"Ayah .... Ayah tau enggak, tadi dijalan ada-"
"Baik, kita langsung mulai ya, Pak." Bapak berpeci hitam memotong ucapan Kenzie, terlihat seperti seorang penghulu. "Karena saya juga harus menikahkan orang lain di tempat lain," tambahnya dengan suara yang tenang namun penuh wibawa, menciptakan suasana khidmat dan penuh kehormatan."Iya, Pak." Kak Calvin mengangguk cepat, segera menurunkan Kenzie dan membawanya kepada Papa yang baru saja duduk. Kemudian dia duduk di depan meja persegi panjang, di hadapan Pak Penghulu."Silakan pengantin perempuannya ... mari duduk, Nona," tawar Pak Penghulu dengan suara lembut namun tegas. Aku mengangguk, lalu duduk di samping Kak Calvin."Bismillahirrahmanirrahim ...." Suara do'a yang diucapkan Pak Ustad yang duduk di samping Pak Penghulu memenuhi ruangan. Masjid mendadak hening, dan semua orang tampak begitu khusyu mencermati setiap lantunan do'a yang dipanjatkan.Jantungku berdetak semakin kencang saat pr"Bunda ... di mana Ayah? Kok belum pulang??" desis Kenzie dengan wajah penuh kekhawatiran, matanya terus memandangi pintu rumah yang belum terbuka untuk kedatangan Ayahnya.Hari sudah menjelang siang, matahari bersinar terang memancarkan kehangatan ke dalam ruangan. Aroma makanan yang sedap mulai tercium di udara, mengundang selera untuk segera menikmati hidangan yang telah tersaji di atas meja makan.Aku dan Kenzie duduk di meja makan dengan penuh harap, menantikan kehadiran Kak Calvin. Niat kami ingin makan siang bersama, karena ini juga hari pertama dimana aku kembali menjadi istri Kak Calvin.Namun, sejak tadi, Kak Calvin belum juga pulang. Rasa cemas dan cemburu mulai menyelinap ke dalam hatiku saat menyadari bahwa kepergiannya hanya untuk bertemu dengan Nona Agnes."Sebentar ... Bunda coba telepon Ayah ya, Nak." Aku meraih ponsel di atas meja dengan gemetar, mencoba menghubungi Kak Calvin. Namun, keterbatasan pulsa dan kuota internet membuat
Sesak rasanya mendengar kabar sedemikian tragis, hati ini terasa hancur melihat penderitaan yang dialami Nona Agnes. Namun, kenyataannya semua ini terjadi akibat ulahnya sendiri.Jadi bukankah di sini aku juga menjadi korban? Aku bukan orang yang jahat 'kan? Karena aku memang tidak berniat merebut calon suaminya, meskipun aku sempat memintanya untuk rujuk.Akh, rasanya sulit untuk menjelaskan perasaan ini. Tapi aku tidak pernah ingin bergembira atas penderitaan orang lain. Kak Calvin juga dengan jelas menyatakan penolakannya saat itu."Kasihan sekali Nona Agnes, Kak. Tapi kenapa dia sampai nekat melakukan hal itu? Apakah semua ini terjadi karena kita menikah?" tanyaku dengan suara penuh empati.Saat melihat Kak Calvin yang sedang dilanda kesedihan, aku ikut merasakan pedihnya hatinya. Aku sadar betapa besar cintanya kepada Nona Agnes, namun sepertinya takdir memiliki rencana lain.Namun, di sisi lain, ada rasa cemburu dan kekesalan yang memenuhi hatiku. Aku merasa egois, Kak. Bahkan d
"Eh, tidak! Tidak! Lupakan saja, Kak!" Wajahku memerah, merasa panik sendiri. Bagaimana jika Kak Calvin menolakku? Pasti sakit rasanya, jadi lebih baik aku memberikan alasan lain. "Bukan itu maksudku kok. Tapi, ah mending kita tidur saja, Kak, aku juga mengantuk. Selamat malam."Aku merasa kehabisan kata-kata. Segera aku menarik selimut untuk menutup wajahku, lalu berbalik ke arah tembok dan mulai memejamkan mata. Suasana kamar terasa hening, hanya suara napas pelan yang terdengar.Aku benar-benar merasa sudah gila, rasa cintaku kepada Kak Calvin membuatku kehilangan rasa malu. Pasti setelah ini, Kak Calvin menjadi ilfil kepadaku. Tanganku gemetar saat mencoba menenangkan diri, namun jantungku masih berdegup kencang.***Keesokan harinya.(POV Calvin)Mataku perlahan terbuka, merasakan sentuhan lembut dipipiku. Ternyata, sentuhan itu berasal dari Kenzie.Bocah menggemaskan itu terlihat tersenyum manis kepadaku, begitu ceria, segar, dan wangi seperti habis mandi. Apalagi dengan keadaan
Semoga saja memang karena itu dan aku berharap semuanya baik-baik saja.Setelah mandi, kulihat stelan jas berwarna biru navy sudah tersusun rapi di atas tempat tidur. Kasur pun terlihat sudah rapi, sepertinya tadi Viona juga sekaligus membereskannya.Dan ternyata Viona tidak hanya menyiapkan stelan jas, tetapi juga dasi, gesper, kemeja, dan celana dalam. Kaos kaki dan sepatu pun ada, hanya saja tidak di atas kasur, melainkan di bawahnya.Aku tersenyum memandangi benda-benda tersebut. Hatiku terasa hangat, aku merasa bahagia.Mungkin inilah gambaran memiliki istri yang perhatian dan penuh cinta pada kita. Meskipun tindakan Viona hanya karena kehamilan, tapi aku sangat menghargai dan merasa senang saat mengalaminya.Jika boleh berharap, aku berharap sikap Viona akan selalu lembut seperti ini, meskipun tidak ada cinta yang sebenarnya terpendam untukku.Belum dilahirkan pun, adiknya Kenzie sudah sangat menyayangiku dengan tulus seper
"Siapa yang meneleponmu?" tanyaku saat Viona kembali masuk ke dalam mobil.Apakah aku terlihat begitu kepo di sini? Tapi jujur, aku memang penasaran. Lagipula, Viona sudah menjadi istriku, rasanya wajar jika seorang suami bertanya hal seperti ini dan menginginkan istrinya untuk saling terbuka.Aku juga berharap, Viona sekarang bisa saling terbuka terhadapku, karena aku sendiri sejauh ini tidak pernah menyembunyikan hal apapun kepadanya."Papa, Kak," jawab Viona sambil tersenyum. Aku langsung menghela napas, merasa lega. "Papa bilang dia kangen sama Kenzie, dan minta buat nanti malam supaya Kenzie menginap. Boleh enggak, Kak, kira-kira?""Lho, tentu boleh dong. Nggak perlu juga minta izin kepadaku, Vio." Aneh sekali rasanya Papa ini, Kenzie 'kan cucunya. Kenapa juga harus bertanya seperti itu, karena tidak mungkin juga aku melarang. "Atau nanti malam ... kita bertiga saja sekalian menginap di rumah Papa?" tawarku."Enggak usah, Kak." Viona
Aakhhh mikir apa aku ini??Tolong buang jauh-jauh pikiran kotor itu! Karena hal seperti itu tidak mungkin akan terjadi lagi di antara kami.Sekarang aku harus fokus ke Kenzie dan bayi yang ada dalam kandungan Viona saja, karena hanya mereka berdualah yang menjadi alasan untuk kami rujuk.Aku juga sudah berjanji kepada Ayah, untuk tidak mencintai Viona dan aku pun sudah tidak berharap akan dicintai olehnya.***Setelah tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami berdua tiba di rumah sakit.Sebelumnya, aku sempat singgah ke toko buah untuk membelikan Agnes parsel buah. Tentu saja, tidak mungkin aku datang menjenguk orang sakit dengan tangan kosong, bukan? Bahkan, aku sempat berpikir untuk juga membelikan sebuket bunga mawar untuk Agnes.Tapi, kemudian aku teringat bahwa Viona alergi bunga. Aku khawatir jika memaksakan membelinya dan membawanya dalam mobil, itu bisa membahayakan Viona. Aku sungguh tidak ingin terjadi ha
(POV Viona)"Apa kau berpikir, setelah berhasil menikah dengan Calvin kau menjadi lebih unggul daripada Agnes?"Pertanyaan dari Pak Erick membuat dahiku berkerut. Dia menatapku dengan tajam dan sengit. Aku terdiam, tak percaya dengan ucapannya. Tapi apa maksudnya? Unggul katanya? Dia pikir ini sebuah kompetisi apa?"Kau sungguh tidak tau diri Viona, bagaimana bisa kau begitu tega merebut calon suami dari bosmu? Apakah tidak ada pria lain di dunia ini lagi, atau kau memang sudah tak laku?" Nada bicaranya semakin meninggi, penuh amarah."Apa maksud Bapak bicara seperti itu?" Jelas-jelas Pak Erick ini sedang menghinaku, tapi penghinaannya sungguh tidak berdasar. "Apa yang terjadi karena Nona Agnes, dan aku tidak percaya kalau Bapak tidak tau. Bapak pasti tau rencana ini dari awal.""Kau benar, aku memang tau dan itulah rencanaku. Tapi berani sekali, kau yang menjadi masa lalu Calvin menggagalkan semua rencanaku dan Agnes. Akan kupastikan kau
Namun, Kak Calvin tiba-tiba menarik tanganku dan menjauhkan tubuhnya dariku. Ada apa dengannya? Apakah dia tidak suka aku menyentuhnya? Aku terdiam, merasa sedikit kecewa."Iya, aku akan melakukannya. Sekarang kita harus cepat pulang, karena aku juga harus pergi ke kantor," sahut Kak Calvin, lalu kembali mengemudikan mobilnya.***(POV Calvin)Sentuhan Viona masih terasa hangat di pipiku, seperti bara api yang membakar kulitku. Jantungku berdebar kencang, seakan ingin meledak dari dada. Aku tak bisa berkonsentrasi bekerja, pikiran-pikiran tentang Viona memenuhi kepalaku.Akh, kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa dia sampai menyentuh pipiku? Apakah dia berniat menciumku?Tidak! Mustahil!Aku menggelengkan kepala, berusaha menepis pikiran yang menggelitik itu.Untuk apa Viona menciumku? Berhentilah berpikir yang tidak-tidak, Calvin! Kau benar-benar berlebihan.Drrrriingg!!Suara ponsel di dalam ka
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora