Namun pada detik berikutnya, terdengar suara pintu tertutup. Ketika Bendy menoleh, dia mendapati sofa tempat Livy tadi duduk sudah kosong. Lampu di kamar mandi menyala dan bayangan tubuh seseorang samar-samar terlihat dari balik pintu kaca.Dia segera membalikkan badan untuk menghindarinya dan bertanya dengan hati-hati, "Bu Livy, Anda sedang apa di sana?""Jangan pedulikan aku. Aku cuma berendam sebentar dengan air dingin," jawab Livy dengan suara lemah.Dia menenggelamkan dirinya ke dalam air dingin yang menusuk. Rasa dingin itu membantu sedikit meredakan panas membara dalam tubuhnya, meski tidak sepenuhnya.Namun, rasa gatal yang menyiksa dari dalam tubuhnya masih terus melahapnya. Livy hanya bisa menggigit bibirnya dan mencoba bertahan.Di tempat lain, Preston yang baru saja menutup telepon, merasa tidak tenang. Dia bangkit dari tempat duduknya. Namun saat itu juga, Sylvia yang berbaring di tempat tidur rumah sakit tiba-tiba membuka matanya dan berteriak, "Jangan!"Sylvia terlihat
"Nggak ... nggak apa-apa. Kami ... sementara ini memang belum berencana punya anak."Livy memaksakan senyum, mencoba terlihat seolah tidak peduli, meskipun hatinya berkecamuk. Dalam kenyataannya, dia mulai sangat menginginkan seorang anak.Sejak neneknya meninggal, dia tidak lagi memiliki keluarga. Karena itu ... dia benar-benar ingin memiliki seorang anak sebagai penerusnya.Namun, dia tahu, dirinya dan Preston tidak cocok untuk hal itu. Dia tidak punya hak untuk melahirkan anak Preston. Preston juga tidak akan pernah mengizinkannya."Kalau begitu, masih ada banyak waktu untuk memulihkan kondisi tubuhmu. Kamu masih muda, nikmatilah beberapa tahun lagi. Tapi kalau ada situasi seperti ini lagi, kenapa nggak kasih tahu Preston saja? Sebagai suamimu, sudah seharusnya dia membantumu dalam keadaan seperti ini ....""Keluar," sela Preston dengan dingin. Ekspresinya berubah suram, memberikan tekanan yang menakutkan. David langsung terdiam dan buru-buru meninggalkan ruangan.Sekarang hanya Liv
Dengan enggan, Livy menerima perawatan infus di tangan yang lain, sementara David membersihkan dan merawat luka di tangannya dengan cekatan."Bukannya aku mau ngomel, Pak Preston. Aku tahu kamu mungkin terburu-buru, tapi kamu nggak bisa mengabaikan kondisi Bu Livy, 'kan?"David bercanda sambil melirik Preston. "Aku baru saja turun untuk minum teh sebentar, kalian sudah perang besar di atas sini.""Kapan tubuhnya bisa pulih?" Preston memotong dengan nada dingin, tampak tidak tertarik dengan lelucon David.David melirik Livy yang langsung mengalihkan pandangan dengan canggung. "Dua hari. Selama dua hari ini, dia harus minum teh jahe dan memulihkan diri perlahan-lahan. Selebihnya, tinggal penyesuaian."Setelah menyelesaikan perawatan pada tangan Livy, David pun berdiri. Preston hanya menggumam tanpa melihat Livy lagi, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan.David merasa sedikit canggung, kemudian menggaruk kepalanya sambil melirik Livy dan pintu yang baru saja tertutup. Dengan suara kecil
Rivano berbicara panjang lebar, tanpa menyadari bahwa mata Livy sudah memerah dan penuh emosi. Jika ini adalah percakapan tatap muka, Rivano pasti bisa melihat ada sesuatu yang tidak beres.Namun, karena pembicaraan ini melalui telepon, dia hanyut dalam impiannya yang ambisius tentang masa depan tanpa memedulikan perubahan suasana hati Livy."Baiklah, aku akan perhatikan. Aku akan berusaha membantu Keluarga Pratama bangkit kembali dan buat Grup Pratama semakin besar," ujar Livy dengan nada datar.Kata-kata itu langsung membuat Rivano tertawa terbahak-bahak sambil memuji Livy sebagai anak yang berbakti.Livy menutup telepon, lalu memegangi dadanya. Butuh beberapa saat untuk menenangkan diri. Saat itu, pintu kantor mulai terbuka, rekan-rekan kerja perlahan masuk satu per satu.Ivana membawa dua cangkir kopi dan menghampiri Livy. Dia memeriksa Livy dengan saksama, lalu menghela napas lega. "Livy, kamu sudah baikan, 'kan?"Livy tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja. Kamu gimana? Ada masalah
Wajah Livy seketika memucat. Preston masih marah.Jika Preston tidak ingin melihatnya di rumah, itu masih bisa dimaklumi. Namun sekarang, dia bahkan tidak mau berhadapan dengan Livy di kantor.Livy menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. "Aku mengerti."Setelah kembali ke ruangannya, Livy duduk di meja kerjanya. Dia menenggak beberapa teguk kopi, tetapi pikirannya tidak bisa fokus sama sekali pada layar komputer di depannya."Livy, aku punya kabar baik!"Ivana mendekat dengan antusias. "Erick dipindahkan dari posisinya!""Apa?"Livy terdiam sejenak, tidak langsung memahami maksudnya. "Dipindahkan ke mana?""Aku juga nggak tahu. Barusan aku dengar dari Bu Sherly. Katanya orang yang akan jadi mitramu minggu ini akan segera datang.""Kabarnya, Erick melakukan kesalahan besar dalam salah satu tugasnya, dan Pak Preston sendiri yang memindahkannya ke cabang. Kalau dia melakukan kesalahan lagi, dia akan langsung dipecat ...."Ivana terlihat sangat senang."Itu memang kabar baik," ujar Livy
Livy tidak pernah membayangkan dirinya akan mengenakan gaun seperti ini karena terlalu terbuka. Bukan hanya bagian belakang yang terbuka, tetapi seluruh gaunnya juga bisa dirobek. Jelas sekali, gaun ini lebih cocok untuk urusan di kamar tidur ....Gaun itu disembunyikan di bagian bawah lemari dan ternyata Tina yang menemukannya saat sedang membereskan pakaian."Bi Tina, aku sudah selesai makan. Aku mau naik dulu." Dengan perasaan gelisah, Livy berbalik. Saat sampai di depan tangga, dia mendengar Tina memanggil seseorang."Tuan Preston, akhirnya kamu pulang." Ketika mendengar sapaan itu, langkah kaki Livy pun semakin cepat.Saat melihat Livy buru-buru pergi, alis Preston berkerut tanpa disadarinya. Wanita ini benaran tidak ingin bertemu denganku?Saat ini, Preston telah lupa bahwa dia sendiri yang meminta Livy untuk menjaga jarak dengannya sejak awal."Aku sudah menyiapkan beberapa hidangan dan sup ayam untukmu. Kamu pasti capek. Minumlah sup ayam ini supaya tubuhmu lebih bugar." Tina t
Setiap sudut ruangan ini menantang pengendalian diri Preston. Dia sudah lama tidak menyentuh Livy. Kini, godaan visual ini benar-benar menghancurkan semua kendalinya."Aku ... aku nggak punya kejutan untukmu. Bi ... Bibi Tina yang asal bicara." Livy tergagap, merasa tidak nyaman saat tatapan panas Preston terus menjelajahi tubuhnya."Aku ganti baju dulu ...." Livy mencoba untuk pergi, tetapi Preston sontak menarik tangannya. Dalam sekejap, Livy sudah ditindih di atas ranjang.Perasaan yang familier itu melandanya. Ketika merasakan perubahan pada pria itu, wajah Livy pun memerah. Kulitnya terasa semakin panas."Sudah tahu tentang Erick?" Preston memulai percakapan. Matanya yang gelap berkilau penuh nafsu, menatap tajam wanita di depannya.Livy mengangguk. "Aku sudah tahu."Gaun tidur ini memang dirancang khusus untuk pasangan. Ketika terbaring di atas ranjang, tali gaunnya sedikit melorot, hampir menampakkan semuanya. Ini sungguh menggoda."Jadi, kamu sengaja menyanjungku supaya aku men
Di dalam ruangan yang remang-remang, mata gelap pria itu terpaku pada Livy. Udara di dalam terasa panas.Tenggorokan Livy terasa tercekat. Dengan canggung dan malu, dia memanggil dengan suara pelan, "Sayang."Begitu ucapan itu keluar, ciuman panas mendarat di bibirnya. Preston mencium Livy seolah-olah ingin melahapnya hidup-hidup. Napas yang panas melanda bibir Livy, membuka mulutnya dengan mudah.Livy merasa agak pusing. Dia hanya bisa menerima semua yang dilakukan Preston dengan pasrah. Tangan besar yang agak kasar membelai pinggangnya, menggosokkan kain renda gaunnya di lekukan pinggangnya yang sensitif.Dalam sekejap, Livy larut dalam dunia nafsu. Preston tahu betul di mana letak titik sensitifnya. Hanya dengan beberapa sentuhan, dia bisa membuat Livy tidak berdaya.Gaun renda itu perlahan-lahan dibuka oleh Preston. Ciuman panas berpindah dari bibir ke tulang selangkanya, meninggalkan bekas-bekas merah.Tubuh Livy meringkuk. Dia ingin mendekatkan diri pada Preston. Dia tahu betul s
Astaga, situasi macam apa ini?Telinga Livy terasa panas membara. Tanpa bisa dikendalikan, pikirannya mulai dipenuhi gambaran-gambaran yang tidak senonoh.Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan mesum dari Preston. Dia mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan dan mulai mencari informasi tentang Mathias.Informasi tentang pria itu cukup terbatas di internet. Katanya, dia adalah pria paruh baya yang merintis usahanya dari nol dan dikenal memiliki cara bicara yang baik.Namun, ada juga beberapa rumor negatif yang menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, dia diam-diam berselingkuh dari istrinya dan memiliki banyak wanita di luar.Livy tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Yang bisa dilakukan hanya mempersiapkan diri, mempelajari berbagai hal tentang musik, catur, kaligrafi, dan lukisan.Meskipun dia tahu usahanya mungkin tidak terlalu berpengaruh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mempersiapkan apa pun.Setelah sibuk sepanjang sore, Livy akhirnya tiba di r
"Livy, ke mana saja tadi? Kenapa lama sekali tanpa bilang apa-apa ke kami? Jangan-jangan kamu malas-malasan?"Pria paruh baya itu berdiri dengan perut buncitnya. Meskipun gemuk, dia tetap berusaha memakai jas seperti orang lain. Namun, penampilannya malah seperti agen asuransi yang sedang mengalami krisis paruh baya.Livy mengerutkan keningnya sedikit dan menjelaskan, "Pak Preston mencariku, ada beberapa hal yang harus disampaikan.""Oh, ternyata Pak Preston ...." Umay menyipitkan matanya, tampak sedikit mengejek. "Ya, wajar saja Pak Preston masih memperhatikanmu. Bagaimanapun, dulu kamu bekerja di bawahnya.""Tapi, aku harap wanita sepertimu nggak langsung berpikir macam-macam hanya karena seorang pria bersikap baik sedikit kepadamu. Ingat, Pak Preston sudah punya istri. Lebih baik kamu realistis saja dan pertimbangkan untuk ....""Kak Umay, sebenarnya ada urusan apa mencariku?" Melihat pria menyebalkan di depan berbicara semakin tidak sopan, Livy buru-buru memotong ucapannya."Nggak
Livy tertegun. Preston ... apa maksudnya?Preston kembali berkata, "Dia cuma keponakanku, sedangkan kamu adalah istriku."Oh, jadi begitu. Livy mengerti sekarang. Bagi Preston, statusnya sebagai istri memang sedikit lebih tinggi daripada status seorang keponakan. Namun, hanya sebatas itu. Hanya karena saat ini, dia masih menjadi istri Preston."Lebih baik nggak usah," ujar Livy setelah berpikir sejenak. "Aku juga jarang punya waktu untuk memakai tas seperti ini. Kalau cuma disimpan di rumah, rasanya akan terbuang sia-sia.""Biarkan saja terbuang sia-sia," kata Preston dengan tidak acuh. Baginya, uang seperti ini hanyalah jumlah kecil. Jika istrinya menyukai sesuatu, dia akan membelinya tanpa peduli apakah benda itu akan terpakai atau tidak."Tapi ...." Livy masih ingin berkata sesuatu, tetapi Preston sudah menariknya ke dalam pelukan."Aku memberikan hadiah untuk istriku, tapi kamu malah menolaknya berulang kali? Kamu pikir aku miskin sampai nggak sanggup membelikanmu sesuatu sekecil i
"Mana mungkin!" Livy buru-buru melambaikan tangannya. "Di departemen sekretaris masih ada banyak senior. Kamu juga termasuk salah satu senior buatku. Jangan bicara seperti itu.""Ya, ya, aku paham." Ivana buru-buru menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Aku serius kali ini. Pak Preston mencarimu, dia suruh kamu ke atas.""Kenapa kamu yang mencariku?" Livy sedikit terkejut. Biasanya kalau ada urusan seperti ini, Bendy yang datang menemuinya.Ivana menjawab, "Sepertinya Pak Bendy ada urusan mendadak. Dia cuma sempat mampir sebentar ke departemen sekretaris untuk menyampaikan pesan. Sudahlah, Livy, cepat naik ke atas. Siapa tahu Pak Preston berubah pikiran dan mau memindahkanmu kembali ke departemen sekretaris!"Tidak mungkin, 'kan? Semalam Preston sudah mengatakan bahwa dia tidak akan memindahkannya kembali sebelum misinya selesai.Dengan penuh rasa penasaran, Livy segera mengetuk pintu kantor Preston."Masuk."Saat mendorong pintu, Livy melihat Preston sedang tidak bekerja. Pria itu memeg
"Hah?" Livy sempat mengira dirinya salah dengar. Namun, saat melihat Preston menunggu dengan ekspresi seperti ingin dilayani, dia yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.Membantu dia mandi? Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan mata membelalak.Sebagian besar pakaiannya sudah terlepas, memperlihatkan tubuh ramping dengan garis otot yang tegas. Di bawah cahaya lampu, sosok itu terlihat begitu mencolok hingga membuat jantungnya berdebar.Ditambah lagi dengan wajah Preston yang dingin, tegas, dan sempurna, semuanya memberikan dampak visual yang sangat kuat.Sejak kejadian itu, sebenarnya sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali mereka melakukannya. Seorang wanita ... juga memiliki kebutuhannya sendiri.Livy berdeham, mencoba menahan rasa malu yang merayap di hatinya. Dia terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia masih membutuhkan bantuan pria ini.Sambil menggigit bibirnya, dia mulai membuka kancing kemeja Preston. Sesudah itu, dia bergerak turun ke celana. Ketika tiba giliran
Preston masih punya sedikit kendali atas dirinya sendiri. Lagi pula, setelah 2 hari berturut-turut, tubuh Livy pasti masih butuh waktu untuk beristirahat dengan baik."Kalau begitu ... 6 juta?" Dengan berat hati, Livy menambahkan 2 juta lagi. Wajahnya pun terlihat tegang. "Benaran nggak bisa lebih lagi? Bonusku sedikit banget."Terakhir kali, dia hanya mendapat 1 juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu hidangan Preston."Beberapa hari lagi, bagian keuangan akan mentransfer sisa bonusmu yang sebelumnya. Jadi, kamu nggak bakal sampai kekurangan uang. Lagi pula, bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Punya uang tapi nggak dipakai. Kamu bodoh ya?" Nada suara Preston terdengar agak pasrah.Bonus sebelumnya? Livy kaget dan baru teringat. Dia buru-buru bertanya, "Masalah dengan Sherly itu ulahmu ya?"Meskipun kemungkinan besar jawabannya adalah iya, dia tetap ingin memastikan. "Hmm, aku menyuruh Bendy menyelidikinya.""Bonusmu ternyata disalahgunakan oleh Sherly, jadi aku meminta bagia
Jantung Livy seakan-akan berhenti berdetak sejenak. Dia awalnya hanya ingin bertingkah manja untuk mencari jalan pintas, tetapi Preston malah menanggapinya dengan serius.Setelah tertegun sesaat, Livy tiba-tiba merasa dirinya seperti seorang badut. Benar juga, mereka ini pasangan suami istri macam apa?Mereka bukanlah pasangan dalam arti yang sesungguhnya. Jadi, Preston sama sekali tidak punya kewajiban untuk berbagi rahasia bisnis dengannya. Bisa jadi, dia justru sedang menjaga jarak dan tidak ingin berbagi dengannya."Kenapa diam?" Melihat Livy termenung, Preston semakin kesal dan kembali bertanya, "Apa kamu punya sedikit perasaan untukku?""Kenapa nggak? Tentu saja punya." Livy tidak mengerti kenapa pria ini tiba-tiba marah. Tadi, dia sempat mengira Preston tersinggung karena dirinya terlalu percaya diri, tetapi sekarang kenapa justru bertanya soal perasaan?Apakah dia ingin Livy membujuknya? Livy tidak yakin. Atau Preston sedang menguji perasaannya yang sebenarnya?Pada akhirnya, L
Tadi dia ... sudahlah.Preston berdeham pelan, lalu sedikit mengubah topik pembicaraan. "Soal barbeku itu, akhir pekan ini kamu bawa aku ke sana.""Hah?" Livy tampak terkejut dan buru-buru mengingatkan, "Tempat itu cukup terpencil dan semua mejanya di luar ruangan. Aku takut kamu bakal kurang nyaman makan di sana.""Kamu bisa makan, kenapa aku nggak bisa?" balas Preston dengan santai."Baiklah."Lagi pula, Preston yang minta sendiri. Jangan sampai nanti setelah diajak, dia malah menunjukkan ekspresi tidak senang. Itu pasti akan membuat Livy kesal.Sambil menuangkan segelas air lagi untuk dirinya sendiri, Livy menyadari tatapan yang dilayangkan Preston kepadanya. Dengan sigap, dia juga menuangkan segelas air untuk pria itu.Preston menerima air putih yang diberikan Livy, lalu tiba-tiba berkata, "Aku dengar kamu berhasil mengamankan kerja sama ini hanya dalam 5 hari.""Mm ... sebenarnya masih banyak yang belum aku pahami, jadi butuh waktu cukup lama. Tapi, ya sudahlah, setidaknya ini lan
Ryan berbicara dengan pelan, tetapi kata-katanya mengandung makna menyindir jika didengar dengan lebih saksama. Namun, kata-kata itu juga terdengar sedang mengeluh. Ryan sedang mengeluh padanya?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Livy langsung menepis pemikiran itu dan berpikir itu pasti hanya sekadar mengeluh biasa saja. Ryan bisa mengajak seseorang dengan mudah, tetapi dia malah menolak undangannya tiga kali. Oleh karena itu, wajar saja jika Ryan mengeluh."Maaf, aku benar-benar agak sibuk," jelas Livy dengan suara pelan."Nggak masalah, aku sudah memaafkanmu," kata Ryan sambil tersenyum dan tatapannya terlihat santai, seolah-olah bisa menarik perhatian siapa pun yang melihatnya."Selesai!"Setelah mengambil beberapa foto lagi, Hesti segera mengembalikan ponselnya pada Ryan dan berkata dengan semangat, "Tuan Ryan, kamu dan Livy benar-benar terlihat sangat serasi, aku sampai nggak tahan untuk mengambil beberapa foto lagi.""Nggak masalah, terima kasih," kata Ryan sambil kembali menge