Begitu mendengar bahwa Preston sudah kembali, Livy merasakan kegembiraan yang bahkan tidak dia sadari sebelumnya. Dia segera mengenakan mantel dan turun ke bawah.Di luar, salju turun perlahan. Bahkan, dia sudah bersiap dengan sebuah payung di tangannya. Pintu mobil terbuka dan wajah Preston yang dingin pun terlihat."Sayang ...." Livy baru saja melangkah cepat dan memanggilnya dengan lembut. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kalimatnya, Livy melihat seseorang yang lain di dalam mobil. Orang itu adalah Sylvia.Dengan berhati-hati, Sylvia meraih bahu Preston. Ekspresinya begitu alami saat dia turun dari mobil. "Preston, jangan terlalu khawatir. Aku sudah bilang, aku baik-baik saja," ujar Sylvia dengan nada seolah-olah sedang mencoba meyakinkan Preston.Bibirnya sedikit mengerucut, menampilkan ekspresi menggemaskan yang tampak begitu indah.Langkah Livy yang awalnya ingin maju tiba-tiba terhenti. Dia hanya bisa berdiri diam, menatap keduanya tanpa berkata apa-apa. Dari cara Sylvia mela
Livy merasa wajahnya panas karena malu dan hatinya terasa sesak. Dia tahu bahwa Sylvia selalu tidak menyukainya dan terus berusaha membuatnya merasa terhina. Namun, yang lebih menyakitkan baginya adalah Preston tidak pernah membelanya.Preston tidak pernah berdiri di pihaknya. Meskipun demikian, Livy tidak mau kalah. Bahkan jika tidak ada yang membelanya, Livy tidak merasa pernah melakukan kesalahan apa pun. Dia tidak seharusnya diperlakukan seperti ini oleh seorang wanita yang jelas-jelas adalah orang ketiga."Bu Sylvia, aku akui pakaianku mungkin nggak semahal punyamu. Tapi ini bukan barang pasar murah, kualitasnya juga bagus. Kalau kamu merasa nggak nyaman, aku bisa menjauh darimu," ujar Livy.Lalu, dia sedikit menyipitkan matanya dan melanjutkan, "Tapi jujur saja ...."Livy menggigit bibirnya sebelum berkata lebih lanjut, "Aku juga punya barang-barang bermerk. Kualitasnya nggak seistimewa yang dikatakan orang-orang. Jadi, aku nggak yakin ketidaknyamananmu benar-benar berasal dari b
Bagaimanapun, Preston selalu memahami satu hal. Untuk bisa mengelola perusahaan dalam jangka panjang, tubuh adalah aset terpenting. Dia hampir tidak pernah melewatkan waktu makan. Bahkan di sela-sela kesibukannya, dia masih meluangkan waktu untuk berolahraga.Benar-benar definisi pria lajang berkualitas tinggi."Preston, meskipun sudah makan dengan baik di luar negeri, aku ingat kamu pernah bilang kalau kamu nggak terbiasa sama makanan di sana. Sekarang kamu sudah kembali, makanlah lebih banyak," ucap Sylvia yang merasa tidak rela dirinya diabaikan.Sambil tersenyum manis, dia mengambil sepotong daging sapi dan meletakkannya ke dalam piring Preston."Oh iya, Preston, besok aku ada jadwal pemeriksaan. Aku agak khawatir, bisa nggak kamu temani aku? Kata dokter, hasil pemeriksaan besok akan menentukan apakah aku bisa kembali melakukan olahraga es lagi atau nggak.""Oke, aku temani kamu besok siang," jawab Preston dengan nada datar.Kilatan kepuasan melintas di mata Sylvia. Dia lalu mengam
Livy menoleh dengan bingung, lalu terkejut saat melihat Preston yang baru saja mendorong pintu hingga terbuka.Kepalanya terasa sedikit pusing karena hawa panas dari air hangat. Dengan refleks, dia segera menutupi dadanya dengan kedua tangan dan berseru, "Kamu masuk tanpa ketuk pintu dulu!""Aku sudah ketuk, kamu yang nggak dengar," jawab Preston. Matanya sekilas menyapu ke arah Livy sebelum dia mulai melepas pakaiannya dengan tenang.Livy merasa canggung dan buru-buru mematikan video pendek di ponselnya. Melihat Preston semakin melepas pakaiannya, dia langsung merasa panik."Kalau kamu mau mandi, aku keluar dulu ...," ujarnya dengan tergesa-gesa."Buru-buru sekali? Lanjutkan saja mandimu. Bak mandinya cukup besar, kita berdua muat," kata Preston datar, seolah itu adalah hal yang wajar.Kemejanya yang hitam sudah terlepas, memperlihatkan tubuhnya yang berotot dengan garis-garis perut yang tajam dan menggoda. Livy menelan ludah. Pikirannya seketika kosong dan wajahnya mulai memanas."Ak
"Model yang kupilih cukup simpel, jadi kamu bisa pakai waktu kerja juga." Preston benar-benar memikirkan semuanya kali ini.Sebagai karyawan seperti Livy, jika dia memakai perhiasan mencolok atau barang bermerek mahal di kantor, pasti akan menarik perhatian orang lain."Terima kasih, Sayang," ujar Livy, meskipun di dalam hatinya ada sedikit perasaan tak nyaman. Apakah semua ini dipilih oleh Sylvia?"Nggak suka?" Preston menatap ekspresi Livy, tidak bisa menjelaskan perasaannya sendiri.Perjalanan bisnisnya kali ini sangat sibuk, tetapi dia tetap meluangkan waktu sepanjang sore untuk memilih hadiah ini untuknya. Dia mengira Livy akan senang. Namun, melihat raut wajahnya yang begitu datar, Preston merasa tidak puas."Bukan nggak suka, aku cuma agak capek," jawab Livy, lalu menyembunyikan wajahnya di bantal."Kalau capek, istirahatlah." Preston meletakkan kotak hadiah di samping tempat tidur, lalu ikut naik ke ranjang dan berbaring. "Kamu yakin nggak mau ambil cuti satu hari lagi? Masih a
Pertanyaan itu membuat Livy terdiam dan bingung. Apa maksudnya dengan "begitu ingin meninggalkannya"? Kalau Livy tidak ingin pergi, apakah dia bisa benar-benar bertahan di sisi Preston?Pada akhirnya, Preston tidak pernah menjadi miliknya.Sylvia sedang dalam proses pemulihan dan begitu dia benar-benar sembuh, Livy pasti akan disingkirkan. Entah kapan, Preston akan mengajukan perceraian. Livy hanya ingin menyiapkan jalan keluar untuk dirinya sendiri setelah pernikahan ini berakhir."Nggak dengar?" Dagu Livy tiba-tiba diangkat paksa, memaksanya menatap langsung ke dalam mata Preston.Dalam tekanan seperti itu, dia hanya bisa berbisik pelan dan balik bertanya, "Jadi ... Sayang, kamu nggak akan menceraikanku? Apakah kita akan terus seperti ini selamanya?"Setelah Livy berkata demikian, tatapan Preston berubah dingin. Cengkeramannya di dagu Livy sedikit menguat, seolah menahan sesuatu. Namun, hanya dalam hitungan detik, dia tiba-tiba melepaskannya."Nggak perlu dibahas. Tidurlah." Nada bic
Livy butuh kesempatan ini untuk menambah pengalamannya dan memperkuat resume-nya. Seperti yang diduga, setelah mendengar kata-kata itu, ekspresi Sherly berubah sedikit kaku."Livy, aku cuma memikirkan kesehatanmu," katanya dengan nada yang lebih datar. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin ikutan, jangan salahkan aku kalau terjadi sesuatu nanti."Mendengar perkataannya, Livy merasa agak lega. Dia juga tidak ingin memperburuk hubungan dengan Sherly, jadi dia segera berkata dengan sopan, "Terima kasih, Bu Sherly!"Begitu kembali ke mejanya, Ivana segera mengiriminya rencana awal proyek. Tak lama kemudian, pembagian tugas diumumkan."Livy, begini," kata Sherly mendatanginya. "Jadwal kerja sudah disusun sebelumnya. Aku nggak nyangka kamu akan ikut, jadi sementara ini, satu-satunya posisi yang tersisa adalah tugas lapangan. Kalau kamu nggak keberatan, aku akan menugaskanmu ke sana."Nada bicaranya terdengar seolah sedang berunding. Namun, Livy tahu bahwa ini bukan tawaran pilihan. Dia tidak pu
Sebelum Livy melangkah lebih jauh, resepsionis itu mengernyit sambil berteriak dengan panik, "Satpam, cepat hentikan wanita ini!"Tak lama kemudian, seorang satpam langsung menghalangi jalan Livy. Dia buru-buru menjelaskan dengan cemas, "Aku sekretaris dari Grup Sandiaga. Aku datang untuk mengantar dokumen. Ada dokumen yang sangat penting yang harus ditandatangani oleh Pak Rayn!"Dua satpam itu sama sekali tidak menggubris perkataannya. Mereka hanya berdiri di hadapannya seperti gunung yang kokoh. Livy mulai gelisah dan ingin menerobos masuk.Namun, perbedaan kekuatan antara pria dan wanita terlalu besar. Salah satu satpam di sisi kiri langsung menahan bahu Livy karena melihatnya menolak untuk mundur.Dalam sekejap, rasa sakit menjalar hingga membuat mata Livy berkaca-kaca."Lebih baik kamu pergi dari sini. Kalau nggak, aku akan memanggil polisi!" Satpam itu menatapnya dengan ekspresi dingin."Aku ...." Livy masih ingin menjelaskan."Ada apa ini?" Suara yang familier terdengar dari ara
Charlene masih terus bergosip, "Ngomong-ngomong, Preston sudah nggak muda lagi, ya? Terus katanya dulu juga nggak pernah dekat sama cewek, nggak ada gosip macam-macam. Jangan-jangan dia nggak ada tenaga di ranjang? Kalau kamu ngerasa kurang, aku tahu nih ada obat yang ....""Nggak perlu, Charlene!"Livy buru-buru memotong, mencengkeram ponsel erat-erat, lalu menurunkan suaranya, "Dia di bagian itu sangat kuat.""Apa?"Suaranya terlalu kecil, Charlene di seberang sana tidak mendengarnya dengan jelas. "Maksudmu kamu masih mau? Atau jangan-jangan dia nggak bisa?""Bukan!" Livy hampir melonjak, suaranya langsung meninggi, "Preston sangat kuat, dia nggak butuh obat sama sekali!""Ohh ...." Charlene menarik nadanya dengan panjang, jelas sekali dia sedang menggoda.Livy benar-benar malu. Dia buru-buru mengganti topik. Setelah mengobrol tentang beberapa gosip ringan, akhirnya dia menutup telepon.Setelah merasa cukup berendam, Livy mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dia melirik pakaian tidur
Tatapan Preston sedikit melunak, alisnya pun tampak lebih rileks. Lalu, dengan nada tenang, dia berkata, "Livy, aku kaya, tampan, dan selain temperamenku, aku bisa memberimu semua yang kamu inginkan.""Dalam pernikahan, pasangan seharusnya saling memahami. Lagi pula, aku nggak merasa sering marah. Kebanyakan waktu, itu karena kamu yang melakukan kesalahan."Hah?Livy semakin bingung.Bukankah tadi Preston ingin menceraikannya? Menghubungkan sikapnya tadi malam dan hari ini, sebuah pemikiran yang sulit dipercaya muncul di benaknya.Livy menatap Preston dengan ragu, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jadi ... kamu bersikap baik padaku hari ini karena aku bilang kamu mudah marah?"Tidak mungkin! Jadi, semua yang Preston lakukan adalah ... cara halus untuk menenangkannya?"Jadi, menurutmu aku benar-benar pemarah?" Preston menjepit sepotong daging panggang ke dalam mangkuknya, matanya menatapnya dengan tajam.Ini pertanyaan yang menentukan antara hidup atau mati.Livy buru-buru menggeleng. "S
Livy menggelengkan kepala, sedikit ragu-ragu saat menjawab, "Pak Preston sangat sibuk setiap hari, kurasa dia nggak punya waktu untuk mengurusi hal seperti ini.""Jadi ... kita cuma bisa diam saja menerima ini?"Ivana tampak tidak terima, matanya penuh dengan kekesalan saat berkata, "Kamu sudah bekerja keras selama ini dan cuma dihargai sejuta? Bu Sherly benar-benar keterlaluan! Awalnya aku pikir dia cukup baik, tapi ternyata dia pencemburu sekali!"Livy terdiam sejenak. Dia merasa ini bukan sekadar masalah iri hati.Perasaan aneh yang dia rasakan semakin kuat. Seolah-olah Sherly menargetkannya bukan hanya karena iri, tetapi juga karena alasan lain yang tidak bisa dia jelaskan. Jika dia benar-benar ingin menyingkirkan Sherly, hanya mengandalkan masalah bonus proyek ini tidak cukup.Bagaimanapun juga, meskipun tindakan Sherly tidak etis, dia tetap mengikuti prosedur formal. Jadi, Livy tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menindaknya. Merasa frustrasi, Livy hanya bisa memfokuskan dir
"Ah?"Livy benar-benar tidak mengerti. Tadi mereka masih membicarakan hal lain, kenapa tiba-tiba berubah menjadi ini?Preston bahkan berkata akan berusaha tidak mudah marah. Tapi ... mana mungkin pria ini tidak cepat marah?Dia tidak berani membantah atau menolak, jadi hanya bisa mengangguk patuh dan menjawab seadanya. Namun, pikirannya semakin kacau. Tiba-tiba, dia kembali teringat tentang Sherly.Setelah yakin bahwa Sherly memang sengaja menargetkannya, hati Livy dipenuhi dengan amarah, frustrasi, dan rasa tak berdaya. Bagaimanapun juga, Sherly memang benar dalam satu hal.Sekarang dia adalah atasan, dan tidak peduli seberapa besar Livy merasa diperlakukan tidak adil, dia hanya bisa menahannya. Namun ... bukankah Livy juga punya seseorang untuk diandalkan?Perlahan, tatapannya mengarah ke Preston yang duduk di sampingnya. Setelah ragu-ragu beberapa saat, dia akhirnya bertanya dengan hati-hati, "Pak Preston, kalau ada karyawan di perusahaan Anda yang bermasalah dengan rekan kerja mere
Livy menoleh dengan bingung. Dia melihat Ivana sedang memeriksa kemasan produk perawatan kulit dengan sangat hati-hati. Lalu, Ivana menunjuk dua huruf pada kemasan tersebut."Livy, suamiku pernah membelikan produk ini saat ada diskon besar-besaran. Seharusnya, huruf 'L' dan 'A' di logo ini saling menyambung. Tapi lihat ini. Di sini justru terpisah dan bagian ini tampak miring. Ini jelas barang palsu!"Livy memandang lebih dekat. Namun, dia tidak bisa melihat perbedaannya. Dia memang tidak terlalu sering memakai produk kecantikan mewah. Namun, Ivana sangat paham tentang skincare.Jika Ivana bilang ini barang palsu, berarti itu pasti benar."Apa maksudnya ini? Memberikanmu barang palsu? Ini produk yang dipakai di wajah! Bagaimana kalau kulitmu rusak?"Ivana semakin marah dan khawatir. "Livy, jangan pakai ini! Langsung buang saja!"Livy mengangguk. "Baik, aku mengerti." Namun, pikirannya tidak bisa fokus bekerja.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Panggilan itu dari Bendy."Livy, Pak Presto
Livy masih mencoba memastikan jumlah bonusnya, tetapi Ivana sudah mendekat dan tampak terkejut bukan main. "Satu juta? Astaga, bonus kehadiran penuhkku saja 1,6 juta! Ini sama saja kayak mengusir pengemis!"Livy juga merasa ada yang tidak beres. Dia bahkan tidak bisa memercayainya. "Mungkin bagian keuangan salah transfer. Aku akan pergi ke sana dan menanyakannya langsung."Tanpa membuang waktu, Livy segera menuju bagian keuangan. Namun, jawaban dari bagian keuangan sangat jelas. "Bonus proyek ini sudah ditransfer dengan benar. Tidak ada kesalahan."Melihat Livy masih kebingungan, salah satu staf keuangan berbaik hati memberi petunjuk. "Bu Livy, bonus proyek ini dikirimkan ke kepala departemen Anda terlebih dahulu. Lalu, kepala departemen yang membagikannya kepada tim."Kami hanya mentransfer dana sesuai jumlah yang dilaporkan oleh kepala departemen Anda. Kalau masih ada pertanyaan, silakan tanyakan langsung ke kepala departemen Anda."Kepala departemen?Saat ini, posisi Direktur Sekret
"Sayang, sikapku tadi pagi memang buruk. Aku tahu kamu cuma khawatir sama aku, tapi aku malah nggak tahu berterima kasih. Jangan marah lagi, ya?"Livy mengejar Preston setengah berlari dan dengan susah payah berhasil menggenggam tangannya.Mendengar permintaan maafnya yang tulus, Preston akhirnya berhenti. Dia berbalik, menatapnya dengan dingin, dan berkata dengan suara datar, "Aku nggak marah. Memang begini sifatku.""Livy, kamu nggak perlu peduli sama aku. Kalau kamu merasa terganggu, anggap saja aku ini nggak ada."Hah?!Livy terpaku di tempat. Apa maksudnya menganggap Preston tidak ada?!Seorang pria dengan kehadiran sekuat dirinya, mana mungkin dia bisa dianggap tidak ada?! Tidak mungkin. Jelas sekali nada bicaranya terdengar tidak senang.Livy panik dan mencoba kembali membujuknya, "Sayang, bukan itu maksudku ...."Namun, sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Preston sudah menepis tangannya dan masuk ke dalam mobil. Dia pergi, meninggalkan Livy yang masih tertegun di tempa
Kemarahan Preston begitu jelas, tecermin dalam ekspresi dingin di wajahnya.Livy tertegun sejenak, lalu segera menjelaskan, "Ini semua bagian dari pekerjaanku. Aku menerima gaji, jadi sesekali lembur itu wajar."Livy bukan tipe orang yang manja. Dia tahu betapa sulitnya mencari uang saat ini. Banyak orang di luar sana yang hanya dibayar beberapa juta sebulan, tetapi tetap harus lembur setiap hari.Sementara dia, selain mendapat gaji, juga mendapat komisi proyek. Jadi, sesekali bekerja lembur bukanlah masalah besar baginya."Kamu cukup tahan banting rupanya." Preston tertawa dingin, tetapi ekspresinya justru semakin suram.Livy bingung. Dia menarik ujung kemeja Preston dengan pelan, lalu bertanya dengan nada manja, "Sayang, kamu marah lagi?"Seharusnya Livy tidak bertanya. Begitu pertanyaan itu dilontarkan, Preston sontak teringat ucapan Livy semalam. Dia sering marah, mudah sekali tersulut emosi. Sekarang, Livy kembali mengatakan bahwa dia sedang marah ...."Nggak." Tanpa berpikir panj
Setelah mengatakan itu, Xavier mengangkat ponselnya untuk memperlihatkan percakapannya dengan Preston."Aku cuma memberitahunya kalau Bu Livy ada di sini, lalu Preston langsung datang. Terlepas dari apakah dia mencintai Bu Livy atau nggak, selama bertahun-tahun aku mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihatnya begitu peduli pada seseorang.""Jangan katakan lagi ...." Sylvia menggigit bibirnya. Kedua kakinya yang baru pulih hampir tidak sanggup berdiri tegak karena pukulan kenyataan ini.Namun, Xavier belum selesai berbicara. Dia ingin Sylvia segera menyadari kenyataan ini. "Perasaan bisa berkembang seiring waktu. Setidaknya kalau Preston mau peduli pada Bu Livy, itu berarti ada kemungkinan mereka akan menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya.""Kak, hentikan!" pekik Sylvia yang agak berada di luar kendali. Dia terhuyung, berpegangan pada dinding agar tidak jatuh."Sylvia, aku cuma ingin kamu menemukan pria yang lebih cocok untukmu." Xavier menasihatinya dengan lembut."Aku tahu