Setelah bercinta, wajah Livy terlihat agak merah, membuatnya terlihat penuh energi. Mungkin Preston sendiri tidak sadar, tetapi ekspresinya yang dingin mulai melembut saat ini.Preston berjalan perlahan ke tepi ranjang, membuka selimut dan berbaring. Kemudian, dia menunduk sedikit untuk memberikan ciuman lembut di wajah Livy."Jangan ...." Livy tampaknya sedang mimpi buruk. Tubuhnya meringkuk dengan cemas, alisnya berkerut, dan beberapa tetes air mata jatuh di sudut matanya."Jangan tinggalkan aku ...." Isak rendah itu membuat hati Preston terasa sesak. Setelah nenek Livy meninggal, bisa dibilang Livy tidak punya keluarga lagi. Sekarang, dia adalah suami Livy. Memang hanya status, tetapi ....Hubungan mereka sudah sejauh ini. Mereka hampir tidak ada bedanya dengan pasangan sebenarnya. Apa yang perlu dilakukan, sudah mereka lakukan.Jika Livy bisa bersikap patuh dan tidak merayu pria lain, Preston juga tidak keberatan untuk memperlakukannya dengan baik.Ponsel Preston terus bergetar. Pr
Chloe hamil? Menurut sifat Chloe, dia tidak mungkin diam saja setelah tahu tentang perselingkuhan Stanley. Ternyata karena dia hamil.Livy ingin mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba terdengar suara Stanley dari ujung telepon. Nicky berkata, "Livy, kalau kamu ada waktu, aku mau traktir kamu makan. Nanti kabari aku saja. Kita ngobrol lagi lain kali."Panggilan terputus. Stanley sudah berada di depan Nicky dan menggerutu, "Chloe ini memang jalang! Dulu demi dekatin dia, aku capek sekali! Sekarang kita sudah nikah, jadi aku nggak bakal ngalah lagi. Sebal! Kalau Livy, dia pasti tetap layani aku sekalipun hamil!"Nicky langsung mengernyit mendengar perkataan itu. "Stanley, kamu bicara apa sih! Kenapa menghina Livy seperti itu?"Stanley langsung terbatuk ringan. Bau alkohol tercium. Semalam, Stanley tiba-tiba mengajaknya bertemu dan minum sampai pukul 6 pagi. Makanya, bau alkoholnya berat sekali.Ketika mendengar nada bicara Nicky yang agak dingin, pikiran Stanley menjadi lebih jernih. "Aku c
Penampilan Stanley agak berantakan. Dari dekat, tercium bau alkohol yang menusuk. Selain itu, ada lebam di sudut bibirnya.Di sampingnya adalah Nicky yang terlihat murka. Apa mereka berdua bertengkar? Lebih tepatnya, apa mereka berkelahi?Livy agak bingung. Ini karena Stanley dan Nicky adalah teman dekat. Masa mereka bertengkar? Ada konflik apa di antara mereka?"Apa ada urusan?" Livy tidak ingin banyak bicara dengan Stanley. Dia hanya menatapnya dengan dingin.Stanley menarik Nicky dan mulai tertawa. "Livy, kamu nggak tahu, 'kan? Kamu anggap Nicky teman, tapi dia ...."Sebelum Stanley selesai bicara, Nicky langsung menyela dan terlihat cemas. "Livy, kamu nggak apa-apa, 'kan? Kamu beli obat apa?"Livy kaget dan tanpa sadar ingin menyembunyikan obat yang baru dibelinya. Namun, gerakan tangan Stanley lebih cepat. Dia langsung merampasnya.Ketika tarik-menarik itu, beberapa kotak obat jatuh dan berhamburan di lantai. "Obat kontrasepsi?"Stanley sudah terbiasa melihat obat seperti itu. Liv
"Bukan begitu, kami cuma teman." Livy mengamati ekspresi Preston dengan hati-hati, lalu menambahkan, "Tadi waktu beli obat, aku ketemu dia. Kami ngobrol sebentar. Cuma teman biasa kok. Dia telepon juga cuma buat ngobrol, makanya aku nggak angkat dulu."Livy hanya bisa memberi penjelasan seperti itu. Nicky pria yang baik. Livy akan meneleponnya lagi nanti dan menjelaskan bahwa dia ada urusan.Kini, hubungan Livy dengan Preston sudah membaik. Livy tidak ingin masalah kecil seperti ini membuat hubungan mereka merenggang lagi."Heh, teman pria ya? Temanmu banyak juga ya." Preston sepertinya menyindir. Suaranya terdengar kurang baik. "Livy, aku harap kamu ingat sekarang kamu adalah istriku. Jauhi orang-orang nggak jelas itu."Livy mengerutkan dahinya dan tanpa sadar membantah, "Pak Preston, aku tahu kamu berprasangka buruk tentangku. Tapi, Nicky temanku. Kuharap kamu nggak bicara begitu tentang dia. Dia berbeda dari Erick. Kami cuma teman biasa, teman yang nggak ada hubungan istimewa."Pres
Sementara itu, Zoey tidak tahu bahwa pekerjaannya itu didapat karena bantuan Livy. Dia mengira karena Preston tertarik lagi padanya.Seminggu setelah tahu dirinya diterima di departemen sekretaris, Zoey terus berpikir bagaimana dia harus berdandan dan berpakaian pada hari kerjanya.Zoey membeli banyak sekali pakaian dan perhiasan. Rivano memperhatikan pakaian yang dibelinya dan notifikasi bank yang terus masuk. Dia akhirnya mengingatkan dengan serius, "Zoey, kamu bakal kerja. Ngapain beli barang bermerek sebanyak itu?"Kondisi keuangan mereka sedang tidak baik. Rivano tidak bisa membiarkan Zoey menghamburkan uang seperti ini."Ayah, kamu nggak ngerti! Kali ini aku diterima di departemen sekretaris. Setiap hari aku bisa ketemu Preston. Aku bisa balik kerja pasti karena perintah Preston. Dia pasti suka sama aku!"Ekspresi Zoey tampak semakin bersemangat. Dia menarik tangan Kristin dan mulai membayangkan masa depannya. "Kalau aku bisa jadi istri Preston, kalian bakal hidup dalam kemewahan
Livy agak terkejut. Preston sedang membahas tentang informasi rahasia Grup Sandiaga. Biasanya, hanya orang-orang penting yang bisa mendengarkan isi rapat seperti itu.Sementara itu, Livy hanya seorang sekretaris biasa. Apa Preston yakin akan memercayakan hal ini kepadanya?Ketika Livy masih ragu-ragu, Preston sudah menyerahkan laptop lain kepadanya. "Kamu mau naik jabatan, 'kan? Tunjukkan kemampuanmu dong."Rapat ini dalam bahasa asing. Livy harus membuat catatan rapat. Jelas sangat menguji kemampuan. Livy tahu ini tidak gampang, tetapi demi kenaikan jabatan dan gaji, dia tidak bisa mencemaskan hal lain.Livy fokus mendengarkan isi rapat sambil mencatat poin-poin penting. Sejam kemudian, rapat pun selesai. Kepala Livy terasa sedikit pusing.Livy berniat menyusun ulang catatannya dan menyerahkannya kepada Preston, tetapi tiba-tiba telapak tangan besar Preston memijat pelipisnya.Tekanannya tidak terlalu berat, tetapi cukup untuk meredakan kelelahan Livy. Livy agak terkejut, "Pak ....""
"I ... ini terlalu banyak." Livy merasa agak malu untuk menerimanya. Dia hanya bercanda tadi. Dia rela bekerja lembur tanpa dibayar.Preston meraih pinggang ramping Livy dengan tenang. Livy menoleh dan langsung bertemu dengan mata gelap Preston yang dalam. Hasrat yang kuat terpancar dari mata pria itu, membuat suhu ruangan terasa semakin panas."Nanti malam kita lembur lagi," gumam Preston.Sebelum Livy sempat berpikir lebih jauh, bibirnya sudah dicium dengan ganas oleh Preston. Pria itu menempel erat padanya. Tangannya yang besar terus mengelus pinggangnya, lalu akhirnya masuk ke bajunya."Kondisimu sudah mendingan, 'kan?" Di tengah-tengah ciuman itu, Preston masih sempat bertanya tentang kesehatan Livy.Wajah Livy memerah. "Sudah mendingan kok. Hari ini ... aku juga sudah minum pil kontrasepsi." Dia khawatir tubuhnya akan kenapa-napa jika terlalu sering mengonsumsi obat seperti itu."Hm, oke." Preston membawa Livy ke kamar dan menutup pintu dengan keras.Livy berbaring di atas ranjan
Suara Zoey sangat keras. Dalam sekejap, hampir semua orang di ruang kantor memandang ke arah mereka.Zoey tampak sangat puas dengan hasil ini. Dia menutup mulutnya untuk berpura-pura terkejut. "Kak, kamu diam-diam pacaran ya? Jangan-jangan ...."Beberapa rekan kerja mulai bergosip. Mereka sedang menebak seperti apa kehidupan asmara Livy."Zoey, ini kantor, bukan tempat untuk gosip." Livy menaikkan kerah bajunya sedikit, lalu meneruskan, "Selain itu, sepertinya bukan urusanmu aku pacaran dengan siapa, 'kan?""Kak, kamu ...." Zoey masih ingin berbicara, tetapi Ivana yang berada di samping langsung menegur, "Kamu Zoey, 'kan? Terserah Livy mau pacaran atau nggak. Terserah dia mau kasih tahu kamu atau nggak. Kamu baru datang. Bukannya pikirin cara untuk lulus masa percobaan, malah sibuk gosip!"Zoey tentu kesal. Namun, dia tidak mau berhenti. Dengan cemberut, dia berkata dengan semakin lantang, "Aku cuma khawatir kakakku salah jalan karena nggak kasih tahu kami soal pacarnya. Mungkin saja k
Livy sama sekali tidak menyangka Stanley bisa sehina itu.Livy bahkan masih berpikir untuk mencari cara menjelaskan hubungannya dengan Stanley, tetapi apa yang didengarnya membuat darahnya mendidih. Dengan panik, Livy berteriak, "Stanley, jangan mengada-ada!""Aku nggak mengada-ada!" Stanley kini sudah kehilangan akal sehat. Satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan menjatuhkan Livy.Meski dia muak dengan Chloe yang sibuk mencari pria model dan selalu bersikap seperti putri, Stanley mengingat bagaimana Livy dulu begitu lembut, perhatian, dan selalu ada untuknya. Jelas, Livy jauh lebih baik dibanding Chloe dalam banyak hal.Namun, Livy tidak memiliki status sosial seperti Chloe. Selain itu, Chloe punya hubungan dengan Keluarga Sandiaga. Jika dia sampai merusak hubungan ini, bisnis keluarganya yang kecil itu pasti akan hancur total.Setelah mempertimbangkan semuanya, Stanley memutuskan untuk terus menyalahkan Livy."Paman Preston, aku dan Livy memang pernah berpacaran. Kam
Setelah berkata demikian, Stanley tiba-tiba meraih tangan Livy.Seolah tersentuh sesuatu yang menjijikkan, Livy buru-buru melepaskan tangannya. Dia berdiri dengan tegas dan menatap Stanley dengan penuh amarah."Stanley, aku sudah bilang dengan sangat jelas. Hubungan kita sudah benar-benar selesai. Mulai sekarang, hiduplah dengan Chloe dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!""Livy, apa kamu masih marah?" tanya Stanley sambil memaksakan senyuman. Dia tiba-tiba mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.Sebelum Livy sempat bereaksi, Stanley sudah berlutut dengan satu kaki di hadapannya."Livy, dulu kamu pernah marah karena selama bertahun-tahun kita bersama, aku nggak pernah melamarmu. Sekarang aku sadar betapa salahnya aku. Hubunganku dengan Chloe adalah sebuah kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal. Bisa nggak kita memulai semuanya dari awal?""Stanley, kamu gila, ya?!" Livy benar-benar panik. Dia mencoba menarik Stanley untuk berdiri.Namun, tepat pada saat itu, sebuah suara ding
Sylvia memesan restoran mewah di dalam pusat perbelanjaan.Livy tahu restoran ini sangat terkenal. Tempat seperti ini memerlukan reservasi jauh-jauh hari dan harganya juga sangat mahal. Restoran ini sering dianggap sebagai tempat yang eksklusif.Hanya beberapa hidangan saja di restoran ini sudah setara dengan gajinya selama sebulan."Livy, kamu jarang sekali punya kesempatan makan di tempat sebagus ini. Jadi, pesan saja apa yang kamu mau. Anggap ini pengalaman langka buatmu," ujar Sylvia sambil perlahan menyesap air hangat. Nada bicaranya penuh sindiran dan merendahkan.Bagi Sylvia, Livy hanyalah gadis tanpa latar belakang yang tidak pantas berada di tempat seperti ini.Livy tahu Sylvia sengaja meremehkannya. Namun, wajah Livy tetap tenang. Dia sudah terbiasa dengan perilaku Sylvia yang selalu tampak manis di luar tetapi penuh racun di dalam.Livy melirik jam di pergelangan tangannya. Jika makan siang ini selesai, waktunya akan bertepatan dengan jam pulang kerja. Dia hanya perlu bertah
"Nggak perlu. Selain itu, Bu Livy adalah orang yang sangat penting bagimu. Aku ingin menjalin hubungan baik dengannya," kata Sylvia dengan tenang. "Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk bergaul dengan Bu Livy.""Pak Preston, sebenarnya aku punya jadwal lain sore ini. Bu Sylvia jelas bisa ...." Livy mencoba menyisipkan penjelasan, berharap bisa menyampaikan keinginannya untuk kembali bekerja.Namun, Preston tampaknya tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah dingin dan suaranya menjadi ketus, "Livy, pekerjaanmu hari ini adalah menemani Sylvia. Kalau kamu nggak mau bekerja di Grup Sandiaga, kamu bisa langsung mengundurkan diri.""Pak Preston, bukan begitu, aku hanya ingin tetap di kantor sore ini ...." Livy berusaha menjelaskan dengan penuh perjuangan.Namun, Sylvia sudah mulai bertindak manja. Dia meraih ujung jas Preston dan memohon dengan nada lembut, "Preston, peluk aku ke mobil, ya.""Baik."Begitu ucapan itu dilontarkan, Preston langsung membun
Ekspresi Livy langsung berubah.Sylvia jelas bukan meminta untuk "dibantu", tetapi ingin Livy menggendong Sylvia yang beratnya hampir sama dengan dirinya ke dalam mobil! Selain itu, Livy sama sekali tidak berniat meremehkan Sylvia hanya karena kondisinya."Bukan begitu, Preston. Aku nggak pernah meremehkan Sylvia ...," jelas Livy dengan tergagap.Namun, entah apa yang dikatakan Preston di telepon, mata Sylvia yang sebelumnya memerah karena berpura-pura menangis, kini perlahan-lahan kembali cerah. Meski begitu, nadanya tetap terdengar tersedu-sedu."Preston, aku tahu. Kamu nggak perlu menghiburku. Demi kamu, aku nggak pernah menyesal. Tapi aku nggak ingin jadi beban siapa pun. Kalau kamu juga merasa aku merepotkan, aku nggak akan muncul lagi di hadapanmu."Tubuh Livy terasa dingin seketika. Dia mendengar percakapan Sylvia yang sengaja dibuat agar terdengar olehnya. Suara Preston terdengar jelas dan tegas dari telepon."Sylvia, kamu nggak akan pernah jadi beban bagiku. Jangan menangis la
"Kelilingi semua bagian saja, ya. Maaf merepotkan Bu Livy untuk mendorongku. Oh, ya, setelah selesai mengunjungi Grup Sandiaga, sore ini akum au jalan-jalan juga. Jadi, aku perlu Bu Livy menemaniku."Apa? Mau jalan-jalan pula?Livy tetap berusaha sabar dan mengingatkan dengan nada sopan, "Bu Sylvia, tugasku dari Pak Preston cuma menemanimu berkeliling Grup Sandiaga. Untuk jalan-jalan, kamu mungkin bisa mengajak teman atau sahabatmu."Sylvia tertawa kecil dengan nada menyindir, "Sepertinya aku tahu kenapa Bu Livy nggak bisa naik ke posisi yang lebih tinggi. Bahkan maksud tersirat dari atasan pun nggak bisa dipahami.""Maksud Preston adalah hari ini pekerjaanmu adalah menemaniku. Atau ... apakah aku perlu menelepon Preston sekarang untuk memastikannya?""Nggak perlu," jawab Livy cepat. Dia tahu, jika Sylvia benar-benar menelepon Preston, hasilnya hanya akan membuat Preston berpihak pada Sylvia. Jika itu terjadi, Livy hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.Dengan senyum terpaksa, Livy
Untuk sesaat, seisi ruangan itu sunyi senyap. Livy berdiri perlahan, pandangannya tanpa sadar tertuju pada kedua orang yang baru saja masuk. Tebersit rasa getir yang samar di dadanya."Preston, jadi ini departemen sekretaris, ya? Kelihatannya memang bagus." Suara Sylvia terdengar begitu lembut dan memikat hingga semua orang yang mendengarnya merasa tersentuh.Kalau saja Livy tidak tahu Sylvia pernah sengaja mencoreng namanya sebelumnya, mungkin dia juga akan menganggap Sylvia sebagai wanita yang anggun dan penuh kelembutan."Hmm, ada delapan orang di sini, mereka bertugas menangani berbagai urusan," jelas Preston dengan nada datar. "Apa ada tempat lain yang ingin kamu lihat?""Tentu saja ada," jawab Sylvia dengan senyuman manis. Dia berkedip lembut dengan tatapan yang tampak begitu pengertian."Aku sudah lama nggak kembali ke negara ini, jadi belum sempat benar-benar melihat-lihat Grup Sandiaga. Tapi aku tahu kamu sibuk, Preston. Aku nggak bisa terus merepotkanmu. Gimana kalau aku menc
Nicky, Stanley ….Preston tidak percaya bahwa Livy tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka!"Livy."Mendengar namanya tiba-tiba dipanggil Preston, Livy menoleh. "Ada apa?" tanyanya."Ada sesuatu yang sebaiknya kamu akui sendiri terlebih dulu." Tatapan Preston sangat tajam seolah-olah bisa menebak isi pikiran orang.Livy tiba-tiba merasa bersalah. Setelah memikirkannya dengan saksama sejenak, dia berkata dengan tulus, "Sayang, aku nggak mengerti apa maksudmu."Mau terus terang apaan? Dia tidak pernah melakukan apa pun sama sekali. Sebaliknya, justru Preston yang terus menerus berlari ke arah Sylvia. Meski mereka hanya dalam hubungan kontrak, bukankah Preston seharusnya memberitahunya?Setidaknya katakan bahwa hubungan mereka dengan Sylvia akan segera berakhir. Dengan begitu, Livy bisa segera menarik kembali perasaan yang seharusnya tidak dia miliki. Bukan seperti sekarang, terus terombang-ambing antara rasa sakit dan momen-momen kehangatan yang diberikan Preston.....Hari Senin t
Ekspresi Preston tetap dingin tanpa emosi. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti menghujam tepat ke titik lemah Bahran.Pernikahan bisnis yang dulu dijalani Bahran dengan istrinya tidak dilandasi cinta. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka hanya menghasilkan seorang putri.Meski demikian, latar belakang istrinya cukup kuat, sehingga dia memiliki watak yang keras dan sulit dihadapi. Setiap ulah Bahran di luar rumah selalu sampai ke telinganya, dan setiap kali hal itu terjadi, pasti diikuti oleh pertengkaran besar."Preston, kamu ini terlalu ikut campur!" Bahran yang merasa harga dirinya diinjak, mulai kehilangan kendali.Dengan nada penuh amarah, dia berkata, "Kenapa berpura-pura di depanku? Kamu dan Livy sama sekali nggak punya cinta yang sebenarnya! Aku cuma ngasih tahu Livy cara terbaik untuk mengamankan posisinya, yaitu dengan punya anak. Sama seperti ibumu dulu. Setidaknya, dia mendapatkan sesuatu, bukan?"Kata-kata itu langsung menyulut kemarahan Preston. Aura din