"Mau apa dia ke sini?" gumamku, kekesalan menggerogoti hati.
Ah, menyebalkan, kenapa dia harus muncul di saat ini? Mengganggu waktuku dengan Kak Calvin. "Agnes...." Kak Calvin mulai berujar, suaranya berat, seperti terbebani sesuatu. "Kakak mau ngapain?" Aku langsung menarik lengannya, menahannya untuk tak turun dari mobil. Matanya tertuju ke depan, menatap Nona Agnes dengan sorot yang sulit diartikan. Aku yakin, dia ingin menemui perempuan itu, tapi aku tak akan membiarkannya. "Itu si Agnes, aku mau-" "Nggak boleh!" Potongku cepat, seolah bisa menebak apa yang ingin dia sampaikan. "Kakak nggak boleh menemuinya lagi. Kemarin saja saat di rumah sakit, Kakak ingat ... kalau Nona Agnes tidak mengizinkan Kakak pergi." "Tapi bagaimana kita bisa pergi kalau Agnes ada di luar. Dia mencariku, Vio dan-" "Biarkan(POV Viona) Mataku perlahan terbuka, saat merasakan sentuhan kuat dibibirku. Aku langsung terkejut, melihat apa yang terjadi. Kak Calvin, pria itu sedang menciumku dengan panas sambil memejamkan mata. Tapi, kenapa? Kok tumben, apakah aku sedang bermimpi? Bibir Kak Calvin turun ke leherku, dapat kurasakan lidahnya menyapu kulitku, membuat sensasi merinding geli namun juga nikmat. Sensasi itu membuatku terkesiap, tubuhku menegang. Kedua tangan besarnya langsung meremmas dadaku, dengan sigap melepaskan beberapa kancing dress dan menurunkannya. Kaca mata penutup berbahan brokat segera dia turunkan, lalu dengan gerakan cepat dia melahap salah satu puncak dadaku dan merem*s yang satunya. "Aaaahh!" Aku mendesaah dan menyeru secara bersamaan, karena terkejut dengan apa yang terjadi. Kak Calvin, apa yang dia lakukan? Dia menghisap dadaku dengan semangat seperti bayi yang kehausan.
"Eeeugghhh ...." Kak Calvin mengerang sambil menggeliat, matanya perlahan terbuka dan menatapku dengan lekat. "Kamu sudah bangun, Vio? Maaf kalau tadi aku-""Ssttttt ...." Aku mendesis, langsung menempelkan jari telunjukku ke bibir Kak Calvin. Jantungku berdebar kencang, takut suara Kak Calvin akan membuat kami ketahuan.Segera, aku menunjuk jendela, memperlihatkan Pak Polisi yang masih berada di sana. Wajahnya kini menempel kaca, begitu dekat sekali, seakan penasaran ingin melihat orang yang berada di dalam mobil."Siapa itu? Eh, polisi? Kok ada polisi?" bisik Kak Calvin dengan mata membulat. Dia tampak terkejut dan heran, buru-buru mengambil pakaian kami yang berserakan di bawah kursi lalu membantuku memakai kembali pakaian.Selanjutnya, dia juga memakai pakaian miliknya. Gerakannya begitu terburu-buru. Aku tahu dia pasti panik.Dengan napas tersengal, Kak Calvin segera menurunkan jendela mobil untuk menemui Pak Polisi. Aku sedikit hera
(POV Calvin) "Kakak harus melupakan Nona Agnes mulai sekarang, dan belajarlah untuk kembali mencintaiku seperti dulu." "Mencintaimu...?" Kata-kata itu bergema di telingaku, sebuah nada yang janggal dalam pikiranku. Rasanya aneh saja, mengapa Viona memintaku untuk kembali mencintainya? Apakah itu penting, untuk hubungan kita? "Kak, kok diem? Kenapa bengong?" Viona mengibaskan tangannya di depan wajahku, suaranya sedikit tercampur kekecewaan. "Apa Kakak nggak mau?" Aku langsung tersentak, karena sempat melamun. "Kalau tentang melupakan Agnes, aku tidak akan berjanji, tapi akan membuktikannya. Tapi kalau tentang mencintaimu lagi..." Suaraku terhenti, kata-kata itu tiba-tiba terjebak di tenggorokanku. Tapi aku juga ingin melihat bagaimana reaksi Viona. Ingatan tentang janjiku kepada Ayah begitu tajam dan jelas dalam benakku. Dia percaya ini jalan yang benar untukku. Tapi mengapa sek
Apa-apaan dia ini? Jelas Viona sedang menggodaku, bukan? Apalagi sudah secara terang-terangan tanpa malu membuka bajunya di hadapanku.Viona, dengan tatapan yang menggoda, kini berjalan mendekatiku. Dia mendorong sedikit bahuku, membuatku terjatuh ke belakang. Bibirnya mendekat, dan aku merasakan sentuhannya yang lembut."Viona!" Aku terkesiap. Apakah benar, dia memang mencintaiku? Sampai ingin kembali bercinta denganku?Atau... ini hanya sebuah rasa n@fsu belaka?Aku tak berani berharap terlalu tinggi, takut kecewa. Namun, godaannya tak tertahankan. Rasa panas menjalar di tubuhku, ketika tangannya yang halus membelai dadaku."Aahhh..." desahku, merasakan tubuhnya yang hangat dan lembut. Dia begitu dekat, dan aku merasakan hasrat yang membara di dalam diriku. "Viona, aku..." Kalimatku terhenti, tertelan oleh ciumannya yang dalam.Kobaran api dalam dada semakin membara, memaksaku untuk mengambil kendali atas situasi ini.
"Bahaya? Bahaya kenapa?" tanyaku bingung, mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Segera, kuraih ponsel Viona lalu menatap layar. Tertera sebuah chat dari nomor baru, yang isinya adalah: [Kenzie sedang dalam bahaya, hati-hati.] "Siapa yang mengirim chat, Vio?" tanyaku bingung, menatap Viona. Perempuan itu langsung menggeleng cepat. "Aku juga nggak tau, Kak. Nomornya enggak aku kenal." Aku langsung memencet ikon memanggil, sekaligus mengakhiri panggilan dari Om Erick. Tanganku gemetar, rasanya seperti ada jutaan jarum yang menusuk-nusuk kulitku. Sayangnya, nomor baru itu justru tidak aktif. "Nomornya nggak aktif, tapi kamu jangan panik dulu," ucapku mencoba menenangkan Viona, sebab kulihat dia begitu gelisah. Bahkan sudah bangkit dari tempat tidur. "Bagaimana aku nggak panik, Kak, sementara Kenzie dalam bahaya. Masa Kakak khawatir, sih?" Viona menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, mencerminkan kepanikan yang mendalam. Tentu saja aku pun khawatir, tapi aku merasa tidak perc
"Walaikum salam. Bagaimana kabarmu dan Viona di sana?" Suara Papa terdengar ramah di seberang sana, seolah menjawab semua rasa gelisahku mengenai Kenzie. "Baik, Pa. Maaf sebelumnya, aku ingin meminta nomor kepala sekolah Kenzie sama Papa, kata Viona Papa punya." "Kepala sekolah?? Mau apa memangnya, Cal?" "Si Viona, tadi ada yang ngirim chat, ngasih tau kalau Kenzie dalam bahaya. Aku sama Viona jadi khawatir Kenzie kenapa-kenapa, Pa." "Siapa yang mengirim chat? Kenzie baik-baik saja kok, dia lagi sekolah." "Nomor nggak dike-" Ucapanku terpotong saat Viona tiba-tiba bicara. "Apa Papa bisa memastikan kalau Kenzie benar-benar ada di sekolah?" "Bisa," jawab Papa. "Tadi pagi Papa sempat mampir ke sekolah dan ketemu Kenzie di sana." "Serius, Pa? Sampai Kenzie masuk kelas, kan?" tanya V
Konyol sekali memang, pada akhirnya aku tak mampu menolak lagi permintaan Viona. Aneh, pakai jurus apa Viona ini, sampai selalu bisa membuat hatiku luluh.Kami pun pergi ke rumah Bapak penjual es kelapa, yang katanya ada pohon kelapa di depan rumahnya.Sesampainya di sana, ternyata benar, di depan rumahnya ada pohon kelapa, bahkan lebih dari satu. Rumahnya juga tepat di tepi pantai, membuat Viona langsung merengek ingin berenang.Aku baru tahu, kalau perempuan hamil bisa bertingkah seperti anak kecil. Tapi, aku merasa gemas melihat tingkahnya."Jadi, kamu mau kita berenang dulu, atau minum air kelapa di atas pohon dulu?" tanyaku sambil menatap Viona yang terlihat berbinar-binar, memandangi suasana pantai yang ramai. Banyak orang berenang di air laut yang jernih."Aku mau minum air kelapa sambil berenang saja deh, Kak."Lho, berubah pikiran dia sekarang."Nggak jadi minum air kelapa di atas pohonnya?" tanyaku memastikan,
Tubuhku bergetar hebat, seakan tersambar petir, saat mendengar kabar buruk tentang Kenzie yang hilang. Ya Allah, aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi lagi. Rasa takut dan cemas mencengkeram jantungku. "Kamu tunggu di sini dulu ya? Aku mau pergi menemui Bunda dan Ayah," pamit Kak Calvin, langsung berlari meninggalkan aku. Namun, aku segera mengejarnya, kakiku terasa ringan bagai diangkat angin, hingga sampai ke halaman rumah. Aku menarik tangannya, menahannya untuk pergi. "Aku mau ikut, Kak!" seruku dengan suara bergetar, dipenuhi kepanikan. Tak mungkin aku bisa berdiam diri di sini menunggu saja, sementara anakku hilang. Selain itu, aku penasaran dengan alasannya hilang, karena rasanya aneh, seperti ada yang tak beres. "Tapi kamu nanti capek, Vio, aku takut kamu kenapa-kenapa," ujar Kak Calvin, suaranya terdengar khawatir, seolah melarangku untuk pergi bersamanya. "Justru yang ada pikiranku yang capek, Kak, kalau disuruh nunggu. Aku juga mau tahu alasan Kenzie hilang,
"Tapi kok Kakak bisa tau, kalau Kenzie ada di rumah Nona Agnes? Apa Nona Agnes menghubungi Kakak?" tanyaku, d*daku terasa panas. Aku sangat berharap mereka sudah tak lagi berkomunikasi, tapi sepertinya harapanku terlalu tinggi, ya?"Aku tau dari Ayah. Agnes memberitahukan melalui Ayah," jawab Kak Calvin."Ayah?" Lega rasanya mendengarnya.**Tak lama, mobil yang kami tunggangi akhirnya sampai di depan halaman rumah Nona Agnes. Dari kejauhan, kulihat Kenzie berdiri di sana bersama Nona Agnes. Tampaknya dia menunggu kedatangan kami, dan hatiku langsung berbunga melihatnya dalam keadaan baik."Bundaaaa!! Ayaaahh!!" Kenzie berteriak, dan langsung berlari menghambur ke pelukan kami saat kami baru saja turun dari mobil. Tapi yang lebih dulu dia peluk adalah Kak Calvin, lalu selanjutnya adalah aku."Kamu baik-baik saja 'kan, Nak? Apa kamu terluka?" Aku segera menggendong Kenzie, lalu kuperhatikan seluruh tubuh dan wajahnya sambil k
Tak lama kemudian, dua mobil datang. Salah satunya adalah mobil polisi. Hatiku berdebar kencang. Aku tak bisa diam, tangan mengepal erat, mataku terus tertuju pada pintu mall. Apakah Kenzie sudah ditemukan? Apakah dia baik-baik saja? Sejuta pertanyaan berputar di kepalaku, menggerogoti ketenangan yang berusaha kutepis. Beberapa orang keluar dari mobil. Salah satunya adalah Ayah Andre. Mereka langsung berhamburan masuk ke dalam mall, mencari Kenzie. Aku, Bunda, dan Chika tetap di dalam mobil. Tangan Bunda menenangkan punggungku, lembut dan hangat. "Jangan berhenti berdoa, Vio," bisiknya. "Kenzie anak yang kuat dan pintar. Dia pasti akan baik-baik saja. Kita harus berpikir positif, ya." "Iya, Bun," jawabku, berusaha meyakinkan diri sendiri. Chika masih terlihat terpuruk, matanya berkaca-kaca. "Mbak, maafin Chika, ya. Gara-gara Chika, Dedek Kenzie hilang..." Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Ini bukan salahmu, Chik. Ini musibah." Bunda tiba-tiba berbisik, "Vio, Bu
Tubuhku bergetar hebat, seakan tersambar petir, saat mendengar kabar buruk tentang Kenzie yang hilang. Ya Allah, aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi lagi. Rasa takut dan cemas mencengkeram jantungku. "Kamu tunggu di sini dulu ya? Aku mau pergi menemui Bunda dan Ayah," pamit Kak Calvin, langsung berlari meninggalkan aku. Namun, aku segera mengejarnya, kakiku terasa ringan bagai diangkat angin, hingga sampai ke halaman rumah. Aku menarik tangannya, menahannya untuk pergi. "Aku mau ikut, Kak!" seruku dengan suara bergetar, dipenuhi kepanikan. Tak mungkin aku bisa berdiam diri di sini menunggu saja, sementara anakku hilang. Selain itu, aku penasaran dengan alasannya hilang, karena rasanya aneh, seperti ada yang tak beres. "Tapi kamu nanti capek, Vio, aku takut kamu kenapa-kenapa," ujar Kak Calvin, suaranya terdengar khawatir, seolah melarangku untuk pergi bersamanya. "Justru yang ada pikiranku yang capek, Kak, kalau disuruh nunggu. Aku juga mau tahu alasan Kenzie hilang,
Konyol sekali memang, pada akhirnya aku tak mampu menolak lagi permintaan Viona. Aneh, pakai jurus apa Viona ini, sampai selalu bisa membuat hatiku luluh.Kami pun pergi ke rumah Bapak penjual es kelapa, yang katanya ada pohon kelapa di depan rumahnya.Sesampainya di sana, ternyata benar, di depan rumahnya ada pohon kelapa, bahkan lebih dari satu. Rumahnya juga tepat di tepi pantai, membuat Viona langsung merengek ingin berenang.Aku baru tahu, kalau perempuan hamil bisa bertingkah seperti anak kecil. Tapi, aku merasa gemas melihat tingkahnya."Jadi, kamu mau kita berenang dulu, atau minum air kelapa di atas pohon dulu?" tanyaku sambil menatap Viona yang terlihat berbinar-binar, memandangi suasana pantai yang ramai. Banyak orang berenang di air laut yang jernih."Aku mau minum air kelapa sambil berenang saja deh, Kak."Lho, berubah pikiran dia sekarang."Nggak jadi minum air kelapa di atas pohonnya?" tanyaku memastikan,
"Walaikum salam. Bagaimana kabarmu dan Viona di sana?" Suara Papa terdengar ramah di seberang sana, seolah menjawab semua rasa gelisahku mengenai Kenzie. "Baik, Pa. Maaf sebelumnya, aku ingin meminta nomor kepala sekolah Kenzie sama Papa, kata Viona Papa punya." "Kepala sekolah?? Mau apa memangnya, Cal?" "Si Viona, tadi ada yang ngirim chat, ngasih tau kalau Kenzie dalam bahaya. Aku sama Viona jadi khawatir Kenzie kenapa-kenapa, Pa." "Siapa yang mengirim chat? Kenzie baik-baik saja kok, dia lagi sekolah." "Nomor nggak dike-" Ucapanku terpotong saat Viona tiba-tiba bicara. "Apa Papa bisa memastikan kalau Kenzie benar-benar ada di sekolah?" "Bisa," jawab Papa. "Tadi pagi Papa sempat mampir ke sekolah dan ketemu Kenzie di sana." "Serius, Pa? Sampai Kenzie masuk kelas, kan?" tanya V
"Bahaya? Bahaya kenapa?" tanyaku bingung, mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Segera, kuraih ponsel Viona lalu menatap layar. Tertera sebuah chat dari nomor baru, yang isinya adalah: [Kenzie sedang dalam bahaya, hati-hati.] "Siapa yang mengirim chat, Vio?" tanyaku bingung, menatap Viona. Perempuan itu langsung menggeleng cepat. "Aku juga nggak tau, Kak. Nomornya enggak aku kenal." Aku langsung memencet ikon memanggil, sekaligus mengakhiri panggilan dari Om Erick. Tanganku gemetar, rasanya seperti ada jutaan jarum yang menusuk-nusuk kulitku. Sayangnya, nomor baru itu justru tidak aktif. "Nomornya nggak aktif, tapi kamu jangan panik dulu," ucapku mencoba menenangkan Viona, sebab kulihat dia begitu gelisah. Bahkan sudah bangkit dari tempat tidur. "Bagaimana aku nggak panik, Kak, sementara Kenzie dalam bahaya. Masa Kakak khawatir, sih?" Viona menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, mencerminkan kepanikan yang mendalam. Tentu saja aku pun khawatir, tapi aku merasa tidak perc
Apa-apaan dia ini? Jelas Viona sedang menggodaku, bukan? Apalagi sudah secara terang-terangan tanpa malu membuka bajunya di hadapanku.Viona, dengan tatapan yang menggoda, kini berjalan mendekatiku. Dia mendorong sedikit bahuku, membuatku terjatuh ke belakang. Bibirnya mendekat, dan aku merasakan sentuhannya yang lembut."Viona!" Aku terkesiap. Apakah benar, dia memang mencintaiku? Sampai ingin kembali bercinta denganku?Atau... ini hanya sebuah rasa n@fsu belaka?Aku tak berani berharap terlalu tinggi, takut kecewa. Namun, godaannya tak tertahankan. Rasa panas menjalar di tubuhku, ketika tangannya yang halus membelai dadaku."Aahhh..." desahku, merasakan tubuhnya yang hangat dan lembut. Dia begitu dekat, dan aku merasakan hasrat yang membara di dalam diriku. "Viona, aku..." Kalimatku terhenti, tertelan oleh ciumannya yang dalam.Kobaran api dalam dada semakin membara, memaksaku untuk mengambil kendali atas situasi ini.
(POV Calvin) "Kakak harus melupakan Nona Agnes mulai sekarang, dan belajarlah untuk kembali mencintaiku seperti dulu." "Mencintaimu...?" Kata-kata itu bergema di telingaku, sebuah nada yang janggal dalam pikiranku. Rasanya aneh saja, mengapa Viona memintaku untuk kembali mencintainya? Apakah itu penting, untuk hubungan kita? "Kak, kok diem? Kenapa bengong?" Viona mengibaskan tangannya di depan wajahku, suaranya sedikit tercampur kekecewaan. "Apa Kakak nggak mau?" Aku langsung tersentak, karena sempat melamun. "Kalau tentang melupakan Agnes, aku tidak akan berjanji, tapi akan membuktikannya. Tapi kalau tentang mencintaimu lagi..." Suaraku terhenti, kata-kata itu tiba-tiba terjebak di tenggorokanku. Tapi aku juga ingin melihat bagaimana reaksi Viona. Ingatan tentang janjiku kepada Ayah begitu tajam dan jelas dalam benakku. Dia percaya ini jalan yang benar untukku. Tapi mengapa sek
"Eeeugghhh ...." Kak Calvin mengerang sambil menggeliat, matanya perlahan terbuka dan menatapku dengan lekat. "Kamu sudah bangun, Vio? Maaf kalau tadi aku-""Ssttttt ...." Aku mendesis, langsung menempelkan jari telunjukku ke bibir Kak Calvin. Jantungku berdebar kencang, takut suara Kak Calvin akan membuat kami ketahuan.Segera, aku menunjuk jendela, memperlihatkan Pak Polisi yang masih berada di sana. Wajahnya kini menempel kaca, begitu dekat sekali, seakan penasaran ingin melihat orang yang berada di dalam mobil."Siapa itu? Eh, polisi? Kok ada polisi?" bisik Kak Calvin dengan mata membulat. Dia tampak terkejut dan heran, buru-buru mengambil pakaian kami yang berserakan di bawah kursi lalu membantuku memakai kembali pakaian.Selanjutnya, dia juga memakai pakaian miliknya. Gerakannya begitu terburu-buru. Aku tahu dia pasti panik.Dengan napas tersengal, Kak Calvin segera menurunkan jendela mobil untuk menemui Pak Polisi. Aku sedikit hera