"Kenapa bicara begitu?" tanya Livy yang tidak bisa bereaksi untuk sesaat."Soalnya kamu lagi pacaran sama Erick." Preston melirik wajah Livy dengan ekspresi datar. Tatapannya suram dan mendalam, sungguh mengerikan.Preston marah! Livy tak kuasa bergidik. Meskipun Preston tidak banyak bicara, Livy bisa merasakan auranya yang suram. Dia tidak pernah melihat ekspresi seperti ini dari Preston.Livy termangu beberapa saat sebelum bereaksi kembali. Jelas, percakapannya dengan Erick didengar oleh Preston."Bu ... bukan begitu ...." Livy buru-buru menjelaskan.Namun, Preston hanya melirik dengan dingin. Jarinya yang ramping menarik dasinya dengan gusar. Kancing paling atas sampai terbuka karena gerakannya yang kasar. Jakunnya yang bergerak membuatnya terlihat sangat menggoda."Jadi, yang kudengar tadi cuma halusinasi?" tanya Preston.Livy ragu-ragu sejenak. Setelah mengingat kembali, sepertinya dia terus menyuruh Erick untuk mundur tadi. Mereka sama sekali tidak membahas hal romantis. Sepertin
Livy sontak membuka matanya lebar-lebar. Dia secara naluriah meletakkan kedua tangan di depan tubuhnya untuk melindungi diri. Tubuhnya agak meringkuk. Dia mundur beberapa langkah.Preston memicingkan matanya yang makin dingin. Livy berkata secara spontan, "Aku kurang enak badan hari ini."Livy memang sedang tidak mood. Karena tidak mood, sekujur tubuhnya terasa lemas. Dia tidak punya niat untuk melayani dan menghadapi Preston."Kulihat kamu nggak seperti orang sakit waktu bertelepon tadi." Kesabaran Preston mulai menipis. Sepasang matanya yang hitam menatap Livy lekat-lekat.Livy menggigit bibirnya. "Aku serius ....""Kamu seharusnya menjalankan kewajiban seorang istri." Preston menunduk, lalu menggendong Livy ke kamar. Dia menahan Livy di dinding tanpa menghiraukan penolakannya. Gerakannya sangat lugas dan kasar. Dia sama sekali tidak peduli pada perasaan Livy."Ah! Sakit ...." Livy kesakitan hingga matanya berkaca-kaca. Ini pertama kalinya Presto benar-benar memperlakukannya sebagai
Sementara itu, Livy hanya seorang wanita tanpa latar belakang apa pun. Bagaimana bisa dia dibandingkan dengan Sylvia? Jelas sekali, pertanyaan ini hanya merendahkan dirinya sendiri.Sebenarnya, Livy bukan sekadar ingin bertanya. Namun, dia ingin mengingatkan Preston tentang keberadaan Sylvia.Setelah dipikir-pikir, Livy merasa dirinya berpikir terlalu jauh. Jika Preston peduli pada perasaan Sylvia, dia tidak mungkin melakukan hal seperti ini. Bagaimanapun, Sylvia tahu hubungan Livy dengan Preston. Terlihat jelas juga bahwa Sylvia sangat membenci Livy.Preston merasa ada yang tidak beres. Alisnya sedikit berkerut. Sylvia hanya temannya dan Preston berutang budi padanya. Sementara itu, Livy ....Status keduanya jelas berbeda dan tidak bisa dibandingkan. Entah kenapa Livy tiba-tiba mengungkit tentang Sylvia. Mungkin, Livy merasa canggung dan mencari topik pembicaraan.Bagaimanapun, Preston kehilangan kendali tadi. Livy pasti merasa tidak nyaman.Preston menatap tubuh Livy. Tubuh yang seha
Selesai mandi, Preston naik ke ranjang bersama Livy. Kali ini, Preston tidak mengganggu Livy lagi, melainkan memeluknya dan memejamkan mata untuk tidur.Di depannya adalah wajah pria tampan yang dingin. Jarak mereka sangat dekat. Jantung Livy berdebar kencang.Di tengah kegelapan, Livy bisa merasakan napas Preston yang berangsur tenang. Pada akhirnya, dia pun mengantuk.....Keesokan pagi, Livy bangun dan berangkat ke perusahaan. Hari ini, dia tidak terlambat. Meskipun Preston sudah pergi saat dia bangun, Preston tetap mengatur sopir untuk mengantarnya."Livy!" Begitu Livy duduk di kursinya dan belum sempat melakukan apa pun, tiba-tiba muncul sebuket bunga segar di pelukannya. Bunga mawar yang merah itu terlihat sangat menyala.Namun, Livy tidak suka bunga mawar. Sejak kecil, dia alergi terhadap bunga ini. "Achoo!"Livy bersin dengan keras. Erick pun berpura-pura memberi perhatian. "Kenapa, Livy? Kamu flu ya?"Livy menggosok hidungnya, lalu buru-buru meletakkan bunga mawar itu. "Bukan,
Preston masih duduk di meja kerjanya. Tangannya yang berotot memegang gelas. Suaranya terdengar penuh perhatian. "Kalau ada yang sakit, jangan dipaksakan.""Tenang saja. Kalau aku sakit, aku pasti langsung kasih tahu kamu. Aku nggak mungkin menahannya sendiri. Kamu berutang budi padaku."Suara Sylvia terdengar jernih bak bulu tipis yang melayang di hati Livy. Seketika, Livy merasa geli dan sesak.Livy memegang erat laporan di tangannya, lalu mengetuk pintu."Masuk.""Selamat siang, Pak. Aku datang untuk melaporkan pekerjaan." Livy tersenyum. Ketika melirik Sylvia, senyumannya menjadi agak kaku.Preston yang sedang melihat laptop segera mengangkat kepalanya. "Hm."Perbedaan sikap ini membuat hati Livy makin mencelos. Dia memaksakan diri untuk tidak berpikir yang aneh-aneh dan fokus pada laporannya.Setelah selesai melaporkan, Livy melirik Preston. Preston masih sibuk dengan dokumennya. Pada akhirnya, dia berujar dengan singkat, "Letakkan saja dokumennya."Livy maju dua langkah dan melet
Livy mengepalkan tangannya dengan erat dan hanya bisa berusaha tersenyum murah hati. Dia berkata, "Baiklah. Aku keluar dulu, Pak."Kali ini, Preston tidak menghentikannya lagi. Livy tidak tahu apakah dia merasa kecewa atau merasa lega.Preston tidak mempermasalahkan lagi tentang Erick, tetapi juga tidak peduli pada alergi di tangannya.Setelah kembali ke ruangannya, Livy istirahat sejenak sebelum fokus pada pekerjaannya lagi.Pekerjaan di sore hari cukup banyak. Sherly menyerahkan sebuah proyek baru kepada Livy.Bagi Livy, ini adalah kesempatan baik untuk membuktikan kemampuannya. Kebetulan, kesibukan ini juga bisa membuat Livy melupakan sakit hatinya kepada Preston.Hanya saja, Livy sibuk bekerja hingga pukul 8 malam. Ponsel yang diletakkan di atas meja terus berdering. Livy meliriknya sekilas.Ternyata Preston yang meneleponnya. Setelah diangkat, terdengar suara Preston yang dingin. "Kamu belum pulang?""Pekerjaanku masih ada sedikit yang belum beres. Aku pulang agak malam." Livy men
Livy sudah cukup lelah karena lembur, ditambah lagi gatal-gatal di lengan yang sangat mengganggunya. Seketika, dia gagal menghindari Erick.Ting ... pintu lift tiba-tiba terbuka. Di dalamnya berdiri seorang pria bertubuh tinggi dan tegap.Preston .... Kenapa dia ada di sini? Apa mungkin Preston datang untuk menjemputnya?Begitu pikiran itu muncul, Livy langsung mengenyahkannya.Preston menghampiri dengan setelan rapi. Ekspresinya tampak dingin dan serius. Belum lagi matanya yang suram dan tajam yang tertuju pada tangan Erick."Sepertinya kedua karyawanku ini sangat berdedikasi untuk perusahaan. Kalian lembur sampai semalam ini." Suara Preston terdengar sangat dingin dan menakutkan. Dia tiba di hadapan keduanya, lalu meneruskan, "Tapi, sepertinya kalian nggak mendengarkan peringatanku? Kalau mau pacaran, harus lapor dulu."Livy segera menarik tangannya. "Pak, kami benaran nggak pacaran. Ini ... tadi ....""Tenang saja, Pak. Kami baru selesai lembur. Aku mau ajak Bu Livy makan malam. Kam
Livy mengangkat kepala dan melihat pria di depannya. Ekspresi yang tegang, mata yang tidak menunjukkan sedikit pun kelembutan. Yang ada hanya rasa dingin yang mengerikan."Pak, aku ...." Livy baru saja ingin membuka mulut, tetapi Preston sudah mengambil teh susu jahe aren dari tangannya. Dengan tangan kekarnya, Preston membuangnya ke tong sampah. Tanpa berkata apa-apa, Preston berbalik dan berjalan menuju arah lift khusus."Nggak mau ikut?" Tiba-tiba, Preston berhenti dan menolehkan wajahnya sedikit. Di bawah cahaya lampu koridor, ekspresi dinginnya justru membuatnya makin tampan dan menawan. "Atau ... kamu ingin aku panggil Erick kembali?""Tentu saja nggak!" sahut Livy buru-buru. Kemudian, dia bergegas mengikuti Preston.Di dalam lift yang sempit, Livy mengamati wajah Preston dengan hati-hati. Wajahnya benar-benar suram dan menakutkan. Livy tidak berani berbicara, hanya berusaha sebisa mungkin untuk meringkuk di sudut lift agar tidak mengganggu Preston.Setelah keluar dari lif
Livy bahkan tidak tahu sudah berapa lama dia berdiri di sana, sementara hujan deras di atas kepalanya masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.Sampai akhirnya, tubuhnya semakin lemah. Dia harus bersandar pada dinding di sampingnya sebelum perlahan duduk ke tanah.Dingin. Seluruh tubuhnya terasa sangat dingin, seakan-akan dia dilemparkan ke dalam ruang pembeku.Meskipun begitu, suhu tubuhnya justru terasa sangat tinggi, bahkan napasnya membawa hawa panas.Apakah dia demam? Livy merasa kepalanya pusing. Dengan lemah, dia mengangkat tangan dan menyentuh dahinya. Benar saja, panasnya sudah tidak normal.Ponselnya entah kehabisan baterai atau rusak karena masuk air. Kini, layarnya sudah tidak bisa menyala.Yang bisa Livy lakukan hanyalah memeluk tubuh sendiri dengan putus asa, seolah-olah hanya itu yang bisa memberinya sedikit kehangatan."Cepat pergi!" Di tengah kesadarannya yang samar, Livy kembali mendengar suara satpam.Gerbang besi terbuka, tongkat besi menyentuh tubuhnya. Sa
Petugas keamanan menyeretnya ke depan gerbang, lalu bergegas menutup pintu dan menghalangi pandangannya dari dua orang di dalam sana.Di langit yang gelap, kilatan petir mendadak menyambar dan membelah malam dengan cahaya menyilaukan. Namun, Livy tetap tidak mau menyerah. Dia berteriak ke arah vila, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur deras."Pak Preston! Kumohon, kasih aku kesempatan untuk menjelaskan! Semua ini bukan perbuatanku! Kenapa ... kenapa kamu nggak percaya sama aku?!"Petugas keamanan meliriknya dengan pandangan meremehkan. "Nona, lebih baik kamu cepat pergi. Jangan mempermalukan diri sendiri di sini."Tidak ...! Dia tidak bisa pergi begitu saja! Jika dia tidak bisa menjelaskan semuanya hari ini, Preston pasti akan membencinya seumur hidup.Livy tidak ingin itu terjadi. Dia tidak ingin Preston membencinya. Dia tidak bersalah, semua ini bukan perbuatannya!"Aku nggak akan pergi."Livy menggigit bibirnya erat, menahan giginya yang bergetar karena dingin. "Aku
Dengan panik, Livy langsung mendorong pintu dan buru-buru menjelaskan, "Bukan aku yang melakukannya!"Begitu melihat Livy, tebersit kebencian di mata Sylvia.Diam-diam, dia mencubit pahanya sendiri, membuat dirinya menangis lebih keras. "Bu Livy, ke ... kenapa kamu datang ke sini?""Kamu bahkan tahu di mana aku tinggal, apakah itu berarti kamu sudah menyelidiki semua informasi tentangku? Jadi, foto-foto yang diambil diam-diam itu juga hasil perintahmu?"Dalam artikel berita itu, memang ada beberapa foto yang menunjukkan Preston mengantar Sylvia pulang. Namun, Livy sangat yakin bahwa semua ini sama sekali bukan ulahnya.Isakan tangis Sylvia yang lembut dan menyedihkan menghantam hati Preston.Meskipun dia tidak memiliki perasaan cinta terhadap Sylvia, mereka telah tumbuh bersama sejak kecil. Ditambah dengan rasa bersalah yang dia simpan selama bertahun-tahun, melihat Sylvia menangis membuat hatinya sedikit tersentuh.Tatapannya yang dingin jatuh pada Livy yang tiba-tiba menerobos masuk.
"Kenapa sih? Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu!"Zoey merasa Livy benar-benar tidak tahu berterima kasih. Dengan nada kesal, dia mengumpat, "Kamu sendiri nggak bisa mempertahankan Pak Preston, aku membantumu, tapi kamu malah bersikap begini!""Kamu sadar nggak, bahkan gelar Nyonya Sandiaga saja nggak diakui? Kalau sampai kalian bercerai, kamu bakal keluar tanpa sepeser pun! Asal kamu mau memperbesar masalah ini, bagaimanapun juga, kamu tetap nggak akan dirugikan!"Sebenarnya, Zoey juga tidak benar-benar ingin membantu Livy. Namun, setelah berdiskusi dengan ibunya, mereka menyadari bahwa hanya dengan membantu Livy, mereka bisa mendapatkan keuntungan.Lagi pula, dia sudah memegang kelemahan Livy. Kalau Livy tidak bekerja sama dengannya, dia akan benar-benar habis!"Aku sudah bilang, urusanku bukan urusanmu!"Livy berteriak hingga suaranya hampir serak, "Aku juga nggak pernah ingin jadi Nyonya Sandiaga yang diumumkan ke publik, dan aku nggak butuh orang lain memperlakukanku dengan b
Grup itu adalah grup gosip perusahaan.Sebelumnya, Ivana pernah ingin memasukkan Livy ke dalamnya, tetapi Livy merasa grup itu terlalu ramai dan penuh dengan gosip yang tidak penting. Lagi pula, dia juga tidak tertarik membahas hal-hal seperti itu, jadi dia menolak untuk bergabung.Namun sekarang, setelah jam kerja usai, seseorang mengirimkan pesan yang memicu kehebohan di grup tersebut.Meskipun hanya ada satu orang yang memulai percakapan, Livy sudah cukup terkenal di perusahaan, jadi banyak orang yang ikut berkomentar.[ Pantas saja! Aku pernah beberapa kali melihat Livy naik mobilnya Pak Preston. Lagian, kalian nggak merasa aneh kalau dia bisa naik jabatan secepat itu? ][ Kalau nggak ada sesuatu di belakangnya, aku pasti nggak percaya! Tapi aku nggak nyangka, ternyata dia punya hubungan sama Pak Preston! ][ Aku nggak percaya! Pak Preston itu kaya, tampan, dan luar biasa! Mana mungkin dia tertarik sama wanita seperti Livy? ][ Pokoknya yang jelas, Livy sudah menikah dan suaminya p
Pria itu memiliki proporsi tubuh yang nyaris sempurna. Mantel panjang hitam yang dia kenakan membingkai tubuhnya yang tinggi dengan sangat pas dan menampilkan sosok yang luar biasa gagah."Sayang, kamu ...."Livy ingin memanggil Preston untuk makan bersama, tetapi pria itu justru berjalan mendekat dengan ekspresi dingin. Dia menatap Livy dari atas ke bawah dengan mata hitam pekat yang dipenuhi dengan kejengkelan. Dengan suara marah, dia bertanya, "Apa lagi yang kamu lakukan?""Hah?"Livy tidak mengerti maksudnya, tetapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, tangan besar pria itu sudah mencengkeram bahunya dengan kuat dan menyeretnya ke atas.Cengkeramannya begitu kasar, membuat Livy terpaksa terseret menaiki tangga dengan terburu-buru. Bahkan, karena langkahnya yang terlalu cepat, lututnya terbentur sudut tangga dengan keras.Namun, Preston tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Dia terus menyeret Livy hingga ke kamar, lalu mendorongnya ke sofa dengan kasar."Kamu begitu ingin
Siapa yang peduli? Preston mengernyit. Apakah dia peduli pada Livy?Tangan yang menggenggam gelas tiba-tiba berhenti, lalu dia menuangkan lagi segelas minuman untuk dirinya sendiri dan berkata dengan nada dingin, "Dia cuma istri kontrakku, nggak lebih.""Iya, nih. David, kamu terlalu berlebihan. Bu Livy memang perempuan yang baik, tapi bagaimanapun juga, dia dan Preston berasal dari dunia yang berbeda."Sylvia menyela pembicaraan, lalu mendekati Preston dengan berpura-pura baik dan mengingatkan dengan lembut, "Preston, aku tahu kamu ingin memperlakukan Bu Livy dengan baik. Tapi bagaimanapun juga, dia berasal dari latar belakang yang berbeda dari kita. Kalau kamu terus memberinya barang-barang mewah, itu malah bisa membuatnya merasa terbebani."Perkataan itu membuat Preston sedikit penasaran. "Kenapa?""Karena bagi Livy, barang-barang itu sangat mahal, bahkan satu saja bisa setara dengan gajinya selama bertahun-tahun. Orang seperti dia akan merasa bahwa kesenjangan di antara kalian terl
Kalau begitu, Livy juga jangan berharap hidupnya akan baik-baik saja!"Zoey, kalau mau gila, jangan cari aku!" Livy tidak ingin meladeni Zoey lagi dan segera pergi. Namun, setelah kembali ke kantornya, kelopak mata kanannya terus berkedut. Dia merasa seolah-olah sesuatu akan terjadi.Sebelum pulang, dia naik ke lantai atas untuk mencari Preston dan melaporkan perkembangan proyek. Namun, setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, dia menghubungi Preston lewat telepon."Ada apa?"Di seberang sana, suara Preston terdengar seakan dia sedang berada di tempat hiburan. Ada suara musik samar-samar dan yang lebih menyakitkan, Livy mendengar suara Sylvia yang begitu akrab di telinganya."Preston, bukannya sudah bilang hari ini jangan bahas pekerjaan?" Suara manja Sylvia terdengar cukup jelas, seolah-olah dia menempel di sisi Preston."Aku cuma bicara sebentar," jawab Preston dengan suara rendah, sebelum akhirnya beralih ke Livy, "Bu Livy, kalau soal pekerjaan,
Karena kejadian semalam, Livy hampir terlambat masuk kerja pagi ini. Baru saja dia selesai absen, suara yang sudah lama tidak terdengar kembali menyapanya. "Livy!"Setelah sekian lama tidak bertemu, Zoey tampaknya menjalani hidup yang cukup baik.Pakaian bermerek yang dikenakannya semakin banyak dan di lehernya terlihat bekas merah yang sangat mencolok. Tanda bahwa hubungannya dengan Ansel semakin erat."Ada urusan apa?" Livy meliriknya dengan dingin, tidak ingin membuang waktu untuknya.Namun, Zoey sama sekali tidak merasa tersinggung dan justru berkata dengan percaya diri, "Aku butuh bantuanmu."Livy mengernyit, merasa Zoey benar-benar terlalu tidak tahu malu, lalu menolak mentah-mentah, "Aku nggak ada waktu.""Livy, kamu sok jual mahal apa sih? Apa kamu benar-benar mengira dirimu sudah jadi nyonya besar? Kaki Sylvia sebentar lagi sembuh, 'kan? Aku peringatkan kamu, begitu dia berhasil, kamu pasti akan dibuang sama Pak Preston!"Zoey menghalangi Livy di pintu masuk, kata-kata tajamny