Pria itu duduk di balik meja kerjanya dengan kepala tertunduk sambil sibuk memeriksa dokumen. Livy melangkah masuk ke ruangan. Saat baru saja dia hendak berbicara, suara Preston telah terlebih dulu memecah keheningan."Makanannya ada di atas meja kopi, makan selagi masih hangat."Livy tertegun. "Makan? Makan apa?""Untuk berjaga-jaga kalau kamu melewatkan waktu makan siang di kantin, aku sudah minta koki menyiapkan makanan bergizi. Mulai sekarang, saat jam makan siang, kamu langsung naik ke sini untuk makan. Nanti saat waktunya makan, aku akan minta Bendy mengingatkanmu."Kata-kata itu membuat Livy semakin bingung. Apa yang sedang terjadi?Dia menatap Preston, berusaha mencari penjelasan, tetapi pria itu terlihat sibuk. Karena tidak ingin mengganggunya, Livy pun berjalan ke arah sofa.Di atas meja kopi, ada satu set kotak makanan dalam wadah termal. Dia membuka salah satunya dan di dalamnya terdapat hidangan lengkap, termasuk sup ayam dan dua porsi nasi beserta alat makan. Jelas ini ad
Livy terpaksa berkata, "Mulai sekarang, setiap siang aku harus ke kantor Pak Preston untuk melapor.""Apa? Kok Pak Preston sekeras itu sih, masa waktu makan siangmu juga dipakai kerja? Kamu belum makan, 'kan? Gimana kalau kita pesan makanan dari luar aja?" tanya Ivana dengan nada perhatian."Nggak usah," Livy menjawab sambil menggigit bibirnya. "Aku ... aku sudah makan di tempat Bendy. Cuma makan siang kerja biasa."Namun, mungkin karena rasa gugupnya, pipi Livy mulai memerah tanpa disadarinya."Wah, wah! Apa yang kulihat ini? Livy-ku lagi tersipu malu!" Ivana langsung semangat menggodanya, matanya penuh semangat untuk menggosip. "Jangan-jangan itu bukan sekadar makan siang kerja, tapi makan siang penuh cinta?""Bukan, sungguh, itu cuma makan siang kerja," tegas Livy. "Pak Preston yang minta."Dia semakin merasa bersalah karena terus berbohong. Jika Ivana terus menekannya, dia takut rahasianya akan terbongkar.Padahal, bukan karena Livy tidak memercayai Ivana. Mereka memiliki hubungan
Sebelum Livy bertanya, Erick sudah mengambil inisiatif untuk mengaku, "Aku yang kasih kamu amerikano itu."Setelah mendengar jawaban dari keraguan dalam hatinya, Livy tak kuasa termangu. Dia dan Erick hampir tidak pernah berinteraksi di perusahaan sebelumnya. Kenapa pria ini tiba-tiba memberinya kopi?"Pak, lain kali nggak usah sesungkan ini," tolak Livy dengan sopan. Dia tidak ingin berutang budi kepada siapa pun, apalagi mereka tidak punya hubungan apa pun."Bukan masalah besar. Aku cuma kasihan melihatmu begitu sibuk belakangan ini. Kamu mengambil alih pekerjaan Bu Sherly. Kelak kita juga akan banyak berinteraksi. Jadi, nggak usah sungkan-sungkan." Erick tersenyum dengan murah hati.Livy menggigit bibirnya dan hanya bisa tersenyum tipis sebagai balasan. Dia tidak bisa menolak dengan keras. Itu hanya akan membuatnya terlihat terlalu percaya diri. Mungkin saja, Erick tidak punya maksud lain terhadapnya.Ketika melihat reaksi Livy, Erick pun diam-diam merasa senang. Livy tidak menolakn
Tiba-tiba, seseorang memasuki ruang kantor. Livy melihat degan saksama. Ternyata itu adalah Erick."Pak, apa ada masalah?" tanya Livy.Erick tersenyum. "Aku baru menyelesaikan pekerjaanku. Aku cuma mau lihat kamu sudah siap atau belum. Rumahmu di mana? Biar kuantar pulang.""Nggak usah, aku bisa pulang sendiri kok," tolak Livy dengan lembut."Nggak usah sungkan-sungkan denganku. Aku bawa mobil. Jadi, kamu nggak usah repot-repot naik taksi atau MRT lagi. Kalau bukan karena ada tugas di luar, kamu juga nggak usah kerja sampai semalam ini. Aku tentu harus menjagamu," ujar Erick yang mencari alasan."Benaran nggak usah, Pak." Livy merasa sangat canggung. "Aku sudah terbiasa lembur, nggak ada hubungannya dengan tugas di luar. Aku mungkin masih butuh beberapa jam lagi. Kamu pulang saja dulu.""Kamu mau menipuku? Livy, komputermu saja sudah dimatikan." Erick langsung mengetahui kebohongan Livy. Senyuman Livy pun membeku.Apalagi, Erick memanggil namanya secara langsung. Jika ada orang lain ya
"Nggak, kami nggak dekat kok." Livy menggigit bibirnya, lalu menjawab dengan jujur, "Dia bilang nggak ingin makan di kantin, jadi mengusulkan makan di luar. Kemudian, kita balik ke kantor untuk lembur."Begitu ucapan ini dilontarkan, Preston terkekeh-kekeh sinis dan menyindir, "Yang gratis dan bersih nggak mau. Malah habis uang untuk hal-hal kotor di luar."Livy tahu yang dimaksud Preston adalah makanan. Namun, entah mengapa, dia merasa perumpamaan Preston ini agak aneh."Terus, ngapain kamu kembali ke Sentraland? Kudengar kamu dijemput di sana," tanya Preston lagi sambil menatap mata Livy. Dia mencoba menemukan rasa bersalah di mata Livy."Aku ...." Livy merasa ragu. Dia tidak tahu harus memberi tahu Preston semuanya atau tidak. Jelas sekali, tindakan Erick memang sudah berlebihan dan tidak seperti rekan kerja biasa.Livy juga tidak bodoh. Dia samar-samar bisa merasakan bahwa Erick mengejarnya. Jika hanya ingin menyanjung Livy, Erick tidak perlu berlebihan seperti ini. Jika hanya menj
Mungkin, Preston bertengkar dengan cinta pertamanya? Soalnya dia tiba-tiba pulang malam ini. Itu artinya, hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja. Jika tidak, Preston pasti menemani cinta pertamanya.Hanya saja, Livy meragukan suatu hal. Mungkin, wanita itu tidak tahu apa-apa tentang pernikahan mereka berdua. Jika tidak, wanita itu pasti sudah membuat keributan.Namun, sepertinya ada yang salah. Mungkin wanita itu sudah tahu, makanya mereka bertengkar. Makanya juga, Preston pulang malam ini.Hanya saja, kalau benar seperti itu, Preston tidak seharusnya pulang. Hal ini pasti akan membuat cinta pertamanya marah. Apa mungkin Preston tidak tahu cara membujuk wanita?Livy merasa tidak berdaya. Dia bahkan ingin pergi ke ruang kerja untuk memperjelas semuanya dan membimbing Preston cara membujuk Sylvia. Namun, Livy mengurungkan niatnya.Dia tidak seharusnya ikut campur urusan orang. Apalagi, selama dirinya dan Preston masih menjadi pasangan suami istri, status Livy sangat mencanggungkan
"Jangan nangis!" tegur Preston dengan suara serak. Sekujur tubuhnya terasa geli. Jika Livy terus seperti ini, takutnya dia tidak bisa mengendalikan hasratnya.Namun, Preston tahu dia harus menahan diri karena nenek Livy baru meninggal. Dia harus menunggu hingga Livy menerima kepergian neneknya, hingga Livy menerima dirinya. Yang paling utama adalah Preston sedang melatih ketahanannya.Dulu, Preston tidak pernah berminat pada hal seperti ini. Namun, sejak kejadian di resor, hasrat terus menggerogoti dirinya, membuatnya sulit untuk bertahan. Kini, Preston sepertinya mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang pecandu. Hanya saja, hal yang membuat mereka kecanduan berbeda.Begitu mendengar teguran Preston, Livy tak kuasa termangu. Dia terdiam dan tampak tidak berdaya.Saat ini, Livy seolah-olah sudah mengetahui nasibnya. Sebentar lagi, dia pasti akan menjadi bidak yang dibuang. Bahkan, Preston tidak akan punya kesabaran untuk menghadapinya lagi.Livy menggigit bibirnya dengan keras kepala.
Kulit Livy sangat bagus, putih dan lembut. Livy juga tidak membutuhkan riasan yang berlebihan untuk menampilkan kecantikan dan keanggunannya. Dia berbeda dengan wanita lain."Kamu sampai lemas begini. Mana mungkin aku menolak cutimu?" Preston terkekeh-kekeh di samping telinga Livy. Tentunya, dia tahu Livy tidak mungkin mendengarnya. Bagaimanapun, wanita ini tidur dengan sangat nyenyak.Preston bangkit, lalu pergi ke kamar mandi. Dia tidak pernah merasa sepuas dan senyaman ini. Pelepasan yang dilakukannya semalam membuat seluruh kabut di dalam hatinya sirna.Setelah berpakaian, Preston keluar dari kamar. Kebetulan, dia bertemu Tina yang sedang menyapu. Preston lantas berpesan, "Dia masih tidur. Jangan ganggu dia sebelum dia bangun."Tina bisa merasakan ada yang berbeda dari biasanya. Dia segera tersenyum dan mengangguk.....Livy terlalu lelah. Dia tidur sampai sore hari. Ketika dia bangun, langit sudah mulai gelap. Dia mengira hari masih pagi. Ketika melihat matahari senja, dia baru me
Astaga, situasi macam apa ini?Telinga Livy terasa panas membara. Tanpa bisa dikendalikan, pikirannya mulai dipenuhi gambaran-gambaran yang tidak senonoh.Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan mesum dari Preston. Dia mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan dan mulai mencari informasi tentang Mathias.Informasi tentang pria itu cukup terbatas di internet. Katanya, dia adalah pria paruh baya yang merintis usahanya dari nol dan dikenal memiliki cara bicara yang baik.Namun, ada juga beberapa rumor negatif yang menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, dia diam-diam berselingkuh dari istrinya dan memiliki banyak wanita di luar.Livy tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Yang bisa dilakukan hanya mempersiapkan diri, mempelajari berbagai hal tentang musik, catur, kaligrafi, dan lukisan.Meskipun dia tahu usahanya mungkin tidak terlalu berpengaruh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mempersiapkan apa pun.Setelah sibuk sepanjang sore, Livy akhirnya tiba di r
"Livy, ke mana saja tadi? Kenapa lama sekali tanpa bilang apa-apa ke kami? Jangan-jangan kamu malas-malasan?"Pria paruh baya itu berdiri dengan perut buncitnya. Meskipun gemuk, dia tetap berusaha memakai jas seperti orang lain. Namun, penampilannya malah seperti agen asuransi yang sedang mengalami krisis paruh baya.Livy mengerutkan keningnya sedikit dan menjelaskan, "Pak Preston mencariku, ada beberapa hal yang harus disampaikan.""Oh, ternyata Pak Preston ...." Umay menyipitkan matanya, tampak sedikit mengejek. "Ya, wajar saja Pak Preston masih memperhatikanmu. Bagaimanapun, dulu kamu bekerja di bawahnya.""Tapi, aku harap wanita sepertimu nggak langsung berpikir macam-macam hanya karena seorang pria bersikap baik sedikit kepadamu. Ingat, Pak Preston sudah punya istri. Lebih baik kamu realistis saja dan pertimbangkan untuk ....""Kak Umay, sebenarnya ada urusan apa mencariku?" Melihat pria menyebalkan di depan berbicara semakin tidak sopan, Livy buru-buru memotong ucapannya."Nggak
Livy tertegun. Preston ... apa maksudnya?Preston kembali berkata, "Dia cuma keponakanku, sedangkan kamu adalah istriku."Oh, jadi begitu. Livy mengerti sekarang. Bagi Preston, statusnya sebagai istri memang sedikit lebih tinggi daripada status seorang keponakan. Namun, hanya sebatas itu. Hanya karena saat ini, dia masih menjadi istri Preston."Lebih baik nggak usah," ujar Livy setelah berpikir sejenak. "Aku juga jarang punya waktu untuk memakai tas seperti ini. Kalau cuma disimpan di rumah, rasanya akan terbuang sia-sia.""Biarkan saja terbuang sia-sia," kata Preston dengan tidak acuh. Baginya, uang seperti ini hanyalah jumlah kecil. Jika istrinya menyukai sesuatu, dia akan membelinya tanpa peduli apakah benda itu akan terpakai atau tidak."Tapi ...." Livy masih ingin berkata sesuatu, tetapi Preston sudah menariknya ke dalam pelukan."Aku memberikan hadiah untuk istriku, tapi kamu malah menolaknya berulang kali? Kamu pikir aku miskin sampai nggak sanggup membelikanmu sesuatu sekecil i
"Mana mungkin!" Livy buru-buru melambaikan tangannya. "Di departemen sekretaris masih ada banyak senior. Kamu juga termasuk salah satu senior buatku. Jangan bicara seperti itu.""Ya, ya, aku paham." Ivana buru-buru menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Aku serius kali ini. Pak Preston mencarimu, dia suruh kamu ke atas.""Kenapa kamu yang mencariku?" Livy sedikit terkejut. Biasanya kalau ada urusan seperti ini, Bendy yang datang menemuinya.Ivana menjawab, "Sepertinya Pak Bendy ada urusan mendadak. Dia cuma sempat mampir sebentar ke departemen sekretaris untuk menyampaikan pesan. Sudahlah, Livy, cepat naik ke atas. Siapa tahu Pak Preston berubah pikiran dan mau memindahkanmu kembali ke departemen sekretaris!"Tidak mungkin, 'kan? Semalam Preston sudah mengatakan bahwa dia tidak akan memindahkannya kembali sebelum misinya selesai.Dengan penuh rasa penasaran, Livy segera mengetuk pintu kantor Preston."Masuk."Saat mendorong pintu, Livy melihat Preston sedang tidak bekerja. Pria itu memeg
"Hah?" Livy sempat mengira dirinya salah dengar. Namun, saat melihat Preston menunggu dengan ekspresi seperti ingin dilayani, dia yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.Membantu dia mandi? Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan mata membelalak.Sebagian besar pakaiannya sudah terlepas, memperlihatkan tubuh ramping dengan garis otot yang tegas. Di bawah cahaya lampu, sosok itu terlihat begitu mencolok hingga membuat jantungnya berdebar.Ditambah lagi dengan wajah Preston yang dingin, tegas, dan sempurna, semuanya memberikan dampak visual yang sangat kuat.Sejak kejadian itu, sebenarnya sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali mereka melakukannya. Seorang wanita ... juga memiliki kebutuhannya sendiri.Livy berdeham, mencoba menahan rasa malu yang merayap di hatinya. Dia terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia masih membutuhkan bantuan pria ini.Sambil menggigit bibirnya, dia mulai membuka kancing kemeja Preston. Sesudah itu, dia bergerak turun ke celana. Ketika tiba giliran
Preston masih punya sedikit kendali atas dirinya sendiri. Lagi pula, setelah 2 hari berturut-turut, tubuh Livy pasti masih butuh waktu untuk beristirahat dengan baik."Kalau begitu ... 6 juta?" Dengan berat hati, Livy menambahkan 2 juta lagi. Wajahnya pun terlihat tegang. "Benaran nggak bisa lebih lagi? Bonusku sedikit banget."Terakhir kali, dia hanya mendapat 1 juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu hidangan Preston."Beberapa hari lagi, bagian keuangan akan mentransfer sisa bonusmu yang sebelumnya. Jadi, kamu nggak bakal sampai kekurangan uang. Lagi pula, bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Punya uang tapi nggak dipakai. Kamu bodoh ya?" Nada suara Preston terdengar agak pasrah.Bonus sebelumnya? Livy kaget dan baru teringat. Dia buru-buru bertanya, "Masalah dengan Sherly itu ulahmu ya?"Meskipun kemungkinan besar jawabannya adalah iya, dia tetap ingin memastikan. "Hmm, aku menyuruh Bendy menyelidikinya.""Bonusmu ternyata disalahgunakan oleh Sherly, jadi aku meminta bagia
Jantung Livy seakan-akan berhenti berdetak sejenak. Dia awalnya hanya ingin bertingkah manja untuk mencari jalan pintas, tetapi Preston malah menanggapinya dengan serius.Setelah tertegun sesaat, Livy tiba-tiba merasa dirinya seperti seorang badut. Benar juga, mereka ini pasangan suami istri macam apa?Mereka bukanlah pasangan dalam arti yang sesungguhnya. Jadi, Preston sama sekali tidak punya kewajiban untuk berbagi rahasia bisnis dengannya. Bisa jadi, dia justru sedang menjaga jarak dan tidak ingin berbagi dengannya."Kenapa diam?" Melihat Livy termenung, Preston semakin kesal dan kembali bertanya, "Apa kamu punya sedikit perasaan untukku?""Kenapa nggak? Tentu saja punya." Livy tidak mengerti kenapa pria ini tiba-tiba marah. Tadi, dia sempat mengira Preston tersinggung karena dirinya terlalu percaya diri, tetapi sekarang kenapa justru bertanya soal perasaan?Apakah dia ingin Livy membujuknya? Livy tidak yakin. Atau Preston sedang menguji perasaannya yang sebenarnya?Pada akhirnya, L
Tadi dia ... sudahlah.Preston berdeham pelan, lalu sedikit mengubah topik pembicaraan. "Soal barbeku itu, akhir pekan ini kamu bawa aku ke sana.""Hah?" Livy tampak terkejut dan buru-buru mengingatkan, "Tempat itu cukup terpencil dan semua mejanya di luar ruangan. Aku takut kamu bakal kurang nyaman makan di sana.""Kamu bisa makan, kenapa aku nggak bisa?" balas Preston dengan santai."Baiklah."Lagi pula, Preston yang minta sendiri. Jangan sampai nanti setelah diajak, dia malah menunjukkan ekspresi tidak senang. Itu pasti akan membuat Livy kesal.Sambil menuangkan segelas air lagi untuk dirinya sendiri, Livy menyadari tatapan yang dilayangkan Preston kepadanya. Dengan sigap, dia juga menuangkan segelas air untuk pria itu.Preston menerima air putih yang diberikan Livy, lalu tiba-tiba berkata, "Aku dengar kamu berhasil mengamankan kerja sama ini hanya dalam 5 hari.""Mm ... sebenarnya masih banyak yang belum aku pahami, jadi butuh waktu cukup lama. Tapi, ya sudahlah, setidaknya ini lan
Ryan berbicara dengan pelan, tetapi kata-katanya mengandung makna menyindir jika didengar dengan lebih saksama. Namun, kata-kata itu juga terdengar sedang mengeluh. Ryan sedang mengeluh padanya?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Livy langsung menepis pemikiran itu dan berpikir itu pasti hanya sekadar mengeluh biasa saja. Ryan bisa mengajak seseorang dengan mudah, tetapi dia malah menolak undangannya tiga kali. Oleh karena itu, wajar saja jika Ryan mengeluh."Maaf, aku benar-benar agak sibuk," jelas Livy dengan suara pelan."Nggak masalah, aku sudah memaafkanmu," kata Ryan sambil tersenyum dan tatapannya terlihat santai, seolah-olah bisa menarik perhatian siapa pun yang melihatnya."Selesai!"Setelah mengambil beberapa foto lagi, Hesti segera mengembalikan ponselnya pada Ryan dan berkata dengan semangat, "Tuan Ryan, kamu dan Livy benar-benar terlihat sangat serasi, aku sampai nggak tahan untuk mengambil beberapa foto lagi.""Nggak masalah, terima kasih," kata Ryan sambil kembali menge