Livy merasa wajahnya panas karena malu dan hatinya terasa sesak. Dia tahu bahwa Sylvia selalu tidak menyukainya dan terus berusaha membuatnya merasa terhina. Namun, yang lebih menyakitkan baginya adalah Preston tidak pernah membelanya.Preston tidak pernah berdiri di pihaknya. Meskipun demikian, Livy tidak mau kalah. Bahkan jika tidak ada yang membelanya, Livy tidak merasa pernah melakukan kesalahan apa pun. Dia tidak seharusnya diperlakukan seperti ini oleh seorang wanita yang jelas-jelas adalah orang ketiga."Bu Sylvia, aku akui pakaianku mungkin nggak semahal punyamu. Tapi ini bukan barang pasar murah, kualitasnya juga bagus. Kalau kamu merasa nggak nyaman, aku bisa menjauh darimu," ujar Livy.Lalu, dia sedikit menyipitkan matanya dan melanjutkan, "Tapi jujur saja ...."Livy menggigit bibirnya sebelum berkata lebih lanjut, "Aku juga punya barang-barang bermerk. Kualitasnya nggak seistimewa yang dikatakan orang-orang. Jadi, aku nggak yakin ketidaknyamananmu benar-benar berasal dari b
Bagaimanapun, Preston selalu memahami satu hal. Untuk bisa mengelola perusahaan dalam jangka panjang, tubuh adalah aset terpenting. Dia hampir tidak pernah melewatkan waktu makan. Bahkan di sela-sela kesibukannya, dia masih meluangkan waktu untuk berolahraga.Benar-benar definisi pria lajang berkualitas tinggi."Preston, meskipun sudah makan dengan baik di luar negeri, aku ingat kamu pernah bilang kalau kamu nggak terbiasa sama makanan di sana. Sekarang kamu sudah kembali, makanlah lebih banyak," ucap Sylvia yang merasa tidak rela dirinya diabaikan.Sambil tersenyum manis, dia mengambil sepotong daging sapi dan meletakkannya ke dalam piring Preston."Oh iya, Preston, besok aku ada jadwal pemeriksaan. Aku agak khawatir, bisa nggak kamu temani aku? Kata dokter, hasil pemeriksaan besok akan menentukan apakah aku bisa kembali melakukan olahraga es lagi atau nggak.""Oke, aku temani kamu besok siang," jawab Preston dengan nada datar.Kilatan kepuasan melintas di mata Sylvia. Dia lalu mengam
Livy menoleh dengan bingung, lalu terkejut saat melihat Preston yang baru saja mendorong pintu hingga terbuka.Kepalanya terasa sedikit pusing karena hawa panas dari air hangat. Dengan refleks, dia segera menutupi dadanya dengan kedua tangan dan berseru, "Kamu masuk tanpa ketuk pintu dulu!""Aku sudah ketuk, kamu yang nggak dengar," jawab Preston. Matanya sekilas menyapu ke arah Livy sebelum dia mulai melepas pakaiannya dengan tenang.Livy merasa canggung dan buru-buru mematikan video pendek di ponselnya. Melihat Preston semakin melepas pakaiannya, dia langsung merasa panik."Kalau kamu mau mandi, aku keluar dulu ...," ujarnya dengan tergesa-gesa."Buru-buru sekali? Lanjutkan saja mandimu. Bak mandinya cukup besar, kita berdua muat," kata Preston datar, seolah itu adalah hal yang wajar.Kemejanya yang hitam sudah terlepas, memperlihatkan tubuhnya yang berotot dengan garis-garis perut yang tajam dan menggoda. Livy menelan ludah. Pikirannya seketika kosong dan wajahnya mulai memanas."Ak
"Model yang kupilih cukup simpel, jadi kamu bisa pakai waktu kerja juga." Preston benar-benar memikirkan semuanya kali ini.Sebagai karyawan seperti Livy, jika dia memakai perhiasan mencolok atau barang bermerek mahal di kantor, pasti akan menarik perhatian orang lain."Terima kasih, Sayang," ujar Livy, meskipun di dalam hatinya ada sedikit perasaan tak nyaman. Apakah semua ini dipilih oleh Sylvia?"Nggak suka?" Preston menatap ekspresi Livy, tidak bisa menjelaskan perasaannya sendiri.Perjalanan bisnisnya kali ini sangat sibuk, tetapi dia tetap meluangkan waktu sepanjang sore untuk memilih hadiah ini untuknya. Dia mengira Livy akan senang. Namun, melihat raut wajahnya yang begitu datar, Preston merasa tidak puas."Bukan nggak suka, aku cuma agak capek," jawab Livy, lalu menyembunyikan wajahnya di bantal."Kalau capek, istirahatlah." Preston meletakkan kotak hadiah di samping tempat tidur, lalu ikut naik ke ranjang dan berbaring. "Kamu yakin nggak mau ambil cuti satu hari lagi? Masih a
Pertanyaan itu membuat Livy terdiam dan bingung. Apa maksudnya dengan "begitu ingin meninggalkannya"? Kalau Livy tidak ingin pergi, apakah dia bisa benar-benar bertahan di sisi Preston?Pada akhirnya, Preston tidak pernah menjadi miliknya.Sylvia sedang dalam proses pemulihan dan begitu dia benar-benar sembuh, Livy pasti akan disingkirkan. Entah kapan, Preston akan mengajukan perceraian. Livy hanya ingin menyiapkan jalan keluar untuk dirinya sendiri setelah pernikahan ini berakhir."Nggak dengar?" Dagu Livy tiba-tiba diangkat paksa, memaksanya menatap langsung ke dalam mata Preston.Dalam tekanan seperti itu, dia hanya bisa berbisik pelan dan balik bertanya, "Jadi ... Sayang, kamu nggak akan menceraikanku? Apakah kita akan terus seperti ini selamanya?"Setelah Livy berkata demikian, tatapan Preston berubah dingin. Cengkeramannya di dagu Livy sedikit menguat, seolah menahan sesuatu. Namun, hanya dalam hitungan detik, dia tiba-tiba melepaskannya."Nggak perlu dibahas. Tidurlah." Nada bic
Livy butuh kesempatan ini untuk menambah pengalamannya dan memperkuat resume-nya. Seperti yang diduga, setelah mendengar kata-kata itu, ekspresi Sherly berubah sedikit kaku."Livy, aku cuma memikirkan kesehatanmu," katanya dengan nada yang lebih datar. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin ikutan, jangan salahkan aku kalau terjadi sesuatu nanti."Mendengar perkataannya, Livy merasa agak lega. Dia juga tidak ingin memperburuk hubungan dengan Sherly, jadi dia segera berkata dengan sopan, "Terima kasih, Bu Sherly!"Begitu kembali ke mejanya, Ivana segera mengiriminya rencana awal proyek. Tak lama kemudian, pembagian tugas diumumkan."Livy, begini," kata Sherly mendatanginya. "Jadwal kerja sudah disusun sebelumnya. Aku nggak nyangka kamu akan ikut, jadi sementara ini, satu-satunya posisi yang tersisa adalah tugas lapangan. Kalau kamu nggak keberatan, aku akan menugaskanmu ke sana."Nada bicaranya terdengar seolah sedang berunding. Namun, Livy tahu bahwa ini bukan tawaran pilihan. Dia tidak pu
Sebelum Livy melangkah lebih jauh, resepsionis itu mengernyit sambil berteriak dengan panik, "Satpam, cepat hentikan wanita ini!"Tak lama kemudian, seorang satpam langsung menghalangi jalan Livy. Dia buru-buru menjelaskan dengan cemas, "Aku sekretaris dari Grup Sandiaga. Aku datang untuk mengantar dokumen. Ada dokumen yang sangat penting yang harus ditandatangani oleh Pak Rayn!"Dua satpam itu sama sekali tidak menggubris perkataannya. Mereka hanya berdiri di hadapannya seperti gunung yang kokoh. Livy mulai gelisah dan ingin menerobos masuk.Namun, perbedaan kekuatan antara pria dan wanita terlalu besar. Salah satu satpam di sisi kiri langsung menahan bahu Livy karena melihatnya menolak untuk mundur.Dalam sekejap, rasa sakit menjalar hingga membuat mata Livy berkaca-kaca."Lebih baik kamu pergi dari sini. Kalau nggak, aku akan memanggil polisi!" Satpam itu menatapnya dengan ekspresi dingin."Aku ...." Livy masih ingin menjelaskan."Ada apa ini?" Suara yang familier terdengar dari ara
Seth yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti dan membuka pintu ruang rapat. Livy mengikutinya masuk dan segera menyerahkan dokumen itu.Tanpa terlalu memperhatikan, Seth membolak-balikkan dokumen itu, lalu menatap Livy dengan sorot mata penuh arti. "Aku nggak tahu Ryan punya teman perempuan."Ryan berdeham pelan. "Ceritanya panjang. Kak, cepat tandatangani dokumen itu. Aku mau ajak Livy makan nanti. Kebetulan, kami bertemu hari ini."Seth berdecak. "Enak saja! Aku belum menyelesaikan urusan denganmu. Jadi, kamu merasa kamu nggak bisa kabur lagi karena aku sudah kembali ke negara ini, makanya kamu datang sendiri untuk berdamai?"Ryan hanya bisa pasrah, menerima takdirnya sebagai asisten sementara. Dia menuangkan teh untuk mereka berdua, lalu menghela napas. "Kak, kamu ini kakakku. Kita sudah lama nggak ketemu. Apa aku nggak boleh datang menemuimu?""Semoga memang begitu." Seth menarik kembali tatapannya.Livy mendengar percakapan mereka dalam diam, merasa suasana di ruangan ini begitu
Kemarahan Preston begitu jelas, tecermin dalam ekspresi dingin di wajahnya.Livy tertegun sejenak, lalu segera menjelaskan, "Ini semua bagian dari pekerjaanku. Aku menerima gaji, jadi sesekali lembur itu wajar."Livy bukan tipe orang yang manja. Dia tahu betapa sulitnya mencari uang saat ini. Banyak orang di luar sana yang hanya dibayar beberapa juta sebulan, tetapi tetap harus lembur setiap hari.Sementara dia, selain mendapat gaji, juga mendapat komisi proyek. Jadi, sesekali bekerja lembur bukanlah masalah besar baginya."Kamu cukup tahan banting rupanya." Preston tertawa dingin, tetapi ekspresinya justru semakin suram.Livy bingung. Dia menarik ujung kemeja Preston dengan pelan, lalu bertanya dengan nada manja, "Sayang, kamu marah lagi?"Seharusnya Livy tidak bertanya. Begitu pertanyaan itu dilontarkan, Preston sontak teringat ucapan Livy semalam. Dia sering marah, mudah sekali tersulut emosi. Sekarang, Livy kembali mengatakan bahwa dia sedang marah ...."Nggak." Tanpa berpikir panj
Setelah mengatakan itu, Xavier mengangkat ponselnya untuk memperlihatkan percakapannya dengan Preston."Aku cuma memberitahunya kalau Bu Livy ada di sini, lalu Preston langsung datang. Terlepas dari apakah dia mencintai Bu Livy atau nggak, selama bertahun-tahun aku mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihatnya begitu peduli pada seseorang.""Jangan katakan lagi ...." Sylvia menggigit bibirnya. Kedua kakinya yang baru pulih hampir tidak sanggup berdiri tegak karena pukulan kenyataan ini.Namun, Xavier belum selesai berbicara. Dia ingin Sylvia segera menyadari kenyataan ini. "Perasaan bisa berkembang seiring waktu. Setidaknya kalau Preston mau peduli pada Bu Livy, itu berarti ada kemungkinan mereka akan menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya.""Kak, hentikan!" pekik Sylvia yang agak berada di luar kendali. Dia terhuyung, berpegangan pada dinding agar tidak jatuh."Sylvia, aku cuma ingin kamu menemukan pria yang lebih cocok untukmu." Xavier menasihatinya dengan lembut."Aku tahu
Preston bergegas mendekat, menatap wanita yang mabuk di dalam pelukannya dengan tatapan dingin.Tangannya yang besar menopang pinggang Livy. Suaranya terdengar datar. "Duduk saja kamu nggak bisa stabil. Kamu nggak takut jatuh?""Siapa kamu ...?" Livy benar-benar mabuk berat, hingga tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria di depannya.Dia hanya sadar bahwa ada seorang pria yang sedang memeluknya, sehingga secara naluriah menjadi waspada dan berusaha melawan. "A ... aku sudah nikah! Jangan sentuh aku! Suamiku galak sekali!"Galak? Preston termangu sesaat, tidak tahu harus merasa marah atau justru merasa lega. Setidaknya meskipun sudah mabuk sampai seperti ini, wanita ini masih ingat bahwa dirinya sudah menikah.Namun ... apakah dia benar-benar segalak itu? Dengan perasaan yang sedikit tidak nyaman, Preston menutup pintu mobil, lalu mendudukkan Livy di jok belakang.Nada suaranya menjadi lebih lembut, takut membuat wanita mabuk ini ketakutan. "Suamimu galak?""Tentu saja." Livy mengang
Preston .... Apakah ini karena dia terlalu mabuk? Bagaimana mungkin Preston muncul di tempat ini?Sisa kesadaran Livy tidak memungkinkan dirinya untuk berpikir lebih jauh. Dia hanya bisa terpaku, menatap kosong ke depan.Sementara itu, saat melihat Livy yang mabuk berat, kemarahan Preston mulai tersulut sedikit demi sedikit dalam dadanya.Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Annie, departemen sekretaris selalu bekerja dengan baik. Dia bahkan tidak pernah perlu turun tangan untuk mengurusnya.Namun, justru karena kelonggarannya itulah, sekarang departemen sekretaris menjadi seperti ini. Membiarkan seorang wanita keluar untuk menemani minum demi bisnis?"Pak Preston, ke ... kenapa datang ke sini?" Elon buru-buru mengusap tangannya dan memasang senyuman ramah sambil mendekati Preston."Pak Preston, saya Elon, manajer departemen perencanaan dari Grup Gunarso. Aku di sini untuk ....""Barusan, sepertinya suasana di sini sangat meriah. Apa yang sedang kalian lakukan?" Tatapan dingin Preston men
Orang yang berbicara adalah Sylvia. Meskipun ada empat hingga lima orang yang memisahkan mereka, jaraknya tidak terlalu jauh.Begitu ucapan itu dilontarkan, seluruh perhatian di ruangan langsung tertuju pada Livy. Karena takut menyinggung Elon, Livy buru-buru menjelaskan, "Nggak, bukan begitu. Aku cuma nggak terlalu kuat minum alkohol seperti ini.""Lalu, biasanya kamu minum apa? Masa hari ini nggak mau minum setetes pun? Lihat aku, bahkan aku yang pincang saja sudah minum banyak. Kamu nggak boleh merusak suasana ya."Sylvia berkedip manja, suaranya selembut angin musim semi yang menyapu hati. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya justru terasa menusuk.Livy semakin merasa serbasalah dan hanya bisa menjawab dengan kaku, "Aku bisa minum sedikit bir.""Kebetulan, di sini ada banyak bir." Dengan satu gerakan tangan, Elon langsung meminta pelayan mengantarkan beberapa botol bir ke meja mereka.Kini, Livy sama sekali tidak punya alasan untuk menolak. Setelah beberapa gelas, kepalanya m
"Uh ... kurang lebih sama." Livy tetap memberikan jawaban yang samar.Awalnya, dia hanya ingin menghentikan Richard dari terus mengeluarkan komentar menjijikkan. Namun, setelah tahu Livy sudah menikah, Richard malah mengajukan semakin banyak pertanyaan."Bu Livy, siapa nama suamimu? Dia bekerja di bidang apa? Gimana dengan gaji dan tunjangan di perusahaannya? Kita ini rekan kerja, kenapa kamu nggak memperkenalkanku ke sana?""Kalau suamimu sekaya itu, kenapa kamu masih repot-repot bekerja? Oh, aku mengerti! Wanita mandiri ya? Kalau seharian di rumah, nanti malah jadi istri yang membosankan dan akhirnya suaminya akan muak."Livy mulai kesal dengan ocehan Richard yang tiada habisnya. Dia pun menegaskan dengan sopan, "Pak Richard, ini masih jam kerja. Aku nggak ingin membahas urusan pribadiku."Baru setelah itu, Richard akhirnya menutup mulutnya.Mereka akhirnya tiba di tempat pertemuan. Namun, Elon dari Grup Gunarso tiba-tiba menelepon, mengatakan bahwa dia sedang ada urusan dan meminta
Melihat pesan itu, Livy lantas mengernyit. Berpakaian seksi dan harus minum alkohol?Livy tahu bahwa banyak kerja sama bisnis disepakati di meja minum, tetapi pembagian tugas di departemen sekretaris sangat jelas. Biasanya, mereka tidak perlu melakukan hal seperti ini.[ Bu, aku nggak kuat minum. Gimana kalau orang lain saja yang pergi? ]Balasan Sherly masuk dengan cepat.[ Kalau begitu, aku akan menyuruh Richard menemanimu. ]Richard .... Salah satu dari sedikit staf pria di departemen sekretaris mereka. Karena merasa dirinya dikelilingi wanita, Richard ini menjadi sangat menjijikkan.Bahkan sebelumnya, dia pernah menggoda Ivana dan sering kali menatap Livy dengan tatapan yang tidak bermaksud baik.Namun, karena Livy selalu mengabaikannya, Richard akhirnya berhenti mengganggunya. Meskipun tidak setuju, Livy tahu bahwa di antara para pria di departemennya, Richard adalah salah satu yang cukup kuat minum.Setelah menghela napas, Livy mencoba menyiapkan mentalnya.Sore harinya, Richard
"Livy, apa PPT-nya sudah selesai?"Percakapan mereka dipotong oleh Sherly. Wanita itu mengenakan setelan kerja profesional. Dengan wajah tersenyum tipis, dia menyerahkan sebungkus sarapan."Semalam pasti sangat melelahkan untukmu. Dari tampangmu, sepertinya kamu nggak ada waktu istirahat, 'kan?""Aku memang bergadang sedikit, tapi PPT-nya sudah selesai. Tenang saja, untuk laporan sore nanti, aku pasti akan ...."Sebelum Livy selesai bicara, Sherly menyela lagi, "Aku lihat kamu kurang istirahat semalam. Rapat sore nanti sangat penting, sedangkan kamu belum terlalu berpengalaman dalam hal ini. Biar aku saja yang menangani laporan ini. Jangan khawatir, aku pasti akan mengingat kontribusimu."Tidak jadi membiarkannya presentasi? Dada Livy terasa semakin sesak. Semalam, dia sudah bekerja keras, bahkan sampai menggunakan pesona wanita untuk merayu Preston agar mempelajari beberapa teknik presentasi.Sekarang setelah semuanya sudah siap, Sherly justru tiba-tiba mengubah keputusan. Jika diucap
Preston hanya bisa pasrah menghadapi kecerobohan Livy."Sekarang bahkan belum jam 8. Waktu kerja Grup Sandiaga dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Sejak kapan aturan itu berubah?"Belum jam delapan? Livy terdiam sejenak, lalu buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk memeriksa waktu. Baru pukul 7.55 pagi, masih cukup banyak waktu."Aku ... aku masih setengah sadar." Livy menggigit bibirnya dengan frustrasi, lalu menatap Preston dengan sedikit rasa bersalah. Suaranya lembut saat berkata, "Aku akan lebih pelan. Kamu tidur saja lagi. Aku nggak akan mengganggumu."Preston meliriknya sekilas dan berkata dengan nada datar, "Nggak usah tidur lagi. Biar aku lihat lututmu dulu, ada luka nggak?"Livy menggeleng. "Nggak apa-apa. Ada karpet di lantai, aku juga nggak terjatuh keras."Saat mengatakan itu, Livy berusaha bangkit. Namun, dia kembali ditarik ke pelukan Preston.Dengan posisi setengah memeluk, tubuhnya berada dalam dekapan Preston. Piama yang setengah melorot memperlihatkan sebagian besar ku