"Aaaakkkkhhhh!!"
Tiba-tiba, suara jerita merobek kesunyian, membuatku tersentak dari duduk. Siapa yang berteriak? Apa yang terjadi? Adrenalin langsung mengucur deras. Tanpa banyak berpikir, aku segera berlari masuk, jantungku berdebar-debar. Zea sudah berlari menuju tangga, artinya Helen yang tadi berteriak. Apakah dia terjatuh? Atau... firasat buruk tiba-tiba mencengkeramku. Di lantai atas, pintu kamarku seketika terbuka. Helen muncul dan berlari. Wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup, matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar hebat. Dia langsung memelukku erat, tubuhnya gemetar tak terkendali. "Hantu, Kenzie! Ada hantu di kamar kita!" racaunya, suara tertahan oleh isakan yang pilu. "Hantu? Mana hantunya, Mbak?" Zea berlari masuk, cekatan memeriksa setiap sudut kamar. Gorden disibak dengan kasar, lemari dibanting terbuka, bahkan kolong tempat tidur pun tak"Berarti selama ini rumahmu berhantu, ya, Yang?" tanya Helen, membuatku bingung untuk menjawab apa. Aku merasa tak bisa jujur. "Enggak kok, Yang." Aku menggeleng cepat. "Terus tadi kenapa kamu bilang mahluk yang sama? Itu berarti kamu dan satpam rumahmu sering melihatnya di sini, kan?" Helen cukup cerdas, mudah memahami apa yang terjadi. Aku harus pintar memberikannya alasan. Dan harus masuk juga ke akalnya. "Bukan begitu, Yang. Dulu memang pernah ada, tapi aku sudah meminta bantuan Ustad untuk mengusirnya. Aku juga nggak tau kenapa mahluk itu sekarang datang lagi." Semoga dengan penjelasan ini Helen percaya. "Kalau begitu usir lagi. Panggil Ustad itu ke rumahmu." "Iya, aku akan meminta Jamal untuk memanggil Ustad itu." Aku menatap Jamal, mengedipkan sebelah mata memberikannya isyarat. Semoga saja dia paham maksudku tanpa bertanya apa-apa lagi. "Baik, Pak." J
Tuuut ... Tuuut ... Tuuut.Aneh, kenapa tidak diangkat-angkat, ya? Padahal nomornya nyambung."Pak, ada apa? Kok tiba-tiba berhenti?" Pertanyaan dari Zea membuatku menoleh. Aku segera mengakhiri panggilan yang tak dijawab itu dan memasukkan kembali ponselku ke dalam kantong celana."Oh enggak. Enggak ada apa-apa," jawabku lalu menyalakan kembali mesin mobil dan berkendara. Nanti coba aku tanyakan kepada Helen saja, pasti dia tahu.**"Assalamualaikum," sapaku lembut, langkahku menapaki halaman rumah Ayah bersama Helen dan Zea yang mendorong koper.Bunda ada di sana, di teras rumah yang teduh, tengah menyuapi makan kucing Persia berbulu putih bersih—hadiah Ayah, setelah kepergian Keiko—adik perempuan yang kuliah di Korea dan kepergian Kakek Tatang untuk selamanya.Ayah bilang, kucing itu untuk mengusir kesepian Bunda.Melihatnya, sesak di da*daku terasa kembali. Aku ingin selalu ada untuknya, bersamanya da
"Intinya aku mau kalian putus, titik! Nggak ada bantahan!" tegasku cepat. Hanya itu yang bisa kulakukan, semoga saja Zea menuruti.Setelah itu, lantas buru-buru aku berlari masuk lebih dulu. Aku tak mau mendengar apa-apa lagi yang menjerumus ketidaksetujuannya tentang perintahku. Aku juga khawatir Helen curiga karena terlalu lama diluar bersama Zea."Kok lama, Yang? Habis ngapain aja kamu sama Zea?"Benar 'kan, bahkan baru sampai di ruang keluarga dia langsung bertanya seperti itu. "Enggak ngapa-ngapain kok, tadi aku lama karena angkat telepon dari Jamal." Terpaksa aku berbohong."Jamal itu siapa?""Satpam rumah.""Bagaimana katanya? Udah diusir belum hantunya?""Belum, dia masih dijalan mau ke rumah Ustad. Soalnya rumah Ustadnya jauh.""Oh gitu." Helen langsung tersenyum dan mengangguk. Syukurlah... sepertinya dia percaya."Duduk, Kenzie." Bunda menggerakkan dagunya, aku mengangguk. Segera du
"Kamu nggak ada yang disembunyikan dari aku 'kan, Yang?" tanyaku menatapnya serius. Perasaanku jadi tidak enak."Enggaklah, Yang. Lagian apa yang perlu aku tutupi? Kan kamu tau.""Tapi diawal 'kan kamu nggak jujur sebelum aku tau sendiri.""Soal itu 'kan sudah aku jelaskan, kalau aku takut kamu nggak bisa nerima aku. Memangnya belum jelas juga, ya?" Helen tampak kesal, suaranya terdengar lebih tinggi dari sebelumnya.Ah, sepertinya aku harus mengakhiri pembahasan ini sebelum dia benar-benar marah. Aku tidak mau melihatnya marah, apalagi posisi kami sedang di rumah Ayah."Maaf deh. Ya sudah... lebih baik kita tidur saja, ya? Besok aku harus masuk ke kantor. Takut kesiangan."Helen hanya mengangguk, lalu memberikan segelas susu yang sejak tadi dia pegang. Tanpa bertanya, aku segera menghabiskan susu itu. Entah susu apa, mungkin itu hanya susu kental manis biasa. Setelah itu kami berdua menarik selimut untuk tidur.***
"Ada apa, Ken?" Pertanyaan dari Ayah dan tepukan lembut di pundakku membuatku tersentak. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Enggak ada apa-apa kok, Yah. Ayok kita lanjutkan perjalanan," ucapku lalu kembali mengemudi. *** Sepulang kerja, aku langsung pulang ke rumahku. Sebelumnya aku sudah memberitahu Helen akan pulang telat untuk urusan ini, supaya dia tidak mencemaskanku. Seorang pria tua bertubuh tinggi besar sudah duduk di depan pos. Dia memakai jubah hitam. Wajahnya seram, berkulit hitam. Kumis dan jenggotnya pun panjang. Dia adalah dukun yang kata Jamal sakti mandraguna. "Selamat malam, Pak," sapaku saat turun dari mobil dan menghampirinya. Dia segera berdiri dan mengulurkan tangan, seperti ingin mengajakku berkenalan. "Malam. Panggil saja Mbah Yahya," ucapnya. "Iya, aku Kenzie, Pak. Silahkan masuk." Aku mengajaknya masuk ke dalam rumah, karena tak enak rasanya jika berbincan
"Dari siapa?" tanyaku cepat. Segera mengambil benda itu dari tangannya."Pengirimnya atas nama Heru, Pak.""Heru?" Dahi berkerut. Nama itu terdengar asing, siapa dia?***"Siapa Heru?"Pertanyaan itu terlontar begitu aku sampai rumah dan menemukan Helen sedang berada di kamar, terlihat sedang membereskan pakaian di lemari."Kenapa tiba-tiba tanya tentang Heru?" suaranya terdengar sedikit gemetar, menunjukkan dia gugup. Dia menoleh, tatapannya sedikit menghindari pandanganku."Jawab saja. Kamu kenal Heru, kan? Siapa dia?" Nadaku sedikit lebih keras dari biasanya, suara yang kuusahakan tetap tenang namun di dalamnya bergelora amarah yang membuncah. Da*daku sesak, bergemuruh seperti drum yang dipukul terus-menerus.Rasanya ada sesuatu yang berat menekan jantungku. Tak ada suami yang tak marah jika istrinya dikirimi bunga oleh pria lain, apalagi bunga mawar merah yang begitu mencolok dan romantis. Buket itu
Udara di ruang tunggu UGD terasa begitu menyesakkan. Jam dinding berdetak lambat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti beberapa tahun, pintu ruang UGD akhirnya terbuka. Seorang dokter pria, berkacamata dan berwajah tegas, menghampiriku. Tatapannya tajam, menembusku hingga ke tulang sumsum. "Anda suaminya?" tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa, menciptakan tekanan yang tak terlihat. Aku menggeleng, suaraku serak. "Bukan, Dok. Aku bosnya Zea." "Bisa hubungi suami Nona Zea sekarang? Ada hal yang perlu saya sampaikan." "Zea belum menikah, Dok." Alis dokter itu bertaut. "Lalu keluarganya? Di mana keluarganya?" "Keluarganya jauh, Dok. Tapi... apa yang terjadi pada Zea? Dia baik-baik saja, kan?" Dokter itu menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Asam lambungnya naik, Pak. Tapi, ada hal lain yang lebih penting, yaitu Nona Zea sedang mengandung. Usia kandungannya sekitar dua minggu." Kalimat itu menyambar seperti petir di siang bolong. "Mengandung?!" Aku tersent
"Aku tetap ingin menggugurkan kandungan ini, Pak." Suara Zea terdengar lemah, namun tegas menyatakan pendiriannya."Nggak! Nggak boleh! Aku melarangnya!" Aku membentak, rasa tak puas membuncah. "Pokoknya kamu harus melahirkan anakku itu apapun caranya, dan kita harus menikah!" Suaraku keras, menunjukkan sikapku yang berkuasa."Tapi, Pak, bagaimana—" Zea mencoba menjelaskan, namun aku memotongnya."Enggak ada tapi-tapi!" potongku cepat, tidak memberikan ruang bagi bantahannya. "Kita akan menikah siri malam ini dan merahasiakannya dari siapapun. Tapi sebelum itu ... kamu harus telepon Jamal dulu." Aku memberikan ponselnya, yang sebelumnya kutemukan di mobilku. Sepertinya terjatuh saat Zea pingsan."Mau apa telepon Mas Jamal, Pak?" Zea bertanya dengan bingung."Meskipun status kita rahasia, tapi aku nggak mau kamu memiliki hubungan dengan pria lain selain aku. Dan aku yakin kamu pasti belum putus dengannya." Aku menjelaskan alasanku, meskipu
(POV Kenzie) Keputusan telah bulat. Kenyataan pahit itu telah memaksaku mengambil langkah ini. Setelah meninggalkan Helen di rumah sakit, aku segera menuju kantor pengadilan. Aku akan mengajukan perceraian dengan Helen. Aku yakin dengan semua bukti-bukti yang kupunya, hakim pasti mengabulkan permintaanku. Driiiinnnggg! Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Secangkir kopi hangat di tanganku mendadak terasa dingin. Pagi yang seharusnya tenang, kini diwarnai kecemasan yang menghimpit. Nomor Akmal terpampang di layar. Sekelebat harapan, setipis benang, muncul di dadaku. Mungkinkah dia sudah menemukan Zea? Do'a itu terucap dalam hatiku, lirih dan penuh harap. "Halo, Pak Kenzie... selamat pagi." "Pagi. Bagaimana Zea? Sudah ketemu?" Suaraku bergetar, menahan kecemasan yang hampir meruntuhkan diriku. "Belum, Pak." Jawaban itu seperti palu yang menghantam tulang rusukku. Tubuhku terasa lemas. Sampai kapan aku harus menunggu? Dua hari. Dua hari Zea menghilang dari rumah. Bayangan
"Lho, Yang... kenapa kita di rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Helen, suaranya bercampur kebingungan dan sedikit khawatir.Tatapannya mengamati sekeliling orang-orang, lalu kembali padaku dengan pertanyaan tersirat di matanya. Aku meraih tangannya, genggaman erat yang mungkin sedikit terlalu keras, dan menariknya dengan langkah cepat menuju ruang dokter spesialis kandungan."Lepas!" Suaranya sedikit lebih tinggi, menahan diri, tapi tangannya berhasil melepaskan diri dari genggamanku. Langkahnya terhenti, seolah sebuah penghalang tak kasat mata menahannya."Yang, kamu kasar banget! Kenapa tiba-tiba narik aku kayak gini? Dan kita ngapain ke sini?" Tanyanya, nada suaranya terdengar kesal namun di baliknya tersirat kecemasan. Dia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, sentuhan lembut yang menunjukkan rasa sakit dan sedikit trauma atas perlakuanku yang tiba-tiba. Aku tahu genggamanku tadi terlalu kuat, tapi itu refleks karena menahan emosi
"Kamu telah bermain api di belakang Helen, dan kamu telah menyakitinya!" Suara Ayah menggema di ruang keluarga, keras dan bergetar, menguncang setiap serat tubuhku. Udara terasa tercekat, berat, dipenuhi aroma teguran dan kekecewaan yang menyesakkan. "Bermain api?" Dahiku mengerut, kebingungan bercampur dengan rasa takut yang mulai merayap naik ke tenggorokanku. "Apa maksud Ayah? Aku tidak mengerti, Ayah." Suaraku terdengar kecil, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh amarah yang melingkupiku. Ayah menarik napas dalam-dalam, seakan menahan amarah yang siap meledak. Dia melepaskan pelukan yang sebelumnya terasa begitu hangat, meninggalkan kekosongan yang dingin dan mencekam di antara kita. Tatapannya tajam, menusuk kalbuku bagai sebilah pisau. "Jangan mengelak, Ken. Ayah tau kamu telah melecehkan Zea. Sebelum pernikahanmu dengan Helen. Benar, kan?" Dunia seakan runtuh di sekitarku. Lantai terasa bergetar, dan aku merasa pus
Kalimat itu menusukku bagai sebilah pisau. "Kamu bercanda? Bagaimana mungkin dia hamil... hamil anakmu?!" Tidak! Aku tidak bisa membayangkan Helen hamil anak pria lain. Aku tidak terima dunia akhirat. Rasa sakit yang tak terkira memenuhi da*daku, sesak hingga napasku tersengal-sengal. Janji suci pernikahan kami, yang telah kami ucapkan, semuanya telah hancur berkeping-keping. Meskipun aku sendiri bukanlah perjaka, menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi perawan mungkin masih bisa kuterima. Tapi ini... ini tentang anak. Anak yang dikandungnya, anak dari pria lain, sementara akulah suaminya yang sah, yang belum genap sebulan bersanding dengannya di pelaminan. Ini haram, sebuah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Seharusnya aku tak boleh menyentuhnya sampai dia melahirkan. Aku sadar diri, aku juga manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Aku juga menghamili Zea, berzina dengannya. Tapi di sini posisiku dan Helen berbeda. Aku melakukannya tanpa sadar, khilaf karena alkohol
Rasa malas berdebat membuatku menyerahkan uang yang diminta Pak Darman tanpa banyak berpikir. Tujuannya satu: segera meninggalkan tempat itu dan mengumpulkan energi untuk melanjutkan pencarian Zea. Ting! Notifikasi pesan masuk. Heru, nomornya sudah tersimpan di kontak ponselmu. [Aku sudah sampai di restoran. Kamu di mana?] Pandanganku tertuju pada jam di layar ponsel. Aku baru ingat janji dengan Heru. Membatalkannya akan terasa tidak enak. [Tunggu sebentar, aku masih di jalan.] Pesan balasanku terkirim. Setelah itu, aku langsung menghubungi Akmal. "Akmal, tolong bantu aku mencari Zea." Sejujurnya, jiwaku meronta ingin sendiri yang mencarinya, menjelajahi setiap gang sempit, tiap sudut kota yang mungkin pernah Zea singgahi, tapi aku harus menemui Heru dulu. "Memangnya Zea ke mana, Pak?" tanya Akmal, suara cemas terdengar jelas dari seberang telepon. "
"Untuk apa Zea kabur? Rasanya nggak mungkin, Pak." Pak Yanto terlihat tidak percaya."Tapi Zea nggak ada. Apa mungkin Zea dibawa pergi arwah Kakekku??" Rasanya ini semakin tak masuk akal, tapi entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku."Apalagi itu, lebih nggak mungkin, Pak," ujar Pak Yanto, menggelengkan kepala dengan kuat, ketidakpercayaan terpancar jelas dari raut wajahnya."Sekarang buka gerbangnya! Aku akan mencari Zea di luar. Kalau dia memang kabur baru tadi, aku mungkin bisa cepat menemukannya." Desakan kuat mendorongku berlari menuju mobil. Aku buru-buru masuk ke dalam, menyalakan mesin dengan tangan gemetar. Pak Yanto berlari menuju gerbang, membukakannya untukku dengan tergesa-gesa.**"Di mana Zea?" tanyaku, setibanya di rumah lama. Turun dari mobil. Aku yakin Zea datang ke sini, untuk bertemu Jamal—tanpa sepengetahuanku."Zea? Dia 'kan bersama Bapak," jawab Jamal, tatapannya penuh
“Kenapa tanya padaku? Temui saja dia besok, kamu akan langsung tau sendiri.” Mbah Yahya menjawab singkat, tampaknya enggan berbagi informasi lebih lanjut.“Tapi aku penasaran, Mbah.” Aku menatapnya memoh. “Aku akan memberikan Mbah uang tambahan kalau Mbah mau memberitahuku sekarang.” Aku menawarkan suap, berharap bisa membujuknya.“Nggak perlu. Lagian aku juga harus segera pulang sekarang, masih ada job di tempat lain.” Mbah Yahya berdiri, siap untuk pergi. Aku langsung menahannya.“Berapa pun yang Mbah minta… aku akan berikan.” Aku meningkatkan tawaran, keinginan untuk mengetahui jawabannya mengalahkan segala pertimbangan. Aku ingin menguji seberapa sakti pria tua ini.Mbah Yahya menghela napas panjang, tampak lelah. Namun, sebuah senyuman tipis terlihat di bibirnya. Aku begitu senang dengan jawabannya. “Baiklah …,” katanya, suaranya sedikit berat. “…Dia akan memperlihatkanmu sebuah foto yang membuatmu tercengang.”"Fo
"Bapak lihat apa? Nggak sopan!" Suara Zea menusuk telingaku, tajam dan penuh amarah. Tubuhnya berputar cepat, meninggalkanku, berlari menjauh dari dapur. Namun, sebelum lenyap sepenuhnya, aku menangkap kilasan wajahnya yang merah padam, seperti memendam kekesalan. "Zea, tunggu!" Aku berteriak, langkahku terburu-buru, berusaha mengejarnya. Namun, sia-sia. Dia terlalu cepat masuk kamar. Ting, Tong! Ting, Tong! Suara dering bel rumah membuyarkan niatku untuk menemuinya. Aku menghela napas panjang, mengurungkan langkah, dan berjalan menuju pintu depan. Ceklek… Bunyi pintu yang terbuka. "Assalamualaikum," sapa Mbah Yahya yang sudah berdiri di depan pintu bersama Akmal. "Walaikum salam. Silakan masuk, Mbah," ujarku, mempersilakan mereka masuk sambil memperlebar pintu. Mbah Yahya mengangguk, langkahnya tenang mengikutiku menuju ruang tamu. "Mal, tolong buatkan kopi untukku dan Mbah Yahya," pintaku kepada Akmal, mencoba mengalihkan pikiranku dari Zea. "Memangnya Zea kemana,
"Kakekmu ... aku melihat hantu Kakekmu ada di dalam, Yang!!" serunya histeris, suaranya bergetar hebat, campuran antara takut dan sedih. "Hantu kakekku?" Pak Kenzie terlihat bingung, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Aku pun sama bingungnya. Apa maksud Nona Helen? Rumah ini baru, bukan rumah lama Pak Kenzie yang katanya berhantu. "Iya, tapi kali ini dia bukan sekedar mengusirku ... tapi juga memintaku untuk meninggalkanmu, Yang," kata dia, suaranya terisak-isak, menunjukkan kepedihan yang mendalam. Nona Helen menangis tersedu-sedu, bahu-bahunya bergetar hebat. Melihat dia yang seperti itu, aku jadi kasihan padanya. Namun, aku masih bertanya-tanya mengenai hantu itu. Bukankah rumah yang berhantu itu rumah Pak Kenzie yang sebelumnya? Ini 'kan rumah baru. Bagaimana bisa ada hantu kakeknya Pak Kenzie di sini? "Masa sih, Yang? Tapi bukannya kemarin-kemarin kamu bilang di sini nggak ada hantu Kakek, ya?" Pak Kenzie tampak heran, menatap istrinya dengan penuh kebingungan. "Ke