Kalaupun Preston benar-benar mencampakkannya dan bahkan jika Livy harus kelaparan di jalanan, dia tidak akan pernah menjadi simpanan Stanley. Konyol sekali!Jika dia benar-benar terpojok, Livy lebih memilih menghancurkan seluruh Keluarga Taslim dan membawa mereka bersamanya ke akhirat untuk meminta maaf pada neneknya."Stanley, tunggu saja." Suara Livy terdengar dingin dan menakutkan. "Aku nggak akan membiarkanmu begitu saja.""Oh, ya? Mari kita lihat apa kamu punya kemampuan untuk itu. Tanpa Preston, kamu bukan siapa-siapa," balas Stanley dengan nada penuh ejekan. Dia tampak sangat bersemangat malam itu. Sebelum menutup telepon, dia berkata dengan nada mengejek, "Oh, ngomong-ngomong, kamu tahu nggak wanita idaman Preston sudah pulang? Malam ini, Preston akan menemaninya.""Apa maksudmu?"Livy tertegun. Sebelum dia sempat mendapatkan penjelasan lebih lanjut, Stanley sudah memutuskan sambungan telepon. Dia sempat berpikir untuk menelepon Stanley kembali, tetapi segera membatalkannya.Li
Seolah-olah, air matanya telah kering sejak dia menangis habis-habisan saat neneknya meninggal dunia. Dengan perasaan kosong, Livy berdiri dari sofa dan melangkah perlahan menuju kamar tidur.....Keesokan paginya.Livy bangun pagi untuk pergi bekerja. Dia hampir tidak tidur sepanjang malam, pikirannya dipenuhi mimpi-mimpi aneh yang membuatnya semakin lelah.Ketika Ivana datang ke kantor dan menyapa Livy, Livy menoleh untuk membalas. Namun, Ivana malah terkejut dan langsung berteriak, "Livy, jangan bilang kamu semalaman lembur di sini?"Ivana yang datang lebih awal dari biasanya, mendapati hanya Livy yang ada di kantor. Namun, lingkaran hitam di bawah mata Livy membuat Ivana curiga dia tidak tidur semalaman."Nggak, aku nggak lembur. Cuma tadi malam susah tidur. Jadi, aku pikir lebih baik datang lebih pagi dan mulai bekerja," jawab Livy dengan suara lemah.Ivana menghela napas dengan khawatir. "Kamu kangen nenekmu lagi, ya? Tunggu sebentar, kubelikan kopi supaya kamu lebih segar."Livy
Rivano sudah terbiasa dengan sikap dingin Livy. Dengan nada penuh basa-basi, dia melanjutkan pembicaraannya."Bisa hargai Ayah sedikit nggak? Sekarang kamu nggak pernah lagi cerita ke Ayah kalau ada kesulitan, giman Ayah bisa tahu? Livy, kenapa kamu sekarang jadi begini? Dulu kamu sangat manis dan patuh, Ayah selalu bangga padamu ...."Mendengar ucapannya, Livy tidak bisa lagi menahan diri. Sebuah senyuman dingin muncul di sudut bibirnya, tetapi matanya mulai terasa panas. "Rivano, putrimu cumaa Zoey. Aku bukan," potong Livy dengan suara sedingin es."Livy, jangan bilang begitu. Kamu dan Zoey sama-sama anak Ayah. Semuanya darah daging Ayah!" Rivano buru-buru mencoba menjelaskan.Ucapan itu hanya membuat hati Livy terasa perih. "Hentikan omong kosong itu, Rivano. Waktu kamu mengusirku dari rumah, apa aku masih dianggap anakmu?""Waktu itu Ayah juga nggak punya pilihan. Kamu harus mengerti keadaan Ayah saat itu," Rivano mencoba membela dirinya.Livy hampir tertawa karena ucapan itu. "Ngg
"Ini demi kebaikanmu juga. Keluarga kaya itu suka menjaga privasi, nggak ingin memperbesar masalah. Zoey itu nggak sabaran.""Aku takut kalau dia terus begini, dia malah menjatuhkan dirinya sendiri dan menyeretmu ke dalam masalah. Lihat saja, semua yang aku prediksi benar, dia sampai berani menggoda suami kakaknya sendiri ...."Kemudian dia buru-buru menambahkan, "Tentu saja, dia nggak tahu kalau Preston adalah suamimu. Wajar saja kalau dia ingin memanfaatkan kesempatan itu. Orang selalu ingin naik ke status yang lebih tinggi. Kamu juga begitu, bukan? Bedanya, kamu berhasil."Livy terdiam. Dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa lagi."Kamu tahu kenapa orang kaya suka beramal? Membantu orang lain sama saja dengan membantu diri sendiri, sebagai bentuk karma baik. Apalagi Zoey adalah adik kandungmu. Membantunya mendapatkan pekerjaan nggak akan memengaruhi posisimu sebagai istri Preston."Rivano terus berbicara tanpa henti untuk mencoba meyakinkan Livy.Namun, setelah menghabiskan
"Nyonya ... maksudku, Bu Livy. Anda kembali saja lagi nanti." Bendy mengatupkan bibir sambil menghindari tatapan Livy.Livy memperhatikan ekspresinya. Bendy tampak tidak berani menatap matanya, seolah-olah ada hal yang ingin dia katakan tetapi tidak bisa diungkapkan. Dia hanya bisa memberikan petunjuk halus untuk menyarankan Livy pergi."Saya ke sini untuk melapor. Kalau Pak Preston sudah selesai, tolong beri tahu saya," ujar Livy dengan nada tenang.Livy tahu, dirinya tidak punya hak untuk masuk dan mengganggu, bahkan jika Preston benar-benar sedang bersama wanita lain di dalam. Dia tidak berhak untuk menghalanginya. Sebuah senyuman getir muncul di wajahnya. Dia berbalik dan berjalan pergi.Bendy memanggilnya, "Bu Livy, nanti setelah Pak Preston selesai, saya akan mengabari Anda."Namun, baru beberapa langkah, Livy kembali teringat tentang iced americano pagi itu. Jika Preston tidak peduli padanya, mengapa dia repot-repot membawakannya kopi?Livy berbalik karena rasa penasaran mendomi
Livy telah mencurahkan begitu banyak usaha untuk beradaptasi dengan posisi barunya. Setelah melalui masa transisi bersama Sherly, dia akhirnya terbiasa dengan pekerjaannya. Jika harus kembali ke posisi sebelumnya, itu hanya akan memberikan kesan bahwa dia tidak kompeten dalam pekerjaannya sekarang."Kalau lain kali kamu begini lagi karena pekerjaan, tinggalkan posisi ini," ujar Preston dengan nada datar. Livy hanya bisa mengangguk pelan, tidak ingin memperdebatkan lebih jauh.Cinta sejatinya sudah kembali. Preston masih mengizinkannya bekerja di Grup Sandiaga saja sudah patut disyukuri. Dalam hatinya, Livy merasa itulah satu-satunya hal yang bisa dia harapkan."Aku sudah minta Bendy untuk belikan makanan bergizi untukmu. Istirahatlah di sini. Setelah infus selesai, sopir akan mengantarmu pulang. Aku juga sudah minta Bi Tina siapin makanan penambah stamina di rumah," kata Preston.Kata-kata itu membawa sedikit kehangatan ke hati Livy. Namun, kalimat berikutnya membuatnya merasa seperti
Pria itu duduk di balik meja kerjanya dengan kepala tertunduk sambil sibuk memeriksa dokumen. Livy melangkah masuk ke ruangan. Saat baru saja dia hendak berbicara, suara Preston telah terlebih dulu memecah keheningan."Makanannya ada di atas meja kopi, makan selagi masih hangat."Livy tertegun. "Makan? Makan apa?""Untuk berjaga-jaga kalau kamu melewatkan waktu makan siang di kantin, aku sudah minta koki menyiapkan makanan bergizi. Mulai sekarang, saat jam makan siang, kamu langsung naik ke sini untuk makan. Nanti saat waktunya makan, aku akan minta Bendy mengingatkanmu."Kata-kata itu membuat Livy semakin bingung. Apa yang sedang terjadi?Dia menatap Preston, berusaha mencari penjelasan, tetapi pria itu terlihat sibuk. Karena tidak ingin mengganggunya, Livy pun berjalan ke arah sofa.Di atas meja kopi, ada satu set kotak makanan dalam wadah termal. Dia membuka salah satunya dan di dalamnya terdapat hidangan lengkap, termasuk sup ayam dan dua porsi nasi beserta alat makan. Jelas ini ad
Livy terpaksa berkata, "Mulai sekarang, setiap siang aku harus ke kantor Pak Preston untuk melapor.""Apa? Kok Pak Preston sekeras itu sih, masa waktu makan siangmu juga dipakai kerja? Kamu belum makan, 'kan? Gimana kalau kita pesan makanan dari luar aja?" tanya Ivana dengan nada perhatian."Nggak usah," Livy menjawab sambil menggigit bibirnya. "Aku ... aku sudah makan di tempat Bendy. Cuma makan siang kerja biasa."Namun, mungkin karena rasa gugupnya, pipi Livy mulai memerah tanpa disadarinya."Wah, wah! Apa yang kulihat ini? Livy-ku lagi tersipu malu!" Ivana langsung semangat menggodanya, matanya penuh semangat untuk menggosip. "Jangan-jangan itu bukan sekadar makan siang kerja, tapi makan siang penuh cinta?""Bukan, sungguh, itu cuma makan siang kerja," tegas Livy. "Pak Preston yang minta."Dia semakin merasa bersalah karena terus berbohong. Jika Ivana terus menekannya, dia takut rahasianya akan terbongkar.Padahal, bukan karena Livy tidak memercayai Ivana. Mereka memiliki hubungan
"Kenapa sih? Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu!"Zoey merasa Livy benar-benar tidak tahu berterima kasih. Dengan nada kesal, dia mengumpat, "Kamu sendiri nggak bisa mempertahankan Pak Preston, aku membantumu, tapi kamu malah bersikap begini!""Kamu sadar nggak, bahkan gelar Nyonya Sandiaga saja nggak diakui? Kalau sampai kalian bercerai, kamu bakal keluar tanpa sepeser pun! Asal kamu mau memperbesar masalah ini, bagaimanapun juga, kamu tetap nggak akan dirugikan!"Sebenarnya, Zoey juga tidak benar-benar ingin membantu Livy. Namun, setelah berdiskusi dengan ibunya, mereka menyadari bahwa hanya dengan membantu Livy, mereka bisa mendapatkan keuntungan.Lagi pula, dia sudah memegang kelemahan Livy. Kalau Livy tidak bekerja sama dengannya, dia akan benar-benar habis!"Aku sudah bilang, urusanku bukan urusanmu!"Livy berteriak hingga suaranya hampir serak, "Aku juga nggak pernah ingin jadi Nyonya Sandiaga yang diumumkan ke publik, dan aku nggak butuh orang lain memperlakukanku dengan b
Grup itu adalah grup gosip perusahaan.Sebelumnya, Ivana pernah ingin memasukkan Livy ke dalamnya, tetapi Livy merasa grup itu terlalu ramai dan penuh dengan gosip yang tidak penting. Lagi pula, dia juga tidak tertarik membahas hal-hal seperti itu, jadi dia menolak untuk bergabung.Namun sekarang, setelah jam kerja usai, seseorang mengirimkan pesan yang memicu kehebohan di grup tersebut.Meskipun hanya ada satu orang yang memulai percakapan, Livy sudah cukup terkenal di perusahaan, jadi banyak orang yang ikut berkomentar.[ Pantas saja! Aku pernah beberapa kali melihat Livy naik mobilnya Pak Preston. Lagian, kalian nggak merasa aneh kalau dia bisa naik jabatan secepat itu? ][ Kalau nggak ada sesuatu di belakangnya, aku pasti nggak percaya! Tapi aku nggak nyangka, ternyata dia punya hubungan sama Pak Preston! ][ Aku nggak percaya! Pak Preston itu kaya, tampan, dan luar biasa! Mana mungkin dia tertarik sama wanita seperti Livy? ][ Pokoknya yang jelas, Livy sudah menikah dan suaminya p
Pria itu memiliki proporsi tubuh yang nyaris sempurna. Mantel panjang hitam yang dia kenakan membingkai tubuhnya yang tinggi dengan sangat pas dan menampilkan sosok yang luar biasa gagah."Sayang, kamu ...."Livy ingin memanggil Preston untuk makan bersama, tetapi pria itu justru berjalan mendekat dengan ekspresi dingin. Dia menatap Livy dari atas ke bawah dengan mata hitam pekat yang dipenuhi dengan kejengkelan. Dengan suara marah, dia bertanya, "Apa lagi yang kamu lakukan?""Hah?"Livy tidak mengerti maksudnya, tetapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, tangan besar pria itu sudah mencengkeram bahunya dengan kuat dan menyeretnya ke atas.Cengkeramannya begitu kasar, membuat Livy terpaksa terseret menaiki tangga dengan terburu-buru. Bahkan, karena langkahnya yang terlalu cepat, lututnya terbentur sudut tangga dengan keras.Namun, Preston tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Dia terus menyeret Livy hingga ke kamar, lalu mendorongnya ke sofa dengan kasar."Kamu begitu ingin
Siapa yang peduli? Preston mengernyit. Apakah dia peduli pada Livy?Tangan yang menggenggam gelas tiba-tiba berhenti, lalu dia menuangkan lagi segelas minuman untuk dirinya sendiri dan berkata dengan nada dingin, "Dia cuma istri kontrakku, nggak lebih.""Iya, nih. David, kamu terlalu berlebihan. Bu Livy memang perempuan yang baik, tapi bagaimanapun juga, dia dan Preston berasal dari dunia yang berbeda."Sylvia menyela pembicaraan, lalu mendekati Preston dengan berpura-pura baik dan mengingatkan dengan lembut, "Preston, aku tahu kamu ingin memperlakukan Bu Livy dengan baik. Tapi bagaimanapun juga, dia berasal dari latar belakang yang berbeda dari kita. Kalau kamu terus memberinya barang-barang mewah, itu malah bisa membuatnya merasa terbebani."Perkataan itu membuat Preston sedikit penasaran. "Kenapa?""Karena bagi Livy, barang-barang itu sangat mahal, bahkan satu saja bisa setara dengan gajinya selama bertahun-tahun. Orang seperti dia akan merasa bahwa kesenjangan di antara kalian terl
Kalau begitu, Livy juga jangan berharap hidupnya akan baik-baik saja!"Zoey, kalau mau gila, jangan cari aku!" Livy tidak ingin meladeni Zoey lagi dan segera pergi. Namun, setelah kembali ke kantornya, kelopak mata kanannya terus berkedut. Dia merasa seolah-olah sesuatu akan terjadi.Sebelum pulang, dia naik ke lantai atas untuk mencari Preston dan melaporkan perkembangan proyek. Namun, setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, dia menghubungi Preston lewat telepon."Ada apa?"Di seberang sana, suara Preston terdengar seakan dia sedang berada di tempat hiburan. Ada suara musik samar-samar dan yang lebih menyakitkan, Livy mendengar suara Sylvia yang begitu akrab di telinganya."Preston, bukannya sudah bilang hari ini jangan bahas pekerjaan?" Suara manja Sylvia terdengar cukup jelas, seolah-olah dia menempel di sisi Preston."Aku cuma bicara sebentar," jawab Preston dengan suara rendah, sebelum akhirnya beralih ke Livy, "Bu Livy, kalau soal pekerjaan,
Karena kejadian semalam, Livy hampir terlambat masuk kerja pagi ini. Baru saja dia selesai absen, suara yang sudah lama tidak terdengar kembali menyapanya. "Livy!"Setelah sekian lama tidak bertemu, Zoey tampaknya menjalani hidup yang cukup baik.Pakaian bermerek yang dikenakannya semakin banyak dan di lehernya terlihat bekas merah yang sangat mencolok. Tanda bahwa hubungannya dengan Ansel semakin erat."Ada urusan apa?" Livy meliriknya dengan dingin, tidak ingin membuang waktu untuknya.Namun, Zoey sama sekali tidak merasa tersinggung dan justru berkata dengan percaya diri, "Aku butuh bantuanmu."Livy mengernyit, merasa Zoey benar-benar terlalu tidak tahu malu, lalu menolak mentah-mentah, "Aku nggak ada waktu.""Livy, kamu sok jual mahal apa sih? Apa kamu benar-benar mengira dirimu sudah jadi nyonya besar? Kaki Sylvia sebentar lagi sembuh, 'kan? Aku peringatkan kamu, begitu dia berhasil, kamu pasti akan dibuang sama Pak Preston!"Zoey menghalangi Livy di pintu masuk, kata-kata tajamny
Charlene masih terus bergosip, "Ngomong-ngomong, Preston sudah nggak muda lagi, ya? Terus katanya dulu juga nggak pernah dekat sama cewek, nggak ada gosip macam-macam. Jangan-jangan dia nggak ada tenaga di ranjang? Kalau kamu ngerasa kurang, aku tahu nih ada obat yang ....""Nggak perlu, Charlene!"Livy buru-buru memotong, mencengkeram ponsel erat-erat, lalu menurunkan suaranya, "Dia di bagian itu sangat kuat.""Apa?"Suaranya terlalu kecil, Charlene di seberang sana tidak mendengarnya dengan jelas. "Maksudmu kamu masih mau? Atau jangan-jangan dia nggak bisa?""Bukan!" Livy hampir melonjak, suaranya langsung meninggi, "Preston sangat kuat, dia nggak butuh obat sama sekali!""Ohh ...." Charlene menarik nadanya dengan panjang, jelas sekali dia sedang menggoda.Livy benar-benar malu. Dia buru-buru mengganti topik. Setelah mengobrol tentang beberapa gosip ringan, akhirnya dia menutup telepon.Setelah merasa cukup berendam, Livy mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dia melirik pakaian tidur
Tatapan Preston sedikit melunak, alisnya pun tampak lebih rileks. Lalu, dengan nada tenang, dia berkata, "Livy, aku kaya, tampan, dan selain temperamenku, aku bisa memberimu semua yang kamu inginkan.""Dalam pernikahan, pasangan seharusnya saling memahami. Lagi pula, aku nggak merasa sering marah. Kebanyakan waktu, itu karena kamu yang melakukan kesalahan."Hah?Livy semakin bingung.Bukankah tadi Preston ingin menceraikannya? Menghubungkan sikapnya tadi malam dan hari ini, sebuah pemikiran yang sulit dipercaya muncul di benaknya.Livy menatap Preston dengan ragu, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jadi ... kamu bersikap baik padaku hari ini karena aku bilang kamu mudah marah?"Tidak mungkin! Jadi, semua yang Preston lakukan adalah ... cara halus untuk menenangkannya?"Jadi, menurutmu aku benar-benar pemarah?" Preston menjepit sepotong daging panggang ke dalam mangkuknya, matanya menatapnya dengan tajam.Ini pertanyaan yang menentukan antara hidup atau mati.Livy buru-buru menggeleng. "S
Livy menggelengkan kepala, sedikit ragu-ragu saat menjawab, "Pak Preston sangat sibuk setiap hari, kurasa dia nggak punya waktu untuk mengurusi hal seperti ini.""Jadi ... kita cuma bisa diam saja menerima ini?"Ivana tampak tidak terima, matanya penuh dengan kekesalan saat berkata, "Kamu sudah bekerja keras selama ini dan cuma dihargai sejuta? Bu Sherly benar-benar keterlaluan! Awalnya aku pikir dia cukup baik, tapi ternyata dia pencemburu sekali!"Livy terdiam sejenak. Dia merasa ini bukan sekadar masalah iri hati.Perasaan aneh yang dia rasakan semakin kuat. Seolah-olah Sherly menargetkannya bukan hanya karena iri, tetapi juga karena alasan lain yang tidak bisa dia jelaskan. Jika dia benar-benar ingin menyingkirkan Sherly, hanya mengandalkan masalah bonus proyek ini tidak cukup.Bagaimanapun juga, meskipun tindakan Sherly tidak etis, dia tetap mengikuti prosedur formal. Jadi, Livy tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menindaknya. Merasa frustrasi, Livy hanya bisa memfokuskan dir