“Kenapa malam itu Bapak mau tidur dengan saya?”Rafael tersedak seketika. Alunan musik jazz di restoran itu tidak bisa menutupi suara batuknya yang tak berhenti. “Minum dulu, Pak,” ucap Tania sambil menyodorkan gelas milik Rafael. Rafael tidak menyambut gelas itu, ia malah melotot pada Tania.“Rafael,” ucap Tania, mengoreksi dirinya sendiri.Ia tidak terbiasa. Otaknya terus saja menganggap Rafael sebagai atasan. Mau bagaimana lagi? Tampilan Rafael dari ujung rambut hingga ujung kaki menunjukkan statusnya. “Maaf … aku belum terbiasa.”Rafael mengambil gelas dari tangan Tania dengan tatapan dingin. Ia meneguk beberapa kali sebelum membalas ucapan Tania. “Aku beri kamu waktu satu hari,” jawab Rafael singkat.Rafael lanjut memotong steak di depannya, seolah tak mendengar apa pun dari Tania. Padahal, Tania sangat penasaran.Pandangan Tania kemudian tertuju pada jendela besar di sampingnya. Ia melihat pemandangan kota dengan kelap-kelip lampu yang indah di luar sana. “Kenapa … kenapa
"Gilang?!" Netra Tania menyipit, memastikan sosok yang menggendongnya adalah kekasih yang kepergok berselingkuh. Hatinya mencelos. Dadanya sesak oleh kemarahan yang belum sempat dia lampiaskan. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Kamu brengsek!" Suaranya bergetar, tangannya menghantam dada bidang itu berkali-kali. "Bisa-bisanya kamu selingkuh dariku!” Langkah pria itu terhenti, tapi dia tidak menjauh. Pria itu membiarkan Tania meluapkan amarahnya. "Kenapa?!" Tania meraung. Tinjunya melayang, menghantam dada pria tersebut. Penuh dengan amarah. Tania masih bisa melihatnya dengan jelas—bayangan Gilang di hadapannya beberapa jam lalu. Kekasihnya, bersama seorang wanita, terjerat dalam pelukan penuh gairah di atas ranjang. Bercak merah yang tersebar di kulit wanita itu menjadi saksi bisu atas pengkhianatan yang tak perlu dijelaskan. Tania ingin bertanya. Ingin berteriak. Ingin mengingkari kenyataan. “Jahat ….” Air mata membanjir di pipi Tania.
"Li-Lia?!” Jantung Tania seolah berhenti berdetak. Seorang wanita berseragam hitam dengan rambut disanggul, berdiri tepat di hadapannya. Lia, rekan kerja Tania, tengah mendorong kereta makanan. Matanya menyipit penuh selidik. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya. Tania merasa napasnya tercekat. Kepalanya masih berdenyut dari efek mabuk semalam. Dia kesulitan memikirkan alasan apa yang harus dia berikan. Sementara pakaiannya masih sama seperti kemarin. "Aku ….” Lia menepuk tangannya sendiri. “Oh, iya! Kita kan diminta kumpul jam sepuluh.” Otak Tania yang panik bahkan tidak bisa memproses apa yang sedang dibicarakan Lia, tapi dia membenarkan saja ucapan temannya itu. “Iya, aku datang terlalu pagi. Makanya aku jalan-jalan sebentar, tapi–tapi aku meninggalkan ponselku di rumah. Aku mau mengambilnya dulu.” Tania memaksa masuk ke dalam lift. Dia mendorong kereta makanan yang dibawa Lia, membuat temannya itu keluar dan menyisakan lift hanya untuknya. “Aku duluan, ya!” Tania berpamit
"Mencoba merayu lagi?" Senyumnya mencibir, sambil menggoyangkan buket bunga. Kehadiran pria di hadapannya itu membuat Tania membeku. Netranya membulat penuh, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Saya–" "Lupa dengan saya?" Ejeknya. "Semalam kamu menggunakan saya sebagai sasaran hasr–" Netra Tania semakin lebar, tahu apa yang akan dikatakan pria itu. Untungnya, tepukan tangan orang-orang yang hadir di aula menghentikan kalimat itu. "Well, thanks bunganya, Tania." Tania tersentak. Kepalanya berdenyut. Tubuhnya menegang, lalu tanpa pikir panjang, dia berbalik dan pergi secepat mungkin. 'Tidak!' Tania mengerang dalam hati. 'Bagaimana bisa pria itu di sini?! Aku harus pergi!' Dia memutuskan untuk berbelok, menuju toilet. Tangannya sudah gemetar saat meraih pinggir wastafel. Berusaha menahan tubuh yang hampir tumbang. 'Ini enggak masuk akal! Direktur itu ….' Tania bahkan tak berani mengakuinya. Bahwa yang baru saja diumumkan menjabat sebagai direktur operasional adal
“Ayo kita duduk di sana!” Restoran itu ramai. Aroma pasta yang baru matang bercampur dengan wangi keju dan saus krim menguar di udara. Tania duduk di sudut ruangan bersama Lia, Keisha, dan beberapa rekan kerja lainnya. Rachel, manajer mereka akan menyusul karena masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan. “Sekarang bisa katakan padaku apa yang kalian maksud dengan tukang selingkuh?” Tania begitu penasaran. Sejak siang tadi, ia ingin bertanya. Namun, Rachel memotong pembicaraan mereka. “Kita belum pesen!” Lia berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia menyenggol Keisha, meminta bantuan. “Bener!” Keisha mengangguk. Kedua teman Tania sekarang sibuk melihat buku menu. Mereka membiarkan Tania menghela dan terpaksa menuruti kemauan mereka. “Selamat!” Seruan keras membuat Tania menoleh. Di sudut restoran yang lain, dia melihat kerumunan yang tidak asing. Gilang sedang tertawa bersama sekelompok orang. Senyumnya lebar, ekspresinya penuh kebanggaan. “Ck! Kenapa dia di sini
“Tidak masalah kalau aku dipecat.” Tania tidak peduli. Tujuan awalnya bekerja di Grand Velora adalah untuk mendapatkan uang yang akan dipakai sebagai biaya pernikahan. Sekarang, Tania sudah tidak ingin menikah. Siapa juga yang mau menikah dengan seorang lelaki hidung belang? Pastinya bukan Tania! “Tania!” Tania baru saja berdiri, tangannya mengepal, niatnya sudah bulat untuk mendatangi Romi dan mengungkap segalanya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang begitu ia kenal. “Maaf, saya datang terlambat!” Rachel melambaikan tangan dari pintu restoran, tersenyum lebar sambil berjalan mendekat. Bersamanya, ada seorang pria yang membuat napas Tania tercekat—Rafael. Direktur baru Grand Velora–juga pria yang semalam tidur dengannya. “Kenapa … dia ada di sini?” Sekelebat ingatan menghantam pikirannya. Sentuhan panas, desahan samar, dan tatapan tajam Rafael di atas ranjang. Bahkan tadi pagi Rafael sudah memanggilnya secara pribadi ke ruang direktur. Kenapa sekarang pr
“Kenapa Tania?” Rachel menegur Tania yang sejak tadi menunduk di bawah meja. “Kamu lihat apa?” Rachel ikut menyusul menunduk. Sang manajer yang memang duduk di samping Tania menggantikan Rafael, jadi penasaran. “Tidak ada apa-apa, Bu Rachel,” sahut Tania cepat. Ia memasukkan kembali kotak hadiah ke dalam paper bag dan duduk tegak di kursinya. “Kita sudah siap memesan makanan. Kamu mau pesan apa?” Tanya Rachel. Saat itu, Tania tidak bisa berpikir banyak. Ia hanya meraih buku menu, dan memesan apa pun yang dilihatnya pertama kali. Pikiran Tania penuh dengan dugaan kotak hadiah yang baru saja ia lihat. Kotak hadiah itu, ia mengingatnya. Itu adalah kotak yang sama dengan kotak yang ia lihat di atas meja sang direktur. Kotak hadiah berwarna hitam dengan pita emas. Bahkan ukurannya pun sama persis. Tania sangat yakin. ‘Tapi kenapa Bu Rachel yang memberikannya?’ Tania hanya bisa bertanya dalam hati. ‘Apakah hadiah itu titipan? Atau kebetulan saja kotaknya sama?’ Tak mau ter
Botak Penjilat: Tania, cepat balas pesanku! “Hahaha!” Tania menghapus sudut matanya yang berair karena tertawa. “Nama yang aku berikan cocok sekali.” Ia berhenti setelah puas. Tatapannya kembali tertuju pada layar ponsel. “Apa maksudnya coba mengirim pesan seperti ini?” Dahinya sampai berkerut tujuh lipatan saat membaca isi pesan dari Gilang sekali lagi. ‘Kenapa tiba-tiba Gilang menanyakan tentang Rafael?’ “Padahal sebelum ini kamu berselingkuh, tapi tidak berniat menjelaskan sama sekali. Maumu apa?!” Jari Tania bergerak mengetikkan pesan balasan. Ia terdiam sesaat kemudian. “Kenapa aku harus membalas pesan darinya?” Tania merutuk penuh kemarahan. Untuk apa? Tania merasa tidak memiliki kewajiban untuk membalas pesan Gilang. Ia mematikan kembali layar ponselnya, lalu menyimpan benda pipih itu di dalam tas. ‘Aku tak mau lagi berhubungan dengan Gilang!’ Taksi yang mengantar Tania berhenti perlahan. Rupanya ia sudah sampai di tujuan. “Terima kasih, Pak,” ucap Tania s
“Kenapa malam itu Bapak mau tidur dengan saya?”Rafael tersedak seketika. Alunan musik jazz di restoran itu tidak bisa menutupi suara batuknya yang tak berhenti. “Minum dulu, Pak,” ucap Tania sambil menyodorkan gelas milik Rafael. Rafael tidak menyambut gelas itu, ia malah melotot pada Tania.“Rafael,” ucap Tania, mengoreksi dirinya sendiri.Ia tidak terbiasa. Otaknya terus saja menganggap Rafael sebagai atasan. Mau bagaimana lagi? Tampilan Rafael dari ujung rambut hingga ujung kaki menunjukkan statusnya. “Maaf … aku belum terbiasa.”Rafael mengambil gelas dari tangan Tania dengan tatapan dingin. Ia meneguk beberapa kali sebelum membalas ucapan Tania. “Aku beri kamu waktu satu hari,” jawab Rafael singkat.Rafael lanjut memotong steak di depannya, seolah tak mendengar apa pun dari Tania. Padahal, Tania sangat penasaran.Pandangan Tania kemudian tertuju pada jendela besar di sampingnya. Ia melihat pemandangan kota dengan kelap-kelip lampu yang indah di luar sana. “Kenapa … kenapa
“Nanti sebelum pulang, kalian mampir dulu ke lobi, ya!” Tania berseru sambil melambai. Ia masih ingin mengobrol bersama Lia dan Keisha, tapi tidak mungkin. Fera dan Tasya bisa menyindir Tania habis-habisan. Beruntung keadaan hotel sedang ramai di akhir pekan. Fera dan Tasya sampai tidak memiliki waktu untuk mencari masalah dengan Tania di jam sibuk seperti sekarang. “Akhirnya, jam kerja kita selesai!” Fera mengeluh keras. Ia langsung berbalik ke ruang staf, bersiap pulang. Tasya sendiri tidak repot berpamitan. Ia gegas mengikuti langkah Fera. Mereka segera menghilang. Sementara itu, staf dari shift terakhir sudah datang dan sedang bersiap. Tania jadi harus bergegas menyelesaikan laporan. Ia jadi bekerja sendiri. Semua gara-gara rekan kerjanya itu melarikan diri. ‘Awas saja mereka,’ batin Tania dalam hati. Ia bertekad akan balas mengerjai Fera dan Tasya besok.“Kamu masih belum selesai?” Ditengah omelannya, Tania mendengar namanya dipanggil. Tania mendongak, melihat siapa yang
“Terima kasih, Pak,” ucap Tasya dan Fera bersamaan.Saat itu Tania merasa tersinggung. Kenapa yang diberi ucapan terima kasih adalah Gilang? Padahal jelas itu adalah hadiah untuknya.“Terima kasih sudah bantu bukakan, Pak!” Tania mengambil alih kotak hadiahnya dari tangan Gilang. “Saya mau simpan ini dulu,” ucap Tania sambil lalu. Ia melangkah cepat ke ruang staf, menyimpan hadiahnya di dalam loker miliknya. Tania kembali ke belakang meja resepsionis tanpa mengucapkan apa pun. Ia mengabaikan Gilang yang terus saja mengatakan tentang indahnya berbagi dengan rekan kerja. Selama beberapa jam Tania bertahan, sampai akhirnya Gilang pergi. Sekarang, Tania tinggal menghadapi dua orang.“Kita istirahat duluan!” Seru Fera, sambil berlalu dengan Tasya di sisinya. Tania hanya menghela saat melihat kedua rekan kerjanya berlalu. Ia mengambil kesempatan itu untuk beristirahat sebentar. Inginnya pulang, tapi Tania masih harus bekerja empat jam lagi.“Kamu sendirian?” Rafael berdiri di depan Ta
“Kak!” “Apaan, sih?!” Tania membentak kesal. Tyo, adiknya, datang mengganggu. “Kakak di sini ngapain?” Tanya Tyo, masih dalam seragamnya. Tania cemberut. Pagi tadi, karena terlalu suntuk, Tania jadi ikut ayah dan ibunya di kedai. Siang dan malam ia sudah mencoba mengingat kejadian di malam panasnya bersama Rafael. Namun, sampai Tania botak, ia tidak mengingat jika dirinya pernah mengambil foto. Entah siapa yang mengambil foto jahanam itu. “Mata kamu ke mana?” Balas Tania sewot. “Lagi bantuin ayah sama ibu, lah!” Ia kebagian tugas membuat sambal. Tania mengangkat cabai yang sedang ia siangi di tangannya. “Mata Kakak yang ke mana!” Tyo menunjuk tempat sampah yang ada di kaki Tania. “Itu cabenya Kakak buang, batangnya malah disimpen!”Tyo mengangkat tempat sampah yang ada di lantai. Ia sengaja menempelkan tempat sampah itu di depan wajah Tania.“Liat, Kak!” Tyo berseru sambil melotot, sengaja meledek Tania. “Liat pakai mata!”Tania yang kesal, memberikan jurus andalannya pada Ty
Rafael menggaruk telinganya yang tidak gatal. “Apa saya salah mendengar?” Ia bertanya, sinis. “Apa yang bisa saya dapatkan dari seorang pegawai seperti kamu, Tania?” Rafael menatap tajam ke arah Tania. Satu jarinya terangkat kemudian. Ia menatap Tania lekat-lekat. “Sebutkan satu saja … hal yang kamu miliki, tapi saya tidak.”Tania terdiam. Mau dipikir sampai jungkir balik juga memang tidak ada. Tentu saja Rafael memiliki semua hal yang Tania punya. “Tapi itu mencurigakan, Pak.” Tania masih penasaran. “Kalau bukan Pak Direktur, lalu siapa?”“Pikirkan di tempat lain.” Rafael menunjuk ke arah pintu, meminta Tania keluar. “Saya banyak pekerjaan.”Tania masih tidak bergerak. Ia merasa Rafael yang mengambil foto itu. Pasti Rafael!“Pak! Saya yakin–”Rafael menyela. “Saya yakin sejak awal kamu tau siapa yang harusnya bertanggung jawab.”Ia menggeleng pelan. “Dan itu bukan saya.”Sekali lagi Rafael mengingatkan Tania tentang apa yang terjadi di malam panas mereka.“Kamu yang menghampiri s
“Pak Direktur sudah menunggu di dalam.” Sekretaris membukakan pintu untuk Tania. Ia segera menutupnya kembali setelah Tania masuk.Tania melangkah meski menyimpan rasa takut di hatinya. Di depan sana, Rafael sudah menunggu di kursi kebesarannya, seperti biasa.‘Apa aku akan dipecat? Diminta membayar ganti rugi? Dituntut atas pencemaran nama baik?’Semua pikiran itu melintas dalam benak Tania, dan permintaan maaf adalah hal yang pertama akan ia lakukan.“Maaf, Pak Direktur,” ucap Tania setelah kedua kakinya berhenti di depan meja Rafael. Ia menunduk dalam. “Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak tau siapa yang menyebarkan–”Rafael mengangkat tangan. Ia tidak berniat membiarkan Tania bicara lebih banyak. Tania tertegun saat Rafael melemparkan sebuah dokumen padanya. “Apa … ini, Pak?” Tania ragu-ragu mengulurkan tangan. Namun, ia yakin jika dokumen yang Rafael berikan adalah untuknya. Tania meraih dokumen tersebut. Dia membalikkan kertas putih itu perlahan, lalu membaca isinya. K
“Hei!” Tania tersentak saat rekan kerja barunya membentak memanggil.“Kamu udah masukin data tamu yang check in hari ini?” Tasya bertanya sinis. Tania tidak ambil pusing dengan sikap Tasya yang menyebalkan. Ia sedang suntuk memikirkan apa yang terjadi kemarin.Setelah Rafael masuk ke dalam ruangan staf, pria itu tidak mengucapkan apa pun. Rafael hanya membanting pintu lalu pergi. Namun, diamnya Rafael malah membuat Tania semakin takut. Padahal wajah Rafael terlihat sangat kesal kemarin. “Kenapa malah melamun?!” Tasya menyenggol Tania keras, membuat Tania hampir terjatuh. “Kamu bisa kerja yang bener, enggak sih?!” Tania menghela pelan. Ia mencoba sabar. Diladeninya ucapan Tasya yang menusuk itu. “Sudah,” jawab Tania. “Aku sudah masukkan semua datanya di sini.”Tangan Tania menggerakkan kursor di komputer. Ia melotot saat mendapati data yang sudah ia masukkan malah menghilang.“Loh?” Tania memandang bingung. Ia yakin sudah mengerjakannya tadi.Tania bukan tipe orang yang berantak
“Bukankah kalian harusnya bekerja?” Rafael bertanya dengan nada suara dingin menusuk. Saat itu juga, Tania langsung mengambil langkah mundur, menjauh dari Gilang. “Maaf, Pak Direktur.” Tania menunduk sopan. Ia langsung mengambil langkah mundur, meninggalkan Gilang dan Rafael. Gilang menatap penuh selidik. Ia tak bisa menutup kecurigaannya pada Rafael. Sudah sejak lama Gilang merasakannya, dan ia yakin Tania memiliki hubungan dengan direktur baru itu! “Kamu kenapa masih di sini?” Rafael menunjuk tidak senang. “Manajer Front Office meninggalkan tempat kerjanya berjam-jam. Entah, saya bisa mentolerir hal ini atau tidak.” Ucapan Rafael langsung membuat Gilang membungkuk 90 derajat. Ia memohon maaf dengan sangat lantang. “Maafkan saya, Pak. Saya hanya mengkhawatirkan keadaan staf saya!” Gilang terus saja membuat alasan. “Saya ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebagai manajer, saya–” “Pergi,” sela Rafael, singkat. “Kembali ke tempatmu!” Bentakan Rafael membuat Gilan
“Sebentar lagi, Pak,” jawab Romi. Romi berusaha menutupi keterkejutannya untuk kesekian kali. Rafael terus saja datang secara tiba-tiba jika ada hal yang berkaitan dengan Tania. Kemarin, direktur itu menatapnya penuh permusuhan. Romi terus bertanya-tanya, tentang dosa apa yang kiranya telah ia lakukan. “Tania akan bersiap-siap sebentar. Set pertama akan dilakukan di lorong lantai VIP, setelah itu di dalam kamar suite, dan terakhir di lobi.”Romi menjelaskan. Ia menemani Rafael, sementara Tania dibimbing oleh sekretaris Romi untuk diberi polesan make up oleh tim. Gilang, saat itu, sibuk mencoba masuk ke dalam percakapan Rafael dan Romi. Sayang sekali, ia tidak berhasil.“Wah, kamu cantik sekali!” Seru Gilang pada Tania. Sepertinya pria itu sudah menyerah berusaha menyusup masuk di antara Romi dan Rafael. Gilang jadi memilih untuk mengganggu Tania. “Harusnya kamu setiap hari seperti ini,” ucap Gilang tanpa malu.Tania menoleh kesal. Ingin rasanya ia menyumpal mulut Gilang dengan t