"Nggak kok," bantah Livy secara spontan."Kalau begitu, tenang saja. Aku nggak ingin kakimu cedera lagi. Lagi pula, ada banyak hal yang perlu kamu kerjakan di kantor. Kalau kamu cedera, aku akan kesulitan."Suara Preston terdengar sangat rendah dan tenang. Hanya matanya yang terfokus pada dada Livy yang agak terbuka. Tanpa disadarinya, tatapannya menjadi lebih suram.Livy menghela napas, terus-menerus mencoba meyakinkan diri sendiri. Lagi pula, mereka sudah melakukan semuanya, jadi tidak perlu merasa malu.Kemeja Livy sudah dilepaskan oleh Preston, hanya tersisa bra berwarna krem. Meskipun Livy terus menenangkan diri di dalam hati, wajahnya tetap saja memerah.Tiba-tiba, ponsel Preston berdering. Itu panggilan dari Sylvia. Alis Preston agak berkerut, tetapi dia segera menjawab panggilan itu.Karena mereka terlalu dekat, Livy bisa mendengar suara Sylvia dari telepon. "Preston, kamu sudah janji mau makan malam bersama, 'kan?"Preston melirik Livy sejenak. Begitu Livy melihat tatapan itu,
Livy mencari sebuah bangku kecil, lalu duduk dan menjawab panggilan. Dia menyalakan pengeras suara."Kamu serius? Sudah ada begitu banyak kejadian dalam waktu yang begitu singkat? Livy, kamu masih nggak sadar juga ya? Sylvia itu cuma cari perhatian. Dia ingin merebut Preston darimu!"Livy sungguh gusar, tertekan, dan bingung. Jadi, dia mulai bercerita tentang semua hal yang terjadi belakangan ini.Charlene adalah sahabat terbaiknya. Livy ingin mencari orang untuk mengungkapkan unek-uneknya."Tenang sedikit, sebenarnya mereka memang pasangan dari dulu. Kalau bukan karena Sylvia kecelakaan dan kakinya cedera ....""Dia cedera karena Preston, itu 'kan bukan salahmu!" Charlene merasa tidak berdaya melihat Livy.Livy memang baik, tetapi hatinya terlalu lembut. Ditambah lagi masalah hubungan, dulu dia hanya fokus pada Stanley dan akhirnya dibohongi oleh pria berengsek itu. Sampai sekarang, dia masih seperti gadis bodoh."Kalau bukan wanita murahan, Sylvia pasti nggak akan datang begitu saja
Livy memandang ke arah pintu. Sylvia berada di sana. Seperti biasanya, penampilannya tetap anggun."Lisa, aku boleh lihat dasi itu?" Ekspresi staf yang berdiri di sebelah Livy langsung berubah. Dia buru-buru menyerahkan dasi yang belum dibungkus itu dengan hati-hati."Bu Sylvia, kenapa nggak kabari kami dulu sebelum datang? Lihat dasi ini, model dan bahannya sangat bagus. Ini edisi terbatas lho."Sylvia meraba dasi itu. Dengan santai, dia mengeluarkan kartu dan mengabaikan Livy yang berada di sampingnya. Sambil tersenyum, dia berkata, "Aku beli dasi ini, Preston pasti suka."Livy tentu terkejut. Apa wanita ini tidak melihatnya? Itu tidak mungkin. Kekesalan mulai muncul di hati Livy. Dia memperingatkan, "Bu Sylvia, aku yang melihat dasi itu duluan."Sylvia seolah-olah baru menyadari keberadaan Livy. Dia terkejut dan berkata, "Oh, maafkan aku, Bu Livy. Aku nggak sadar kamu ada di sini."Bagaimana mungkin Sylvia tidak melihatnya? Livy sudah berdiri cukup lama di sini. Livy sebenarnya tida
Setelah itu, Livy sengaja melirik dasi itu dan menambahkan dengan tenang, "Jadi, aku berikan dasi itu untukmu saja."Kemudian, Livy langsung pergi. Setelah berkeliling sebentar di lantai bawah, Livy semakin merasa bahwa dia tidak bisa masuk ke dunia Preston. Ini karena dia melihat sebuah handuk yang harganya setara dengan gajinya.Ini adalah pusat perbelanjaan paling mewah di kota ini. Tanpa uang miliaran, seseorang hanya akan merasa malu untuk datang belanja.Awalnya, Livy berniat menggunakan kartu Preston untuk membeli barang apa pun tanpa melihat harganya. Namun, yang dikatakan Sylvia tadi ada benarnya juga.Bagaimanapun, Livy sudah tinggal dan makan gratis di tempat Preston selama ini. Dia juga belajar banyak hal. Sudah seharusnya dia memberi Preston hadiah. Namun, dia hanya bisa membeli barang dengan harga yang terjangkau.Livy menghela napas, lalu menuju mal yang lebih terjangkau. Setelah berkeliling, dia memutuskan untuk membeli dasi seharga jutaan.Entah Preston akan keberatan
Livy memalingkan wajahnya dengan agak canggung. Dia merasa hadiahnya seperti bom waktu. Dia tidak tahu harus bagaimana memberikannya kepada Preston."Ini ... hadiah untukmu."Preston termangu sejenak. Tebersit keterkejutan pada tatapannya. Kemudian, dia bertanya untuk memastikan, "Untukku?"Sudah beberapa hari berlalu sejak Preston memberi Livy kartu banknya itu. Dia sempat berpikir Livy sudah melupakan tugasnya dan merasa kesal. Siapa sangka, Livy masih mengingatnya."Ya." Livy menyerahkannya secara langsung. Kemudian, dia menjelaskan, "Aku nggak pakai uangmu, ini kubeli pakai gajiku. Harganya nggak mahal. Kalau kamu nggak suka, nggak apa-apa. Aku ...."Sebelum Livy selesai berbicara, kantong belanjaan di tangannya sudah direbut oleh Preston.Alis Preston tidak berkerut lagi, tetapi wajahnya masih dingin seperti biasa. Namun, Livy bisa merasakan bahwa suasana hatinya agak membaik."Aku nggak keberatan kok." Preston membuka kotak hadiah itu dan melihat sebuah dasi hitam. Jika dibanding
Livy menggeleng dan menimpali, "Aku nggak butuh uangmu. Aku bisa menghasilkan uang sendiri."Livy tidak ingin menjadi beban untuk siapa pun. Lagi pula, hubungannya dengan Preston hanya sebatas hubungan kontrak. Jika Preston memberinya uang, Livy merasa dirinya seperti wanita simpanan."Kuat juga pendirianmu." Preston menatap wajah Livy lekat-lekat. Bibir tipisnya tersungging sedikit. "Semoga pendirianmu nggak goyah nanti."Nanti? Sebelum Livy bereaksi, tangan besar Preston sudah masuk ke dalam pakaiannya.Mereka sudah sering berhubungan badan sehingga Preston tahu betul di mana titik sensitif Livy. Hanya dalam waktu singkat, Livy telah kehilangan kemampuan untuk melawan. Dia hanya bisa menerima ciuman panas Preston di lehernya. Ciuman itu semakin ke bawah hingga akhirnya mencapai pinggangnya yang sangat sensitif."Ja ... jangan ...." Tubuh Livy gemetaran. Ketika Preston hendak menciumnya lagi, Livy refleks mendorong. "Jangan di sini."Preston seolah-olah tidak mendengarnya dan menepis
Preston terdiam sejenak, lalu menyahut, "Keluarga Widodo dan Keluarga Sandiaga selalu menjalin hubungan baik. Sylvia akan datang sebagai tamu terhormat Keluarga Sandiaga."David mengangguk mengerti, lalu mendekat sambil tersenyum nakal. "Lalu, gimana dengan istrimu? Dengan status kalian berdua, nggak mungkin terus disembunyikan, 'kan?""Aku cuma mau ingatin, Kak Livy jarang dandan, tapi dia tetap cantik. Pas acara ulang tahun nanti, kalau dia pakai gaun, pasti banyak yang terpukau dan menggodanya. Nanti kamu ....""Pergi sana!" tegur Preston dengan kesal. David pun buru-buru melarikan diri.Di ruang kerjanya, Preston segera menelepon. "Ya, ganti gaunnya dengan yang lebih tertutup. Jangan ada yang terlihat!"....Hari Senin, Livy datang ke kantor tepat waktu."Livy, gimana kondisimu? Kakimu masih sakit nggak?" tanya Ivana dengan khawatir.Kakinya tidak bermasalah lagi, tetapi semalam Preston membuatnya kelelahan hingga larut malam. Sekujur tubuhnya sakit."Aku baik-baik saja kok, cuma s
Nada perintah yang digunakan Zoey membuat Livy merasa kurang nyaman. Dia meletakkan dokumen dengan sembarangan, bahkan tidak menatap Zoey dan berkata dengan dingin, "Aku masih harus selesaikan kerjaan lain. Setelah beres, baru aku bantu lihatkan."Zoey langsung marah, "Livy, kalau kamu terus begini, progresku bisa tertunda!"Sekarang baru khawatir, kenapa waktu belajar dulu tidak serius? Livy sungguh kehabisan kata-kata melihatnya.Belakangan ini, Livy tidak punya mood atau waktu untuk menghiraukan Zoey. Jadi, dia membiarkan Zoey melakukan apa yang dia mau."Pokoknya aku akan periksa hari ini. Sekarang kamu kerjakan dulu laporan mingguan minggu lalu," instruksi Livy dengan tegas.Zoey menggigit bibirnya, semakin kesal. "Apa gunanya menulis laporan itu? Jangan-jangan kamu cuma cari alasan? Lalu, jadwal Pak Preston di mana? Aku 'kan anggota departemen sekretaris, otomatis aku juga sekretarisnya. Aku seharusnya dapat jadwalnya, 'kan?"Livy merasa agak bingung. Kenapa Zoey menginginkan jad
Bendy? Livy semakin bingung. Apa mungkin Bendy juga lembur sampai dini hari kemarin? Bekerja di bawah Preston memang sangat melelahkan. Namun, bagaimana bisa Bendy tiba-tiba memberinya jas?Sebelum Livy sempat menemukan jawaban, suara Ivana yang penuh semangat terdengar lagi. "Livy, aku sudah bilang, kamu dan Pak Bendy sangat serasi! Meskipun kalian bertengkar, dia tetap nggak melupakanmu dan diam-diam peduli padamu! Ahhh, aku bisa mati melihat cinta kalian!"Ha .... Livy merasa canggung dan hanya bisa tersenyum. Kini, dia merasa jas itu benar-benar panas. Bendy tidak mungkin tertarik padanya. Mungkin dia hanya kasihan melihat Livy tidur di meja, jadi memberinya jas agar tidak kedinginan. Pasti hanya seperti itu.Livy mencari alasan untuk menenangkan dirinya, lalu mengambil barang yang sudah disiapkan oleh Ivana dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Untungnya, setelah lembur semalam, dia berhasil menyelesaikan dokumennya dengan cukup lancar. Sekitar pukul 10 pagi, dokumen i
Namun, Sylvia tampaknya tidak ingin melepaskan Livy begitu saja. Sepanjang malam, dia terus mengirim pesan, bahkan terus memesan makanan untuk Livy demi menonjolkan eksistensinya."Preston, aku nggak tahu Bu Livy suka makanan dari restoran ini nggak." Setelah kembali dari luar, Sylvia duduk manis di samping dan memandang Preston yang sedang bermain biliar.Mendengar nama itu, tangan Preston yang memegang stik biliar membeku sejenak. Kemudian, dia menyesuaikan emosinya dan bertanya dengan nada datar, "Kamu pesan makanan untuk Livy?""Ya." Sylvia tersenyum dengan murah hati. Sambil menatap Preston dengan manja, dia berkata, "Meskipun sering bertengkar dengan Bu Livy, jangan terlalu keras pada wanita. Dia pasti capek karena lembur terus.""Kalau kamu merasa nggak nyaman, pindahkan saja Bu Livy ke cabang. Dia akan lebih nyaman di sana, kamu juga nggak perlu setiap hari merasa terganggu."Pindah ke cabang? Pikiran ini berkelebat sesaat di benak Preston sebelum dia segera membuang jauh-jauh.
Livy termangu sejenak, memang tidak tahu soal ini.Ke mana Preston pergi, apa yang dia lakukan, dan dengan siapa dia bersama, jika tidak diberitahukan secara khusus, Livy sama sekali tidak tahu. Atau lebih tepatnya, dia tidak punya hak untuk peduli atau menanyakan tentang keberadaan Preston. Jadi, dia sebenarnya tidak tahu banyak tentang Preston."Zoey, lemburku nggak ada hubungannya denganmu, 'kan? Justru kamu yang aneh. Seingatku, petugas kebersihan sudah pulang jam segini, 'kan?"Livy memandang Zoey dengan agak lelah. Dia benar-benar tidak ingin terlibat konflik dengan Zoey di tempat ini. Setelah seharian bekerja, dia hanya ingin makan dan menyelesaikan pekerjaannya. Dia sangat lelah hingga tidak ada energi untuk berurusan dengan Zoey."Kenapa? Aku nggak boleh lembur?" Zoey mengalihkan pandangannya. Dia dihukum untuk lembur karena bermalas-malasan. Namun, semua ini karena Livy yang tidak berguna!Mengingat hal ini, kebencian Zoey semakin dalam. Dia menggertakkan gigi sambil bertanya
Hubungan Livy dan Stanley membuat Preston merasa sangat tidak nyaman sampai sekarang. Malam itu, Preston sebenarnya berniat untuk bicara dengan baik-baik, tetapi wanita itu meneteskan air mata dengan cerdik, membuatnya terlihat seperti pihak yang bersalah.Namun, bagaimanapun Livy masih istri sahnya dan Preston sangat terobsesi pada tubuhnya. Jika Livy sedikit memanjakannya dan menyelesaikan masalahnya dengan Stanley, Preston tidak akan sengaja menyulitkannya dalam hal pekerjaan.Namun ... Livy yang ada di depannya jelas tidak berpikir demikian. Dia mengira Preston sedang mengancamnya. Dia mengira Preston sedang memberi peringatan bahwa dia masih istri sahnya. Jadi, jika tidak bisa menyelesaikan pekerjaan semudah ini, dia bukan hanya akan dipecat, tetapi juga akan dibuang. Ketika saat itu tiba, hidupnya benar-benar akan hancur.Dengan ekspresi bingung, Livy menggenggam berkas di tangannya dengan semakin erat. "Baik, aku mengerti. Aku akan menyerahkan berkasnya sebelum besok sore."Sete
Preston memanggilnya? Apa dia tidak puas dengan dokumen kemarin? Livy merasa agak tertekan.Kenapa harus dikumpulkan kemarin malam, sementara Preston jelas-jelas tidak berniat untuk memeriksa dokumen itu kemarin malam? Bukankah dia baru memeriksanya pagi ini? Preston malah memintanya untuk lembur.Karena Preston adalah bos yang menggajinya, Livy hanya bisa menahan kekesalannya dan segera mengiakan. Kemudian, dia masuk ke lift dengan terburu-buru.Setibanya di depan ruangan Preston, sebelum masuk, Livy sudah mendengar suara pertengkaran dari dalam. "Preston, apa maksudmu?"Suara itu tidak asing bagi Livy, itu adalah suara Bahran."Kamu ingin menindasku ya! Kamu tahu berapa kerugian yang akan kutanggung karena kamu menahan dua drama besar ini? Jangan kira karena Ayah mendukungmu, kamu bisa bertindak semaunya! Kamu cuma anak haram!"Kemudian, terdengar suara Preston yang dingin. "Aku melakukannya demi Keluarga Sandiaga. Setelah kedua drama itu tayang, kamu pikir kamu dan dua aktris itu ma
Xavier mengerutkan alisnya dan menggoda dengan nada santai, "Sylvia, kamu 'kan adikku, kenapa terus membela Preston? Kemari, duduk di sampingku.""Kak, masa kamu cemburu sama Preston?" Sylvia terkekeh-kekeh.Xavier tidak melanjutkan pembicaraan. Saat hampir selesai, Xavier dan Preston pergi membayar tagihan."Preston, saat kamu menikah, aku di luar negeri dan belum sempat mengucapkan selamat." Wajah Xavier tampak tulus.Meskipun belum pernah bertemu dengan wanita itu, Xavier yakin wanita itu tidak buruk. Lagi pula, sahabatnya yang sudah lama menjomblo ini tiba-tiba memutuskan untuk menikah."Nggak apa-apa," sahut Preston. Mengenai masalah pernikahan kontrak, dia tidak ingin terlalu banyak orang tahu. Kalau sampai terdengar oleh Tristan, pasti sulit untuk menghadapinya."Ada sesuatu yang harus kutanyakan." Xavier berbicara lagi, tetapi kali ini terdengar ragu. "Apa perasaanmu terhadap Sylvia?"Preston menjawab tanpa ragu, "Sylvia telah berjasa padaku. Aku sangat berterima kasih atas apa
Tingkah laku Sylvia yang seperti istri sah ini membuat Livy agak bingung. Apa salahnya dia mencari Preston di malam hari? Di waktu seperti ini, seharusnya suaminya berada di sisinya, 'kan?Meskipun Preston mencintai Sylvia, Livy tetap adalah istri sah Preston. Sikap Sylvia ini sepertinya agak berlebihan.Selain itu, jika mereka memang ingin bersama dengan terang-terangan, Sylvia bisa saja menyuruh Preston membatalkan pernikahannya dengan Livy. Dengan demikian, bukankah hubungan mereka bisa sah? Kenapa harus berbelit-belit begini?Melihat data yang jelas-jelas salah di depannya, Livy tidak ingin berpikir terlalu banyak. Dia mencoba menenangkan emosinya dan segera berkata, "Aku ingin mengonfirmasi data dengan Pak Preston.""Preston, Bu Livy bilang ada urusan pekerjaan denganmu." Suara Sylvia terdengar agak menjauh.Kemudian, Livy mendengar suara kartu yang sedang dimainkan dengan jelas. Livy merasa dirinya benar-benar seperti badut.Preston sedang bersenang-senang dengan wanita cantik, s
Jadi, Livy langsung menelepon Tina. "Bi, malam ini aku akan tinggal di kantor. Aku nggak pulang.""Kenapa begitu?" Tina terdengar sangat cemas. "Aduh, meskipun perusahaan milik keluarga, kamu nggak boleh kelelahan. Nanti malah sakit.""Nggak masalah, Bi. Akhir-akhir ini aku merasa tubuhku sangat baik, nggak apa-apa." Livy menenangkan Tina.Segera, Livy kembali memeriksa angka-angka di depannya. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Livy menoleh, melihat Bendy berdiri di depan pintu.Suaranya agak canggung. "Bu Livy, kamu masih belum pulang?""Ya, masih ada kerjaan yang belum selesai," sahut Livy."Kalau begitu ...." Bendy menghela napas, lalu maju dan menyerahkan sebuah dokumen kepada Livy. "Dokumen ini cukup mendesak. Awalnya Pak Preston mau minta Bu Sherly untuk mengaturnya, tapi Bu Sherly bilang kamu masih di kantor. Jadi, Pak Preston menyarankan agar kamu yang mengerjakannya saja."Preston .... Apa dia merasa pekerjaannya masih belum cukup banyak? Pikiran Livy yang tadinya suda
Tidak peduli apa yang dipikirkan Preston, Livy sangat membutuhkan pekerjaan ini. Selain itu, dia sudah menghabiskan masa mudanya di Grup Sandiaga dan merasa punya hubungan istimewa dengan tempat ini. Semua bukan semata-mata demi Preston.Livy memaksakan senyuman kepada Sherly dan berkata, "Aku paham. Terima kasih banyak atas bantuannya, Bu.""Nggak masalah, kita satu departemen. Semoga kita bisa saling membantu ke depannya." Sherly tersenyum datar dan memberi peringatan, "Tapi, aku tetap harus mengatakan satu hal. Sepertinya kamu telah membuat Preston marah. Kalau ada waktu, coba cari kerjaan di tempat lain.""Grup Sandiaga memang bagus. Tapi, kalau kamu nggak bisa bertahan di sini, setidaknya siapkan jalan mundur untuk diri sendiri.""Baik, terima kasih atas nasihatnya, Bu." Wajah Livy semakin pucat. Dia tahu betul betapa besarnya kekuasaan Preston. Jika benar-benar dipecat, Livy merasa dia tidak akan bisa bertahan di ibu kota."Livy, ada apa? Kenapa tiba-tiba Pak Preston ...." Ivana