"Mana mungkin aku nggak mau ikut? Lagian, ini kesempatan buat makan gratis!" jawab Ivana tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada kesal, "Aku nggak akan biarkan kamu makan malam sendirian sama Erick.""Livy, aku sekarang ini adalah penggemar berat pasangan kamu sama Bendy! Tenang saja, aku akan melindungi kalian berdua!"Livy hanya bisa tertawa kecil, bingung harus bagaimana menanggapinya.Dia tahu Ivana selalu salah paham tentang hubungannya dengan Bendy. Sudah dua kali dia mencoba menjelaskan, tapi tidak ada gunanya. Lagi pula, Bendy memang sering mewakili Preston ketika Preston tidak bisa hadir. Akibatnya, penjelasannya jadi sulit dipercaya.Meski begitu, Livy merasa lega Ivana bersedia ikut. Setidaknya, dia tidak perlu menghadapi Erick sendirian malam ini. Setelah mengobrol sebentar dengan Tristan, Livy akhirnya pamit pergi sekitar pukul empat sore.Ketika meninggalkan rumah besar Keluarga Sandiaga, Livy tanpa sadar melirik ponselnya lagi. Sejak siang tadi, setelah Preston pergi be
Ekspresi Livy langsung berubah muram. Apa maksud Erick? Benar-benar menjijikkan!Livy bahkan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi jika Ivana tidak ikut malam ini. Erick mungkin akan melakukan sesuatu yang tidak senonoh.Livy ingin segera pergi, tetapi mengingat mereka masih harus bekerja sama untuk proyek berikutnya, dia terpaksa menahan diri. Untungnya ada Ivana bersamanya, jadi Erick pasti tidak akan berani macam-macam.Kini, Livy hanya ingin segera menyelesaikan makan malam dan pergi dari tempat itu."Livy, jangan salah paham. Kamu kelihatannya nggak senang ...." Erick mencoba menjelaskan dengan nada pura-pura tulus."Aku milih tempat ini hanya karena steiknya enak. Itu ranjang bulat memang bawaan ruangan, bukan aku sengaja milih. Selain itu, aku sudah beli tiket bioskop. Setelah makan malam, aku pikir kita bisa nonton bareng ...."Ivana langsung memotongnya, "Malam ini kami punya jadwal sesama wanita, Erick! Kalau kamu mau ajak Livy yang sibuk ini, antre dulu, ya! Kami s
"Baik, Pak Preston."Telepon terputus dan Sylvia menampilkan senyum tipis penuh kebanggaan. Namun, dia buru-buru menyembunyikannya dan mengganti ekspresinya menjadi cemas, "Preston, ada apa sama Bu Livy?""Nggak apa-apa," jawab Preston dingin.Namun, di dalam hatinya, Preston sedang sangat kesal. Terutama ketika memikirkan bagaimana Livy terus-menerus melanggar peringatannya dengan bertemu Erick. Amarah yang membara di hatinya sulit untuk diredam.'Dia benar-benar menganggap peringatanku seperti angin lalu!' batinnya."Sudahlah, Preston, jangan marah sama Bu Livy," Sylvia mencoba meraih lengannya, tapi Preston melepaskan diri secara halus.Meskipun matanya memancarkan sedikit kekecewaan, Sylvia tetap berbicara dengan nada lembut dan hangat, "Bagaimanapun, pernikahan kalian terlalu buru-buru. Livy itu cantik sekali, wajar saja kalau banyak pria menyukainya. Jangan terlalu dipikirkan.""Jangan bahas dia," potong Preston dengan suara dingin.Melihat Preston yang semakin kesal, Sylvia memi
"Siapa kamu ...?" Kata-kata Erick terhenti di tenggorokannya.Livy yang setengah sadar, mengangkat kepalanya dari pelukan Erick. Dengan pandangan kabur, dia melihat sosok seorang pria di pintu yang mengenakan setelan jas.Apakah itu Preston?Livy mencoba untuk melihat lebih jelas, berharap itu adalah Preston. Namun, Erick lebih cepat mengenalinya dan langsung berseru, "Pak Bendy, kenapa Anda ada di sini?!"Bendy ...?Bukan Preston ....Hati Livy dipenuhi perasaan kecewa yang tak dapat dijelaskan."Uh, panas sekali ...."Panas yang membakar dari dalam tubuhnya semakin intens, membuat Livy tanpa sadar menarik-narik pakaiannya sendiri untuk mencari sedikit kelegaan.Erick yang masih mencoba mengambil kendali situasi, berkata, "Pak Bendy, Anda lihat sendiri, Livy lagi nggak enak badan. Aku cuma mau bawa dia pulang dulu ...."Bendy dengan cepat berjalan mendekat. Melihat wajah Livy yang memerah, dia segera memahami situasinya. Berani sekali Erick menggunakan obat seperti itu pada istri Pres
Namun pada detik berikutnya, terdengar suara pintu tertutup. Ketika Bendy menoleh, dia mendapati sofa tempat Livy tadi duduk sudah kosong. Lampu di kamar mandi menyala dan bayangan tubuh seseorang samar-samar terlihat dari balik pintu kaca.Dia segera membalikkan badan untuk menghindarinya dan bertanya dengan hati-hati, "Bu Livy, Anda sedang apa di sana?""Jangan pedulikan aku. Aku cuma berendam sebentar dengan air dingin," jawab Livy dengan suara lemah.Dia menenggelamkan dirinya ke dalam air dingin yang menusuk. Rasa dingin itu membantu sedikit meredakan panas membara dalam tubuhnya, meski tidak sepenuhnya.Namun, rasa gatal yang menyiksa dari dalam tubuhnya masih terus melahapnya. Livy hanya bisa menggigit bibirnya dan mencoba bertahan.Di tempat lain, Preston yang baru saja menutup telepon, merasa tidak tenang. Dia bangkit dari tempat duduknya. Namun saat itu juga, Sylvia yang berbaring di tempat tidur rumah sakit tiba-tiba membuka matanya dan berteriak, "Jangan!"Sylvia terlihat
"Nggak ... nggak apa-apa. Kami ... sementara ini memang belum berencana punya anak."Livy memaksakan senyum, mencoba terlihat seolah tidak peduli, meskipun hatinya berkecamuk. Dalam kenyataannya, dia mulai sangat menginginkan seorang anak.Sejak neneknya meninggal, dia tidak lagi memiliki keluarga. Karena itu ... dia benar-benar ingin memiliki seorang anak sebagai penerusnya.Namun, dia tahu, dirinya dan Preston tidak cocok untuk hal itu. Dia tidak punya hak untuk melahirkan anak Preston. Preston juga tidak akan pernah mengizinkannya."Kalau begitu, masih ada banyak waktu untuk memulihkan kondisi tubuhmu. Kamu masih muda, nikmatilah beberapa tahun lagi. Tapi kalau ada situasi seperti ini lagi, kenapa nggak kasih tahu Preston saja? Sebagai suamimu, sudah seharusnya dia membantumu dalam keadaan seperti ini ....""Keluar," sela Preston dengan dingin. Ekspresinya berubah suram, memberikan tekanan yang menakutkan. David langsung terdiam dan buru-buru meninggalkan ruangan.Sekarang hanya Liv
Dengan enggan, Livy menerima perawatan infus di tangan yang lain, sementara David membersihkan dan merawat luka di tangannya dengan cekatan."Bukannya aku mau ngomel, Pak Preston. Aku tahu kamu mungkin terburu-buru, tapi kamu nggak bisa mengabaikan kondisi Bu Livy, 'kan?"David bercanda sambil melirik Preston. "Aku baru saja turun untuk minum teh sebentar, kalian sudah perang besar di atas sini.""Kapan tubuhnya bisa pulih?" Preston memotong dengan nada dingin, tampak tidak tertarik dengan lelucon David.David melirik Livy yang langsung mengalihkan pandangan dengan canggung. "Dua hari. Selama dua hari ini, dia harus minum teh jahe dan memulihkan diri perlahan-lahan. Selebihnya, tinggal penyesuaian."Setelah menyelesaikan perawatan pada tangan Livy, David pun berdiri. Preston hanya menggumam tanpa melihat Livy lagi, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan.David merasa sedikit canggung, kemudian menggaruk kepalanya sambil melirik Livy dan pintu yang baru saja tertutup. Dengan suara kecil
Rivano berbicara panjang lebar, tanpa menyadari bahwa mata Livy sudah memerah dan penuh emosi. Jika ini adalah percakapan tatap muka, Rivano pasti bisa melihat ada sesuatu yang tidak beres.Namun, karena pembicaraan ini melalui telepon, dia hanyut dalam impiannya yang ambisius tentang masa depan tanpa memedulikan perubahan suasana hati Livy."Baiklah, aku akan perhatikan. Aku akan berusaha membantu Keluarga Pratama bangkit kembali dan buat Grup Pratama semakin besar," ujar Livy dengan nada datar.Kata-kata itu langsung membuat Rivano tertawa terbahak-bahak sambil memuji Livy sebagai anak yang berbakti.Livy menutup telepon, lalu memegangi dadanya. Butuh beberapa saat untuk menenangkan diri. Saat itu, pintu kantor mulai terbuka, rekan-rekan kerja perlahan masuk satu per satu.Ivana membawa dua cangkir kopi dan menghampiri Livy. Dia memeriksa Livy dengan saksama, lalu menghela napas lega. "Livy, kamu sudah baikan, 'kan?"Livy tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja. Kamu gimana? Ada masalah
Astaga, situasi macam apa ini?Telinga Livy terasa panas membara. Tanpa bisa dikendalikan, pikirannya mulai dipenuhi gambaran-gambaran yang tidak senonoh.Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan mesum dari Preston. Dia mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan dan mulai mencari informasi tentang Mathias.Informasi tentang pria itu cukup terbatas di internet. Katanya, dia adalah pria paruh baya yang merintis usahanya dari nol dan dikenal memiliki cara bicara yang baik.Namun, ada juga beberapa rumor negatif yang menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, dia diam-diam berselingkuh dari istrinya dan memiliki banyak wanita di luar.Livy tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Yang bisa dilakukan hanya mempersiapkan diri, mempelajari berbagai hal tentang musik, catur, kaligrafi, dan lukisan.Meskipun dia tahu usahanya mungkin tidak terlalu berpengaruh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mempersiapkan apa pun.Setelah sibuk sepanjang sore, Livy akhirnya tiba di r
"Livy, ke mana saja tadi? Kenapa lama sekali tanpa bilang apa-apa ke kami? Jangan-jangan kamu malas-malasan?"Pria paruh baya itu berdiri dengan perut buncitnya. Meskipun gemuk, dia tetap berusaha memakai jas seperti orang lain. Namun, penampilannya malah seperti agen asuransi yang sedang mengalami krisis paruh baya.Livy mengerutkan keningnya sedikit dan menjelaskan, "Pak Preston mencariku, ada beberapa hal yang harus disampaikan.""Oh, ternyata Pak Preston ...." Umay menyipitkan matanya, tampak sedikit mengejek. "Ya, wajar saja Pak Preston masih memperhatikanmu. Bagaimanapun, dulu kamu bekerja di bawahnya.""Tapi, aku harap wanita sepertimu nggak langsung berpikir macam-macam hanya karena seorang pria bersikap baik sedikit kepadamu. Ingat, Pak Preston sudah punya istri. Lebih baik kamu realistis saja dan pertimbangkan untuk ....""Kak Umay, sebenarnya ada urusan apa mencariku?" Melihat pria menyebalkan di depan berbicara semakin tidak sopan, Livy buru-buru memotong ucapannya."Nggak
Livy tertegun. Preston ... apa maksudnya?Preston kembali berkata, "Dia cuma keponakanku, sedangkan kamu adalah istriku."Oh, jadi begitu. Livy mengerti sekarang. Bagi Preston, statusnya sebagai istri memang sedikit lebih tinggi daripada status seorang keponakan. Namun, hanya sebatas itu. Hanya karena saat ini, dia masih menjadi istri Preston."Lebih baik nggak usah," ujar Livy setelah berpikir sejenak. "Aku juga jarang punya waktu untuk memakai tas seperti ini. Kalau cuma disimpan di rumah, rasanya akan terbuang sia-sia.""Biarkan saja terbuang sia-sia," kata Preston dengan tidak acuh. Baginya, uang seperti ini hanyalah jumlah kecil. Jika istrinya menyukai sesuatu, dia akan membelinya tanpa peduli apakah benda itu akan terpakai atau tidak."Tapi ...." Livy masih ingin berkata sesuatu, tetapi Preston sudah menariknya ke dalam pelukan."Aku memberikan hadiah untuk istriku, tapi kamu malah menolaknya berulang kali? Kamu pikir aku miskin sampai nggak sanggup membelikanmu sesuatu sekecil i
"Mana mungkin!" Livy buru-buru melambaikan tangannya. "Di departemen sekretaris masih ada banyak senior. Kamu juga termasuk salah satu senior buatku. Jangan bicara seperti itu.""Ya, ya, aku paham." Ivana buru-buru menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Aku serius kali ini. Pak Preston mencarimu, dia suruh kamu ke atas.""Kenapa kamu yang mencariku?" Livy sedikit terkejut. Biasanya kalau ada urusan seperti ini, Bendy yang datang menemuinya.Ivana menjawab, "Sepertinya Pak Bendy ada urusan mendadak. Dia cuma sempat mampir sebentar ke departemen sekretaris untuk menyampaikan pesan. Sudahlah, Livy, cepat naik ke atas. Siapa tahu Pak Preston berubah pikiran dan mau memindahkanmu kembali ke departemen sekretaris!"Tidak mungkin, 'kan? Semalam Preston sudah mengatakan bahwa dia tidak akan memindahkannya kembali sebelum misinya selesai.Dengan penuh rasa penasaran, Livy segera mengetuk pintu kantor Preston."Masuk."Saat mendorong pintu, Livy melihat Preston sedang tidak bekerja. Pria itu memeg
"Hah?" Livy sempat mengira dirinya salah dengar. Namun, saat melihat Preston menunggu dengan ekspresi seperti ingin dilayani, dia yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.Membantu dia mandi? Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan mata membelalak.Sebagian besar pakaiannya sudah terlepas, memperlihatkan tubuh ramping dengan garis otot yang tegas. Di bawah cahaya lampu, sosok itu terlihat begitu mencolok hingga membuat jantungnya berdebar.Ditambah lagi dengan wajah Preston yang dingin, tegas, dan sempurna, semuanya memberikan dampak visual yang sangat kuat.Sejak kejadian itu, sebenarnya sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali mereka melakukannya. Seorang wanita ... juga memiliki kebutuhannya sendiri.Livy berdeham, mencoba menahan rasa malu yang merayap di hatinya. Dia terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia masih membutuhkan bantuan pria ini.Sambil menggigit bibirnya, dia mulai membuka kancing kemeja Preston. Sesudah itu, dia bergerak turun ke celana. Ketika tiba giliran
Preston masih punya sedikit kendali atas dirinya sendiri. Lagi pula, setelah 2 hari berturut-turut, tubuh Livy pasti masih butuh waktu untuk beristirahat dengan baik."Kalau begitu ... 6 juta?" Dengan berat hati, Livy menambahkan 2 juta lagi. Wajahnya pun terlihat tegang. "Benaran nggak bisa lebih lagi? Bonusku sedikit banget."Terakhir kali, dia hanya mendapat 1 juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu hidangan Preston."Beberapa hari lagi, bagian keuangan akan mentransfer sisa bonusmu yang sebelumnya. Jadi, kamu nggak bakal sampai kekurangan uang. Lagi pula, bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Punya uang tapi nggak dipakai. Kamu bodoh ya?" Nada suara Preston terdengar agak pasrah.Bonus sebelumnya? Livy kaget dan baru teringat. Dia buru-buru bertanya, "Masalah dengan Sherly itu ulahmu ya?"Meskipun kemungkinan besar jawabannya adalah iya, dia tetap ingin memastikan. "Hmm, aku menyuruh Bendy menyelidikinya.""Bonusmu ternyata disalahgunakan oleh Sherly, jadi aku meminta bagia
Jantung Livy seakan-akan berhenti berdetak sejenak. Dia awalnya hanya ingin bertingkah manja untuk mencari jalan pintas, tetapi Preston malah menanggapinya dengan serius.Setelah tertegun sesaat, Livy tiba-tiba merasa dirinya seperti seorang badut. Benar juga, mereka ini pasangan suami istri macam apa?Mereka bukanlah pasangan dalam arti yang sesungguhnya. Jadi, Preston sama sekali tidak punya kewajiban untuk berbagi rahasia bisnis dengannya. Bisa jadi, dia justru sedang menjaga jarak dan tidak ingin berbagi dengannya."Kenapa diam?" Melihat Livy termenung, Preston semakin kesal dan kembali bertanya, "Apa kamu punya sedikit perasaan untukku?""Kenapa nggak? Tentu saja punya." Livy tidak mengerti kenapa pria ini tiba-tiba marah. Tadi, dia sempat mengira Preston tersinggung karena dirinya terlalu percaya diri, tetapi sekarang kenapa justru bertanya soal perasaan?Apakah dia ingin Livy membujuknya? Livy tidak yakin. Atau Preston sedang menguji perasaannya yang sebenarnya?Pada akhirnya, L
Tadi dia ... sudahlah.Preston berdeham pelan, lalu sedikit mengubah topik pembicaraan. "Soal barbeku itu, akhir pekan ini kamu bawa aku ke sana.""Hah?" Livy tampak terkejut dan buru-buru mengingatkan, "Tempat itu cukup terpencil dan semua mejanya di luar ruangan. Aku takut kamu bakal kurang nyaman makan di sana.""Kamu bisa makan, kenapa aku nggak bisa?" balas Preston dengan santai."Baiklah."Lagi pula, Preston yang minta sendiri. Jangan sampai nanti setelah diajak, dia malah menunjukkan ekspresi tidak senang. Itu pasti akan membuat Livy kesal.Sambil menuangkan segelas air lagi untuk dirinya sendiri, Livy menyadari tatapan yang dilayangkan Preston kepadanya. Dengan sigap, dia juga menuangkan segelas air untuk pria itu.Preston menerima air putih yang diberikan Livy, lalu tiba-tiba berkata, "Aku dengar kamu berhasil mengamankan kerja sama ini hanya dalam 5 hari.""Mm ... sebenarnya masih banyak yang belum aku pahami, jadi butuh waktu cukup lama. Tapi, ya sudahlah, setidaknya ini lan
Ryan berbicara dengan pelan, tetapi kata-katanya mengandung makna menyindir jika didengar dengan lebih saksama. Namun, kata-kata itu juga terdengar sedang mengeluh. Ryan sedang mengeluh padanya?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Livy langsung menepis pemikiran itu dan berpikir itu pasti hanya sekadar mengeluh biasa saja. Ryan bisa mengajak seseorang dengan mudah, tetapi dia malah menolak undangannya tiga kali. Oleh karena itu, wajar saja jika Ryan mengeluh."Maaf, aku benar-benar agak sibuk," jelas Livy dengan suara pelan."Nggak masalah, aku sudah memaafkanmu," kata Ryan sambil tersenyum dan tatapannya terlihat santai, seolah-olah bisa menarik perhatian siapa pun yang melihatnya."Selesai!"Setelah mengambil beberapa foto lagi, Hesti segera mengembalikan ponselnya pada Ryan dan berkata dengan semangat, "Tuan Ryan, kamu dan Livy benar-benar terlihat sangat serasi, aku sampai nggak tahan untuk mengambil beberapa foto lagi.""Nggak masalah, terima kasih," kata Ryan sambil kembali menge