Ekspresi Livy langsung berubah muram. Apa maksud Erick? Benar-benar menjijikkan!Livy bahkan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi jika Ivana tidak ikut malam ini. Erick mungkin akan melakukan sesuatu yang tidak senonoh.Livy ingin segera pergi, tetapi mengingat mereka masih harus bekerja sama untuk proyek berikutnya, dia terpaksa menahan diri. Untungnya ada Ivana bersamanya, jadi Erick pasti tidak akan berani macam-macam.Kini, Livy hanya ingin segera menyelesaikan makan malam dan pergi dari tempat itu."Livy, jangan salah paham. Kamu kelihatannya nggak senang ...." Erick mencoba menjelaskan dengan nada pura-pura tulus."Aku milih tempat ini hanya karena steiknya enak. Itu ranjang bulat memang bawaan ruangan, bukan aku sengaja milih. Selain itu, aku sudah beli tiket bioskop. Setelah makan malam, aku pikir kita bisa nonton bareng ...."Ivana langsung memotongnya, "Malam ini kami punya jadwal sesama wanita, Erick! Kalau kamu mau ajak Livy yang sibuk ini, antre dulu, ya! Kami s
"Baik, Pak Preston."Telepon terputus dan Sylvia menampilkan senyum tipis penuh kebanggaan. Namun, dia buru-buru menyembunyikannya dan mengganti ekspresinya menjadi cemas, "Preston, ada apa sama Bu Livy?""Nggak apa-apa," jawab Preston dingin.Namun, di dalam hatinya, Preston sedang sangat kesal. Terutama ketika memikirkan bagaimana Livy terus-menerus melanggar peringatannya dengan bertemu Erick. Amarah yang membara di hatinya sulit untuk diredam.'Dia benar-benar menganggap peringatanku seperti angin lalu!' batinnya."Sudahlah, Preston, jangan marah sama Bu Livy," Sylvia mencoba meraih lengannya, tapi Preston melepaskan diri secara halus.Meskipun matanya memancarkan sedikit kekecewaan, Sylvia tetap berbicara dengan nada lembut dan hangat, "Bagaimanapun, pernikahan kalian terlalu buru-buru. Livy itu cantik sekali, wajar saja kalau banyak pria menyukainya. Jangan terlalu dipikirkan.""Jangan bahas dia," potong Preston dengan suara dingin.Melihat Preston yang semakin kesal, Sylvia memi
"Siapa kamu ...?" Kata-kata Erick terhenti di tenggorokannya.Livy yang setengah sadar, mengangkat kepalanya dari pelukan Erick. Dengan pandangan kabur, dia melihat sosok seorang pria di pintu yang mengenakan setelan jas.Apakah itu Preston?Livy mencoba untuk melihat lebih jelas, berharap itu adalah Preston. Namun, Erick lebih cepat mengenalinya dan langsung berseru, "Pak Bendy, kenapa Anda ada di sini?!"Bendy ...?Bukan Preston ....Hati Livy dipenuhi perasaan kecewa yang tak dapat dijelaskan."Uh, panas sekali ...."Panas yang membakar dari dalam tubuhnya semakin intens, membuat Livy tanpa sadar menarik-narik pakaiannya sendiri untuk mencari sedikit kelegaan.Erick yang masih mencoba mengambil kendali situasi, berkata, "Pak Bendy, Anda lihat sendiri, Livy lagi nggak enak badan. Aku cuma mau bawa dia pulang dulu ...."Bendy dengan cepat berjalan mendekat. Melihat wajah Livy yang memerah, dia segera memahami situasinya. Berani sekali Erick menggunakan obat seperti itu pada istri Pres
Namun pada detik berikutnya, terdengar suara pintu tertutup. Ketika Bendy menoleh, dia mendapati sofa tempat Livy tadi duduk sudah kosong. Lampu di kamar mandi menyala dan bayangan tubuh seseorang samar-samar terlihat dari balik pintu kaca.Dia segera membalikkan badan untuk menghindarinya dan bertanya dengan hati-hati, "Bu Livy, Anda sedang apa di sana?""Jangan pedulikan aku. Aku cuma berendam sebentar dengan air dingin," jawab Livy dengan suara lemah.Dia menenggelamkan dirinya ke dalam air dingin yang menusuk. Rasa dingin itu membantu sedikit meredakan panas membara dalam tubuhnya, meski tidak sepenuhnya.Namun, rasa gatal yang menyiksa dari dalam tubuhnya masih terus melahapnya. Livy hanya bisa menggigit bibirnya dan mencoba bertahan.Di tempat lain, Preston yang baru saja menutup telepon, merasa tidak tenang. Dia bangkit dari tempat duduknya. Namun saat itu juga, Sylvia yang berbaring di tempat tidur rumah sakit tiba-tiba membuka matanya dan berteriak, "Jangan!"Sylvia terlihat
"Nggak ... nggak apa-apa. Kami ... sementara ini memang belum berencana punya anak."Livy memaksakan senyum, mencoba terlihat seolah tidak peduli, meskipun hatinya berkecamuk. Dalam kenyataannya, dia mulai sangat menginginkan seorang anak.Sejak neneknya meninggal, dia tidak lagi memiliki keluarga. Karena itu ... dia benar-benar ingin memiliki seorang anak sebagai penerusnya.Namun, dia tahu, dirinya dan Preston tidak cocok untuk hal itu. Dia tidak punya hak untuk melahirkan anak Preston. Preston juga tidak akan pernah mengizinkannya."Kalau begitu, masih ada banyak waktu untuk memulihkan kondisi tubuhmu. Kamu masih muda, nikmatilah beberapa tahun lagi. Tapi kalau ada situasi seperti ini lagi, kenapa nggak kasih tahu Preston saja? Sebagai suamimu, sudah seharusnya dia membantumu dalam keadaan seperti ini ....""Keluar," sela Preston dengan dingin. Ekspresinya berubah suram, memberikan tekanan yang menakutkan. David langsung terdiam dan buru-buru meninggalkan ruangan.Sekarang hanya Liv
Dengan enggan, Livy menerima perawatan infus di tangan yang lain, sementara David membersihkan dan merawat luka di tangannya dengan cekatan."Bukannya aku mau ngomel, Pak Preston. Aku tahu kamu mungkin terburu-buru, tapi kamu nggak bisa mengabaikan kondisi Bu Livy, 'kan?"David bercanda sambil melirik Preston. "Aku baru saja turun untuk minum teh sebentar, kalian sudah perang besar di atas sini.""Kapan tubuhnya bisa pulih?" Preston memotong dengan nada dingin, tampak tidak tertarik dengan lelucon David.David melirik Livy yang langsung mengalihkan pandangan dengan canggung. "Dua hari. Selama dua hari ini, dia harus minum teh jahe dan memulihkan diri perlahan-lahan. Selebihnya, tinggal penyesuaian."Setelah menyelesaikan perawatan pada tangan Livy, David pun berdiri. Preston hanya menggumam tanpa melihat Livy lagi, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan.David merasa sedikit canggung, kemudian menggaruk kepalanya sambil melirik Livy dan pintu yang baru saja tertutup. Dengan suara kecil
Rivano berbicara panjang lebar, tanpa menyadari bahwa mata Livy sudah memerah dan penuh emosi. Jika ini adalah percakapan tatap muka, Rivano pasti bisa melihat ada sesuatu yang tidak beres.Namun, karena pembicaraan ini melalui telepon, dia hanyut dalam impiannya yang ambisius tentang masa depan tanpa memedulikan perubahan suasana hati Livy."Baiklah, aku akan perhatikan. Aku akan berusaha membantu Keluarga Pratama bangkit kembali dan buat Grup Pratama semakin besar," ujar Livy dengan nada datar.Kata-kata itu langsung membuat Rivano tertawa terbahak-bahak sambil memuji Livy sebagai anak yang berbakti.Livy menutup telepon, lalu memegangi dadanya. Butuh beberapa saat untuk menenangkan diri. Saat itu, pintu kantor mulai terbuka, rekan-rekan kerja perlahan masuk satu per satu.Ivana membawa dua cangkir kopi dan menghampiri Livy. Dia memeriksa Livy dengan saksama, lalu menghela napas lega. "Livy, kamu sudah baikan, 'kan?"Livy tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja. Kamu gimana? Ada masalah
Wajah Livy seketika memucat. Preston masih marah.Jika Preston tidak ingin melihatnya di rumah, itu masih bisa dimaklumi. Namun sekarang, dia bahkan tidak mau berhadapan dengan Livy di kantor.Livy menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. "Aku mengerti."Setelah kembali ke ruangannya, Livy duduk di meja kerjanya. Dia menenggak beberapa teguk kopi, tetapi pikirannya tidak bisa fokus sama sekali pada layar komputer di depannya."Livy, aku punya kabar baik!"Ivana mendekat dengan antusias. "Erick dipindahkan dari posisinya!""Apa?"Livy terdiam sejenak, tidak langsung memahami maksudnya. "Dipindahkan ke mana?""Aku juga nggak tahu. Barusan aku dengar dari Bu Sherly. Katanya orang yang akan jadi mitramu minggu ini akan segera datang.""Kabarnya, Erick melakukan kesalahan besar dalam salah satu tugasnya, dan Pak Preston sendiri yang memindahkannya ke cabang. Kalau dia melakukan kesalahan lagi, dia akan langsung dipecat ...."Ivana terlihat sangat senang."Itu memang kabar baik," ujar Livy
Livy sama sekali tidak menyangka Stanley bisa sehina itu.Livy bahkan masih berpikir untuk mencari cara menjelaskan hubungannya dengan Stanley, tetapi apa yang didengarnya membuat darahnya mendidih. Dengan panik, Livy berteriak, "Stanley, jangan mengada-ada!""Aku nggak mengada-ada!" Stanley kini sudah kehilangan akal sehat. Satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan menjatuhkan Livy.Meski dia muak dengan Chloe yang sibuk mencari pria model dan selalu bersikap seperti putri, Stanley mengingat bagaimana Livy dulu begitu lembut, perhatian, dan selalu ada untuknya. Jelas, Livy jauh lebih baik dibanding Chloe dalam banyak hal.Namun, Livy tidak memiliki status sosial seperti Chloe. Selain itu, Chloe punya hubungan dengan Keluarga Sandiaga. Jika dia sampai merusak hubungan ini, bisnis keluarganya yang kecil itu pasti akan hancur total.Setelah mempertimbangkan semuanya, Stanley memutuskan untuk terus menyalahkan Livy."Paman Preston, aku dan Livy memang pernah berpacaran. Kam
Setelah berkata demikian, Stanley tiba-tiba meraih tangan Livy.Seolah tersentuh sesuatu yang menjijikkan, Livy buru-buru melepaskan tangannya. Dia berdiri dengan tegas dan menatap Stanley dengan penuh amarah."Stanley, aku sudah bilang dengan sangat jelas. Hubungan kita sudah benar-benar selesai. Mulai sekarang, hiduplah dengan Chloe dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!""Livy, apa kamu masih marah?" tanya Stanley sambil memaksakan senyuman. Dia tiba-tiba mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.Sebelum Livy sempat bereaksi, Stanley sudah berlutut dengan satu kaki di hadapannya."Livy, dulu kamu pernah marah karena selama bertahun-tahun kita bersama, aku nggak pernah melamarmu. Sekarang aku sadar betapa salahnya aku. Hubunganku dengan Chloe adalah sebuah kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal. Bisa nggak kita memulai semuanya dari awal?""Stanley, kamu gila, ya?!" Livy benar-benar panik. Dia mencoba menarik Stanley untuk berdiri.Namun, tepat pada saat itu, sebuah suara ding
Sylvia memesan restoran mewah di dalam pusat perbelanjaan.Livy tahu restoran ini sangat terkenal. Tempat seperti ini memerlukan reservasi jauh-jauh hari dan harganya juga sangat mahal. Restoran ini sering dianggap sebagai tempat yang eksklusif.Hanya beberapa hidangan saja di restoran ini sudah setara dengan gajinya selama sebulan."Livy, kamu jarang sekali punya kesempatan makan di tempat sebagus ini. Jadi, pesan saja apa yang kamu mau. Anggap ini pengalaman langka buatmu," ujar Sylvia sambil perlahan menyesap air hangat. Nada bicaranya penuh sindiran dan merendahkan.Bagi Sylvia, Livy hanyalah gadis tanpa latar belakang yang tidak pantas berada di tempat seperti ini.Livy tahu Sylvia sengaja meremehkannya. Namun, wajah Livy tetap tenang. Dia sudah terbiasa dengan perilaku Sylvia yang selalu tampak manis di luar tetapi penuh racun di dalam.Livy melirik jam di pergelangan tangannya. Jika makan siang ini selesai, waktunya akan bertepatan dengan jam pulang kerja. Dia hanya perlu bertah
"Nggak perlu. Selain itu, Bu Livy adalah orang yang sangat penting bagimu. Aku ingin menjalin hubungan baik dengannya," kata Sylvia dengan tenang. "Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk bergaul dengan Bu Livy.""Pak Preston, sebenarnya aku punya jadwal lain sore ini. Bu Sylvia jelas bisa ...." Livy mencoba menyisipkan penjelasan, berharap bisa menyampaikan keinginannya untuk kembali bekerja.Namun, Preston tampaknya tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah dingin dan suaranya menjadi ketus, "Livy, pekerjaanmu hari ini adalah menemani Sylvia. Kalau kamu nggak mau bekerja di Grup Sandiaga, kamu bisa langsung mengundurkan diri.""Pak Preston, bukan begitu, aku hanya ingin tetap di kantor sore ini ...." Livy berusaha menjelaskan dengan penuh perjuangan.Namun, Sylvia sudah mulai bertindak manja. Dia meraih ujung jas Preston dan memohon dengan nada lembut, "Preston, peluk aku ke mobil, ya.""Baik."Begitu ucapan itu dilontarkan, Preston langsung membun
Ekspresi Livy langsung berubah.Sylvia jelas bukan meminta untuk "dibantu", tetapi ingin Livy menggendong Sylvia yang beratnya hampir sama dengan dirinya ke dalam mobil! Selain itu, Livy sama sekali tidak berniat meremehkan Sylvia hanya karena kondisinya."Bukan begitu, Preston. Aku nggak pernah meremehkan Sylvia ...," jelas Livy dengan tergagap.Namun, entah apa yang dikatakan Preston di telepon, mata Sylvia yang sebelumnya memerah karena berpura-pura menangis, kini perlahan-lahan kembali cerah. Meski begitu, nadanya tetap terdengar tersedu-sedu."Preston, aku tahu. Kamu nggak perlu menghiburku. Demi kamu, aku nggak pernah menyesal. Tapi aku nggak ingin jadi beban siapa pun. Kalau kamu juga merasa aku merepotkan, aku nggak akan muncul lagi di hadapanmu."Tubuh Livy terasa dingin seketika. Dia mendengar percakapan Sylvia yang sengaja dibuat agar terdengar olehnya. Suara Preston terdengar jelas dan tegas dari telepon."Sylvia, kamu nggak akan pernah jadi beban bagiku. Jangan menangis la
"Kelilingi semua bagian saja, ya. Maaf merepotkan Bu Livy untuk mendorongku. Oh, ya, setelah selesai mengunjungi Grup Sandiaga, sore ini akum au jalan-jalan juga. Jadi, aku perlu Bu Livy menemaniku."Apa? Mau jalan-jalan pula?Livy tetap berusaha sabar dan mengingatkan dengan nada sopan, "Bu Sylvia, tugasku dari Pak Preston cuma menemanimu berkeliling Grup Sandiaga. Untuk jalan-jalan, kamu mungkin bisa mengajak teman atau sahabatmu."Sylvia tertawa kecil dengan nada menyindir, "Sepertinya aku tahu kenapa Bu Livy nggak bisa naik ke posisi yang lebih tinggi. Bahkan maksud tersirat dari atasan pun nggak bisa dipahami.""Maksud Preston adalah hari ini pekerjaanmu adalah menemaniku. Atau ... apakah aku perlu menelepon Preston sekarang untuk memastikannya?""Nggak perlu," jawab Livy cepat. Dia tahu, jika Sylvia benar-benar menelepon Preston, hasilnya hanya akan membuat Preston berpihak pada Sylvia. Jika itu terjadi, Livy hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.Dengan senyum terpaksa, Livy
Untuk sesaat, seisi ruangan itu sunyi senyap. Livy berdiri perlahan, pandangannya tanpa sadar tertuju pada kedua orang yang baru saja masuk. Tebersit rasa getir yang samar di dadanya."Preston, jadi ini departemen sekretaris, ya? Kelihatannya memang bagus." Suara Sylvia terdengar begitu lembut dan memikat hingga semua orang yang mendengarnya merasa tersentuh.Kalau saja Livy tidak tahu Sylvia pernah sengaja mencoreng namanya sebelumnya, mungkin dia juga akan menganggap Sylvia sebagai wanita yang anggun dan penuh kelembutan."Hmm, ada delapan orang di sini, mereka bertugas menangani berbagai urusan," jelas Preston dengan nada datar. "Apa ada tempat lain yang ingin kamu lihat?""Tentu saja ada," jawab Sylvia dengan senyuman manis. Dia berkedip lembut dengan tatapan yang tampak begitu pengertian."Aku sudah lama nggak kembali ke negara ini, jadi belum sempat benar-benar melihat-lihat Grup Sandiaga. Tapi aku tahu kamu sibuk, Preston. Aku nggak bisa terus merepotkanmu. Gimana kalau aku menc
Nicky, Stanley ….Preston tidak percaya bahwa Livy tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka!"Livy."Mendengar namanya tiba-tiba dipanggil Preston, Livy menoleh. "Ada apa?" tanyanya."Ada sesuatu yang sebaiknya kamu akui sendiri terlebih dulu." Tatapan Preston sangat tajam seolah-olah bisa menebak isi pikiran orang.Livy tiba-tiba merasa bersalah. Setelah memikirkannya dengan saksama sejenak, dia berkata dengan tulus, "Sayang, aku nggak mengerti apa maksudmu."Mau terus terang apaan? Dia tidak pernah melakukan apa pun sama sekali. Sebaliknya, justru Preston yang terus menerus berlari ke arah Sylvia. Meski mereka hanya dalam hubungan kontrak, bukankah Preston seharusnya memberitahunya?Setidaknya katakan bahwa hubungan mereka dengan Sylvia akan segera berakhir. Dengan begitu, Livy bisa segera menarik kembali perasaan yang seharusnya tidak dia miliki. Bukan seperti sekarang, terus terombang-ambing antara rasa sakit dan momen-momen kehangatan yang diberikan Preston.....Hari Senin t
Ekspresi Preston tetap dingin tanpa emosi. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti menghujam tepat ke titik lemah Bahran.Pernikahan bisnis yang dulu dijalani Bahran dengan istrinya tidak dilandasi cinta. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka hanya menghasilkan seorang putri.Meski demikian, latar belakang istrinya cukup kuat, sehingga dia memiliki watak yang keras dan sulit dihadapi. Setiap ulah Bahran di luar rumah selalu sampai ke telinganya, dan setiap kali hal itu terjadi, pasti diikuti oleh pertengkaran besar."Preston, kamu ini terlalu ikut campur!" Bahran yang merasa harga dirinya diinjak, mulai kehilangan kendali.Dengan nada penuh amarah, dia berkata, "Kenapa berpura-pura di depanku? Kamu dan Livy sama sekali nggak punya cinta yang sebenarnya! Aku cuma ngasih tahu Livy cara terbaik untuk mengamankan posisinya, yaitu dengan punya anak. Sama seperti ibumu dulu. Setidaknya, dia mendapatkan sesuatu, bukan?"Kata-kata itu langsung menyulut kemarahan Preston. Aura din