Livy mengangkat kepala dan melihat pria di depannya. Ekspresi yang tegang, mata yang tidak menunjukkan sedikit pun kelembutan. Yang ada hanya rasa dingin yang mengerikan."Pak, aku ...." Livy baru saja ingin membuka mulut, tetapi Preston sudah mengambil teh susu jahe aren dari tangannya. Dengan tangan kekarnya, Preston membuangnya ke tong sampah. Tanpa berkata apa-apa, Preston berbalik dan berjalan menuju arah lift khusus."Nggak mau ikut?" Tiba-tiba, Preston berhenti dan menolehkan wajahnya sedikit. Di bawah cahaya lampu koridor, ekspresi dinginnya justru membuatnya makin tampan dan menawan. "Atau ... kamu ingin aku panggil Erick kembali?""Tentu saja nggak!" sahut Livy buru-buru. Kemudian, dia bergegas mengikuti Preston.Di dalam lift yang sempit, Livy mengamati wajah Preston dengan hati-hati. Wajahnya benar-benar suram dan menakutkan. Livy tidak berani berbicara, hanya berusaha sebisa mungkin untuk meringkuk di sudut lift agar tidak mengganggu Preston.Setelah keluar dari lif
Dengan enggan, Livy mengikuti Preston ke lantai atas. Begitu pintu kamar terbuka, Livy langsung dilemparkan ke tempat tidur oleh Preston.Detik berikutnya, tangan kasar Preston merobek pakaiannya. Panas tubuhnya terasa mengalir deras, aroma maskulin yang pekat menyelinap ke dalam indra penciuman Livy. Gerakan Preston malam ini bahkan lebih kasar dibanding malam sebelumnya.Livy merasa tidak nyaman dan menegang. Dia hanya bisa menatap langit-langit tak berdaya. Dia ingin menangis, tetapi apa gunanya? Air mata tidak akan mengubah apa pun. Bahkan neneknya yang dulu selalu menyayanginya pun telah tiada ....Preston tidak menyadari keanehan Livy. Tindakannya terus berlanjut sampai dia menyadari bahwa sentuhan pada kulit Livy terasa berbeda dari biasanya. Kulitnya tidak selembut sebelumnya, melainkan penuh dengan sesuatu yang aneh.Barulah Preston berhenti dan melepaskan kemeja Livy dengan kasar. Tubuh Livy yang dipenuhi ruam merah langsung terlihat jelas oleh mata Preston.Nada bicara Prest
David segera bereaksi dan tawa di matanya tak bisa disembunyikan lagi. Bahkan, dia mulai menatap Preston dengan ekspresi jahil. "Jadi itu bunga dari pengagum Kak Livy? Wah, Kak Livy menawan banget ya. Buat Kak Preston tertekan saja ....""David, mulutmu terlalu sibuk, ya?" Nada bicara Preston terdengar dingin dan penuh wibawa yang membuat orang bergidik.David segera menutup mulutnya, lalu mulai memasang infus untuk Livy. Setelah selesai, dia menyerahkan salep sambil berkata, "Livy, ini ada dua botol infus dan salep ini. Besok pagi, pasti langsung sembuh!""Terima kasih, Pak David," jawab Livy dengan penuh rasa terima kasih.Namun, David tiba-tiba mengeluarkan sebotol salep kecil lagi dan menyerahkannya pada Preston sambil mengangkat alis. "Kak Preston, kamu harus bantu Kak Livy pakai salep ini."Livy langsung panik saat mendengarnya dan buru-buru berkata, "Nggak usah! Aku bisa melakukannya sendiri ...." Mana mungkin dia merepotkan Preston untuk membantu? Apalagi, suasana hati Preston
Preston memang luar biasa. Saking luar biasanya, sering kali Livy merasa dirinya terlalu tinggi hati telah mencapai posisi sebagai Nyonya Sandiaga.Kalau saja waktu itu bukan karena kesalahan yang tidak disengaja, mereka tidak akan terlibat dalam insiden itu. Posisi Nyonya Sandiaga ini pun jelas tidak akan menjadi miliknya.Kini, wanita yang benar-benar disukai Preston telah kembali ...."Berdiri." Tiba-tiba, suara Preston memecah lamunannya.Livy tercengang. "A ... apa?"Preston meletakkan kotak salep di tangannya ke samping dan mengambil kotak yang tadi diberikan David. Nada bicaranya tetap datar seperti biasa. "Aku akan oleskan salep. Atau kamu yakin ingin membiarkannya tetap bengkak?"Pipinya langsung memerah. Kenapa Preston bisa mengatakan hal seperti itu dengan nada tenang?Tadi malam, Preston sangat kasar. Meski mereka hanya melakukannya dua kali di sofa, waktunya cukup lama. Terlebih lagi, gerakannya begitu kasar hingga Livy merasa sakit bahkan saat pergi ke kamar mandi pagi in
Livy berbalik dengan kaku dan melihat seorang wanita bernama Sylvia duduk di kursi roda yang didorong seseorang mendekati mereka."Sylvia, kamu datang ya," ujar Tristan dengan nada penuh kasih. Dia menatap Sylvia dengan penuh perhatian dan sedikit menegur, "Tubuhmu kurang sehat. Kalau ada waktu, lebih baik istirahat di rumah. Sering-sering datang ke tempatku apa nggak melelahkan?"Sylvia memberikan senyum lembut sambil memberi isyarat pada pelayan di belakangnya untuk menyerahkan hadiah yang telah dipersiapkan. "Pak, kamu nggak boleh bilang begitu. Sebagai generasi muda, aku bahkan belum sempat mengunjungimu sejak kembali ke negara ini. Orang-orang pasti akan mentertawakanku.""Aku tahu kamu suka teh, jadi aku sengaja meminta teman untuk membawakannya. Teh ini baru saja sampai, aku sudah langsung bawa ke sini. Teh ini bagus untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran."Wajah Tristan menunjukkan senyum puas, dia mengangguk dan kembali berbicara dengan Sylvia dengan nada penuh perhatian."
Livy benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Tristan. Dia takut jika dia mengatakan sesuatu, Tristan akan curiga.Secara refleks, Livy melirik ke arah Preston yang tetap tenang seperti biasa. Dengan gerakan elegan, dia mengangkat cangkir kopi di depannya dan menyeruputnya perlahan sebelum berbicara dengan nada datar."Belakangan ini banyak urusan di perusahaan. Mengenai pernikahan, kita bicarakan nanti saja."Tristan langsung naik pitam. "Urusan perusahaan sepenting apa dibandingkan sama Livy? Kamu menikahinya begitu saja, tanpa bulan madu, tanpa acara! Apa kamu pikir aku yang akhirnya punya menantu, akan membiarkannya disembunyikan begini?"Ekspresi Preston tetap dingin. Jarinya yang panjang dan ramping menyentuh pinggiran cangkir, lalu dia menjawab dengan nada rendah."Livy nggak punya latar belakang apa pun. Kalau kita adakan pesta pernikahan besar-besaran, kira-kira berapa banyak orang yang bakal nggak suka sama menantumu ini? Kalau dia sampai terluka atau dirend
Bayangan Preston menghilang dari pandangan Livy dengan cepat. Tristan menghela napas kesal sambil menggerutu, "Anak itu, kenapa sama sekali nggak tahu sopan santun!"Dia segera berusaha menenangkan Livy dengan nada lembut, "Livy, jangan marah, ya. Preston kelihatan khawatir sama Sylvia itu ada alasannya .... Sylvia pernah menyelamatkan hidupnya dan kakinya yang lumpuh itu juga karena Preston. Jadi Preston merasa bersalah. Jangan salah paham."Hanya rasa bersalahkah?Livy tidak yakin.Sebelum Sylvia muncul, meskipun Preston tidak terlalu baik padanya, setidaknya sikapnya cukup sopan dan menghormati. Namun sejak Sylvia kembali, segalanya berubah.Dengan susah payah, Livy memaksakan senyum sambil mengaduk nasi di piringnya. Matanya terasa panas, tetapi dia menahan diri agar tidak menangis."Ayah, aku boleh nanya tentang masa lalu mereka nggak?""Masa lalu mereka, ya ...."Tristan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang."Preston dan Sylvia itu tumbuh bersama, mereka seperti saudara s
"Mana mungkin aku nggak mau ikut? Lagian, ini kesempatan buat makan gratis!" jawab Ivana tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada kesal, "Aku nggak akan biarkan kamu makan malam sendirian sama Erick.""Livy, aku sekarang ini adalah penggemar berat pasangan kamu sama Bendy! Tenang saja, aku akan melindungi kalian berdua!"Livy hanya bisa tertawa kecil, bingung harus bagaimana menanggapinya.Dia tahu Ivana selalu salah paham tentang hubungannya dengan Bendy. Sudah dua kali dia mencoba menjelaskan, tapi tidak ada gunanya. Lagi pula, Bendy memang sering mewakili Preston ketika Preston tidak bisa hadir. Akibatnya, penjelasannya jadi sulit dipercaya.Meski begitu, Livy merasa lega Ivana bersedia ikut. Setidaknya, dia tidak perlu menghadapi Erick sendirian malam ini. Setelah mengobrol sebentar dengan Tristan, Livy akhirnya pamit pergi sekitar pukul empat sore.Ketika meninggalkan rumah besar Keluarga Sandiaga, Livy tanpa sadar melirik ponselnya lagi. Sejak siang tadi, setelah Preston pergi be
Astaga, situasi macam apa ini?Telinga Livy terasa panas membara. Tanpa bisa dikendalikan, pikirannya mulai dipenuhi gambaran-gambaran yang tidak senonoh.Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan mesum dari Preston. Dia mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan dan mulai mencari informasi tentang Mathias.Informasi tentang pria itu cukup terbatas di internet. Katanya, dia adalah pria paruh baya yang merintis usahanya dari nol dan dikenal memiliki cara bicara yang baik.Namun, ada juga beberapa rumor negatif yang menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, dia diam-diam berselingkuh dari istrinya dan memiliki banyak wanita di luar.Livy tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Yang bisa dilakukan hanya mempersiapkan diri, mempelajari berbagai hal tentang musik, catur, kaligrafi, dan lukisan.Meskipun dia tahu usahanya mungkin tidak terlalu berpengaruh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mempersiapkan apa pun.Setelah sibuk sepanjang sore, Livy akhirnya tiba di r
"Livy, ke mana saja tadi? Kenapa lama sekali tanpa bilang apa-apa ke kami? Jangan-jangan kamu malas-malasan?"Pria paruh baya itu berdiri dengan perut buncitnya. Meskipun gemuk, dia tetap berusaha memakai jas seperti orang lain. Namun, penampilannya malah seperti agen asuransi yang sedang mengalami krisis paruh baya.Livy mengerutkan keningnya sedikit dan menjelaskan, "Pak Preston mencariku, ada beberapa hal yang harus disampaikan.""Oh, ternyata Pak Preston ...." Umay menyipitkan matanya, tampak sedikit mengejek. "Ya, wajar saja Pak Preston masih memperhatikanmu. Bagaimanapun, dulu kamu bekerja di bawahnya.""Tapi, aku harap wanita sepertimu nggak langsung berpikir macam-macam hanya karena seorang pria bersikap baik sedikit kepadamu. Ingat, Pak Preston sudah punya istri. Lebih baik kamu realistis saja dan pertimbangkan untuk ....""Kak Umay, sebenarnya ada urusan apa mencariku?" Melihat pria menyebalkan di depan berbicara semakin tidak sopan, Livy buru-buru memotong ucapannya."Nggak
Livy tertegun. Preston ... apa maksudnya?Preston kembali berkata, "Dia cuma keponakanku, sedangkan kamu adalah istriku."Oh, jadi begitu. Livy mengerti sekarang. Bagi Preston, statusnya sebagai istri memang sedikit lebih tinggi daripada status seorang keponakan. Namun, hanya sebatas itu. Hanya karena saat ini, dia masih menjadi istri Preston."Lebih baik nggak usah," ujar Livy setelah berpikir sejenak. "Aku juga jarang punya waktu untuk memakai tas seperti ini. Kalau cuma disimpan di rumah, rasanya akan terbuang sia-sia.""Biarkan saja terbuang sia-sia," kata Preston dengan tidak acuh. Baginya, uang seperti ini hanyalah jumlah kecil. Jika istrinya menyukai sesuatu, dia akan membelinya tanpa peduli apakah benda itu akan terpakai atau tidak."Tapi ...." Livy masih ingin berkata sesuatu, tetapi Preston sudah menariknya ke dalam pelukan."Aku memberikan hadiah untuk istriku, tapi kamu malah menolaknya berulang kali? Kamu pikir aku miskin sampai nggak sanggup membelikanmu sesuatu sekecil i
"Mana mungkin!" Livy buru-buru melambaikan tangannya. "Di departemen sekretaris masih ada banyak senior. Kamu juga termasuk salah satu senior buatku. Jangan bicara seperti itu.""Ya, ya, aku paham." Ivana buru-buru menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Aku serius kali ini. Pak Preston mencarimu, dia suruh kamu ke atas.""Kenapa kamu yang mencariku?" Livy sedikit terkejut. Biasanya kalau ada urusan seperti ini, Bendy yang datang menemuinya.Ivana menjawab, "Sepertinya Pak Bendy ada urusan mendadak. Dia cuma sempat mampir sebentar ke departemen sekretaris untuk menyampaikan pesan. Sudahlah, Livy, cepat naik ke atas. Siapa tahu Pak Preston berubah pikiran dan mau memindahkanmu kembali ke departemen sekretaris!"Tidak mungkin, 'kan? Semalam Preston sudah mengatakan bahwa dia tidak akan memindahkannya kembali sebelum misinya selesai.Dengan penuh rasa penasaran, Livy segera mengetuk pintu kantor Preston."Masuk."Saat mendorong pintu, Livy melihat Preston sedang tidak bekerja. Pria itu memeg
"Hah?" Livy sempat mengira dirinya salah dengar. Namun, saat melihat Preston menunggu dengan ekspresi seperti ingin dilayani, dia yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.Membantu dia mandi? Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan mata membelalak.Sebagian besar pakaiannya sudah terlepas, memperlihatkan tubuh ramping dengan garis otot yang tegas. Di bawah cahaya lampu, sosok itu terlihat begitu mencolok hingga membuat jantungnya berdebar.Ditambah lagi dengan wajah Preston yang dingin, tegas, dan sempurna, semuanya memberikan dampak visual yang sangat kuat.Sejak kejadian itu, sebenarnya sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali mereka melakukannya. Seorang wanita ... juga memiliki kebutuhannya sendiri.Livy berdeham, mencoba menahan rasa malu yang merayap di hatinya. Dia terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia masih membutuhkan bantuan pria ini.Sambil menggigit bibirnya, dia mulai membuka kancing kemeja Preston. Sesudah itu, dia bergerak turun ke celana. Ketika tiba giliran
Preston masih punya sedikit kendali atas dirinya sendiri. Lagi pula, setelah 2 hari berturut-turut, tubuh Livy pasti masih butuh waktu untuk beristirahat dengan baik."Kalau begitu ... 6 juta?" Dengan berat hati, Livy menambahkan 2 juta lagi. Wajahnya pun terlihat tegang. "Benaran nggak bisa lebih lagi? Bonusku sedikit banget."Terakhir kali, dia hanya mendapat 1 juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu hidangan Preston."Beberapa hari lagi, bagian keuangan akan mentransfer sisa bonusmu yang sebelumnya. Jadi, kamu nggak bakal sampai kekurangan uang. Lagi pula, bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Punya uang tapi nggak dipakai. Kamu bodoh ya?" Nada suara Preston terdengar agak pasrah.Bonus sebelumnya? Livy kaget dan baru teringat. Dia buru-buru bertanya, "Masalah dengan Sherly itu ulahmu ya?"Meskipun kemungkinan besar jawabannya adalah iya, dia tetap ingin memastikan. "Hmm, aku menyuruh Bendy menyelidikinya.""Bonusmu ternyata disalahgunakan oleh Sherly, jadi aku meminta bagia
Jantung Livy seakan-akan berhenti berdetak sejenak. Dia awalnya hanya ingin bertingkah manja untuk mencari jalan pintas, tetapi Preston malah menanggapinya dengan serius.Setelah tertegun sesaat, Livy tiba-tiba merasa dirinya seperti seorang badut. Benar juga, mereka ini pasangan suami istri macam apa?Mereka bukanlah pasangan dalam arti yang sesungguhnya. Jadi, Preston sama sekali tidak punya kewajiban untuk berbagi rahasia bisnis dengannya. Bisa jadi, dia justru sedang menjaga jarak dan tidak ingin berbagi dengannya."Kenapa diam?" Melihat Livy termenung, Preston semakin kesal dan kembali bertanya, "Apa kamu punya sedikit perasaan untukku?""Kenapa nggak? Tentu saja punya." Livy tidak mengerti kenapa pria ini tiba-tiba marah. Tadi, dia sempat mengira Preston tersinggung karena dirinya terlalu percaya diri, tetapi sekarang kenapa justru bertanya soal perasaan?Apakah dia ingin Livy membujuknya? Livy tidak yakin. Atau Preston sedang menguji perasaannya yang sebenarnya?Pada akhirnya, L
Tadi dia ... sudahlah.Preston berdeham pelan, lalu sedikit mengubah topik pembicaraan. "Soal barbeku itu, akhir pekan ini kamu bawa aku ke sana.""Hah?" Livy tampak terkejut dan buru-buru mengingatkan, "Tempat itu cukup terpencil dan semua mejanya di luar ruangan. Aku takut kamu bakal kurang nyaman makan di sana.""Kamu bisa makan, kenapa aku nggak bisa?" balas Preston dengan santai."Baiklah."Lagi pula, Preston yang minta sendiri. Jangan sampai nanti setelah diajak, dia malah menunjukkan ekspresi tidak senang. Itu pasti akan membuat Livy kesal.Sambil menuangkan segelas air lagi untuk dirinya sendiri, Livy menyadari tatapan yang dilayangkan Preston kepadanya. Dengan sigap, dia juga menuangkan segelas air untuk pria itu.Preston menerima air putih yang diberikan Livy, lalu tiba-tiba berkata, "Aku dengar kamu berhasil mengamankan kerja sama ini hanya dalam 5 hari.""Mm ... sebenarnya masih banyak yang belum aku pahami, jadi butuh waktu cukup lama. Tapi, ya sudahlah, setidaknya ini lan
Ryan berbicara dengan pelan, tetapi kata-katanya mengandung makna menyindir jika didengar dengan lebih saksama. Namun, kata-kata itu juga terdengar sedang mengeluh. Ryan sedang mengeluh padanya?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Livy langsung menepis pemikiran itu dan berpikir itu pasti hanya sekadar mengeluh biasa saja. Ryan bisa mengajak seseorang dengan mudah, tetapi dia malah menolak undangannya tiga kali. Oleh karena itu, wajar saja jika Ryan mengeluh."Maaf, aku benar-benar agak sibuk," jelas Livy dengan suara pelan."Nggak masalah, aku sudah memaafkanmu," kata Ryan sambil tersenyum dan tatapannya terlihat santai, seolah-olah bisa menarik perhatian siapa pun yang melihatnya."Selesai!"Setelah mengambil beberapa foto lagi, Hesti segera mengembalikan ponselnya pada Ryan dan berkata dengan semangat, "Tuan Ryan, kamu dan Livy benar-benar terlihat sangat serasi, aku sampai nggak tahan untuk mengambil beberapa foto lagi.""Nggak masalah, terima kasih," kata Ryan sambil kembali menge