“Kenapa Tania?” Rachel menegur Tania yang sejak tadi menunduk di bawah meja.
“Kamu lihat apa?” Rachel ikut menyusul menunduk. Sang manajer yang memang duduk di samping Tania menggantikan Rafael, jadi penasaran. “Tidak ada apa-apa, Bu Rachel,” sahut Tania cepat. Ia memasukkan kembali kotak hadiah ke dalam paper bag dan duduk tegak di kursinya. “Kita sudah siap memesan makanan. Kamu mau pesan apa?” Tanya Rachel. Saat itu, Tania tidak bisa berpikir banyak. Ia hanya meraih buku menu, dan memesan apa pun yang dilihatnya pertama kali. Pikiran Tania penuh dengan dugaan kotak hadiah yang baru saja ia lihat. Kotak hadiah itu, ia mengingatnya. Itu adalah kotak yang sama dengan kotak yang ia lihat di atas meja sang direktur. Kotak hadiah berwarna hitam dengan pita emas. Bahkan ukurannya pun sama persis. Tania sangat yakin. ‘Tapi kenapa Bu Rachel yang memberikannya?’ Tania hanya bisa bertanya dalam hati. ‘Apakah hadiah itu titipan? Atau kebetulan saja kotaknya sama?’ Tak mau terlalu percaya diri, Tania menyimpulkan jika kotaknya mungkin serupa. Untuk apa Rafael memberikan hadiah khusus padanya? “Sebelum makan, ayo kita foto dulu,” ajak Keisha. Keisha meminta izin pada Rachel untuk mengambil foto bersama. Mereka mengambil beberapa foto sebelum duduk kembali. “Nanti kirimkan ke saya, ya.” Rachel menunggu Keisha mengangguk sebelum ia mengucapkan terima kasih. Makanan mereka datang tak lama kemudian. Suara obrolan berubah menjadi denting peralatan makan. Mereka berbincang santai sesaat sebelum akhirnya satu-persatu berpamitan. “Makasih ya, Tania!” Keisha menjadi rekan kerja terakhir yang berpamitan, menyisakan Tania dengan Rachel. “Bu, apa Bu Rachel mau pesan lagi?” Tania bingung harus bertanya atau tidak. Mau mengusir juga tidak mungkin. Jadilah dia memilih untuk menawarkan Rachel memesan. “Tidak,” tolak Rachel. “Ayo kita ke kasir.” Tania kesulitan mengejar langkah Rachel. Dia harus merapikan sisa kue dengan cepat, juga meraih paper bag yang ada di bawah kursi. Saat Tania sudah sampai di kasir, Rachel sudah membayar bill untuk meja mereka. “Bu, harusnya saya yang–” Rachel menyela dengan sebuah senyum. “Tak apa. Saya membuatnya menjadi makan bersama untuk staff room service yang dimasukkan dalam tagihan perusahaan.” Tania jadi tak enak hati. Ia ingin membantah, tapi Rachel tak memberinya kesempatan bicara. “Kamu sudah menjadi bagian dari perusahaan juga. Tidak usah merasa sungkan, cukup bekerja dengan baik seperti biasanya.” Mau tak mau, Tania mengangguk. Kalau sudah begini, dia tak bisa memaksa lagi. “Saya berharap banyak padamu, Tania. Apalagi kamu bukanlah pegawai biasa.” Tania menautkan alis sesaat. ‘Bukan pegawai biasa?’ Ia sedikit bingung. Apakah Rachel sedang membicarakan saat Tania berhasil melayani seorang tamu penting dari Negeri Tiongkok yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik? Atau saat Tania menolong seorang lansia dari Filipina dengan alergi makanannya? “Yang penting kamu betah di Grand Velora.” Rachel menepuk bahu Tania lembut. Ia mengajak Tania berjalan ke luar restoran. “Kamu pulang naik apa?” Tanya Rachel. Keduanya memandang langit yang ternyata sudah berubah gelap. “Mau pulang bersama saya?” Tawaran Rachel membuat Tania canggung. Ia belum pernah ditawari pulang dengan atasan. Bahkan, ia tidak tahu jika rumah mereka searah. “Terima kasih, Bu Rachel. Saya tidak mau merepotkan,” tolak Tania halus. Tania memikirkan alasan yang tidak akan menyinggung Rachel. “Sudah malam. Bu Rachel juga pasti lelah. Saya bisa naik taksi dari sini.” Pandangan Tania tertuju pada mobil yang lalu lalang di hadapan mereka. “Ah, itu ada satu!” Kebetulan sekali sebuah taksi melintas di depan Tania. Ia langsung menyetop taksi tersebut dan naik tanpa ragu. “Terima kasih untuk hari ini, Bu Rachel!” Tania berpamitan sopan. Ia melangkah masuk ke dalam taksi, lalu menunduk sopan sekali lagi sebelum taksi berjalan pergi. Di dalam taksi, Tania menghela sesaat. Ia mengeluarkan kembali kotak hadiah yang ada di dalam paper bag. Ia sangat penasaran dengan isinya. “Astaga ….” Tania memandang tak percaya. Di tangannya ada sebuah dress cantik berwarna navy, warna kesukaan Tania. “Kok bisa? Apa Bu Rachel tahu warna favoritku?” Tania merasa tidak pernah mengatakan itu pada Rachel. “Apa ini benar-benar dari Bu Rachel?” Jika Tania mencoba mengingatnya, tak sekali pun Rachel mengatakan jika ia yang memberikan hadiah itu. Rachel hanya membawakan kue dan hadiah, lalu berucap jika keduanya untuk Tania. “Tidak,” ucap Tania seraya menggeleng cepat. “Pasti dari Bu Rachel.” Tania mengembalikan dress itu ke dalam kotak. Ia menyimpannya kembali, sebelum menyadari getaran di handphone miliknya. Tangannya meraih handphone dari dalam dalam tas. Ada sebuah pesan masuk terpampang di layar, dari Gilang. My Love: Kamu dekat dengan Pak Direktur? “My Love apanya?” Tania menggerakkan jarinya kasar. Ia menekan tombol hapus kuat-kuat, mengganti nama kontak Gilang. “Aku punya nama yang lebih cocok untukmu!”Botak Penjilat: Tania, cepat balas pesanku! “Hahaha!” Tania menghapus sudut matanya yang berair karena tertawa. “Nama yang aku berikan cocok sekali.” Ia berhenti setelah puas. Tatapannya kembali tertuju pada layar ponsel. “Apa maksudnya coba mengirim pesan seperti ini?” Dahinya sampai berkerut tujuh lipatan saat membaca isi pesan dari Gilang sekali lagi. ‘Kenapa tiba-tiba Gilang menanyakan tentang Rafael?’ “Padahal sebelum ini kamu berselingkuh, tapi tidak berniat menjelaskan sama sekali. Maumu apa?!” Jari Tania bergerak mengetikkan pesan balasan. Ia terdiam sesaat kemudian. “Kenapa aku harus membalas pesan darinya?” Tania merutuk penuh kemarahan. Untuk apa? Tania merasa tidak memiliki kewajiban untuk membalas pesan Gilang. Ia mematikan kembali layar ponselnya, lalu menyimpan benda pipih itu di dalam tas. ‘Aku tak mau lagi berhubungan dengan Gilang!’ Taksi yang mengantar Tania berhenti perlahan. Rupanya ia sudah sampai di tujuan. “Terima kasih, Pak,” ucap Tania s
“Siapa pacar barumu?”Tania menghela napas kasar. Sudah sejak semalam ia ditanya oleh kedua orang tuanya.“Jangan berbohong, Tania.” Anggi terus mendesak, membuat Tania jengah sendiri. “Ibu enggak akan percaya sampai kamu bawa pacar barumu itu ke rumah kita!” Daripada terus berdebat, Tania memilih untuk melarikan diri. Kebetulan dia dapat shift pagi hari ini. “Aku sudah terlambat, Bu. Nanti saja kita bicara lagi.”Tania berpamitan tanpa menunggu jawaban. Ia buru-buru mengambil tasnya dan keluar rumah.Namun, meskipun sudah berhasil menghindari interogasi orang tuanya, pikirannya tetap dipenuhi masalah yang sama.‘Kenapa aku malah bilang sudah punya pacar?’Tania memukul keningnya sendiri saat berjalan menuju halte. Ia tidak berpikir panjang semalam. Sekarang, ucapannya malah berbalik menyerangnya.“Pacar baru?” gumamnya seraya berdecak frustrasi. “Aku bahkan belum bisa lepas dari bayangan Gilang.”Bus akhirnya tiba halte. Perjalanan menuju hotel terasa panjang. Meski begitu, Tania
“Kenapa?”Lia mendapati Tania cemberut saat kembali ke ruang staff. “Enggak apa-apa,” jawab Tania malas. “Harusnya aku menuruti saranmu untuk tidak terlalu rajin!”Hari masih pagi dan Tania sudah bertemu Rafael. Direktur barunya itu bahkan memberikannya perintah yang tidak bisa dibantah. “Eh, ngomong-ngomong … Keisha masuk shift malam, kan?” Tania memikirkan sebuah rencana. “Kira-kira dia mau tukeran sama aku enggak, ya?” Belum-belum, Tania sudah ingin melarikan diri. Ia sungguh tak ingin melihat wajah Rafael lagi. “Kayaknya iya. Kenapa mau tukeran? Kamu sakit?” Lia bertanya khawatir. “Bilang aja ke Bu Rachel, pasti dikasih.”Tania mundur perlahan. Ia ingat jika Rafael juga dekat dengan Rachel. Rasanya itu bukan ide yang bagus. “Enggak jadi,” sela Tania cepat. Tangannya menunjuk ke pintu keluar. “Aku mau ke toilet dulu, ya.”Lebih baik melarikan diri sementara. Tania tak ingin ditanya lagi. Di toilet, Tania merapikan make up. Ia mencoba memasang senyum di wajah meski sedang sa
“Satu ….” Tania berbisik pelan. “Satu juta kali!” Teriaknya keras kemudian.“Lebih baik aku tidur sejuta kali dengannya daripada denganmu!”Tania mendorong Gilang kasar, membuat pria itu sempat terhuyung sesaat. “Sudah kuduga,” cibir Gilang, sinis. “Kamu tidak mungkin sepolos itu.”Tuduhan Gilang jadi semakin menggila. Pria itu menggunakan imajinasinya yang berlebihan.“Kamu berpura-pura suci di depanku. Padahal kamu sering tidur dengan lelaki lain. Nyatanya kamu perempuan murahan.”“Harusnya aku mengajakmu tidur bersama sejak–Plak!Tangan Tania terangkat. Ia tidak bisa menahan diri. Gilang sudah sangat sangat keterlaluan. Sudut mata Tania terasa panas. Dadanya nyeri dengan rasa sakit yang menusuk. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalin hubungan. Bahkan, Tania mencintai Gilang setulus hatinya. Bisa-bisanya ….“Apa-apaan?!” Gilang menangkap tangan Tania yang sebelum in
“Bapak mencari saya?” Tanya Tania saat ia masuk ke dalam ruang direktur. Entah kenapa Tania jadi sering sekali masuk ke ruangan ini. “Duduk,” ucap Rafael tanpa melihat wajah Tania.Rafael masih sibuk di kursi kebesarannya. Kedua netranya fokus pada dokumen yang ada di tangan. Jarinya sesekali menekan tombol keyboard laptop yang ada di atas meja direktur.Tania melirik ke kanan kiri. Rafael menyuruhnya duduk, dan tempat duduk terdekat adalah sofa di depan Tania. “Baik, Pak,” jawab Tania dengan suara pelan. Tania tak ingin mengganggu. Ia sendiri heran kenapa Rafael memintanya menghadap jika pria itu sendiri sedang sibuk. Entah waktu berjalan berapa lama, tapi Rafael hanya mendiamkannya di sana. Membuat Tania merasa tercekik dalam keheningan. Apa harusnya ia pura-pura pingsan saja agar bisa keluar cepat dari ruangan ini?“Maaf, Pak Direktur,” ucap Tania pada akhirnya. Ia tidak bisa bersabar lagi.
"Gilang?!" Netra Tania menyipit, memastikan sosok yang menggendongnya adalah kekasih yang kepergok berselingkuh. Hatinya mencelos. Dadanya sesak oleh kemarahan yang belum sempat dia lampiaskan. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Kamu brengsek!" Suaranya bergetar, tangannya menghantam dada bidang itu berkali-kali. "Bisa-bisanya kamu selingkuh dariku!” Langkah pria itu terhenti, tapi dia tidak menjauh. Pria itu membiarkan Tania meluapkan amarahnya. "Kenapa?!" Tania meraung. Tinjunya melayang, menghantam dada pria tersebut. Penuh dengan amarah. Tania masih bisa melihatnya dengan jelas—bayangan Gilang di hadapannya beberapa jam lalu. Kekasihnya, bersama seorang wanita, terjerat dalam pelukan penuh gairah di atas ranjang. Bercak merah yang tersebar di kulit wanita itu menjadi saksi bisu atas pengkhianatan yang tak perlu dijelaskan. Tania ingin bertanya. Ingin berteriak. Ingin mengingkari kenyataan. “Jahat ….” Air mata membanjir di pipi Tania.
"Li-Lia?!” Jantung Tania seolah berhenti berdetak. Seorang wanita berseragam hitam dengan rambut disanggul, berdiri tepat di hadapannya. Lia, rekan kerja Tania, tengah mendorong kereta makanan. Matanya menyipit penuh selidik. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya. Tania merasa napasnya tercekat. Kepalanya masih berdenyut dari efek mabuk semalam. Dia kesulitan memikirkan alasan apa yang harus dia berikan. Sementara pakaiannya masih sama seperti kemarin. "Aku ….” Lia menepuk tangannya sendiri. “Oh, iya! Kita kan diminta kumpul jam sepuluh.” Otak Tania yang panik bahkan tidak bisa memproses apa yang sedang dibicarakan Lia, tapi dia membenarkan saja ucapan temannya itu. “Iya, aku datang terlalu pagi. Makanya aku jalan-jalan sebentar, tapi–tapi aku meninggalkan ponselku di rumah. Aku mau mengambilnya dulu.” Tania memaksa masuk ke dalam lift. Dia mendorong kereta makanan yang dibawa Lia, membuat temannya itu keluar dan menyisakan lift hanya untuknya. “Aku duluan, ya!” Tania berpamit
"Mencoba merayu lagi?" Senyumnya mencibir, sambil menggoyangkan buket bunga. Kehadiran pria di hadapannya itu membuat Tania membeku. Netranya membulat penuh, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Saya–" "Lupa dengan saya?" Ejeknya. "Semalam kamu menggunakan saya sebagai sasaran hasr–" Netra Tania semakin lebar, tahu apa yang akan dikatakan pria itu. Untungnya, tepukan tangan orang-orang yang hadir di aula menghentikan kalimat itu. "Well, thanks bunganya, Tania." Tania tersentak. Kepalanya berdenyut. Tubuhnya menegang, lalu tanpa pikir panjang, dia berbalik dan pergi secepat mungkin. 'Tidak!' Tania mengerang dalam hati. 'Bagaimana bisa pria itu di sini?! Aku harus pergi!' Dia memutuskan untuk berbelok, menuju toilet. Tangannya sudah gemetar saat meraih pinggir wastafel. Berusaha menahan tubuh yang hampir tumbang. 'Ini enggak masuk akal! Direktur itu ….' Tania bahkan tak berani mengakuinya. Bahwa yang baru saja diumumkan menjabat sebagai direktur operasional adal
“Bapak mencari saya?” Tanya Tania saat ia masuk ke dalam ruang direktur. Entah kenapa Tania jadi sering sekali masuk ke ruangan ini. “Duduk,” ucap Rafael tanpa melihat wajah Tania.Rafael masih sibuk di kursi kebesarannya. Kedua netranya fokus pada dokumen yang ada di tangan. Jarinya sesekali menekan tombol keyboard laptop yang ada di atas meja direktur.Tania melirik ke kanan kiri. Rafael menyuruhnya duduk, dan tempat duduk terdekat adalah sofa di depan Tania. “Baik, Pak,” jawab Tania dengan suara pelan. Tania tak ingin mengganggu. Ia sendiri heran kenapa Rafael memintanya menghadap jika pria itu sendiri sedang sibuk. Entah waktu berjalan berapa lama, tapi Rafael hanya mendiamkannya di sana. Membuat Tania merasa tercekik dalam keheningan. Apa harusnya ia pura-pura pingsan saja agar bisa keluar cepat dari ruangan ini?“Maaf, Pak Direktur,” ucap Tania pada akhirnya. Ia tidak bisa bersabar lagi.
“Satu ….” Tania berbisik pelan. “Satu juta kali!” Teriaknya keras kemudian.“Lebih baik aku tidur sejuta kali dengannya daripada denganmu!”Tania mendorong Gilang kasar, membuat pria itu sempat terhuyung sesaat. “Sudah kuduga,” cibir Gilang, sinis. “Kamu tidak mungkin sepolos itu.”Tuduhan Gilang jadi semakin menggila. Pria itu menggunakan imajinasinya yang berlebihan.“Kamu berpura-pura suci di depanku. Padahal kamu sering tidur dengan lelaki lain. Nyatanya kamu perempuan murahan.”“Harusnya aku mengajakmu tidur bersama sejak–Plak!Tangan Tania terangkat. Ia tidak bisa menahan diri. Gilang sudah sangat sangat keterlaluan. Sudut mata Tania terasa panas. Dadanya nyeri dengan rasa sakit yang menusuk. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalin hubungan. Bahkan, Tania mencintai Gilang setulus hatinya. Bisa-bisanya ….“Apa-apaan?!” Gilang menangkap tangan Tania yang sebelum in
“Kenapa?”Lia mendapati Tania cemberut saat kembali ke ruang staff. “Enggak apa-apa,” jawab Tania malas. “Harusnya aku menuruti saranmu untuk tidak terlalu rajin!”Hari masih pagi dan Tania sudah bertemu Rafael. Direktur barunya itu bahkan memberikannya perintah yang tidak bisa dibantah. “Eh, ngomong-ngomong … Keisha masuk shift malam, kan?” Tania memikirkan sebuah rencana. “Kira-kira dia mau tukeran sama aku enggak, ya?” Belum-belum, Tania sudah ingin melarikan diri. Ia sungguh tak ingin melihat wajah Rafael lagi. “Kayaknya iya. Kenapa mau tukeran? Kamu sakit?” Lia bertanya khawatir. “Bilang aja ke Bu Rachel, pasti dikasih.”Tania mundur perlahan. Ia ingat jika Rafael juga dekat dengan Rachel. Rasanya itu bukan ide yang bagus. “Enggak jadi,” sela Tania cepat. Tangannya menunjuk ke pintu keluar. “Aku mau ke toilet dulu, ya.”Lebih baik melarikan diri sementara. Tania tak ingin ditanya lagi. Di toilet, Tania merapikan make up. Ia mencoba memasang senyum di wajah meski sedang sa
“Siapa pacar barumu?”Tania menghela napas kasar. Sudah sejak semalam ia ditanya oleh kedua orang tuanya.“Jangan berbohong, Tania.” Anggi terus mendesak, membuat Tania jengah sendiri. “Ibu enggak akan percaya sampai kamu bawa pacar barumu itu ke rumah kita!” Daripada terus berdebat, Tania memilih untuk melarikan diri. Kebetulan dia dapat shift pagi hari ini. “Aku sudah terlambat, Bu. Nanti saja kita bicara lagi.”Tania berpamitan tanpa menunggu jawaban. Ia buru-buru mengambil tasnya dan keluar rumah.Namun, meskipun sudah berhasil menghindari interogasi orang tuanya, pikirannya tetap dipenuhi masalah yang sama.‘Kenapa aku malah bilang sudah punya pacar?’Tania memukul keningnya sendiri saat berjalan menuju halte. Ia tidak berpikir panjang semalam. Sekarang, ucapannya malah berbalik menyerangnya.“Pacar baru?” gumamnya seraya berdecak frustrasi. “Aku bahkan belum bisa lepas dari bayangan Gilang.”Bus akhirnya tiba halte. Perjalanan menuju hotel terasa panjang. Meski begitu, Tania
Botak Penjilat: Tania, cepat balas pesanku! “Hahaha!” Tania menghapus sudut matanya yang berair karena tertawa. “Nama yang aku berikan cocok sekali.” Ia berhenti setelah puas. Tatapannya kembali tertuju pada layar ponsel. “Apa maksudnya coba mengirim pesan seperti ini?” Dahinya sampai berkerut tujuh lipatan saat membaca isi pesan dari Gilang sekali lagi. ‘Kenapa tiba-tiba Gilang menanyakan tentang Rafael?’ “Padahal sebelum ini kamu berselingkuh, tapi tidak berniat menjelaskan sama sekali. Maumu apa?!” Jari Tania bergerak mengetikkan pesan balasan. Ia terdiam sesaat kemudian. “Kenapa aku harus membalas pesan darinya?” Tania merutuk penuh kemarahan. Untuk apa? Tania merasa tidak memiliki kewajiban untuk membalas pesan Gilang. Ia mematikan kembali layar ponselnya, lalu menyimpan benda pipih itu di dalam tas. ‘Aku tak mau lagi berhubungan dengan Gilang!’ Taksi yang mengantar Tania berhenti perlahan. Rupanya ia sudah sampai di tujuan. “Terima kasih, Pak,” ucap Tania s
“Kenapa Tania?” Rachel menegur Tania yang sejak tadi menunduk di bawah meja. “Kamu lihat apa?” Rachel ikut menyusul menunduk. Sang manajer yang memang duduk di samping Tania menggantikan Rafael, jadi penasaran. “Tidak ada apa-apa, Bu Rachel,” sahut Tania cepat. Ia memasukkan kembali kotak hadiah ke dalam paper bag dan duduk tegak di kursinya. “Kita sudah siap memesan makanan. Kamu mau pesan apa?” Tanya Rachel. Saat itu, Tania tidak bisa berpikir banyak. Ia hanya meraih buku menu, dan memesan apa pun yang dilihatnya pertama kali. Pikiran Tania penuh dengan dugaan kotak hadiah yang baru saja ia lihat. Kotak hadiah itu, ia mengingatnya. Itu adalah kotak yang sama dengan kotak yang ia lihat di atas meja sang direktur. Kotak hadiah berwarna hitam dengan pita emas. Bahkan ukurannya pun sama persis. Tania sangat yakin. ‘Tapi kenapa Bu Rachel yang memberikannya?’ Tania hanya bisa bertanya dalam hati. ‘Apakah hadiah itu titipan? Atau kebetulan saja kotaknya sama?’ Tak mau ter
“Tidak masalah kalau aku dipecat.” Tania tidak peduli. Tujuan awalnya bekerja di Grand Velora adalah untuk mendapatkan uang yang akan dipakai sebagai biaya pernikahan. Sekarang, Tania sudah tidak ingin menikah. Siapa juga yang mau menikah dengan seorang lelaki hidung belang? Pastinya bukan Tania! “Tania!” Tania baru saja berdiri, tangannya mengepal, niatnya sudah bulat untuk mendatangi Romi dan mengungkap segalanya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang begitu ia kenal. “Maaf, saya datang terlambat!” Rachel melambaikan tangan dari pintu restoran, tersenyum lebar sambil berjalan mendekat. Bersamanya, ada seorang pria yang membuat napas Tania tercekat—Rafael. Direktur baru Grand Velora–juga pria yang semalam tidur dengannya. “Kenapa … dia ada di sini?” Sekelebat ingatan menghantam pikirannya. Sentuhan panas, desahan samar, dan tatapan tajam Rafael di atas ranjang. Bahkan tadi pagi Rafael sudah memanggilnya secara pribadi ke ruang direktur. Kenapa sekarang pr
“Ayo kita duduk di sana!” Restoran itu ramai. Aroma pasta yang baru matang bercampur dengan wangi keju dan saus krim menguar di udara. Tania duduk di sudut ruangan bersama Lia, Keisha, dan beberapa rekan kerja lainnya. Rachel, manajer mereka akan menyusul karena masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan. “Sekarang bisa katakan padaku apa yang kalian maksud dengan tukang selingkuh?” Tania begitu penasaran. Sejak siang tadi, ia ingin bertanya. Namun, Rachel memotong pembicaraan mereka. “Kita belum pesen!” Lia berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia menyenggol Keisha, meminta bantuan. “Bener!” Keisha mengangguk. Kedua teman Tania sekarang sibuk melihat buku menu. Mereka membiarkan Tania menghela dan terpaksa menuruti kemauan mereka. “Selamat!” Seruan keras membuat Tania menoleh. Di sudut restoran yang lain, dia melihat kerumunan yang tidak asing. Gilang sedang tertawa bersama sekelompok orang. Senyumnya lebar, ekspresinya penuh kebanggaan. “Ck! Kenapa dia di sini
"Mencoba merayu lagi?" Senyumnya mencibir, sambil menggoyangkan buket bunga. Kehadiran pria di hadapannya itu membuat Tania membeku. Netranya membulat penuh, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Saya–" "Lupa dengan saya?" Ejeknya. "Semalam kamu menggunakan saya sebagai sasaran hasr–" Netra Tania semakin lebar, tahu apa yang akan dikatakan pria itu. Untungnya, tepukan tangan orang-orang yang hadir di aula menghentikan kalimat itu. "Well, thanks bunganya, Tania." Tania tersentak. Kepalanya berdenyut. Tubuhnya menegang, lalu tanpa pikir panjang, dia berbalik dan pergi secepat mungkin. 'Tidak!' Tania mengerang dalam hati. 'Bagaimana bisa pria itu di sini?! Aku harus pergi!' Dia memutuskan untuk berbelok, menuju toilet. Tangannya sudah gemetar saat meraih pinggir wastafel. Berusaha menahan tubuh yang hampir tumbang. 'Ini enggak masuk akal! Direktur itu ….' Tania bahkan tak berani mengakuinya. Bahwa yang baru saja diumumkan menjabat sebagai direktur operasional adal