita lihat sama-sama."Setelah itu, dia melirik ke arah Rayn dan bertanya, "Tuan bintang besar, mau ikut sama kami?""Nggak perlu. Tempatnya ramai, kalau terjadi sesuatu, manajerku pasti akan panik." Rayn menolak dengan nada pasrah.Sebenarnya, dia juga ingin pergi, tetapi statusnya sebagai selebriti membuatnya berada dalam posisi sulit. Jika dia pergi ke tempat ramai, ada kemungkinan besar dia akan dikenali, apalagi jika dia tertangkap kamera bersama dua wanita cantik. Tidak bisa dibayangkan bagaimana media akan memutarbalikkan cerita itu nanti.Bukan masalah besa
Dalam sekejap, hati Livy terasa dingin. Kenapa Sylvia bisa bersama Preston? Bukankah Preston sedang dinas ke luar kota ...?Jari-jarinya mencengkeram ponsel erat-erat.Di sekelilingnya, semua orang menikmati kembang api dengan sukacita. Charlene pun tampak asyik mengambil foto dan video, lalu mengunggahnya ke media sosial dengan senyum puas. Namun, hanya Livy yang merasa seperti terasingkan dari semua yang ada di sekelilingnya.Dunia terasa hampa dan satu-satunya hal yang memenuhi pandangannya adalah layar ponsel. Sylvia kembali mengirim pesan.[ Bu Livy, Preston nggak tahu harus milih hadiah apa untukmu, jadi dia minta aku menemaninya .... Gimana kalau kamu kasih sedikit petunjuk? ][ Kamu juga tahu, aku tumbuh di Keluarga Widodo dan terbiasa sama para putri kaya. Biasanya, mereka cuma suka barang-barang mewah. Tapi Bu Livy hidup sederhana sejak kecil, sayangnya di luar negeri sepertinya nggak ada barang murah pinggir jalan yang bisa dibeli ....]Apakah Sylvia sedang menghina dirinya?
Ternyata Bendy. Livy merasa agak lega, tetapi dia tetap bertanya dengan pelan, "Nggak ada ... orang lain?""Menurutmu siapa lagi?"Suara Preston terdengar sedikit menggoda. "Tiba-tiba menanyakan hal seperti ini, curiga sekali. Apa kamu kira aku cuma jadikan perjalanan dinas sebagai alasan untuk pergi sama wanita lain?"Dia tahu!Jantung Livy berdegup semakin cepat. "Aku percaya suamiku ... seharusnya nggak, 'kan?""Hmm, nggak." Jawaban Preston seperti memberi ketenangan bagi Livy. "Livy, meskipun pernikahan kita adalah kontrak, selama masih dalam ikatan ini, aku nggak akan berselingkuh."Namun ... bukankah semua momen akrabnya dengan Sylvia itu juga termasuk perselingkuhan? Atau mungkin, itu masih bisa dianggap sebagai hubungan pertemanan biasa? Lagi pula, dengan kondisi tubuh Sylvia, kemungkinan besar dia tidak bisa melakukan hal-hal yang lebih intim.Jadi ... yang dimaksud Preston dengan "tidak selingkuh" hanya sebatas hal fisik? Tiba-tiba, suara Sylvia terdengar dari telepon."Prest
"Kerja paruh waktu?" Mendengar penawaran itu, Livy langsung tertarik. Dia benar-benar kekurangan uang. Setelah masuk ke dunia kerja, dia baru menyadari betapa sulitnya hidup tanpa uang."Pekerjaan seperti apa?""Yah ... cuma sesekali temani aku mengobrol. Aku merasa, berbicara denganmu bisa membangkitkan inspirasiku untuk menciptakan lagu," ujar Rayn sambil menyampirkan gitarnya di punggung. Wajahnya yang sudah tampan semakin terlihat menawan di bawah cahaya lampu taman.Livy merasa aneh. Dia tahu beberapa seniman memang memiliki cara unik untuk mencari inspirasi.Namun, dia hanyalah orang biasa yang menjalani kehidupan yang sangat membosankan. Bagaimana mungkin dia bisa menginspirasi seorang musisi berbakat seperti Rayn?"Tapi aku ...." Livy ragu. Tawaran Rayn ini terasa agak aneh.Livy berkata jujur, "Aku nggak punya cerita hidup yang luar biasa. Setelah menikah, aku cuma menjalani rutinitas biasa seperti bekerja dan pulang setiap hari. Hidupku sangat datar dan sederhana. Aku takut n
Begitu mendengar bahwa Preston sudah kembali, Livy merasakan kegembiraan yang bahkan tidak dia sadari sebelumnya. Dia segera mengenakan mantel dan turun ke bawah.Di luar, salju turun perlahan. Bahkan, dia sudah bersiap dengan sebuah payung di tangannya. Pintu mobil terbuka dan wajah Preston yang dingin pun terlihat."Sayang ...." Livy baru saja melangkah cepat dan memanggilnya dengan lembut. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kalimatnya, Livy melihat seseorang yang lain di dalam mobil. Orang itu adalah Sylvia.Dengan berhati-hati, Sylvia meraih bahu Preston. Ekspresinya begitu alami saat dia turun dari mobil. "Preston, jangan terlalu khawatir. Aku sudah bilang, aku baik-baik saja," ujar Sylvia dengan nada seolah-olah sedang mencoba meyakinkan Preston.Bibirnya sedikit mengerucut, menampilkan ekspresi menggemaskan yang tampak begitu indah.Langkah Livy yang awalnya ingin maju tiba-tiba terhenti. Dia hanya bisa berdiri diam, menatap keduanya tanpa berkata apa-apa. Dari cara Sylvia mela
Livy merasa wajahnya panas karena malu dan hatinya terasa sesak. Dia tahu bahwa Sylvia selalu tidak menyukainya dan terus berusaha membuatnya merasa terhina. Namun, yang lebih menyakitkan baginya adalah Preston tidak pernah membelanya.Preston tidak pernah berdiri di pihaknya. Meskipun demikian, Livy tidak mau kalah. Bahkan jika tidak ada yang membelanya, Livy tidak merasa pernah melakukan kesalahan apa pun. Dia tidak seharusnya diperlakukan seperti ini oleh seorang wanita yang jelas-jelas adalah orang ketiga."Bu Sylvia, aku akui pakaianku mungkin nggak semahal punyamu. Tapi ini bukan barang pasar murah, kualitasnya juga bagus. Kalau kamu merasa nggak nyaman, aku bisa menjauh darimu," ujar Livy.Lalu, dia sedikit menyipitkan matanya dan melanjutkan, "Tapi jujur saja ...."Livy menggigit bibirnya sebelum berkata lebih lanjut, "Aku juga punya barang-barang bermerk. Kualitasnya nggak seistimewa yang dikatakan orang-orang. Jadi, aku nggak yakin ketidaknyamananmu benar-benar berasal dari b
Siapa yang peduli? Preston mengernyit. Apakah dia peduli pada Livy?Tangan yang menggenggam gelas tiba-tiba berhenti, lalu dia menuangkan lagi segelas minuman untuk dirinya sendiri dan berkata dengan nada dingin, "Dia cuma istri kontrakku, nggak lebih.""Iya, nih. David, kamu terlalu berlebihan. Bu Livy memang perempuan yang baik, tapi bagaimanapun juga, dia dan Preston berasal dari dunia yang berbeda."Sylvia menyela pembicaraan, lalu mendekati Preston dengan berpura-pura baik dan mengingatkan dengan lembut, "Preston, aku tahu kamu ingin memperlakukan Bu Livy dengan baik. Tapi bagaimanapun juga, dia berasal dari latar belakang yang berbeda dari kita. Kalau kamu terus memberinya barang-barang mewah, itu malah bisa membuatnya merasa terbebani."Perkataan itu membuat Preston sedikit penasaran. "Kenapa?""Karena bagi Livy, barang-barang itu sangat mahal, bahkan satu saja bisa setara dengan gajinya selama bertahun-tahun. Orang seperti dia akan merasa bahwa kesenjangan di antara kalian terl
Kalau begitu, Livy juga jangan berharap hidupnya akan baik-baik saja!"Zoey, kalau mau gila, jangan cari aku!" Livy tidak ingin meladeni Zoey lagi dan segera pergi. Namun, setelah kembali ke kantornya, kelopak mata kanannya terus berkedut. Dia merasa seolah-olah sesuatu akan terjadi.Sebelum pulang, dia naik ke lantai atas untuk mencari Preston dan melaporkan perkembangan proyek. Namun, setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, dia menghubungi Preston lewat telepon."Ada apa?"Di seberang sana, suara Preston terdengar seakan dia sedang berada di tempat hiburan. Ada suara musik samar-samar dan yang lebih menyakitkan, Livy mendengar suara Sylvia yang begitu akrab di telinganya."Preston, bukannya sudah bilang hari ini jangan bahas pekerjaan?" Suara manja Sylvia terdengar cukup jelas, seolah-olah dia menempel di sisi Preston."Aku cuma bicara sebentar," jawab Preston dengan suara rendah, sebelum akhirnya beralih ke Livy, "Bu Livy, kalau soal pekerjaan,
Karena kejadian semalam, Livy hampir terlambat masuk kerja pagi ini. Baru saja dia selesai absen, suara yang sudah lama tidak terdengar kembali menyapanya. "Livy!"Setelah sekian lama tidak bertemu, Zoey tampaknya menjalani hidup yang cukup baik.Pakaian bermerek yang dikenakannya semakin banyak dan di lehernya terlihat bekas merah yang sangat mencolok. Tanda bahwa hubungannya dengan Ansel semakin erat."Ada urusan apa?" Livy meliriknya dengan dingin, tidak ingin membuang waktu untuknya.Namun, Zoey sama sekali tidak merasa tersinggung dan justru berkata dengan percaya diri, "Aku butuh bantuanmu."Livy mengernyit, merasa Zoey benar-benar terlalu tidak tahu malu, lalu menolak mentah-mentah, "Aku nggak ada waktu.""Livy, kamu sok jual mahal apa sih? Apa kamu benar-benar mengira dirimu sudah jadi nyonya besar? Kaki Sylvia sebentar lagi sembuh, 'kan? Aku peringatkan kamu, begitu dia berhasil, kamu pasti akan dibuang sama Pak Preston!"Zoey menghalangi Livy di pintu masuk, kata-kata tajamny
Charlene masih terus bergosip, "Ngomong-ngomong, Preston sudah nggak muda lagi, ya? Terus katanya dulu juga nggak pernah dekat sama cewek, nggak ada gosip macam-macam. Jangan-jangan dia nggak ada tenaga di ranjang? Kalau kamu ngerasa kurang, aku tahu nih ada obat yang ....""Nggak perlu, Charlene!"Livy buru-buru memotong, mencengkeram ponsel erat-erat, lalu menurunkan suaranya, "Dia di bagian itu sangat kuat.""Apa?"Suaranya terlalu kecil, Charlene di seberang sana tidak mendengarnya dengan jelas. "Maksudmu kamu masih mau? Atau jangan-jangan dia nggak bisa?""Bukan!" Livy hampir melonjak, suaranya langsung meninggi, "Preston sangat kuat, dia nggak butuh obat sama sekali!""Ohh ...." Charlene menarik nadanya dengan panjang, jelas sekali dia sedang menggoda.Livy benar-benar malu. Dia buru-buru mengganti topik. Setelah mengobrol tentang beberapa gosip ringan, akhirnya dia menutup telepon.Setelah merasa cukup berendam, Livy mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dia melirik pakaian tidur
Tatapan Preston sedikit melunak, alisnya pun tampak lebih rileks. Lalu, dengan nada tenang, dia berkata, "Livy, aku kaya, tampan, dan selain temperamenku, aku bisa memberimu semua yang kamu inginkan.""Dalam pernikahan, pasangan seharusnya saling memahami. Lagi pula, aku nggak merasa sering marah. Kebanyakan waktu, itu karena kamu yang melakukan kesalahan."Hah?Livy semakin bingung.Bukankah tadi Preston ingin menceraikannya? Menghubungkan sikapnya tadi malam dan hari ini, sebuah pemikiran yang sulit dipercaya muncul di benaknya.Livy menatap Preston dengan ragu, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jadi ... kamu bersikap baik padaku hari ini karena aku bilang kamu mudah marah?"Tidak mungkin! Jadi, semua yang Preston lakukan adalah ... cara halus untuk menenangkannya?"Jadi, menurutmu aku benar-benar pemarah?" Preston menjepit sepotong daging panggang ke dalam mangkuknya, matanya menatapnya dengan tajam.Ini pertanyaan yang menentukan antara hidup atau mati.Livy buru-buru menggeleng. "S
Livy menggelengkan kepala, sedikit ragu-ragu saat menjawab, "Pak Preston sangat sibuk setiap hari, kurasa dia nggak punya waktu untuk mengurusi hal seperti ini.""Jadi ... kita cuma bisa diam saja menerima ini?"Ivana tampak tidak terima, matanya penuh dengan kekesalan saat berkata, "Kamu sudah bekerja keras selama ini dan cuma dihargai sejuta? Bu Sherly benar-benar keterlaluan! Awalnya aku pikir dia cukup baik, tapi ternyata dia pencemburu sekali!"Livy terdiam sejenak. Dia merasa ini bukan sekadar masalah iri hati.Perasaan aneh yang dia rasakan semakin kuat. Seolah-olah Sherly menargetkannya bukan hanya karena iri, tetapi juga karena alasan lain yang tidak bisa dia jelaskan. Jika dia benar-benar ingin menyingkirkan Sherly, hanya mengandalkan masalah bonus proyek ini tidak cukup.Bagaimanapun juga, meskipun tindakan Sherly tidak etis, dia tetap mengikuti prosedur formal. Jadi, Livy tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menindaknya. Merasa frustrasi, Livy hanya bisa memfokuskan dir
"Ah?"Livy benar-benar tidak mengerti. Tadi mereka masih membicarakan hal lain, kenapa tiba-tiba berubah menjadi ini?Preston bahkan berkata akan berusaha tidak mudah marah. Tapi ... mana mungkin pria ini tidak cepat marah?Dia tidak berani membantah atau menolak, jadi hanya bisa mengangguk patuh dan menjawab seadanya. Namun, pikirannya semakin kacau. Tiba-tiba, dia kembali teringat tentang Sherly.Setelah yakin bahwa Sherly memang sengaja menargetkannya, hati Livy dipenuhi dengan amarah, frustrasi, dan rasa tak berdaya. Bagaimanapun juga, Sherly memang benar dalam satu hal.Sekarang dia adalah atasan, dan tidak peduli seberapa besar Livy merasa diperlakukan tidak adil, dia hanya bisa menahannya. Namun ... bukankah Livy juga punya seseorang untuk diandalkan?Perlahan, tatapannya mengarah ke Preston yang duduk di sampingnya. Setelah ragu-ragu beberapa saat, dia akhirnya bertanya dengan hati-hati, "Pak Preston, kalau ada karyawan di perusahaan Anda yang bermasalah dengan rekan kerja mere
Livy menoleh dengan bingung. Dia melihat Ivana sedang memeriksa kemasan produk perawatan kulit dengan sangat hati-hati. Lalu, Ivana menunjuk dua huruf pada kemasan tersebut."Livy, suamiku pernah membelikan produk ini saat ada diskon besar-besaran. Seharusnya, huruf 'L' dan 'A' di logo ini saling menyambung. Tapi lihat ini. Di sini justru terpisah dan bagian ini tampak miring. Ini jelas barang palsu!"Livy memandang lebih dekat. Namun, dia tidak bisa melihat perbedaannya. Dia memang tidak terlalu sering memakai produk kecantikan mewah. Namun, Ivana sangat paham tentang skincare.Jika Ivana bilang ini barang palsu, berarti itu pasti benar."Apa maksudnya ini? Memberikanmu barang palsu? Ini produk yang dipakai di wajah! Bagaimana kalau kulitmu rusak?"Ivana semakin marah dan khawatir. "Livy, jangan pakai ini! Langsung buang saja!"Livy mengangguk. "Baik, aku mengerti." Namun, pikirannya tidak bisa fokus bekerja.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Panggilan itu dari Bendy."Livy, Pak Presto
Livy masih mencoba memastikan jumlah bonusnya, tetapi Ivana sudah mendekat dan tampak terkejut bukan main. "Satu juta? Astaga, bonus kehadiran penuhkku saja 1,6 juta! Ini sama saja kayak mengusir pengemis!"Livy juga merasa ada yang tidak beres. Dia bahkan tidak bisa memercayainya. "Mungkin bagian keuangan salah transfer. Aku akan pergi ke sana dan menanyakannya langsung."Tanpa membuang waktu, Livy segera menuju bagian keuangan. Namun, jawaban dari bagian keuangan sangat jelas. "Bonus proyek ini sudah ditransfer dengan benar. Tidak ada kesalahan."Melihat Livy masih kebingungan, salah satu staf keuangan berbaik hati memberi petunjuk. "Bu Livy, bonus proyek ini dikirimkan ke kepala departemen Anda terlebih dahulu. Lalu, kepala departemen yang membagikannya kepada tim."Kami hanya mentransfer dana sesuai jumlah yang dilaporkan oleh kepala departemen Anda. Kalau masih ada pertanyaan, silakan tanyakan langsung ke kepala departemen Anda."Kepala departemen?Saat ini, posisi Direktur Sekret