“Kenapa?”Lia mendapati Tania cemberut saat kembali ke ruang staff. “Enggak apa-apa,” jawab Tania malas. “Harusnya aku menuruti saranmu untuk tidak terlalu rajin!”Hari masih pagi dan Tania sudah bertemu Rafael. Direktur barunya itu bahkan memberikannya perintah yang tidak bisa dibantah. “Eh, ngomong-ngomong … Keisha masuk shift malam, kan?” Tania memikirkan sebuah rencana. “Kira-kira dia mau tukeran sama aku enggak, ya?” Belum-belum, Tania sudah ingin melarikan diri. Ia sungguh tak ingin melihat wajah Rafael lagi. “Kayaknya iya. Kenapa mau tukeran? Kamu sakit?” Lia bertanya khawatir. “Bilang aja ke Bu Rachel, pasti dikasih.”Tania mundur perlahan. Ia ingat jika Rafael juga dekat dengan Rachel. Rasanya itu bukan ide yang bagus. “Enggak jadi,” sela Tania cepat. Tangannya menunjuk ke pintu keluar. “Aku mau ke toilet dulu, ya.”Lebih baik melarikan diri sementara. Tania tak ingin ditanya lagi. Di toilet, Tania merapikan make up. Ia mencoba memasang senyum di wajah meski sedang sa
“Satu ….” Tania berbisik pelan. “Satu juta kali!” Teriaknya keras kemudian.“Lebih baik aku tidur sejuta kali dengannya daripada denganmu!”Tania mendorong Gilang kasar, membuat pria itu sempat terhuyung sesaat. “Sudah kuduga,” cibir Gilang, sinis. “Kamu tidak mungkin sepolos itu.”Tuduhan Gilang jadi semakin menggila. Pria itu menggunakan imajinasinya yang berlebihan.“Kamu berpura-pura suci di depanku. Padahal kamu sering tidur dengan lelaki lain. Nyatanya kamu perempuan murahan.”“Harusnya aku mengajakmu tidur bersama sejak–Plak!Tangan Tania terangkat. Ia tidak bisa menahan diri. Gilang sudah sangat sangat keterlaluan. Sudut mata Tania terasa panas. Dadanya nyeri dengan rasa sakit yang menusuk. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalin hubungan. Bahkan, Tania mencintai Gilang setulus hatinya. Bisa-bisanya ….“Apa-apaan?!” Gilang menangkap tangan Tania yang sebelum in
“Bapak mencari saya?” Tanya Tania saat ia masuk ke dalam ruang direktur. Entah kenapa Tania jadi sering sekali masuk ke ruangan ini. “Duduk,” ucap Rafael tanpa melihat wajah Tania.Rafael masih sibuk di kursi kebesarannya. Kedua netranya fokus pada dokumen yang ada di tangan. Jarinya sesekali menekan tombol keyboard laptop yang ada di atas meja direktur.Tania melirik ke kanan kiri. Rafael menyuruhnya duduk, dan tempat duduk terdekat adalah sofa di depan Tania. “Baik, Pak,” jawab Tania dengan suara pelan. Tania tak ingin mengganggu. Ia sendiri heran kenapa Rafael memintanya menghadap jika pria itu sendiri sedang sibuk. Entah waktu berjalan berapa lama, tapi Rafael hanya mendiamkannya di sana. Membuat Tania merasa tercekik dalam keheningan. Apa harusnya ia pura-pura pingsan saja agar bisa keluar cepat dari ruangan ini?“Maaf, Pak Direktur,” ucap Tania pada akhirnya. Ia tidak bisa bersabar lagi.
“Ini manis,” ucap Tania seraya mengangkat tinggi gelas yang kini sudah kosong. Rafael memicing. Tania menghabiskan isi gelas itu dalam sekali teguk. “Aku harus coba yang lain juga.”Tak butuh waktu lama sampai Tania mencapai batasnya. Rafael jadi harus beranjak dari kursi, menghampiri Tania yang sekarang sudah menutup mata karena terlalu mabuk. “Kenapa kamu tidak belajar dari kesalahan yang lalu?” Rafael mengambil tempat duduk di sebelah Tania. Ia membiarkan Tania bergerak dan bersandar di sisinya. Tidak beda seperti saat mereka bertemu di bar malam itu. “Mau tidur?” Tanya Rafael lembut. Tangannya menyusuri rambut panjang Tania, membelainya pelan. Saat itu, Tania tidak menyahut, hanya menggumam dengan kata-kata yang tidak jelas. Kedua mata Tania tertutup, tapi kesadarannya belum pergi sepenuhnya. “Mau,” sahut Tania. “Aku mau tidur sama Pak Rafael sejuta kali.”Rafael mengusap wajahnya kasar. Kenapa Tania bisa memberikan jawaban seperti itu?“Kenapa?” Rafael berbisik pelan. “Ke
“Aku penasaran setengah mati.” Tania sudah menahan rasa ingin tahunya sejak kemarin. Ia sempat ingin bertanya pada Rachel yang mengantarnya.Namun, di saat terakhir, Tania urung melakukannya. Rachel saja mengira dirinya sudah pulang duluan, pasti manajernya itu tidak tahu apa-apa. “Aku lebih baik bertanya sendiri.”Tania sudah sampai di Grand Velora. Tugas pertamanya adalah mengantarkan sarapan untuk Rafael seperti perintah direktur itu kemarin. Kedua kaki Tania melangkah tegas di lorong Grand Velora. Ia berhenti tepat di depan kamar Rafael. Tangannya menyentuh bel layanan kamar sebelum mengetuk pintu pelan. Klik.Tania menahan napas saat melihat sosok Rafael di depannya. Seperti kemarin, direktur barunya itu hanya mengenakan jubah mandi saja. ‘Apa dia sedang memamerkan tubuhnya padaku lagi?’ ejek Tania dalam hati. Padahal harusnya hal itu tidak perlu dilakukan, mengingat Tania pernah melihatnya s
“Tidak,” sahut Tania dingin. “Kita bertemu karena bekerja di tempat yang sama,” sambungnya. Tania sengaja berpaling. Ia tak berniat untuk menatap wajah sang mantan. Jijiknya belum hilang meski sudah mencuci muka berkali-kali. “Kalau begitu, kenapa kamu ke lobby?” Tanya Gilang curiga. “Yang pasti bukan untuk bertemu denganmu!” Ketus Tania. Ia kemudian menekan tombol untuk menahan pintu lift agar tetap terbuka. Jika Gilang ingin masuk ke dalam lift, maka Tania memilih untuk keluar saja. Tania melangkah pergi seolah ia memiliki tujuan pasti. Padahal ia hanya berdiri diam di balik pilar. Tania menunggu sampai pintu lift tertutup.“Dia sudah pergi, kan?” Tania mengintip sejenak sebelum keluar dari persembunyiannya. Ia menyempatkan diri menghela, lalu bersyukur saat mendapati lift itu benar-benar pergi bersama Gilang di dalamnya. “Aku bisa kena rabies kalau dekat dengannya,” gerutu Tania di depan lif
‘Lagi?!’ Tania memekik dalam hati. Apa Rafael tidak bosan mengganggu Tania? Karena Tania sendiri jengah mendengar nama Rafael. “Baik, Bu Rachel. Akan saya selesaikan secepatnya,” jawab Tania tanpa bantahan. Ia mengambil berkas yang ditunjuk oleh Rachel. Kakinya melangkah menuju ke meja yang ada di ruangan room service. Tania memilih tempat yang nyaman untuk menyelesaikan tugasnya. Ia mau semuanya cepat selesai jadi tak perlu membuat drama dengan berkunjung ke ruangan direktur setiap hari. “Aku kan bukan sekretaris!” Keluhnya kemudian. Lia yang baru kembali setelah mengantarkan pesanan jadi melirik ke arah Tania. “Tugasmu banyak?” Tanyanya kemudian. “Mau makan siang dulu, enggak?”“Mau aku ambilkan?” Sambung Lia. Teman Tania itu menatapnya dengan pandangan kasihan, membuat Tania akhirnya mengangguk. “Kalau tidak merepotkan.” Tania mengangkat kertas di tangannya. “Aku mau mengantarkan ini dulu.”Tania beranjak dari kursi. Ia gegas melangkah menuju lift, menekan tombol menuju ru
“Menurutmu aku punya waktu?” Ekspresi datar Rafael membuat ucapan pria itu jadi semakin menyebalkan. Tania menghela napas. Ia memasang senyum untuk menutupi kesalnya. “Selamat bekerja, Pak Rafael,” ucap Tania ramah. Tania menunggu sampai pintu lift tertutup sebelum berbalik ke ruang room service. Akhirnya ia bisa istirahat. “Tania!” Belum juga Tania duduk, ia sudah dipanggil lagi. Lia berdiri di depannya dengan membawa kotak makanan. “Cepat kamu makan. Ada banyak pekerjaan.”Tania ingin menolak. Perutnya masih kenyang. Namun, Lia terus memaksa. “Apa kamu marah karena aku sudah makan duluan?” Tanya Lia dengan wajah memelas. Terpaksa Tania menghabiskan makanan yang dibawa Lia meski perutnya terasa kenyang. Ia tidak mau membuat Lia kecewa, juga tak mau mengaku jika dirinya sudah makan di ruang direktur.“Ayo kerja lagi,” ucap Tania setelah menghabiskan makanan yang dibawa sang te
“Kak!” “Apaan, sih?!” Tania membentak kesal. Tyo, adiknya, datang mengganggu. “Kakak di sini ngapain?” Tanya Tyo, masih dalam seragamnya. Tania cemberut. Pagi tadi, karena terlalu suntuk, Tania jadi ikut ayah dan ibunya di kedai. Siang dan malam ia sudah mencoba mengingat kejadian di malam panasnya bersama Rafael. Namun, sampai Tania botak, ia tidak mengingat jika dirinya pernah mengambil foto. Entah siapa yang mengambil foto jahanam itu. “Mata kamu ke mana?” Balas Tania sewot. “Lagi bantuin ayah sama ibu, lah!” Ia kebagian tugas membuat sambal. Tania mengangkat cabai yang sedang ia siangi di tangannya. “Mata Kakak yang ke mana!” Tyo menunjuk tempat sampah yang ada di kaki Tania. “Itu cabenya Kakak buang, batangnya malah disimpen!”Tyo mengangkat tempat sampah yang ada di lantai. Ia sengaja menempelkan tempat sampah itu di depan wajah Tania.“Liat, Kak!” Tyo berseru sambil melotot, sengaja meledek Tania. “Liat pakai mata!”Tania yang kesal, memberikan jurus andalannya pada Ty
Rafael menggaruk telinganya yang tidak gatal. “Apa saya salah mendengar?” Ia bertanya, sinis. “Apa yang bisa saya dapatkan dari seorang pegawai seperti kamu, Tania?” Rafael menatap tajam ke arah Tania. Satu jarinya terangkat kemudian. Ia menatap Tania lekat-lekat. “Sebutkan satu saja … hal yang kamu miliki, tapi saya tidak.”Tania terdiam. Mau dipikir sampai jungkir balik juga memang tidak ada. Tentu saja Rafael memiliki semua hal yang Tania punya. “Tapi itu mencurigakan, Pak.” Tania masih penasaran. “Kalau bukan Pak Direktur, lalu siapa?”“Pikirkan di tempat lain.” Rafael menunjuk ke arah pintu, meminta Tania keluar. “Saya banyak pekerjaan.”Tania masih tidak bergerak. Ia merasa Rafael yang mengambil foto itu. Pasti Rafael!“Pak! Saya yakin–”Rafael menyela. “Saya yakin sejak awal kamu tau siapa yang harusnya bertanggung jawab.”Ia menggeleng pelan. “Dan itu bukan saya.”Sekali lagi Rafael mengingatkan Tania tentang apa yang terjadi di malam panas mereka.“Kamu yang menghampiri s
“Pak Direktur sudah menunggu di dalam.” Sekretaris membukakan pintu untuk Tania. Ia segera menutupnya kembali setelah Tania masuk.Tania melangkah meski menyimpan rasa takut di hatinya. Di depan sana, Rafael sudah menunggu di kursi kebesarannya, seperti biasa.‘Apa aku akan dipecat? Diminta membayar ganti rugi? Dituntut atas pencemaran nama baik?’Semua pikiran itu melintas dalam benak Tania, dan permintaan maaf adalah hal yang pertama akan ia lakukan.“Maaf, Pak Direktur,” ucap Tania setelah kedua kakinya berhenti di depan meja Rafael. Ia menunduk dalam. “Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak tau siapa yang menyebarkan–”Rafael mengangkat tangan. Ia tidak berniat membiarkan Tania bicara lebih banyak. Tania tertegun saat Rafael melemparkan sebuah dokumen padanya. “Apa … ini, Pak?” Tania ragu-ragu mengulurkan tangan. Namun, ia yakin jika dokumen yang Rafael berikan adalah untuknya. Tania meraih dokumen tersebut. Dia membalikkan kertas putih itu perlahan, lalu membaca isinya. K
“Hei!” Tania tersentak saat rekan kerja barunya membentak memanggil.“Kamu udah masukin data tamu yang check in hari ini?” Tasya bertanya sinis. Tania tidak ambil pusing dengan sikap Tasya yang menyebalkan. Ia sedang suntuk memikirkan apa yang terjadi kemarin.Setelah Rafael masuk ke dalam ruangan staf, pria itu tidak mengucapkan apa pun. Rafael hanya membanting pintu lalu pergi. Namun, diamnya Rafael malah membuat Tania semakin takut. Padahal wajah Rafael terlihat sangat kesal kemarin. “Kenapa malah melamun?!” Tasya menyenggol Tania keras, membuat Tania hampir terjatuh. “Kamu bisa kerja yang bener, enggak sih?!” Tania menghela pelan. Ia mencoba sabar. Diladeninya ucapan Tasya yang menusuk itu. “Sudah,” jawab Tania. “Aku sudah masukkan semua datanya di sini.”Tangan Tania menggerakkan kursor di komputer. Ia melotot saat mendapati data yang sudah ia masukkan malah menghilang.“Loh?” Tania memandang bingung. Ia yakin sudah mengerjakannya tadi.Tania bukan tipe orang yang berantak
“Bukankah kalian harusnya bekerja?” Rafael bertanya dengan nada suara dingin menusuk. Saat itu juga, Tania langsung mengambil langkah mundur, menjauh dari Gilang. “Maaf, Pak Direktur.” Tania menunduk sopan. Ia langsung mengambil langkah mundur, meninggalkan Gilang dan Rafael. Gilang menatap penuh selidik. Ia tak bisa menutup kecurigaannya pada Rafael. Sudah sejak lama Gilang merasakannya, dan ia yakin Tania memiliki hubungan dengan direktur baru itu! “Kamu kenapa masih di sini?” Rafael menunjuk tidak senang. “Manajer Front Office meninggalkan tempat kerjanya berjam-jam. Entah, saya bisa mentolerir hal ini atau tidak.” Ucapan Rafael langsung membuat Gilang membungkuk 90 derajat. Ia memohon maaf dengan sangat lantang. “Maafkan saya, Pak. Saya hanya mengkhawatirkan keadaan staf saya!” Gilang terus saja membuat alasan. “Saya ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebagai manajer, saya–” “Pergi,” sela Rafael, singkat. “Kembali ke tempatmu!” Bentakan Rafael membuat Gilan
“Sebentar lagi, Pak,” jawab Romi. Romi berusaha menutupi keterkejutannya untuk kesekian kali. Rafael terus saja datang secara tiba-tiba jika ada hal yang berkaitan dengan Tania. Kemarin, direktur itu menatapnya penuh permusuhan. Romi terus bertanya-tanya, tentang dosa apa yang kiranya telah ia lakukan. “Tania akan bersiap-siap sebentar. Set pertama akan dilakukan di lorong lantai VIP, setelah itu di dalam kamar suite, dan terakhir di lobi.”Romi menjelaskan. Ia menemani Rafael, sementara Tania dibimbing oleh sekretaris Romi untuk diberi polesan make up oleh tim. Gilang, saat itu, sibuk mencoba masuk ke dalam percakapan Rafael dan Romi. Sayang sekali, ia tidak berhasil.“Wah, kamu cantik sekali!” Seru Gilang pada Tania. Sepertinya pria itu sudah menyerah berusaha menyusup masuk di antara Romi dan Rafael. Gilang jadi memilih untuk mengganggu Tania. “Harusnya kamu setiap hari seperti ini,” ucap Gilang tanpa malu.Tania menoleh kesal. Ingin rasanya ia menyumpal mulut Gilang dengan t
‘Apakah ini tentang video itu?’ Batin Tania. Percakapan mereka terpotong tadi. Mungkin saja Romi akan mengajaknya bertemu dua mata untuk membicarakan rencana selanjutnya. “Mulai besok kamu bisa bekerja di front office.”“Apa?” Lia berseru tak percaya.Sementara Tania, masih memandang dengan wajah kebingungan. “Saya?” Tania menunjuk dirinya sendiri. “Kenapa?”Tania kira ini masih masalah perselingkuhan, tapi kenapa jadi front office?“Kamu diminta mengambil seragam resepsionis ke HRD,” sambung Rachel. Lia memekik. Ia menatap Tania bangga untuk kesekian kalinya. “Tania, kamu keren banget! Dari anak magang sekarang jadi resepsionis!”Tania malah terdiam. Ia masih memproses semua kenyataan ini. Namun, sorakan Lia dan dukungan Rachel membuat Tania akhirnya melangkah. Di ruang HRD, Tania mendapatkan seragam juga jadwal shift yang baru.“Terima kasih, Bu,” ucap Tania kepada man
“Lihat ini, Pak.” Tania tidak menunggu. Ia langsung menyerahkan handphone miliknya pada Romi. Sebuah video berputar, dengan Marcella, istri Romi, dan Gilang sebagai pemeran utamanya. Ekspresi wajah Romi berubah seketika. Tania bisa melihat jika atasannya itu gelisah. “Dari mana kamu mendapatkannya?” Romi bertanya sesaat setelah video selesai. Pria itu menatap Tania dengan wajah penuh selidik.“Saya yang merekamnya sendiri, Pak,” jawab Tania.“Saya sengaja melakukannya, karena Gilang adalah pacar saya. Dulu.”Tania menghela sesaat. Ia balas menatap Romi tanpa menunjukkan keraguan sedikit pun. “Saya juga dikhianati seperti Bapak,” sambung Tania. Ia terdiam, menunggu tanggapan lain dari Romi.“Kamu sudah menunjukkan rekaman itu pada siapa saja? Selain pada saya?”Tania menggeleng pelan. “Saya belum menunjukkannya pada siapa-siapa,” jawab Tania jujur. Romi mengangguk mengerti. Ia mengembalikan handphone milik Tania. “Kalau begitu, jangan katakan pada siapa pun.”Tania langsung me
“Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?” Setelah perdebatan di lift waktu itu, Tania melewatkan kesempatan lagi. Ia benar-benar tidak bertemu Romi, melihat batang hidungnya saja tidak. Tania juga tidak ingin menunggu lagi di lobi. Ia memiliki sedikit alergi pada buaya yang berjaga di sana. “Kamu mau bertemu dengan siapa?” Lia menegur Tania yang melamun. Mereka sedang beristirahat di dalam ruangan, dan Lia sibuk bermain dengan handphone miliknya.“Seseorang,” jawab Tania cepat. Ia tidak mau mengucapkan lebih banyak pada Lia. “Kamu sedang apa?” Tanya Tania, mengalihkan perhatian. Daripada ditanya, ia lebih suka bertanya. “Lagi scroll aja,” jawab Lia singkat. Ia menggerakkan jarinya beberapa kali sampai berhenti di satu video. “Aku mau berbagi pengalaman aku menginap di Grand Velora.”Suara dari video itu membuat Lia menghentikan jarinya. Tania yang juga mendengar, jadi duduk mendekat.“Itu kan ….” Tania mengenali wanita yang ada di video. Wanita itu adalah Gelina Hardi, ibu dar