Livy mengetik beberapa baris penjelasan di kotak pesan. Namun setelah menatapnya beberapa saat, dia akhirnya menghapus semuanya. Akhirnya, dia hanya mengirimkan pesan singkat.[ Aku mengerti. ]Setelah itu, dia meletakkan kepalanya di atas meja dengan lemah dan merasa sangat sedih. Jika Preston begitu peduli pada Sylvia, mengapa dia harus mengikat kontrak pernikahan dengan Livy? Bukankah lebih mudah bagi Preston untuk berpura-pura dengan orang lain?Sekarang Sylvia telah kembali, lalu di mana posisi Livy?Semua ini membuatnya merasa seperti seorang pelakor yang hanya diam-diam merusak hubungan Preston dengan Sylvia.....Ketika Preston membaca pesan singkat Livy, alisnya sedikit berkerut. Wanita ini bahkan tidak berusaha menjelaskan apa-apa.Apakah mungkin Livy benar-benar memperlakukan Sylvia dengan buruk seperti yang dikatakan Sylvia saat Preston tidak ada?"Preston, apakah aku ... terlalu banyak mengganggu?"Sylvia menundukkan kepala dan menatap kedua kakinya dengan lemah. Wajahnya
"Dasar nggak berguna! Aku pikir orang yang dikirim dari kantor pusat itu akan hebat, ternyata hal kecil seperti ini saja kamu nggak bisa urus. Kenapa nggak sekalian pulang saja?!""Kenapa? Nggak terima? Kalau nggak terima, silakan mengundurkan diri. Kantor kecil seperti ini nggak mampu menanggung orang sepertimu!"Wajah Erick memerah karena menahan rasa malu dan marah. Pimpinan itu akhirnya melemparkan sebuah dokumen ke arah Erick sebelum berjalan pergi tanpa menoleh lagi.Erick menggertakkan giginya sambil melontarkan beberapa makian pelan. Ketika berbalik, dia melihat Livy berdiri di pintu. Melihat Livy, rasa frustrasi Erick semakin memuncak. Dia melangkah cepat ke arah Livy, lalu menatapnya dengan pandangan penuh tuntutan dan berkata, "Kenapa lama sekali kamu datang?"Livy yang sudah kehabisan kesabaran, menjawab dengan nada datar, "Baru saja selesai jam kerja.""Oh, begitu," balas Erick dengan nada yang menyebalkan. "Kalau begitu, kamu lagi nggak ada urusan, 'kan? Livy, kenapa ngga
Livy tertegun dan menatap Preston dengan bingung. Apakah Preston benar-benar yakin bahwa Livy telah mengganggu Sylvia siang tadi? Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan, tapi Preston langsung saja menilainya bersalah.Kata-kata yang ingin diucapkannya hanya mengendap di tenggorokannya, sampai akhirnya dia mengangguk pelan dan berkata dengan suara rendah, "Baik, aku mengerti."Dia segera menyelesaikan makan malamnya dengan cepat. Namun bahkan setelah itu, Livy tidak merasa kenyang. Preston yang terbiasa tinggal di luar negeri, selalu memilih makanan barat. Namun bagi Livy, makanan seperti itu tidak terasa lezat dan tidak mengenyangkan.Ketidaksesuaian itu mencerminkan hubungan mereka yang tidak sejalan sejak awal.Setelah makan, Livy kembali ke kamarnya dan menyelesaikan data yang harus dia kirimkan kepada Sherly. Saat semua selesai, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia baru saja akan masuk ke kamar mandi untuk mandi ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka."G
Untuk sesaat, Livy merasakan hawa dingin yang luar biasa dari tubuh Preston. Tatapan mata hitamnya tampak lebih gelap dari malam. Udara di sekitar mereka terasa seperti dipenuhi oleh dinginnya ruangan es."Livy, kamu tahu nggak apa yang baruan kamu bilang?" Suara Preston terdengar rendah dan tajam.Livy belum sempat bereaksi, dia hanya menggenggam tangannya dengan gugup. "Aku hanya ... aku nggak bisa lari lagi. Olahraga itu harus bertahap, kamu nggak bisa langsung memaksakan ....""Livy!" Preston memotongnya dengan suara yang begitu dingin hingga menusuk. "Kaki Sylvia terluka karena aku. Aku sudah memperingatkanmu. Sepertinya, kamu benar-benar nggak bisa jaga ucapanmu!"Awalnya, dia berpikir Sylvia hanya salah paham ketika mengatakan Livy tidak menghargainya. Namun, sekarang Preston merasa itu benar-benar terjadi. Bagaimana mungkin Livy bisa mengatakan sesuatu yang begitu kejam?!Livy terdiam, tubuhnya kaku karena syok. Dia mencoba menjelaskan dengan terbata-bata, "Aku ... aku nggak be
Livy sampai meragukan pendengarannya. Dengan ragu, dia bertanya sekali lagi, "Aku mengejar Erick ke kantor cabang?"Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi? Bagaimana bisa ada gosip yang begitu tidak masuk akal? Terlalu berlebihan!Ivana menghela napas pelan, lalu diam-diam mengeluarkan ponselnya. Di grup obrolan, terlihat sebuah foto yang sangat mencolok.Itu adalah foto Livy yang dipeluk dan dicium oleh Erick di kantor cabang tempat Erick bekerja. Di dalam grup, semua orang sibuk membicarakan gosip tentang mereka berdua.[ Aku tahu, dia Livy dari departemen sekretaris! Dulu saat Erick masih di kantor pusat, aku sering melihat mereka berdua bersama. ][ Aku juga tahu. Katanya Livy ini telah menolak Erick berkali-kali dan sok menjadi wanita suci. Tak disangka, setelah Erick pergi, dia malah mendekat kembali. ][ Hahaha! Mereka pasti sudah pacaran! Dulu Erick bilang, kalau dia jadian sama Livy, dia akan mengajukan pindah ke cabang. Soalnya itu adalah aturan perusahaan kita. ][ Akhirn
"Livy, itu pasti Sylvia, 'kan? Katanya dia cinta pertama Pak Preston. Kamu sering antar dokumen untuk Pak Preston. Kamu pasti pernah lihat dia, 'kan?"Livy sebenarnya tidak ingin membahas topik itu, jadi dia cuma menjawab dengan tidak acuh, "Hm.""Kalau begitu ... dia istri Pak Preston ya?" Ivana mulai penasaran dan menebak-nebak, "Katanya sih Pak Preston sudah menikah, tapi istrinya sakit-sakitan, jadi nggak diumumin. Mungkin wanita ini orangnya."Sekarang belum, tetapi mungkin nanti, posisi istri Preston akan menjadi milik Sylvia."Aku kurang tahu." Livy tidak ingin membahas topik itu. Lagi pula, dia sebenarnya adalah salah satu pihak yang terlibat. Sekarang, dia adalah orang yang disebut sebagai istri Preston.Livy merasa semakin pusing. Dia buru-buru berjalan menuju meja resepsionis untuk mengambil dokumen. Saat berbalik, dia tidak sengaja menabrak sesuatu.Sebelum sempat melihat dengan jelas, tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya dengan kuat. Livy terjatuh keras ke lantai. Kar
Livy berjalan dengan pincang mengikuti Preston ke ruangannya. Sylvia juga ingin masuk, tetapi dihentikan oleh Preston. "Sylvia, ini urusan pribadiku. Kamu tunggu di ruang tamu dulu."Sylvia menggigit bibirnya, merasa sangat tidak nyaman dengan kata-kata "urusan pribadi" yang diucapkan oleh Preston.Matanya segera melirik Livy dengan marah. Kemudian, dia tersenyum tipis dan berucap, "Oke, aku tunggu di luar. Preston, jangan terlalu marah. Bu Livy cantik dan punya daya tarik. Kamu nggak boleh kasar sama dia. Jangan sampai suatu hari nanti Bu Livy benaran pergi sama orang lain."Setelah itu, Sylvia menutup pintu dengan tatapan dingin. Dia segera pergi ke ruang tamu dan menelepon seseorang."Bu Sylvia?" Suara Annie terdengar gembira dan penuh kemenangan. "Kamu sudah terima hadiah yang kukirim, 'kan? Gimana? Aku pasti sangat membantumu, 'kan?""Itu cuma foto yang salah angle, apa yang pantas kamu banggakan?" Sylvia mendengus sinis. Annie termasuk bodoh, tetapi punya metode yang cukup bagus.
"Ma ... maafkan aku ...."Livy merasa sangat tertekan, kesadarannya semakin kabur. Dalam keadaan bingung, dia mendengar suara langkah kaki pria di depannya. Preston masih terus menyalahkannya."Selain itu, Livy, kamu hampir menabrak Sylvia. Kakinya cedera, kamu tahu itu, 'kan? Malam tadi sakitnya kambuh lagi. Kalau kamu nggak suka dia, sebaiknya jauh-jauh dari dia. Jangan merusak pemandangan!"Jadi ... semua ini salahnya? Entah itu Erick atau Sylvia, Livy hanya melakukannya untuk pekerjaan. Kenapa tidak ada yang percaya padanya, malah selalu menganggap semuanya adalah salahnya?Perasaan pahit dan tertekan memenuhi hatinya. Livy merasa pandangannya gelap, lalu dia terjatuh begitu saja."Livy!"....David kembali meninggalkan wanita yang baru saja diajaknya berkenalan demi mengobati Livy. Dia tidak bisa menahan diri untuk melirik Preston yang ada di sampingnya. "Aku boleh tanya sesuatu nggak?"Preston tampak kesal. "Langsung ke intinya. Jangan bertele-tele!""Kamu menganggap Kak Livy seb
Tidak peduli apa yang dipikirkan Preston, Livy sangat membutuhkan pekerjaan ini. Selain itu, dia sudah menghabiskan masa mudanya di Grup Sandiaga dan merasa punya hubungan istimewa dengan tempat ini. Semua bukan semata-mata demi Preston.Livy memaksakan senyuman kepada Sherly dan berkata, "Aku paham. Terima kasih banyak atas bantuannya, Bu.""Nggak masalah, kita satu departemen. Semoga kita bisa saling membantu ke depannya." Sherly tersenyum datar dan memberi peringatan, "Tapi, aku tetap harus mengatakan satu hal. Sepertinya kamu telah membuat Preston marah. Kalau ada waktu, coba cari kerjaan di tempat lain.""Grup Sandiaga memang bagus. Tapi, kalau kamu nggak bisa bertahan di sini, setidaknya siapkan jalan mundur untuk diri sendiri.""Baik, terima kasih atas nasihatnya, Bu." Wajah Livy semakin pucat. Dia tahu betul betapa besarnya kekuasaan Preston. Jika benar-benar dipecat, Livy merasa dia tidak akan bisa bertahan di ibu kota."Livy, ada apa? Kenapa tiba-tiba Pak Preston ...." Ivana
Ciuman kasar Preston bergerak turun dari bibir Livy yang memucat hingga ke bawah .... Ketika tangan besarnya mencengkeram pinggang Livy dengan keras hingga membuatnya mengerang pelan karena rasa sakit, Livy refleks mencoba mendorong Preston menjauh."Jangan ...," ucapnya pelan, terdengar hampir seperti sebuah permohonan.Masih ingin menjaga diri untuk Stanley?Preston tertawa dingin, lalu melepaskannya seketika. Sorot matanya penuh penghinaan dan amarah. Dalam sekejap, semua hasrat di dirinya lenyap."Jangan pernah mikir soal perceraian, Livy. Kamu seharusnya tahu apa akibatnya kalau kamu berani melawanku!"Brak!Pintu kamar ditutup dengan keras, meninggalkan Livy yang memeluk tubuhnya sendiri penuh dengan luka dan bekas rasa sakit. Air mata mengalir deras, membasahi wajahnya yang terlihat begitu terpukul.Keesokan paginya, saat Livy turun ke ruang makan, Preston tidak terlihat di mana pun.Tina meliriknya beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu-ragu. Akhirnya, dia h
Namun, bahkan dalam keadaan seperti ini, Preston yang dibutakan oleh rasa cemburu tetap tidak melepaskan Livy. Dengan satu tangan, dia menarik Livy ke tempat tidur."Jadi, Livy, apa sebenarnya yang membuatmu terus memikirkan Stanley? Apa menikah denganku hanya keputusan yang kamu ambil dengan impulsif?"Preston tahu betul bahwa pernikahan mereka adalah sesuatu yang terburu-buru, dimulai dari sebuah kontrak. Namun, mendengar ucapan Stanley tentang masa lalu manis mereka, Preston tidak bisa mengendalikan kekacauan emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Kekesalan.Kemarahan.Kekecewaan.Ketidakpuasan.Semua itu menumpuk menjadi satu, membuatnya kehilangan seluruh logika. Yang ada di pikirannya hanyalah memastikan Livy benar-benar menjadi miliknya sepenuhnya!Sementara itu, Livy yang sudah terlalu lelah menghadapi tuduhan dan fitnah, merasa emosinya meledak hingga tak tertahankan lagi.Matanya memerah, air mata mengalir tanpa henti dari sudut matanya, dan hidungnya ikut memerah. Dia terli
Tatapan Preston semakin dalam dan dingin. Ekspresi Livy yang terlihat begitu tersakiti dan tulus, seolah-olah semua ini hanyalah fitnah yang dilontarkan oleh orang lain, membuatnya terlihat sangat meyakinkan.Namun, fakta-fakta yang ada di hadapannya. Baik soal Erick dan Nicky, maupun Stanley, membuat Preston tidak bisa sepenuhnya percaya.Livy tidak bisa disebut sebagai istri yang patuh dan setia. Entah semua ini memang murni kesalahpahaman, atau dia sebenarnya pandai menyembunyikan sisi buruknya.Saat Preston mengingat setiap kali Livy berpura-pura tidak mengenali Stanley, rasa percaya dirinya semakin menguat bahwa Livy sengaja menyembunyikan hubungan mereka. Karena perasaan bersalah, dia terus menutupi kenyataan!"Pak Stanley." Suara dingin Preston tiba-tiba terdengar, membuat Stanley yang mengira masalah sudah selesai langsung menggigil ketakutan."Pa-Paman Preston, silakan bicara ...."Nada Preston terdengar datar, tetapi mengandung ancaman yang menusuk."Chloe baru saja mengalami
Livy sama sekali tidak menyangka Stanley bisa sehina itu.Livy bahkan masih berpikir untuk mencari cara menjelaskan hubungannya dengan Stanley, tetapi apa yang didengarnya membuat darahnya mendidih. Dengan panik, Livy berteriak, "Stanley, jangan mengada-ada!""Aku nggak mengada-ada!" Stanley kini sudah kehilangan akal sehat. Satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan menjatuhkan Livy.Meski dia muak dengan Chloe yang sibuk mencari pria model dan selalu bersikap seperti putri, Stanley mengingat bagaimana Livy dulu begitu lembut, perhatian, dan selalu ada untuknya. Jelas, Livy jauh lebih baik dibanding Chloe dalam banyak hal.Namun, Livy tidak memiliki status sosial seperti Chloe. Selain itu, Chloe punya hubungan dengan Keluarga Sandiaga. Jika dia sampai merusak hubungan ini, bisnis keluarganya yang kecil itu pasti akan hancur total.Setelah mempertimbangkan semuanya, Stanley memutuskan untuk terus menyalahkan Livy."Paman Preston, aku dan Livy memang pernah berpacaran. Kam
Setelah berkata demikian, Stanley tiba-tiba meraih tangan Livy.Seolah tersentuh sesuatu yang menjijikkan, Livy buru-buru melepaskan tangannya. Dia berdiri dengan tegas dan menatap Stanley dengan penuh amarah."Stanley, aku sudah bilang dengan sangat jelas. Hubungan kita sudah benar-benar selesai. Mulai sekarang, hiduplah dengan Chloe dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!""Livy, apa kamu masih marah?" tanya Stanley sambil memaksakan senyuman. Dia tiba-tiba mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.Sebelum Livy sempat bereaksi, Stanley sudah berlutut dengan satu kaki di hadapannya."Livy, dulu kamu pernah marah karena selama bertahun-tahun kita bersama, aku nggak pernah melamarmu. Sekarang aku sadar betapa salahnya aku. Hubunganku dengan Chloe adalah sebuah kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal. Bisa nggak kita memulai semuanya dari awal?""Stanley, kamu gila, ya?!" Livy benar-benar panik. Dia mencoba menarik Stanley untuk berdiri.Namun, tepat pada saat itu, sebuah suara ding
Sylvia memesan restoran mewah di dalam pusat perbelanjaan.Livy tahu restoran ini sangat terkenal. Tempat seperti ini memerlukan reservasi jauh-jauh hari dan harganya juga sangat mahal. Restoran ini sering dianggap sebagai tempat yang eksklusif.Hanya beberapa hidangan saja di restoran ini sudah setara dengan gajinya selama sebulan."Livy, kamu jarang sekali punya kesempatan makan di tempat sebagus ini. Jadi, pesan saja apa yang kamu mau. Anggap ini pengalaman langka buatmu," ujar Sylvia sambil perlahan menyesap air hangat. Nada bicaranya penuh sindiran dan merendahkan.Bagi Sylvia, Livy hanyalah gadis tanpa latar belakang yang tidak pantas berada di tempat seperti ini.Livy tahu Sylvia sengaja meremehkannya. Namun, wajah Livy tetap tenang. Dia sudah terbiasa dengan perilaku Sylvia yang selalu tampak manis di luar tetapi penuh racun di dalam.Livy melirik jam di pergelangan tangannya. Jika makan siang ini selesai, waktunya akan bertepatan dengan jam pulang kerja. Dia hanya perlu bertah
"Nggak perlu. Selain itu, Bu Livy adalah orang yang sangat penting bagimu. Aku ingin menjalin hubungan baik dengannya," kata Sylvia dengan tenang. "Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk bergaul dengan Bu Livy.""Pak Preston, sebenarnya aku punya jadwal lain sore ini. Bu Sylvia jelas bisa ...." Livy mencoba menyisipkan penjelasan, berharap bisa menyampaikan keinginannya untuk kembali bekerja.Namun, Preston tampaknya tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah dingin dan suaranya menjadi ketus, "Livy, pekerjaanmu hari ini adalah menemani Sylvia. Kalau kamu nggak mau bekerja di Grup Sandiaga, kamu bisa langsung mengundurkan diri.""Pak Preston, bukan begitu, aku hanya ingin tetap di kantor sore ini ...." Livy berusaha menjelaskan dengan penuh perjuangan.Namun, Sylvia sudah mulai bertindak manja. Dia meraih ujung jas Preston dan memohon dengan nada lembut, "Preston, peluk aku ke mobil, ya.""Baik."Begitu ucapan itu dilontarkan, Preston langsung membun
Ekspresi Livy langsung berubah.Sylvia jelas bukan meminta untuk "dibantu", tetapi ingin Livy menggendong Sylvia yang beratnya hampir sama dengan dirinya ke dalam mobil! Selain itu, Livy sama sekali tidak berniat meremehkan Sylvia hanya karena kondisinya."Bukan begitu, Preston. Aku nggak pernah meremehkan Sylvia ...," jelas Livy dengan tergagap.Namun, entah apa yang dikatakan Preston di telepon, mata Sylvia yang sebelumnya memerah karena berpura-pura menangis, kini perlahan-lahan kembali cerah. Meski begitu, nadanya tetap terdengar tersedu-sedu."Preston, aku tahu. Kamu nggak perlu menghiburku. Demi kamu, aku nggak pernah menyesal. Tapi aku nggak ingin jadi beban siapa pun. Kalau kamu juga merasa aku merepotkan, aku nggak akan muncul lagi di hadapanmu."Tubuh Livy terasa dingin seketika. Dia mendengar percakapan Sylvia yang sengaja dibuat agar terdengar olehnya. Suara Preston terdengar jelas dan tegas dari telepon."Sylvia, kamu nggak akan pernah jadi beban bagiku. Jangan menangis la