Livy berjalan dengan pincang mengikuti Preston ke ruangannya. Sylvia juga ingin masuk, tetapi dihentikan oleh Preston. "Sylvia, ini urusan pribadiku. Kamu tunggu di ruang tamu dulu."Sylvia menggigit bibirnya, merasa sangat tidak nyaman dengan kata-kata "urusan pribadi" yang diucapkan oleh Preston.Matanya segera melirik Livy dengan marah. Kemudian, dia tersenyum tipis dan berucap, "Oke, aku tunggu di luar. Preston, jangan terlalu marah. Bu Livy cantik dan punya daya tarik. Kamu nggak boleh kasar sama dia. Jangan sampai suatu hari nanti Bu Livy benaran pergi sama orang lain."Setelah itu, Sylvia menutup pintu dengan tatapan dingin. Dia segera pergi ke ruang tamu dan menelepon seseorang."Bu Sylvia?" Suara Annie terdengar gembira dan penuh kemenangan. "Kamu sudah terima hadiah yang kukirim, 'kan? Gimana? Aku pasti sangat membantumu, 'kan?""Itu cuma foto yang salah angle, apa yang pantas kamu banggakan?" Sylvia mendengus sinis. Annie termasuk bodoh, tetapi punya metode yang cukup bagus.
"Ma ... maafkan aku ...."Livy merasa sangat tertekan, kesadarannya semakin kabur. Dalam keadaan bingung, dia mendengar suara langkah kaki pria di depannya. Preston masih terus menyalahkannya."Selain itu, Livy, kamu hampir menabrak Sylvia. Kakinya cedera, kamu tahu itu, 'kan? Malam tadi sakitnya kambuh lagi. Kalau kamu nggak suka dia, sebaiknya jauh-jauh dari dia. Jangan merusak pemandangan!"Jadi ... semua ini salahnya? Entah itu Erick atau Sylvia, Livy hanya melakukannya untuk pekerjaan. Kenapa tidak ada yang percaya padanya, malah selalu menganggap semuanya adalah salahnya?Perasaan pahit dan tertekan memenuhi hatinya. Livy merasa pandangannya gelap, lalu dia terjatuh begitu saja."Livy!"....David kembali meninggalkan wanita yang baru saja diajaknya berkenalan demi mengobati Livy. Dia tidak bisa menahan diri untuk melirik Preston yang ada di sampingnya. "Aku boleh tanya sesuatu nggak?"Preston tampak kesal. "Langsung ke intinya. Jangan bertele-tele!""Kamu menganggap Kak Livy seb
Preston langsung menendang David. "Pergi sana!"David buru-buru berdiri dan berkata, "Kak Livy nggak apa-apa, jadi kamu nggak usah khawatir. Nanti kamu kompres pergelangan kakinya. Aku akan kirim videonya, lebih baik kamu pijat sedikit."Preston melirik dengan dingin. "Kamu mau aku yang pijat?""Bisa saja aku yang pijat, tapi kamu tahu pijatan seperti ini pasti butuh bersentuhan, 'kan? Ehem, ehem ... aku cuma khawatir kamu cemburu." David tertawa santai dan segera mengirimkan video.Saat berjalan ke pintu, David berhenti sejenak. "Sebenarnya, Kak Sylvia punya perasaan padamu.""Aku cuma menganggapnya sebagai adik." Preston tidak pernah berpikir hubungannya dengan Sylvia bisa berkembang menjadi sesuatu yang lain.....Livy terbangun dan merasakan sesuatu yang hangat di pergelangan kakinya. Dia terkejut dan segera menoleh.Alhasil, Livy melihat Preston yang duduk di samping ranjang dengan wajah yang suram. Jari-jarinya yang panjang sedang memijat pergelangan kakinya dengan tekanan yang
Namun, ekspresi Preston tetap terlihat datar. Ditambah dengan nada canggung dan tegang, Preston memberi kesan seolah-olah dia sedang marah pada Livy.Livy tidak bisa menahan diri. Air matanya semakin deras. "Maaf, aku ... aku cuma nggak tahan lagi."Penampilannya yang sangat tertekan dan menyedihkan ini membuatnya terlihat seperti anak kucing yang terluka. Preston terdengar tidak berdaya. "Livy, apa kamu cuma bisa bilang maaf?""Aku juga bisa menangis kok," balas Livy langsung tanpa sadar. Begitu ucapan ini keluar, dia terdiam dan buru-buru memalingkan wajahnya.Namun, saat berikutnya, terdengar tawa rendah Preston. "Ya, aku bisa lihat."Suara tangisan yang lembut itu seolah-olah mengungkapkan ketidakpuasan. Tidak ada kekuatan, justru terdengar agak manja.Livy merasa telinganya memanas. Dia perlahan-lahan menelan obatnya dan berjanji, "Pokoknya aku nggak akan merepotkanmu lagi. Ke depannya, aku akan olahraga untuk memperkuat tubuhku.""Mm." Preston menjawab singkat sambil memijat kaki
"Nggak kok," bantah Livy secara spontan."Kalau begitu, tenang saja. Aku nggak ingin kakimu cedera lagi. Lagi pula, ada banyak hal yang perlu kamu kerjakan di kantor. Kalau kamu cedera, aku akan kesulitan."Suara Preston terdengar sangat rendah dan tenang. Hanya matanya yang terfokus pada dada Livy yang agak terbuka. Tanpa disadarinya, tatapannya menjadi lebih suram.Livy menghela napas, terus-menerus mencoba meyakinkan diri sendiri. Lagi pula, mereka sudah melakukan semuanya, jadi tidak perlu merasa malu.Kemeja Livy sudah dilepaskan oleh Preston, hanya tersisa bra berwarna krem. Meskipun Livy terus menenangkan diri di dalam hati, wajahnya tetap saja memerah.Tiba-tiba, ponsel Preston berdering. Itu panggilan dari Sylvia. Alis Preston agak berkerut, tetapi dia segera menjawab panggilan itu.Karena mereka terlalu dekat, Livy bisa mendengar suara Sylvia dari telepon. "Preston, kamu sudah janji mau makan malam bersama, 'kan?"Preston melirik Livy sejenak. Begitu Livy melihat tatapan itu,
Livy mencari sebuah bangku kecil, lalu duduk dan menjawab panggilan. Dia menyalakan pengeras suara."Kamu serius? Sudah ada begitu banyak kejadian dalam waktu yang begitu singkat? Livy, kamu masih nggak sadar juga ya? Sylvia itu cuma cari perhatian. Dia ingin merebut Preston darimu!"Livy sungguh gusar, tertekan, dan bingung. Jadi, dia mulai bercerita tentang semua hal yang terjadi belakangan ini.Charlene adalah sahabat terbaiknya. Livy ingin mencari orang untuk mengungkapkan unek-uneknya."Tenang sedikit, sebenarnya mereka memang pasangan dari dulu. Kalau bukan karena Sylvia kecelakaan dan kakinya cedera ....""Dia cedera karena Preston, itu 'kan bukan salahmu!" Charlene merasa tidak berdaya melihat Livy.Livy memang baik, tetapi hatinya terlalu lembut. Ditambah lagi masalah hubungan, dulu dia hanya fokus pada Stanley dan akhirnya dibohongi oleh pria berengsek itu. Sampai sekarang, dia masih seperti gadis bodoh."Kalau bukan wanita murahan, Sylvia pasti nggak akan datang begitu saja
Livy memandang ke arah pintu. Sylvia berada di sana. Seperti biasanya, penampilannya tetap anggun."Lisa, aku boleh lihat dasi itu?" Ekspresi staf yang berdiri di sebelah Livy langsung berubah. Dia buru-buru menyerahkan dasi yang belum dibungkus itu dengan hati-hati."Bu Sylvia, kenapa nggak kabari kami dulu sebelum datang? Lihat dasi ini, model dan bahannya sangat bagus. Ini edisi terbatas lho."Sylvia meraba dasi itu. Dengan santai, dia mengeluarkan kartu dan mengabaikan Livy yang berada di sampingnya. Sambil tersenyum, dia berkata, "Aku beli dasi ini, Preston pasti suka."Livy tentu terkejut. Apa wanita ini tidak melihatnya? Itu tidak mungkin. Kekesalan mulai muncul di hati Livy. Dia memperingatkan, "Bu Sylvia, aku yang melihat dasi itu duluan."Sylvia seolah-olah baru menyadari keberadaan Livy. Dia terkejut dan berkata, "Oh, maafkan aku, Bu Livy. Aku nggak sadar kamu ada di sini."Bagaimana mungkin Sylvia tidak melihatnya? Livy sudah berdiri cukup lama di sini. Livy sebenarnya tida
Setelah itu, Livy sengaja melirik dasi itu dan menambahkan dengan tenang, "Jadi, aku berikan dasi itu untukmu saja."Kemudian, Livy langsung pergi. Setelah berkeliling sebentar di lantai bawah, Livy semakin merasa bahwa dia tidak bisa masuk ke dunia Preston. Ini karena dia melihat sebuah handuk yang harganya setara dengan gajinya.Ini adalah pusat perbelanjaan paling mewah di kota ini. Tanpa uang miliaran, seseorang hanya akan merasa malu untuk datang belanja.Awalnya, Livy berniat menggunakan kartu Preston untuk membeli barang apa pun tanpa melihat harganya. Namun, yang dikatakan Sylvia tadi ada benarnya juga.Bagaimanapun, Livy sudah tinggal dan makan gratis di tempat Preston selama ini. Dia juga belajar banyak hal. Sudah seharusnya dia memberi Preston hadiah. Namun, dia hanya bisa membeli barang dengan harga yang terjangkau.Livy menghela napas, lalu menuju mal yang lebih terjangkau. Setelah berkeliling, dia memutuskan untuk membeli dasi seharga jutaan.Entah Preston akan keberatan
Astaga, situasi macam apa ini?Telinga Livy terasa panas membara. Tanpa bisa dikendalikan, pikirannya mulai dipenuhi gambaran-gambaran yang tidak senonoh.Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan mesum dari Preston. Dia mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan dan mulai mencari informasi tentang Mathias.Informasi tentang pria itu cukup terbatas di internet. Katanya, dia adalah pria paruh baya yang merintis usahanya dari nol dan dikenal memiliki cara bicara yang baik.Namun, ada juga beberapa rumor negatif yang menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, dia diam-diam berselingkuh dari istrinya dan memiliki banyak wanita di luar.Livy tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Yang bisa dilakukan hanya mempersiapkan diri, mempelajari berbagai hal tentang musik, catur, kaligrafi, dan lukisan.Meskipun dia tahu usahanya mungkin tidak terlalu berpengaruh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mempersiapkan apa pun.Setelah sibuk sepanjang sore, Livy akhirnya tiba di r
"Livy, ke mana saja tadi? Kenapa lama sekali tanpa bilang apa-apa ke kami? Jangan-jangan kamu malas-malasan?"Pria paruh baya itu berdiri dengan perut buncitnya. Meskipun gemuk, dia tetap berusaha memakai jas seperti orang lain. Namun, penampilannya malah seperti agen asuransi yang sedang mengalami krisis paruh baya.Livy mengerutkan keningnya sedikit dan menjelaskan, "Pak Preston mencariku, ada beberapa hal yang harus disampaikan.""Oh, ternyata Pak Preston ...." Umay menyipitkan matanya, tampak sedikit mengejek. "Ya, wajar saja Pak Preston masih memperhatikanmu. Bagaimanapun, dulu kamu bekerja di bawahnya.""Tapi, aku harap wanita sepertimu nggak langsung berpikir macam-macam hanya karena seorang pria bersikap baik sedikit kepadamu. Ingat, Pak Preston sudah punya istri. Lebih baik kamu realistis saja dan pertimbangkan untuk ....""Kak Umay, sebenarnya ada urusan apa mencariku?" Melihat pria menyebalkan di depan berbicara semakin tidak sopan, Livy buru-buru memotong ucapannya."Nggak
Livy tertegun. Preston ... apa maksudnya?Preston kembali berkata, "Dia cuma keponakanku, sedangkan kamu adalah istriku."Oh, jadi begitu. Livy mengerti sekarang. Bagi Preston, statusnya sebagai istri memang sedikit lebih tinggi daripada status seorang keponakan. Namun, hanya sebatas itu. Hanya karena saat ini, dia masih menjadi istri Preston."Lebih baik nggak usah," ujar Livy setelah berpikir sejenak. "Aku juga jarang punya waktu untuk memakai tas seperti ini. Kalau cuma disimpan di rumah, rasanya akan terbuang sia-sia.""Biarkan saja terbuang sia-sia," kata Preston dengan tidak acuh. Baginya, uang seperti ini hanyalah jumlah kecil. Jika istrinya menyukai sesuatu, dia akan membelinya tanpa peduli apakah benda itu akan terpakai atau tidak."Tapi ...." Livy masih ingin berkata sesuatu, tetapi Preston sudah menariknya ke dalam pelukan."Aku memberikan hadiah untuk istriku, tapi kamu malah menolaknya berulang kali? Kamu pikir aku miskin sampai nggak sanggup membelikanmu sesuatu sekecil i
"Mana mungkin!" Livy buru-buru melambaikan tangannya. "Di departemen sekretaris masih ada banyak senior. Kamu juga termasuk salah satu senior buatku. Jangan bicara seperti itu.""Ya, ya, aku paham." Ivana buru-buru menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Aku serius kali ini. Pak Preston mencarimu, dia suruh kamu ke atas.""Kenapa kamu yang mencariku?" Livy sedikit terkejut. Biasanya kalau ada urusan seperti ini, Bendy yang datang menemuinya.Ivana menjawab, "Sepertinya Pak Bendy ada urusan mendadak. Dia cuma sempat mampir sebentar ke departemen sekretaris untuk menyampaikan pesan. Sudahlah, Livy, cepat naik ke atas. Siapa tahu Pak Preston berubah pikiran dan mau memindahkanmu kembali ke departemen sekretaris!"Tidak mungkin, 'kan? Semalam Preston sudah mengatakan bahwa dia tidak akan memindahkannya kembali sebelum misinya selesai.Dengan penuh rasa penasaran, Livy segera mengetuk pintu kantor Preston."Masuk."Saat mendorong pintu, Livy melihat Preston sedang tidak bekerja. Pria itu memeg
"Hah?" Livy sempat mengira dirinya salah dengar. Namun, saat melihat Preston menunggu dengan ekspresi seperti ingin dilayani, dia yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.Membantu dia mandi? Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan mata membelalak.Sebagian besar pakaiannya sudah terlepas, memperlihatkan tubuh ramping dengan garis otot yang tegas. Di bawah cahaya lampu, sosok itu terlihat begitu mencolok hingga membuat jantungnya berdebar.Ditambah lagi dengan wajah Preston yang dingin, tegas, dan sempurna, semuanya memberikan dampak visual yang sangat kuat.Sejak kejadian itu, sebenarnya sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali mereka melakukannya. Seorang wanita ... juga memiliki kebutuhannya sendiri.Livy berdeham, mencoba menahan rasa malu yang merayap di hatinya. Dia terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia masih membutuhkan bantuan pria ini.Sambil menggigit bibirnya, dia mulai membuka kancing kemeja Preston. Sesudah itu, dia bergerak turun ke celana. Ketika tiba giliran
Preston masih punya sedikit kendali atas dirinya sendiri. Lagi pula, setelah 2 hari berturut-turut, tubuh Livy pasti masih butuh waktu untuk beristirahat dengan baik."Kalau begitu ... 6 juta?" Dengan berat hati, Livy menambahkan 2 juta lagi. Wajahnya pun terlihat tegang. "Benaran nggak bisa lebih lagi? Bonusku sedikit banget."Terakhir kali, dia hanya mendapat 1 juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu hidangan Preston."Beberapa hari lagi, bagian keuangan akan mentransfer sisa bonusmu yang sebelumnya. Jadi, kamu nggak bakal sampai kekurangan uang. Lagi pula, bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Punya uang tapi nggak dipakai. Kamu bodoh ya?" Nada suara Preston terdengar agak pasrah.Bonus sebelumnya? Livy kaget dan baru teringat. Dia buru-buru bertanya, "Masalah dengan Sherly itu ulahmu ya?"Meskipun kemungkinan besar jawabannya adalah iya, dia tetap ingin memastikan. "Hmm, aku menyuruh Bendy menyelidikinya.""Bonusmu ternyata disalahgunakan oleh Sherly, jadi aku meminta bagia
Jantung Livy seakan-akan berhenti berdetak sejenak. Dia awalnya hanya ingin bertingkah manja untuk mencari jalan pintas, tetapi Preston malah menanggapinya dengan serius.Setelah tertegun sesaat, Livy tiba-tiba merasa dirinya seperti seorang badut. Benar juga, mereka ini pasangan suami istri macam apa?Mereka bukanlah pasangan dalam arti yang sesungguhnya. Jadi, Preston sama sekali tidak punya kewajiban untuk berbagi rahasia bisnis dengannya. Bisa jadi, dia justru sedang menjaga jarak dan tidak ingin berbagi dengannya."Kenapa diam?" Melihat Livy termenung, Preston semakin kesal dan kembali bertanya, "Apa kamu punya sedikit perasaan untukku?""Kenapa nggak? Tentu saja punya." Livy tidak mengerti kenapa pria ini tiba-tiba marah. Tadi, dia sempat mengira Preston tersinggung karena dirinya terlalu percaya diri, tetapi sekarang kenapa justru bertanya soal perasaan?Apakah dia ingin Livy membujuknya? Livy tidak yakin. Atau Preston sedang menguji perasaannya yang sebenarnya?Pada akhirnya, L
Tadi dia ... sudahlah.Preston berdeham pelan, lalu sedikit mengubah topik pembicaraan. "Soal barbeku itu, akhir pekan ini kamu bawa aku ke sana.""Hah?" Livy tampak terkejut dan buru-buru mengingatkan, "Tempat itu cukup terpencil dan semua mejanya di luar ruangan. Aku takut kamu bakal kurang nyaman makan di sana.""Kamu bisa makan, kenapa aku nggak bisa?" balas Preston dengan santai."Baiklah."Lagi pula, Preston yang minta sendiri. Jangan sampai nanti setelah diajak, dia malah menunjukkan ekspresi tidak senang. Itu pasti akan membuat Livy kesal.Sambil menuangkan segelas air lagi untuk dirinya sendiri, Livy menyadari tatapan yang dilayangkan Preston kepadanya. Dengan sigap, dia juga menuangkan segelas air untuk pria itu.Preston menerima air putih yang diberikan Livy, lalu tiba-tiba berkata, "Aku dengar kamu berhasil mengamankan kerja sama ini hanya dalam 5 hari.""Mm ... sebenarnya masih banyak yang belum aku pahami, jadi butuh waktu cukup lama. Tapi, ya sudahlah, setidaknya ini lan
Ryan berbicara dengan pelan, tetapi kata-katanya mengandung makna menyindir jika didengar dengan lebih saksama. Namun, kata-kata itu juga terdengar sedang mengeluh. Ryan sedang mengeluh padanya?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Livy langsung menepis pemikiran itu dan berpikir itu pasti hanya sekadar mengeluh biasa saja. Ryan bisa mengajak seseorang dengan mudah, tetapi dia malah menolak undangannya tiga kali. Oleh karena itu, wajar saja jika Ryan mengeluh."Maaf, aku benar-benar agak sibuk," jelas Livy dengan suara pelan."Nggak masalah, aku sudah memaafkanmu," kata Ryan sambil tersenyum dan tatapannya terlihat santai, seolah-olah bisa menarik perhatian siapa pun yang melihatnya."Selesai!"Setelah mengambil beberapa foto lagi, Hesti segera mengembalikan ponselnya pada Ryan dan berkata dengan semangat, "Tuan Ryan, kamu dan Livy benar-benar terlihat sangat serasi, aku sampai nggak tahan untuk mengambil beberapa foto lagi.""Nggak masalah, terima kasih," kata Ryan sambil kembali menge