Seolah-olah, air matanya telah kering sejak dia menangis habis-habisan saat neneknya meninggal dunia. Dengan perasaan kosong, Livy berdiri dari sofa dan melangkah perlahan menuju kamar tidur.....Keesokan paginya.Livy bangun pagi untuk pergi bekerja. Dia hampir tidak tidur sepanjang malam, pikirannya dipenuhi mimpi-mimpi aneh yang membuatnya semakin lelah.Ketika Ivana datang ke kantor dan menyapa Livy, Livy menoleh untuk membalas. Namun, Ivana malah terkejut dan langsung berteriak, "Livy, jangan bilang kamu semalaman lembur di sini?"Ivana yang datang lebih awal dari biasanya, mendapati hanya Livy yang ada di kantor. Namun, lingkaran hitam di bawah mata Livy membuat Ivana curiga dia tidak tidur semalaman."Nggak, aku nggak lembur. Cuma tadi malam susah tidur. Jadi, aku pikir lebih baik datang lebih pagi dan mulai bekerja," jawab Livy dengan suara lemah.Ivana menghela napas dengan khawatir. "Kamu kangen nenekmu lagi, ya? Tunggu sebentar, kubelikan kopi supaya kamu lebih segar."Livy
Rivano sudah terbiasa dengan sikap dingin Livy. Dengan nada penuh basa-basi, dia melanjutkan pembicaraannya."Bisa hargai Ayah sedikit nggak? Sekarang kamu nggak pernah lagi cerita ke Ayah kalau ada kesulitan, giman Ayah bisa tahu? Livy, kenapa kamu sekarang jadi begini? Dulu kamu sangat manis dan patuh, Ayah selalu bangga padamu ...."Mendengar ucapannya, Livy tidak bisa lagi menahan diri. Sebuah senyuman dingin muncul di sudut bibirnya, tetapi matanya mulai terasa panas. "Rivano, putrimu cumaa Zoey. Aku bukan," potong Livy dengan suara sedingin es."Livy, jangan bilang begitu. Kamu dan Zoey sama-sama anak Ayah. Semuanya darah daging Ayah!" Rivano buru-buru mencoba menjelaskan.Ucapan itu hanya membuat hati Livy terasa perih. "Hentikan omong kosong itu, Rivano. Waktu kamu mengusirku dari rumah, apa aku masih dianggap anakmu?""Waktu itu Ayah juga nggak punya pilihan. Kamu harus mengerti keadaan Ayah saat itu," Rivano mencoba membela dirinya.Livy hampir tertawa karena ucapan itu. "Ngg
"Ini demi kebaikanmu juga. Keluarga kaya itu suka menjaga privasi, nggak ingin memperbesar masalah. Zoey itu nggak sabaran.""Aku takut kalau dia terus begini, dia malah menjatuhkan dirinya sendiri dan menyeretmu ke dalam masalah. Lihat saja, semua yang aku prediksi benar, dia sampai berani menggoda suami kakaknya sendiri ...."Kemudian dia buru-buru menambahkan, "Tentu saja, dia nggak tahu kalau Preston adalah suamimu. Wajar saja kalau dia ingin memanfaatkan kesempatan itu. Orang selalu ingin naik ke status yang lebih tinggi. Kamu juga begitu, bukan? Bedanya, kamu berhasil."Livy terdiam. Dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa lagi."Kamu tahu kenapa orang kaya suka beramal? Membantu orang lain sama saja dengan membantu diri sendiri, sebagai bentuk karma baik. Apalagi Zoey adalah adik kandungmu. Membantunya mendapatkan pekerjaan nggak akan memengaruhi posisimu sebagai istri Preston."Rivano terus berbicara tanpa henti untuk mencoba meyakinkan Livy.Namun, setelah menghabiskan
"Nyonya ... maksudku, Bu Livy. Anda kembali saja lagi nanti." Bendy mengatupkan bibir sambil menghindari tatapan Livy.Livy memperhatikan ekspresinya. Bendy tampak tidak berani menatap matanya, seolah-olah ada hal yang ingin dia katakan tetapi tidak bisa diungkapkan. Dia hanya bisa memberikan petunjuk halus untuk menyarankan Livy pergi."Saya ke sini untuk melapor. Kalau Pak Preston sudah selesai, tolong beri tahu saya," ujar Livy dengan nada tenang.Livy tahu, dirinya tidak punya hak untuk masuk dan mengganggu, bahkan jika Preston benar-benar sedang bersama wanita lain di dalam. Dia tidak berhak untuk menghalanginya. Sebuah senyuman getir muncul di wajahnya. Dia berbalik dan berjalan pergi.Bendy memanggilnya, "Bu Livy, nanti setelah Pak Preston selesai, saya akan mengabari Anda."Namun, baru beberapa langkah, Livy kembali teringat tentang iced americano pagi itu. Jika Preston tidak peduli padanya, mengapa dia repot-repot membawakannya kopi?Livy berbalik karena rasa penasaran mendomi
Livy telah mencurahkan begitu banyak usaha untuk beradaptasi dengan posisi barunya. Setelah melalui masa transisi bersama Sherly, dia akhirnya terbiasa dengan pekerjaannya. Jika harus kembali ke posisi sebelumnya, itu hanya akan memberikan kesan bahwa dia tidak kompeten dalam pekerjaannya sekarang."Kalau lain kali kamu begini lagi karena pekerjaan, tinggalkan posisi ini," ujar Preston dengan nada datar. Livy hanya bisa mengangguk pelan, tidak ingin memperdebatkan lebih jauh.Cinta sejatinya sudah kembali. Preston masih mengizinkannya bekerja di Grup Sandiaga saja sudah patut disyukuri. Dalam hatinya, Livy merasa itulah satu-satunya hal yang bisa dia harapkan."Aku sudah minta Bendy untuk belikan makanan bergizi untukmu. Istirahatlah di sini. Setelah infus selesai, sopir akan mengantarmu pulang. Aku juga sudah minta Bi Tina siapin makanan penambah stamina di rumah," kata Preston.Kata-kata itu membawa sedikit kehangatan ke hati Livy. Namun, kalimat berikutnya membuatnya merasa seperti
Pria itu duduk di balik meja kerjanya dengan kepala tertunduk sambil sibuk memeriksa dokumen. Livy melangkah masuk ke ruangan. Saat baru saja dia hendak berbicara, suara Preston telah terlebih dulu memecah keheningan."Makanannya ada di atas meja kopi, makan selagi masih hangat."Livy tertegun. "Makan? Makan apa?""Untuk berjaga-jaga kalau kamu melewatkan waktu makan siang di kantin, aku sudah minta koki menyiapkan makanan bergizi. Mulai sekarang, saat jam makan siang, kamu langsung naik ke sini untuk makan. Nanti saat waktunya makan, aku akan minta Bendy mengingatkanmu."Kata-kata itu membuat Livy semakin bingung. Apa yang sedang terjadi?Dia menatap Preston, berusaha mencari penjelasan, tetapi pria itu terlihat sibuk. Karena tidak ingin mengganggunya, Livy pun berjalan ke arah sofa.Di atas meja kopi, ada satu set kotak makanan dalam wadah termal. Dia membuka salah satunya dan di dalamnya terdapat hidangan lengkap, termasuk sup ayam dan dua porsi nasi beserta alat makan. Jelas ini ad
Livy terpaksa berkata, "Mulai sekarang, setiap siang aku harus ke kantor Pak Preston untuk melapor.""Apa? Kok Pak Preston sekeras itu sih, masa waktu makan siangmu juga dipakai kerja? Kamu belum makan, 'kan? Gimana kalau kita pesan makanan dari luar aja?" tanya Ivana dengan nada perhatian."Nggak usah," Livy menjawab sambil menggigit bibirnya. "Aku ... aku sudah makan di tempat Bendy. Cuma makan siang kerja biasa."Namun, mungkin karena rasa gugupnya, pipi Livy mulai memerah tanpa disadarinya."Wah, wah! Apa yang kulihat ini? Livy-ku lagi tersipu malu!" Ivana langsung semangat menggodanya, matanya penuh semangat untuk menggosip. "Jangan-jangan itu bukan sekadar makan siang kerja, tapi makan siang penuh cinta?""Bukan, sungguh, itu cuma makan siang kerja," tegas Livy. "Pak Preston yang minta."Dia semakin merasa bersalah karena terus berbohong. Jika Ivana terus menekannya, dia takut rahasianya akan terbongkar.Padahal, bukan karena Livy tidak memercayai Ivana. Mereka memiliki hubungan
Sebelum Livy bertanya, Erick sudah mengambil inisiatif untuk mengaku, "Aku yang kasih kamu amerikano itu."Setelah mendengar jawaban dari keraguan dalam hatinya, Livy tak kuasa termangu. Dia dan Erick hampir tidak pernah berinteraksi di perusahaan sebelumnya. Kenapa pria ini tiba-tiba memberinya kopi?"Pak, lain kali nggak usah sesungkan ini," tolak Livy dengan sopan. Dia tidak ingin berutang budi kepada siapa pun, apalagi mereka tidak punya hubungan apa pun."Bukan masalah besar. Aku cuma kasihan melihatmu begitu sibuk belakangan ini. Kamu mengambil alih pekerjaan Bu Sherly. Kelak kita juga akan banyak berinteraksi. Jadi, nggak usah sungkan-sungkan." Erick tersenyum dengan murah hati.Livy menggigit bibirnya dan hanya bisa tersenyum tipis sebagai balasan. Dia tidak bisa menolak dengan keras. Itu hanya akan membuatnya terlihat terlalu percaya diri. Mungkin saja, Erick tidak punya maksud lain terhadapnya.Ketika melihat reaksi Livy, Erick pun diam-diam merasa senang. Livy tidak menolakn
Ekspresi Livy langsung berubah.Sylvia jelas bukan meminta untuk "dibantu", tetapi ingin Livy menggendong Sylvia yang beratnya hampir sama dengan dirinya ke dalam mobil! Selain itu, Livy sama sekali tidak berniat meremehkan Sylvia hanya karena kondisinya."Bukan begitu, Preston. Aku nggak pernah meremehkan Sylvia ...," jelas Livy dengan tergagap.Namun, entah apa yang dikatakan Preston di telepon, mata Sylvia yang sebelumnya memerah karena berpura-pura menangis, kini perlahan-lahan kembali cerah. Meski begitu, nadanya tetap terdengar tersedu-sedu."Preston, aku tahu. Kamu nggak perlu menghiburku. Demi kamu, aku nggak pernah menyesal. Tapi aku nggak ingin jadi beban siapa pun. Kalau kamu juga merasa aku merepotkan, aku nggak akan muncul lagi di hadapanmu."Tubuh Livy terasa dingin seketika. Dia mendengar percakapan Sylvia yang sengaja dibuat agar terdengar olehnya. Suara Preston terdengar jelas dan tegas dari telepon."Sylvia, kamu nggak akan pernah jadi beban bagiku. Jangan menangis la
"Kelilingi semua bagian saja, ya. Maaf merepotkan Bu Livy untuk mendorongku. Oh, ya, setelah selesai mengunjungi Grup Sandiaga, sore ini akum au jalan-jalan juga. Jadi, aku perlu Bu Livy menemaniku."Apa? Mau jalan-jalan pula?Livy tetap berusaha sabar dan mengingatkan dengan nada sopan, "Bu Sylvia, tugasku dari Pak Preston cuma menemanimu berkeliling Grup Sandiaga. Untuk jalan-jalan, kamu mungkin bisa mengajak teman atau sahabatmu."Sylvia tertawa kecil dengan nada menyindir, "Sepertinya aku tahu kenapa Bu Livy nggak bisa naik ke posisi yang lebih tinggi. Bahkan maksud tersirat dari atasan pun nggak bisa dipahami.""Maksud Preston adalah hari ini pekerjaanmu adalah menemaniku. Atau ... apakah aku perlu menelepon Preston sekarang untuk memastikannya?""Nggak perlu," jawab Livy cepat. Dia tahu, jika Sylvia benar-benar menelepon Preston, hasilnya hanya akan membuat Preston berpihak pada Sylvia. Jika itu terjadi, Livy hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.Dengan senyum terpaksa, Livy
Untuk sesaat, seisi ruangan itu sunyi senyap. Livy berdiri perlahan, pandangannya tanpa sadar tertuju pada kedua orang yang baru saja masuk. Tebersit rasa getir yang samar di dadanya."Preston, jadi ini departemen sekretaris, ya? Kelihatannya memang bagus." Suara Sylvia terdengar begitu lembut dan memikat hingga semua orang yang mendengarnya merasa tersentuh.Kalau saja Livy tidak tahu Sylvia pernah sengaja mencoreng namanya sebelumnya, mungkin dia juga akan menganggap Sylvia sebagai wanita yang anggun dan penuh kelembutan."Hmm, ada delapan orang di sini, mereka bertugas menangani berbagai urusan," jelas Preston dengan nada datar. "Apa ada tempat lain yang ingin kamu lihat?""Tentu saja ada," jawab Sylvia dengan senyuman manis. Dia berkedip lembut dengan tatapan yang tampak begitu pengertian."Aku sudah lama nggak kembali ke negara ini, jadi belum sempat benar-benar melihat-lihat Grup Sandiaga. Tapi aku tahu kamu sibuk, Preston. Aku nggak bisa terus merepotkanmu. Gimana kalau aku menc
Nicky, Stanley ….Preston tidak percaya bahwa Livy tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka!"Livy."Mendengar namanya tiba-tiba dipanggil Preston, Livy menoleh. "Ada apa?" tanyanya."Ada sesuatu yang sebaiknya kamu akui sendiri terlebih dulu." Tatapan Preston sangat tajam seolah-olah bisa menebak isi pikiran orang.Livy tiba-tiba merasa bersalah. Setelah memikirkannya dengan saksama sejenak, dia berkata dengan tulus, "Sayang, aku nggak mengerti apa maksudmu."Mau terus terang apaan? Dia tidak pernah melakukan apa pun sama sekali. Sebaliknya, justru Preston yang terus menerus berlari ke arah Sylvia. Meski mereka hanya dalam hubungan kontrak, bukankah Preston seharusnya memberitahunya?Setidaknya katakan bahwa hubungan mereka dengan Sylvia akan segera berakhir. Dengan begitu, Livy bisa segera menarik kembali perasaan yang seharusnya tidak dia miliki. Bukan seperti sekarang, terus terombang-ambing antara rasa sakit dan momen-momen kehangatan yang diberikan Preston.....Hari Senin t
Ekspresi Preston tetap dingin tanpa emosi. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti menghujam tepat ke titik lemah Bahran.Pernikahan bisnis yang dulu dijalani Bahran dengan istrinya tidak dilandasi cinta. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka hanya menghasilkan seorang putri.Meski demikian, latar belakang istrinya cukup kuat, sehingga dia memiliki watak yang keras dan sulit dihadapi. Setiap ulah Bahran di luar rumah selalu sampai ke telinganya, dan setiap kali hal itu terjadi, pasti diikuti oleh pertengkaran besar."Preston, kamu ini terlalu ikut campur!" Bahran yang merasa harga dirinya diinjak, mulai kehilangan kendali.Dengan nada penuh amarah, dia berkata, "Kenapa berpura-pura di depanku? Kamu dan Livy sama sekali nggak punya cinta yang sebenarnya! Aku cuma ngasih tahu Livy cara terbaik untuk mengamankan posisinya, yaitu dengan punya anak. Sama seperti ibumu dulu. Setidaknya, dia mendapatkan sesuatu, bukan?"Kata-kata itu langsung menyulut kemarahan Preston. Aura din
Chloe segera mengendalikan ekspresinya.Makan malam berlangsung cepat. Preston dan Tristan naik ke lantai dua untuk membahas sesuatu di ruang kerja. Livy tidak ingin terus berada bersama Keluarga Sandiaga, sehingga dia mencari alasan pergi ke taman belakang untuk menghirup udara segar."Livy, lagi menikmati bulan, ya?" Baru saja Livy menemukan tempat untuk duduk, suara Bahran tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Livy menoleh dan mengangguk dengan canggung. "Iya, cuma sebentar saja. Kak, aku pamit dulu. Aku nggak mau mengganggu waktu Kakak.""Kenapa buru-buru?" Bahran menghalangi jalannya dengan langkah santai. Pandangannya yang tertuju pada Livy tampak penuh maksud tersembunyi, sementara senyum di wajahnya terlihat ramah. "Livy, yang tadi kubilang di depan Ayah itu semua benar, lho."Mata Livy segera memancarkan kewaspadaan. "Apa maksud Kakak?"Bahran melanjutkan, "Begini, jangan tertipu dengan kesan bahwa Preston nggak peduli sama wanita. Dia memang kelihatannya pria baik yang nggak
Hati Livy langsung tersentak. Apakah Chloe sudah tahu semuanya?Telapak tangannya mulai berkeringat. Livy khawatir Chloe akan mengungkap hubungannya dengan Stanley. Meskipun Stanley yang berselingkuh dan bersalah, dengan semua ucapan yang dilontarkan Chloe tadi, sulit untuk tidak membuat Keluarga Sandiaga memiliki persepsi buruk terhadapnya."Benaran aku kenal?" Melanie semakin bersemangat dan buru-buru bertanya, "Chloe, coba bilang sama Bibi, siapa sebenarnya wanita yang nggak tahu malu itu?"Tubuh Livy menjadi tegang dan pandangannya tertuju erat pada Chloe.Tebersit ejekan di mata Chloe. Dia memutar sedikit kata-katanya sebelum akhirnya tersenyum tipis."Aib keluarga nggak perlu diumbar. Wanita itu mungkin cuma terpikat karena Stanley terlalu luar biasa. Meskipun dia mencoba mendekat, Stanley nggak akan menginginkannya. Nggak usah dibahas lagi, buang waktu saja!""Oh, Chloe memang berbesar hati." Melanie tersenyum kecil."Kenapa kamu kelihatannya tegang sekali?" Suara dingin Preston
"Bahran!" bentak Tristan yang tidak tahan lagi mendengar ucapannya.Tristan mengayunkan tongkatnya ke arah Bahran dua kali, tetapi Bahran menghindar dengan cepat. Saking marahnya, Tristan mengentakkan tongkatnya dengan keras ke lantai sambil berkata, "Aku tahu seperti apa Preston itu! Kamu pikir semua orang seperti kamu yang bisa melakukan hal nggak tahu malu begini?"Bahran yang terus dimarahi oleh semua orang, wajahnya mulai memerah. Dengan nada gelisah, dia akhirnya membuka mulut."Ayah nggak boleh bilang gitu. Ayah sendiri juga sama saja, 'kan? Setelah nikah sama Ibu, Ayah tetap bersenang-senang di luar. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Aku bisa jadi begini juga karena niru Ayah ....""Kurang ajar!"Tristan benar-benar marah. Dia bangkit dari sofa dan menghantamkan tongkatnya ke arah Bahran dua kali dengan keras. "Suruh kamu pulang untuk makan sama-sama, bukan untuk bicara begini! Kalau kamu begini lagi, lain kali kamu nggak usah pulang lagi daripada aku mati kesal!""Sudah,
Sebelumnya Erick, sekarang Nicky. Jika hanya satu pria, Preston masih bisa memahaminya. Namun, sekarang ada begitu banyak pria yang bermunculan di sekitar Livy. Tidak mungkin jika mengatakan tidak ada masalah pada wanita ini.Namun, ucapan Preston bagaikan pisau tajam yang menikam hati Livy. Bibirnya sampai memucat. Lipstik sekalipun tidak bisa menutupi kepucatannya itu."Jadi, kamu rasa ini salahku? Kamu rasa aku yang nggak menjaga diri?""Aku cuma memperingatkanmu. Selama kontrak kita belum berakhir, sebaiknya jangan melakukan hal-hal yang melanggar moral. Mengenai Nicky ... dia cuma pengacara biasa. Kalau kamu masih diam-diam bertemu dengannya, aku bisa membuatnya kehilangan pekerjaan."Nada bicara dan ekspresi Preston sama dinginnya. Ini adalah ancaman yang terang-terangan. Livy tahu Preston bisa melakukan hal seperti itu. Erick adalah contoh pertama.Jika Preston bisa membuat Erick dipenjara, dia tentu tidak akan menunjukkan belas kasihan kepada Nicky. Livy tidak ingin Nicky menja