“Aku penasaran setengah mati.”
Tania sudah menahan rasa ingin tahunya sejak kemarin. Ia sempat ingin bertanya pada Rachel yang mengantarnya.Namun, di saat terakhir, Tania urung melakukannya. Rachel saja mengira dirinya sudah pulang duluan, pasti manajernya itu tidak tahu apa-apa.“Aku lebih baik bertanya sendiri.”Tania sudah sampai di Grand Velora. Tugas pertamanya adalah mengantarkan sarapan untuk Rafael seperti perintah direktur itu kemarin.Kedua kaki Tania melangkah tegas di lorong Grand Velora. Ia berhenti tepat di depan kamar Rafael. Tangannya menyentuh bel layanan kamar sebelum mengetuk pintu pelan.Klik.Tania menahan napas saat melihat sosok Rafael di depannya. Seperti kemarin, direktur barunya itu hanya mengenakan jubah mandi saja.‘Apa dia sedang memamerkan tubuhnya padaku lagi?’ ejek Tania dalam hati.Padahal harusnya hal itu tidak perlu dilakukan, mengingat Tania pernah melihatnya s“Tidak,” sahut Tania dingin. “Kita bertemu karena bekerja di tempat yang sama,” sambungnya. Tania sengaja berpaling. Ia tak berniat untuk menatap wajah sang mantan. Jijiknya belum hilang meski sudah mencuci muka berkali-kali. “Kalau begitu, kenapa kamu ke lobby?” Tanya Gilang curiga. “Yang pasti bukan untuk bertemu denganmu!” Ketus Tania. Ia kemudian menekan tombol untuk menahan pintu lift agar tetap terbuka. Jika Gilang ingin masuk ke dalam lift, maka Tania memilih untuk keluar saja. Tania melangkah pergi seolah ia memiliki tujuan pasti. Padahal ia hanya berdiri diam di balik pilar. Tania menunggu sampai pintu lift tertutup.“Dia sudah pergi, kan?” Tania mengintip sejenak sebelum keluar dari persembunyiannya. Ia menyempatkan diri menghela, lalu bersyukur saat mendapati lift itu benar-benar pergi bersama Gilang di dalamnya. “Aku bisa kena rabies kalau dekat dengannya,” gerutu Tania di depan lif
‘Lagi?!’ Tania memekik dalam hati. Apa Rafael tidak bosan mengganggu Tania? Karena Tania sendiri jengah mendengar nama Rafael. “Baik, Bu Rachel. Akan saya selesaikan secepatnya,” jawab Tania tanpa bantahan. Ia mengambil berkas yang ditunjuk oleh Rachel. Kakinya melangkah menuju ke meja yang ada di ruangan room service. Tania memilih tempat yang nyaman untuk menyelesaikan tugasnya. Ia mau semuanya cepat selesai jadi tak perlu membuat drama dengan berkunjung ke ruangan direktur setiap hari. “Aku kan bukan sekretaris!” Keluhnya kemudian. Lia yang baru kembali setelah mengantarkan pesanan jadi melirik ke arah Tania. “Tugasmu banyak?” Tanyanya kemudian. “Mau makan siang dulu, enggak?”“Mau aku ambilkan?” Sambung Lia. Teman Tania itu menatapnya dengan pandangan kasihan, membuat Tania akhirnya mengangguk. “Kalau tidak merepotkan.” Tania mengangkat kertas di tangannya. “Aku mau mengantarkan ini dulu.”Tania beranjak dari kursi. Ia gegas melangkah menuju lift, menekan tombol menuju ru
“Menurutmu aku punya waktu?” Ekspresi datar Rafael membuat ucapan pria itu jadi semakin menyebalkan. Tania menghela napas. Ia memasang senyum untuk menutupi kesalnya. “Selamat bekerja, Pak Rafael,” ucap Tania ramah. Tania menunggu sampai pintu lift tertutup sebelum berbalik ke ruang room service. Akhirnya ia bisa istirahat. “Tania!” Belum juga Tania duduk, ia sudah dipanggil lagi. Lia berdiri di depannya dengan membawa kotak makanan. “Cepat kamu makan. Ada banyak pekerjaan.”Tania ingin menolak. Perutnya masih kenyang. Namun, Lia terus memaksa. “Apa kamu marah karena aku sudah makan duluan?” Tanya Lia dengan wajah memelas. Terpaksa Tania menghabiskan makanan yang dibawa Lia meski perutnya terasa kenyang. Ia tidak mau membuat Lia kecewa, juga tak mau mengaku jika dirinya sudah makan di ruang direktur.“Ayo kerja lagi,” ucap Tania setelah menghabiskan makanan yang dibawa sang te
“Bukan setan. Masih napak di tanah kakinya.”Tania menjambak adiknya kesal. Tapi berkat candaan adiknya itu, kedua matanya sudah terbuka lebar sekarang. “Ya udah, suruh tunggu!” Ia menutup pintu kamarnya dan bersiap. Tania segera berjalan ke ruang tamu setelahnya. Dari samping, Tania sudah mengenali siluet “tamu” itu. “Ck!” Ia melengos dan memilih untuk memutar arah. Sayang sekali, Anggi sudah melihatnya. “Ke sini, Tania!” Perintah sang ibu tak bisa ia abaikan. Apalagi ayahnya juga sudah ada di sana. Berat langkah Tania untuk melangkah mendekat. Pelototan Anggi yang membuat ia menyeret kedua kakinya. “Kenapa sih, Bu?” Tania memandang tamu di depannya jengkel. “Aku kan udah bilang enggak mau bicara lagi sama dia!” Gilang yang ada di samping Tania malah menunduk. Pria itu membuat ekspresi memelas–lengkap dengan puppy eyes andalannya. Sayang sekali, bukannya tersentuh, Tania malah ingin mencolok kedua mata Gilang. “Maaf, Bu.” Gilang mulai bicara. “Harusnya Ibu tidak perlu mema
“Ada pesanan wine untuk kamar suite.” Tania langsung berjalan menghampiri Lia. Ia sudah menunggu pesanan seperti ini sejak seminggu yang lalu. Seminggu lalu, Tania harus bersabar melayani sarapan Rafael pada shift paginya. Hari ini, saat ia mendapat shift malam, momen yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. “Aku saja,” ucap Tania sambil merebut kertas catatan dari Lia.“Aku yang akan mengantar,” sambung Tania. Tania merasa pesanan kali ini adalah pesanan dari Marcella. Tentu saja banyak pesanan wine untuk kamar suite yang masuk, tapi yang kali ini, sama persis seperti malam itu. “Kamu yakin?” Tanya Lia sekali lagi. “Kamu belum istirahat dari tadi.”“Aman,” jawab Tania cepat. Ia pun mengambil alih trolley makanan yang akan diantarkan. Tania melangkah cepat menuju ke dalam lift. Malam ini akhirnya tiba juga. “Aku enggak boleh ngelewatin kesempatan ini.” Tangan Tania dengan lihai menyelipkan handphone miliknya ke dalam trolley. Kameranya dalam posisi merekam video dan ia men
“Kamu enggak mau pulang, Tania?” Lia sudah siap dengan tasnya. Shift malam mereka sudah berakhir. Pegawai shift pagi sudah datang dan bertugas. “Nanti. Aku mau mampir ke tempat lain dulu,” sahut Tania dengan senyum mengembang. “Kamu duluan aja.” Tania melambai pada Lia yang berpamitan. Senyumnya semakin lama semakin mengembang.Ia sudah mengecek hasil video semalam. Gambarnya bagus. Semua adegan, juga wajah pasangan perselingkuhan itu terlihat jelas. “Aku akan menunggu Pak Romi datang dan langsung memberikannya.”Tania menunggu di lobi hotel. Namun, sampai jam kerja dimulai, Romi tidak juga terlihat. “Apa aku melewatkannya? Apa Pak Romi masuk lewat pintu lain?” Tania bertanya-tanya. Ia jadi bimbang sendiri. “Aku langsung ke ruangannya saja kalau begitu.” Tania beranjak dari sofa di ruang tunggu lobi. Ia hendak melangkah sebelum tangannya ditarik oleh seseorang. “Kok pergi?” Gilang berdi
“Aku tidak memiliki kesempatan sama sekali!” Tania mengeluh tak senang. Minggu sudah berganti, tapi ia tidak sekali pun melihat keberadaan Romi di Grand Velora. “Kesempatan apa? Kamu mau istirahat?” Tanya Keisha. Kali ini Keisha yang menjadi teman kerja Tania di shift sore. “Enggak,” elak Tania. “Aku belum lelah. Kamu mau istirahat duluan?”Keisha menggerakkan kakinya yang terasa kram. “Kayaknya. Aku perlu istirahat sebentar.”Tania mengangguk tidak keberatan. “Istirahat aja. Biar aku yang stand by.” Tak lama kemudian, masuk sebuah pesanan. “Makanan untuk anak-anak,” gumam Tania pelan. Memang sudah masuk jam makan malam, tapi masih awal. Mungkin karena makanan yang dipesan untuk anak-anak, jadi jam makannya berbeda. “Biar aku saja yang antarkan.”Tania mendorong trolley makanan menuju lift. Setelah lift berhenti, dia segera turun dan berjalan ke kamar suite. Lantai u
“Huwaaa! Mama!” Tangisan balita itu belum juga berhenti.Tania berlutut di depannya, mencoba membujuk sambil tersenyum. “Sayang, jangan nangis, ya. Anak baik, anak pintar ….”Tania memberikan pujian. Ia membelai lembut puncak kepala anak kecil itu. “Mau digendong?” tanyanya hati-hati.Anak kecil itu tak menjawab, hanya terus terisak sambil menggenggam ujung bajunya. Tania menarik napas pelan, lalu mengulurkan tangan dan mengangkat tubuh kecil itu ke pelukan. “Enggak apa-apa,” bisiknya, mengayun pelan tubuh mungil itu. “Kamu aman. Ada Kakak di sini.”Gadis kecil dalam pelukan Tania mengangguk pelan. Tubuh mungil yang sebelumnya gemetar dan dingin, kini menghangat perlahan. Suara walkie talkie terdengar. Salah satu petugas keamanan Grand Velora menyahuti.“Ambulans sudah datang. Petugas sedang menuju ke lantai atas.”Berita itu membuat seluruh staff menghela lega. Lorong VIP Grand Velora dipenuhi oleh petugas medis. Mereka bergegas masuk ke kamar, lalu menggotong sang ibu ke atas
“Nanti sebelum pulang, kalian mampir dulu ke lobi, ya!” Tania berseru sambil melambai. Ia masih ingin mengobrol bersama Lia dan Keisha, tapi tidak mungkin. Fera dan Tasya bisa menyindir Tania habis-habisan. Beruntung keadaan hotel sedang ramai di akhir pekan. Fera dan Tasya sampai tidak memiliki waktu untuk mencari masalah dengan Tania di jam sibuk seperti sekarang. “Akhirnya, jam kerja kita selesai!” Fera mengeluh keras. Ia langsung berbalik ke ruang staf, bersiap pulang. Tasya sendiri tidak repot berpamitan. Ia gegas mengikuti langkah Fera. Mereka segera menghilang. Sementara itu, staf dari shift terakhir sudah datang dan sedang bersiap. Tania jadi harus bergegas menyelesaikan laporan. Ia jadi bekerja sendiri. Semua gara-gara rekan kerjanya itu melarikan diri. ‘Awas saja mereka,’ batin Tania dalam hati. Ia bertekad akan balas mengerjai Fera dan Tasya besok.“Kamu masih belum selesai?” Ditengah omelannya, Tania mendengar namanya dipanggil. Tania mendongak, melihat siapa yang
“Terima kasih, Pak,” ucap Tasya dan Fera bersamaan.Saat itu Tania merasa tersinggung. Kenapa yang diberi ucapan terima kasih adalah Gilang? Padahal jelas itu adalah hadiah untuknya.“Terima kasih sudah bantu bukakan, Pak!” Tania mengambil alih kotak hadiahnya dari tangan Gilang. “Saya mau simpan ini dulu,” ucap Tania sambil lalu. Ia melangkah cepat ke ruang staf, menyimpan hadiahnya di dalam loker miliknya. Tania kembali ke belakang meja resepsionis tanpa mengucapkan apa pun. Ia mengabaikan Gilang yang terus saja mengatakan tentang indahnya berbagi dengan rekan kerja. Selama beberapa jam Tania bertahan, sampai akhirnya Gilang pergi. Sekarang, Tania tinggal menghadapi dua orang.“Kita istirahat duluan!” Seru Fera, sambil berlalu dengan Tasya di sisinya. Tania hanya menghela saat melihat kedua rekan kerjanya berlalu. Ia mengambil kesempatan itu untuk beristirahat sebentar. Inginnya pulang, tapi Tania masih harus bekerja empat jam lagi.“Kamu sendirian?” Rafael berdiri di depan Ta
“Kak!” “Apaan, sih?!” Tania membentak kesal. Tyo, adiknya, datang mengganggu. “Kakak di sini ngapain?” Tanya Tyo, masih dalam seragamnya. Tania cemberut. Pagi tadi, karena terlalu suntuk, Tania jadi ikut ayah dan ibunya di kedai. Siang dan malam ia sudah mencoba mengingat kejadian di malam panasnya bersama Rafael. Namun, sampai Tania botak, ia tidak mengingat jika dirinya pernah mengambil foto. Entah siapa yang mengambil foto jahanam itu. “Mata kamu ke mana?” Balas Tania sewot. “Lagi bantuin ayah sama ibu, lah!” Ia kebagian tugas membuat sambal. Tania mengangkat cabai yang sedang ia siangi di tangannya. “Mata Kakak yang ke mana!” Tyo menunjuk tempat sampah yang ada di kaki Tania. “Itu cabenya Kakak buang, batangnya malah disimpen!”Tyo mengangkat tempat sampah yang ada di lantai. Ia sengaja menempelkan tempat sampah itu di depan wajah Tania.“Liat, Kak!” Tyo berseru sambil melotot, sengaja meledek Tania. “Liat pakai mata!”Tania yang kesal, memberikan jurus andalannya pada Ty
Rafael menggaruk telinganya yang tidak gatal. “Apa saya salah mendengar?” Ia bertanya, sinis. “Apa yang bisa saya dapatkan dari seorang pegawai seperti kamu, Tania?” Rafael menatap tajam ke arah Tania. Satu jarinya terangkat kemudian. Ia menatap Tania lekat-lekat. “Sebutkan satu saja … hal yang kamu miliki, tapi saya tidak.”Tania terdiam. Mau dipikir sampai jungkir balik juga memang tidak ada. Tentu saja Rafael memiliki semua hal yang Tania punya. “Tapi itu mencurigakan, Pak.” Tania masih penasaran. “Kalau bukan Pak Direktur, lalu siapa?”“Pikirkan di tempat lain.” Rafael menunjuk ke arah pintu, meminta Tania keluar. “Saya banyak pekerjaan.”Tania masih tidak bergerak. Ia merasa Rafael yang mengambil foto itu. Pasti Rafael!“Pak! Saya yakin–”Rafael menyela. “Saya yakin sejak awal kamu tau siapa yang harusnya bertanggung jawab.”Ia menggeleng pelan. “Dan itu bukan saya.”Sekali lagi Rafael mengingatkan Tania tentang apa yang terjadi di malam panas mereka.“Kamu yang menghampiri s
“Pak Direktur sudah menunggu di dalam.” Sekretaris membukakan pintu untuk Tania. Ia segera menutupnya kembali setelah Tania masuk.Tania melangkah meski menyimpan rasa takut di hatinya. Di depan sana, Rafael sudah menunggu di kursi kebesarannya, seperti biasa.‘Apa aku akan dipecat? Diminta membayar ganti rugi? Dituntut atas pencemaran nama baik?’Semua pikiran itu melintas dalam benak Tania, dan permintaan maaf adalah hal yang pertama akan ia lakukan.“Maaf, Pak Direktur,” ucap Tania setelah kedua kakinya berhenti di depan meja Rafael. Ia menunduk dalam. “Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak tau siapa yang menyebarkan–”Rafael mengangkat tangan. Ia tidak berniat membiarkan Tania bicara lebih banyak. Tania tertegun saat Rafael melemparkan sebuah dokumen padanya. “Apa … ini, Pak?” Tania ragu-ragu mengulurkan tangan. Namun, ia yakin jika dokumen yang Rafael berikan adalah untuknya. Tania meraih dokumen tersebut. Dia membalikkan kertas putih itu perlahan, lalu membaca isinya. K
“Hei!” Tania tersentak saat rekan kerja barunya membentak memanggil.“Kamu udah masukin data tamu yang check in hari ini?” Tasya bertanya sinis. Tania tidak ambil pusing dengan sikap Tasya yang menyebalkan. Ia sedang suntuk memikirkan apa yang terjadi kemarin.Setelah Rafael masuk ke dalam ruangan staf, pria itu tidak mengucapkan apa pun. Rafael hanya membanting pintu lalu pergi. Namun, diamnya Rafael malah membuat Tania semakin takut. Padahal wajah Rafael terlihat sangat kesal kemarin. “Kenapa malah melamun?!” Tasya menyenggol Tania keras, membuat Tania hampir terjatuh. “Kamu bisa kerja yang bener, enggak sih?!” Tania menghela pelan. Ia mencoba sabar. Diladeninya ucapan Tasya yang menusuk itu. “Sudah,” jawab Tania. “Aku sudah masukkan semua datanya di sini.”Tangan Tania menggerakkan kursor di komputer. Ia melotot saat mendapati data yang sudah ia masukkan malah menghilang.“Loh?” Tania memandang bingung. Ia yakin sudah mengerjakannya tadi.Tania bukan tipe orang yang berantak
“Bukankah kalian harusnya bekerja?” Rafael bertanya dengan nada suara dingin menusuk. Saat itu juga, Tania langsung mengambil langkah mundur, menjauh dari Gilang. “Maaf, Pak Direktur.” Tania menunduk sopan. Ia langsung mengambil langkah mundur, meninggalkan Gilang dan Rafael. Gilang menatap penuh selidik. Ia tak bisa menutup kecurigaannya pada Rafael. Sudah sejak lama Gilang merasakannya, dan ia yakin Tania memiliki hubungan dengan direktur baru itu! “Kamu kenapa masih di sini?” Rafael menunjuk tidak senang. “Manajer Front Office meninggalkan tempat kerjanya berjam-jam. Entah, saya bisa mentolerir hal ini atau tidak.” Ucapan Rafael langsung membuat Gilang membungkuk 90 derajat. Ia memohon maaf dengan sangat lantang. “Maafkan saya, Pak. Saya hanya mengkhawatirkan keadaan staf saya!” Gilang terus saja membuat alasan. “Saya ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebagai manajer, saya–” “Pergi,” sela Rafael, singkat. “Kembali ke tempatmu!” Bentakan Rafael membuat Gilan
“Sebentar lagi, Pak,” jawab Romi. Romi berusaha menutupi keterkejutannya untuk kesekian kali. Rafael terus saja datang secara tiba-tiba jika ada hal yang berkaitan dengan Tania. Kemarin, direktur itu menatapnya penuh permusuhan. Romi terus bertanya-tanya, tentang dosa apa yang kiranya telah ia lakukan. “Tania akan bersiap-siap sebentar. Set pertama akan dilakukan di lorong lantai VIP, setelah itu di dalam kamar suite, dan terakhir di lobi.”Romi menjelaskan. Ia menemani Rafael, sementara Tania dibimbing oleh sekretaris Romi untuk diberi polesan make up oleh tim. Gilang, saat itu, sibuk mencoba masuk ke dalam percakapan Rafael dan Romi. Sayang sekali, ia tidak berhasil.“Wah, kamu cantik sekali!” Seru Gilang pada Tania. Sepertinya pria itu sudah menyerah berusaha menyusup masuk di antara Romi dan Rafael. Gilang jadi memilih untuk mengganggu Tania. “Harusnya kamu setiap hari seperti ini,” ucap Gilang tanpa malu.Tania menoleh kesal. Ingin rasanya ia menyumpal mulut Gilang dengan t
‘Apakah ini tentang video itu?’ Batin Tania. Percakapan mereka terpotong tadi. Mungkin saja Romi akan mengajaknya bertemu dua mata untuk membicarakan rencana selanjutnya. “Mulai besok kamu bisa bekerja di front office.”“Apa?” Lia berseru tak percaya.Sementara Tania, masih memandang dengan wajah kebingungan. “Saya?” Tania menunjuk dirinya sendiri. “Kenapa?”Tania kira ini masih masalah perselingkuhan, tapi kenapa jadi front office?“Kamu diminta mengambil seragam resepsionis ke HRD,” sambung Rachel. Lia memekik. Ia menatap Tania bangga untuk kesekian kalinya. “Tania, kamu keren banget! Dari anak magang sekarang jadi resepsionis!”Tania malah terdiam. Ia masih memproses semua kenyataan ini. Namun, sorakan Lia dan dukungan Rachel membuat Tania akhirnya melangkah. Di ruang HRD, Tania mendapatkan seragam juga jadwal shift yang baru.“Terima kasih, Bu,” ucap Tania kepada man