"Baik, Pak Preston."Telepon terputus dan Sylvia menampilkan senyum tipis penuh kebanggaan. Namun, dia buru-buru menyembunyikannya dan mengganti ekspresinya menjadi cemas, "Preston, ada apa sama Bu Livy?""Nggak apa-apa," jawab Preston dingin.Namun, di dalam hatinya, Preston sedang sangat kesal. Terutama ketika memikirkan bagaimana Livy terus-menerus melanggar peringatannya dengan bertemu Erick. Amarah yang membara di hatinya sulit untuk diredam.'Dia benar-benar menganggap peringatanku seperti angin lalu!' batinnya."Sudahlah, Preston, jangan marah sama Bu Livy," Sylvia mencoba meraih lengannya, tapi Preston melepaskan diri secara halus.Meskipun matanya memancarkan sedikit kekecewaan, Sylvia tetap berbicara dengan nada lembut dan hangat, "Bagaimanapun, pernikahan kalian terlalu buru-buru. Livy itu cantik sekali, wajar saja kalau banyak pria menyukainya. Jangan terlalu dipikirkan.""Jangan bahas dia," potong Preston dengan suara dingin.Melihat Preston yang semakin kesal, Sylvia memi
"Siapa kamu ...?" Kata-kata Erick terhenti di tenggorokannya.Livy yang setengah sadar, mengangkat kepalanya dari pelukan Erick. Dengan pandangan kabur, dia melihat sosok seorang pria di pintu yang mengenakan setelan jas.Apakah itu Preston?Livy mencoba untuk melihat lebih jelas, berharap itu adalah Preston. Namun, Erick lebih cepat mengenalinya dan langsung berseru, "Pak Bendy, kenapa Anda ada di sini?!"Bendy ...?Bukan Preston ....Hati Livy dipenuhi perasaan kecewa yang tak dapat dijelaskan."Uh, panas sekali ...."Panas yang membakar dari dalam tubuhnya semakin intens, membuat Livy tanpa sadar menarik-narik pakaiannya sendiri untuk mencari sedikit kelegaan.Erick yang masih mencoba mengambil kendali situasi, berkata, "Pak Bendy, Anda lihat sendiri, Livy lagi nggak enak badan. Aku cuma mau bawa dia pulang dulu ...."Bendy dengan cepat berjalan mendekat. Melihat wajah Livy yang memerah, dia segera memahami situasinya. Berani sekali Erick menggunakan obat seperti itu pada istri Pres
Namun pada detik berikutnya, terdengar suara pintu tertutup. Ketika Bendy menoleh, dia mendapati sofa tempat Livy tadi duduk sudah kosong. Lampu di kamar mandi menyala dan bayangan tubuh seseorang samar-samar terlihat dari balik pintu kaca.Dia segera membalikkan badan untuk menghindarinya dan bertanya dengan hati-hati, "Bu Livy, Anda sedang apa di sana?""Jangan pedulikan aku. Aku cuma berendam sebentar dengan air dingin," jawab Livy dengan suara lemah.Dia menenggelamkan dirinya ke dalam air dingin yang menusuk. Rasa dingin itu membantu sedikit meredakan panas membara dalam tubuhnya, meski tidak sepenuhnya.Namun, rasa gatal yang menyiksa dari dalam tubuhnya masih terus melahapnya. Livy hanya bisa menggigit bibirnya dan mencoba bertahan.Di tempat lain, Preston yang baru saja menutup telepon, merasa tidak tenang. Dia bangkit dari tempat duduknya. Namun saat itu juga, Sylvia yang berbaring di tempat tidur rumah sakit tiba-tiba membuka matanya dan berteriak, "Jangan!"Sylvia terlihat
"Nggak ... nggak apa-apa. Kami ... sementara ini memang belum berencana punya anak."Livy memaksakan senyum, mencoba terlihat seolah tidak peduli, meskipun hatinya berkecamuk. Dalam kenyataannya, dia mulai sangat menginginkan seorang anak.Sejak neneknya meninggal, dia tidak lagi memiliki keluarga. Karena itu ... dia benar-benar ingin memiliki seorang anak sebagai penerusnya.Namun, dia tahu, dirinya dan Preston tidak cocok untuk hal itu. Dia tidak punya hak untuk melahirkan anak Preston. Preston juga tidak akan pernah mengizinkannya."Kalau begitu, masih ada banyak waktu untuk memulihkan kondisi tubuhmu. Kamu masih muda, nikmatilah beberapa tahun lagi. Tapi kalau ada situasi seperti ini lagi, kenapa nggak kasih tahu Preston saja? Sebagai suamimu, sudah seharusnya dia membantumu dalam keadaan seperti ini ....""Keluar," sela Preston dengan dingin. Ekspresinya berubah suram, memberikan tekanan yang menakutkan. David langsung terdiam dan buru-buru meninggalkan ruangan.Sekarang hanya Liv
Dengan enggan, Livy menerima perawatan infus di tangan yang lain, sementara David membersihkan dan merawat luka di tangannya dengan cekatan."Bukannya aku mau ngomel, Pak Preston. Aku tahu kamu mungkin terburu-buru, tapi kamu nggak bisa mengabaikan kondisi Bu Livy, 'kan?"David bercanda sambil melirik Preston. "Aku baru saja turun untuk minum teh sebentar, kalian sudah perang besar di atas sini.""Kapan tubuhnya bisa pulih?" Preston memotong dengan nada dingin, tampak tidak tertarik dengan lelucon David.David melirik Livy yang langsung mengalihkan pandangan dengan canggung. "Dua hari. Selama dua hari ini, dia harus minum teh jahe dan memulihkan diri perlahan-lahan. Selebihnya, tinggal penyesuaian."Setelah menyelesaikan perawatan pada tangan Livy, David pun berdiri. Preston hanya menggumam tanpa melihat Livy lagi, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan.David merasa sedikit canggung, kemudian menggaruk kepalanya sambil melirik Livy dan pintu yang baru saja tertutup. Dengan suara kecil
Rivano berbicara panjang lebar, tanpa menyadari bahwa mata Livy sudah memerah dan penuh emosi. Jika ini adalah percakapan tatap muka, Rivano pasti bisa melihat ada sesuatu yang tidak beres.Namun, karena pembicaraan ini melalui telepon, dia hanyut dalam impiannya yang ambisius tentang masa depan tanpa memedulikan perubahan suasana hati Livy."Baiklah, aku akan perhatikan. Aku akan berusaha membantu Keluarga Pratama bangkit kembali dan buat Grup Pratama semakin besar," ujar Livy dengan nada datar.Kata-kata itu langsung membuat Rivano tertawa terbahak-bahak sambil memuji Livy sebagai anak yang berbakti.Livy menutup telepon, lalu memegangi dadanya. Butuh beberapa saat untuk menenangkan diri. Saat itu, pintu kantor mulai terbuka, rekan-rekan kerja perlahan masuk satu per satu.Ivana membawa dua cangkir kopi dan menghampiri Livy. Dia memeriksa Livy dengan saksama, lalu menghela napas lega. "Livy, kamu sudah baikan, 'kan?"Livy tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja. Kamu gimana? Ada masalah
Wajah Livy seketika memucat. Preston masih marah.Jika Preston tidak ingin melihatnya di rumah, itu masih bisa dimaklumi. Namun sekarang, dia bahkan tidak mau berhadapan dengan Livy di kantor.Livy menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. "Aku mengerti."Setelah kembali ke ruangannya, Livy duduk di meja kerjanya. Dia menenggak beberapa teguk kopi, tetapi pikirannya tidak bisa fokus sama sekali pada layar komputer di depannya."Livy, aku punya kabar baik!"Ivana mendekat dengan antusias. "Erick dipindahkan dari posisinya!""Apa?"Livy terdiam sejenak, tidak langsung memahami maksudnya. "Dipindahkan ke mana?""Aku juga nggak tahu. Barusan aku dengar dari Bu Sherly. Katanya orang yang akan jadi mitramu minggu ini akan segera datang.""Kabarnya, Erick melakukan kesalahan besar dalam salah satu tugasnya, dan Pak Preston sendiri yang memindahkannya ke cabang. Kalau dia melakukan kesalahan lagi, dia akan langsung dipecat ...."Ivana terlihat sangat senang."Itu memang kabar baik," ujar Livy
Livy tidak pernah membayangkan dirinya akan mengenakan gaun seperti ini karena terlalu terbuka. Bukan hanya bagian belakang yang terbuka, tetapi seluruh gaunnya juga bisa dirobek. Jelas sekali, gaun ini lebih cocok untuk urusan di kamar tidur ....Gaun itu disembunyikan di bagian bawah lemari dan ternyata Tina yang menemukannya saat sedang membereskan pakaian."Bi Tina, aku sudah selesai makan. Aku mau naik dulu." Dengan perasaan gelisah, Livy berbalik. Saat sampai di depan tangga, dia mendengar Tina memanggil seseorang."Tuan Preston, akhirnya kamu pulang." Ketika mendengar sapaan itu, langkah kaki Livy pun semakin cepat.Saat melihat Livy buru-buru pergi, alis Preston berkerut tanpa disadarinya. Wanita ini benaran tidak ingin bertemu denganku?Saat ini, Preston telah lupa bahwa dia sendiri yang meminta Livy untuk menjaga jarak dengannya sejak awal."Aku sudah menyiapkan beberapa hidangan dan sup ayam untukmu. Kamu pasti capek. Minumlah sup ayam ini supaya tubuhmu lebih bugar." Tina t
Livy bahkan tidak tahu sudah berapa lama dia berdiri di sana, sementara hujan deras di atas kepalanya masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.Sampai akhirnya, tubuhnya semakin lemah. Dia harus bersandar pada dinding di sampingnya sebelum perlahan duduk ke tanah.Dingin. Seluruh tubuhnya terasa sangat dingin, seakan-akan dia dilemparkan ke dalam ruang pembeku.Meskipun begitu, suhu tubuhnya justru terasa sangat tinggi, bahkan napasnya membawa hawa panas.Apakah dia demam? Livy merasa kepalanya pusing. Dengan lemah, dia mengangkat tangan dan menyentuh dahinya. Benar saja, panasnya sudah tidak normal.Ponselnya entah kehabisan baterai atau rusak karena masuk air. Kini, layarnya sudah tidak bisa menyala.Yang bisa Livy lakukan hanyalah memeluk tubuh sendiri dengan putus asa, seolah-olah hanya itu yang bisa memberinya sedikit kehangatan."Cepat pergi!" Di tengah kesadarannya yang samar, Livy kembali mendengar suara satpam.Gerbang besi terbuka, tongkat besi menyentuh tubuhnya. Sa
Petugas keamanan menyeretnya ke depan gerbang, lalu bergegas menutup pintu dan menghalangi pandangannya dari dua orang di dalam sana.Di langit yang gelap, kilatan petir mendadak menyambar dan membelah malam dengan cahaya menyilaukan. Namun, Livy tetap tidak mau menyerah. Dia berteriak ke arah vila, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur deras."Pak Preston! Kumohon, kasih aku kesempatan untuk menjelaskan! Semua ini bukan perbuatanku! Kenapa ... kenapa kamu nggak percaya sama aku?!"Petugas keamanan meliriknya dengan pandangan meremehkan. "Nona, lebih baik kamu cepat pergi. Jangan mempermalukan diri sendiri di sini."Tidak ...! Dia tidak bisa pergi begitu saja! Jika dia tidak bisa menjelaskan semuanya hari ini, Preston pasti akan membencinya seumur hidup.Livy tidak ingin itu terjadi. Dia tidak ingin Preston membencinya. Dia tidak bersalah, semua ini bukan perbuatannya!"Aku nggak akan pergi."Livy menggigit bibirnya erat, menahan giginya yang bergetar karena dingin. "Aku
Dengan panik, Livy langsung mendorong pintu dan buru-buru menjelaskan, "Bukan aku yang melakukannya!"Begitu melihat Livy, tebersit kebencian di mata Sylvia.Diam-diam, dia mencubit pahanya sendiri, membuat dirinya menangis lebih keras. "Bu Livy, ke ... kenapa kamu datang ke sini?""Kamu bahkan tahu di mana aku tinggal, apakah itu berarti kamu sudah menyelidiki semua informasi tentangku? Jadi, foto-foto yang diambil diam-diam itu juga hasil perintahmu?"Dalam artikel berita itu, memang ada beberapa foto yang menunjukkan Preston mengantar Sylvia pulang. Namun, Livy sangat yakin bahwa semua ini sama sekali bukan ulahnya.Isakan tangis Sylvia yang lembut dan menyedihkan menghantam hati Preston.Meskipun dia tidak memiliki perasaan cinta terhadap Sylvia, mereka telah tumbuh bersama sejak kecil. Ditambah dengan rasa bersalah yang dia simpan selama bertahun-tahun, melihat Sylvia menangis membuat hatinya sedikit tersentuh.Tatapannya yang dingin jatuh pada Livy yang tiba-tiba menerobos masuk.
"Kenapa sih? Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu!"Zoey merasa Livy benar-benar tidak tahu berterima kasih. Dengan nada kesal, dia mengumpat, "Kamu sendiri nggak bisa mempertahankan Pak Preston, aku membantumu, tapi kamu malah bersikap begini!""Kamu sadar nggak, bahkan gelar Nyonya Sandiaga saja nggak diakui? Kalau sampai kalian bercerai, kamu bakal keluar tanpa sepeser pun! Asal kamu mau memperbesar masalah ini, bagaimanapun juga, kamu tetap nggak akan dirugikan!"Sebenarnya, Zoey juga tidak benar-benar ingin membantu Livy. Namun, setelah berdiskusi dengan ibunya, mereka menyadari bahwa hanya dengan membantu Livy, mereka bisa mendapatkan keuntungan.Lagi pula, dia sudah memegang kelemahan Livy. Kalau Livy tidak bekerja sama dengannya, dia akan benar-benar habis!"Aku sudah bilang, urusanku bukan urusanmu!"Livy berteriak hingga suaranya hampir serak, "Aku juga nggak pernah ingin jadi Nyonya Sandiaga yang diumumkan ke publik, dan aku nggak butuh orang lain memperlakukanku dengan b
Grup itu adalah grup gosip perusahaan.Sebelumnya, Ivana pernah ingin memasukkan Livy ke dalamnya, tetapi Livy merasa grup itu terlalu ramai dan penuh dengan gosip yang tidak penting. Lagi pula, dia juga tidak tertarik membahas hal-hal seperti itu, jadi dia menolak untuk bergabung.Namun sekarang, setelah jam kerja usai, seseorang mengirimkan pesan yang memicu kehebohan di grup tersebut.Meskipun hanya ada satu orang yang memulai percakapan, Livy sudah cukup terkenal di perusahaan, jadi banyak orang yang ikut berkomentar.[ Pantas saja! Aku pernah beberapa kali melihat Livy naik mobilnya Pak Preston. Lagian, kalian nggak merasa aneh kalau dia bisa naik jabatan secepat itu? ][ Kalau nggak ada sesuatu di belakangnya, aku pasti nggak percaya! Tapi aku nggak nyangka, ternyata dia punya hubungan sama Pak Preston! ][ Aku nggak percaya! Pak Preston itu kaya, tampan, dan luar biasa! Mana mungkin dia tertarik sama wanita seperti Livy? ][ Pokoknya yang jelas, Livy sudah menikah dan suaminya p
Pria itu memiliki proporsi tubuh yang nyaris sempurna. Mantel panjang hitam yang dia kenakan membingkai tubuhnya yang tinggi dengan sangat pas dan menampilkan sosok yang luar biasa gagah."Sayang, kamu ...."Livy ingin memanggil Preston untuk makan bersama, tetapi pria itu justru berjalan mendekat dengan ekspresi dingin. Dia menatap Livy dari atas ke bawah dengan mata hitam pekat yang dipenuhi dengan kejengkelan. Dengan suara marah, dia bertanya, "Apa lagi yang kamu lakukan?""Hah?"Livy tidak mengerti maksudnya, tetapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, tangan besar pria itu sudah mencengkeram bahunya dengan kuat dan menyeretnya ke atas.Cengkeramannya begitu kasar, membuat Livy terpaksa terseret menaiki tangga dengan terburu-buru. Bahkan, karena langkahnya yang terlalu cepat, lututnya terbentur sudut tangga dengan keras.Namun, Preston tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Dia terus menyeret Livy hingga ke kamar, lalu mendorongnya ke sofa dengan kasar."Kamu begitu ingin
Siapa yang peduli? Preston mengernyit. Apakah dia peduli pada Livy?Tangan yang menggenggam gelas tiba-tiba berhenti, lalu dia menuangkan lagi segelas minuman untuk dirinya sendiri dan berkata dengan nada dingin, "Dia cuma istri kontrakku, nggak lebih.""Iya, nih. David, kamu terlalu berlebihan. Bu Livy memang perempuan yang baik, tapi bagaimanapun juga, dia dan Preston berasal dari dunia yang berbeda."Sylvia menyela pembicaraan, lalu mendekati Preston dengan berpura-pura baik dan mengingatkan dengan lembut, "Preston, aku tahu kamu ingin memperlakukan Bu Livy dengan baik. Tapi bagaimanapun juga, dia berasal dari latar belakang yang berbeda dari kita. Kalau kamu terus memberinya barang-barang mewah, itu malah bisa membuatnya merasa terbebani."Perkataan itu membuat Preston sedikit penasaran. "Kenapa?""Karena bagi Livy, barang-barang itu sangat mahal, bahkan satu saja bisa setara dengan gajinya selama bertahun-tahun. Orang seperti dia akan merasa bahwa kesenjangan di antara kalian terl
Kalau begitu, Livy juga jangan berharap hidupnya akan baik-baik saja!"Zoey, kalau mau gila, jangan cari aku!" Livy tidak ingin meladeni Zoey lagi dan segera pergi. Namun, setelah kembali ke kantornya, kelopak mata kanannya terus berkedut. Dia merasa seolah-olah sesuatu akan terjadi.Sebelum pulang, dia naik ke lantai atas untuk mencari Preston dan melaporkan perkembangan proyek. Namun, setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, dia menghubungi Preston lewat telepon."Ada apa?"Di seberang sana, suara Preston terdengar seakan dia sedang berada di tempat hiburan. Ada suara musik samar-samar dan yang lebih menyakitkan, Livy mendengar suara Sylvia yang begitu akrab di telinganya."Preston, bukannya sudah bilang hari ini jangan bahas pekerjaan?" Suara manja Sylvia terdengar cukup jelas, seolah-olah dia menempel di sisi Preston."Aku cuma bicara sebentar," jawab Preston dengan suara rendah, sebelum akhirnya beralih ke Livy, "Bu Livy, kalau soal pekerjaan,
Karena kejadian semalam, Livy hampir terlambat masuk kerja pagi ini. Baru saja dia selesai absen, suara yang sudah lama tidak terdengar kembali menyapanya. "Livy!"Setelah sekian lama tidak bertemu, Zoey tampaknya menjalani hidup yang cukup baik.Pakaian bermerek yang dikenakannya semakin banyak dan di lehernya terlihat bekas merah yang sangat mencolok. Tanda bahwa hubungannya dengan Ansel semakin erat."Ada urusan apa?" Livy meliriknya dengan dingin, tidak ingin membuang waktu untuknya.Namun, Zoey sama sekali tidak merasa tersinggung dan justru berkata dengan percaya diri, "Aku butuh bantuanmu."Livy mengernyit, merasa Zoey benar-benar terlalu tidak tahu malu, lalu menolak mentah-mentah, "Aku nggak ada waktu.""Livy, kamu sok jual mahal apa sih? Apa kamu benar-benar mengira dirimu sudah jadi nyonya besar? Kaki Sylvia sebentar lagi sembuh, 'kan? Aku peringatkan kamu, begitu dia berhasil, kamu pasti akan dibuang sama Pak Preston!"Zoey menghalangi Livy di pintu masuk, kata-kata tajamny